Menu

Saturday, 8 June 2013

Tujuan dari Adanya Perbedaan Agama

Berikut ini adalah dua percakapan dari Hazrat Masih Maud.a.s. dengan beberapa orang non-Muslim. Teks Urdu dari percakapan ini terdapat dalam Malfuzat, volume 5, halaman 151-154 dan 141-146.
Pada tanggal 1 Maret 1903 datang seorang pria dari Lahore bernama Kashi Ram Ved untuk kunjungan kehormatan kepada Hazrat Masih Maud.a.s. Hadir pula beberapa orang lain ketika setelah shalat Zuhur, dalam percakapan itu beliau mengemukakan kepada Kashi Ram Ved bahwa:
Perbedaan agama merupakan suatu hal yang baik.Tuhan sejalan dengan Kebijaksanaan-Nya memang meniatkan hal itu ada. Adanya perbedaan itu akan mempertajam kemampuan intelektual manusia. Di dunia dimana misalnya pun ada kesepakatan mengenai suatu hal, tetap saja dalam detilnya ada perbedaan yang mungkin akan menjadi masalah nantinya. Memberikan pidato dalam suatu kumpulan besar dalam rangka pertukaran fikiran juga merupakan suatu hal yang baik, tetapi nyatanya di negeri kita ini sampai dengan sekarang, sedikit sekali orang yang cukup beradab yang mau tenang mendengarkan ulasan pandangan dan pendapat dari lawan mereka. Aku sendiri menginginkan dan memang menjadi niatku untuk menyediakan satu tempat di Qadian ini dimana orang-orang dari berbagai agama yang berbeda bisa berkumpul dan menyatakan kebenaran serta faktor keunggulan agama mereka masing-masing secara terbuka. Jika ada debat atau diskusi terbuka dalam mengemukakan kebenaran, hal itu sebenarnya merupakan suatu yang baik, namun pengalaman menunjukkan bahwa hal itu juga mengandung unsur kejahilan dan kekacauan dan karena itulah tidak digalakkan. Bisa jadi ada saja segelintir orang-orang yang mau mendengarkan pandangan lawan bicaranya dengan sabar dan lembut hati, tetapi mayoritas lainnya terdiri dari orang-orang yang tidak mampu mendengarkan bahkan sepatah kata pun yang dirasanya tidak sejalan dengan agama yang dianutnya, tidak peduli betapa lembutnya pun hal itu disampaikan. Bila ada seseorang beragama lain yang berbicara, kemungkinan besar apa yang dikemukakannya itu tidak sejalan dengan pandangannya sendiri dan hal itu langsung merangsang emosinya. Dalam pertemuan seperti yang dimaksud, bisa terdapat kedamaian jika si pembicara dan si pendengar bisa duduk bersama, seperti halnya seorang ayah yang menemukan sesuatu yang buruk pada anaknya dan ia menasihati si anak yang mendengarkan dengan sabar dan lembut hati. Hubungan kasih demikian jelas besar manfaatnya. Mengharapkan ada sesuatu yang baik yang bisa dihasilkan dari amarah dan kekerasan adalah samanya bermimpi.

Yang menjadi masalah di masa kini bukan saja tentang perbedaan agama tetapi juga yang menjadi tambah sulitnya masalah kenyataan bahwa manusia tidak lagi memfokus pada dasar atau basis kebenaran, dimana rasa permusuhan dan prasangka buruk satu terhadap yang lainnya sudah demikian rupa sehingga jika ada yang mengemukakan sesuatu yang baik tentang agama orang lain maka hal itu langsung dianggap sebagai suatu dosa. Aku
melihat bahwa manusia sekarang ini umumnya berbicara tanpa adab sopan santun dan malah kasar. Di masa lalu, hubungan di antara bangsa Hindu dengan umat Muslim adalah sedemikian baiknya sehingga mereka merasa sebagai satu komunitas. Sekarang ini terdapat perpecahan sehingga perasaan positif yang ada di masa lalu kini sudah tiada. Perasaan demikian telah digantikan oleh rasa permusuhan dan prasangka buruk. Karena itu jika tidak ada lagi unsur ketertarikan satu sama lain, sedangkan semua pihak hanya memikirkan menang atau kalah saja dalam suatu perdebatan, bagaimana mungkin muncul ekspresi kebenaran dari sana? Untuk bisa mengemukakan kebenaran, syaratnya adalah seseorang tidak memiliki prasangka, rasa permusuhan atau pun dendam.
Aku juga meyakini bahwa manusia sekarang ini berada dalam suatu kekeliruan. Sebelum menyerang agama lain, mereka tidak mempertimbangkan apakah materi yang mereka gunakan sebagai sarana menyerang itu memang ada dalam kitab suci atau tidak. Mereka mengesampingkan kitab itu dan mengemukakan opini pribadinya dan menganggapnya sebagai sifat dari agama bersangkutan. Memang ada beberapa hal yang menurut hemat kami tidak benar dari agama bangsa Arya, namun aku tidak ada menganggap aspek-aspek itu sebagai bagian dari kitab Veda. Aku tidak mengetahui apa yang ada di dalamnya dan kami menganggapnya sebagai pandangan dari Pandit Dayanand dimana yang bersangkutan memang mengakuinya. Kami sendiri memang bicara menentang kepercayaan seperti itu serta mempublikasikannya dengan mengemukakan bahwa inilah kepercayaan dari kelompok Arya Samaj. Begitu pula mestinya jika bangsa Arya mempunyai keberatan, mereka seharusnya mengungkapkannya dibanding Al-Quran atau pun keyakinan yang telah aku kemukakan dan publikasikan sebagai keyakinan diriku. Jelas tidak patut mengemukakan tentang sesuatu yang tidak kita yakini sebagai keyakinan kita.
Karena sekarang ini terdapat begitu banyak sekte dari berbagai agama, mestinya jika ada keberatan terhadap suatu keyakinan seharusnya diarahkan hanya kepada sekte yang menganut keyakinan dimaksud. Dengan demikian, pada saat diskusi agar diajukan kitab-kitab yang relevan dengan hal itu. Dari banyaknya versi dan penafsiran yang ada, terlihat betapa banyaknya perbedaan yang ada. Kalau saja prinsip ini dipatuhi maka yang hadir akan memperoleh manfaat. Bagaimana mungkin seseorang yang tidak pernah membaca atau memahami suatu buku lalu merasa punya hak untuk mengemukakan keberatan terhadapnya? Menyangkut masalah agama, perlu kiranya bahwa perdebatan difokuskan pada prinsip-prinsip dasar yang umum diakui meski ia untuk itu tidak harus sudah pernah membacanya karena proses membaca semua kitab demikian akan menghabiskan usia hidupnya.
Suatu perdebatan mestinya dilakukan mengikuti prinsip-prinsip perdebatan. Para ahli telah mengemukakan bahwa ketentuan seni berdebat telah menggariskan agar jangan tenggelam dalam permasalahan sampingan yang tidak berarti, sama seperti suatu lasykar yang dituntun oleh suatu prinsip yang sama dengan para perwiranya. Jika sudah ada keputusan yang desisif diantara para perwira, hal yang sama juga berlaku pada para prajuritnya. Contohnya, jika perwira komandan itu tewas maka para prajuritnya akan juga menyerah.
Aku sendiri tidak akan mengucapkan sesuatu kecuali Allah swt mengizinkan. Jika memang aku akan mengadakan perdebatan verbal maka aku tidak akan menulis buku ini, Nasimi Dawat. Biasanya dalam suatu pertemuan (yang membahas masalah keagamaan), kebenaran selalu tersembunyi dan orang-orang berperilaku dengan prasangka buruk dan kedegilan hati. Karena itu aku telah membuat janji dengan Allah swt bahwa aku akan meninggalkan kebiasaan tersebut.
Aku telah mengarang buku Nasimi Dawat ini sejalan dengan ketentuan mengenai perdebatan dan dalam buku itu aku telah mengemukakan argumentasiku sejalan dengan prinsip-prinsip yang telah aku kemukakan. Aku tidak akan menanggapi mereka yang melontarkan cercaan terhadap diriku karena Allah swt sudah mencabut kemampuan diriku membalas dengan cercaan pula. Lagi pula siapa yang akan ditanggapi karena begitu banyak orangnya.
(Ketika para tamu bangsa Arya itu meninggalkan tempat, datang beberapa orang lainnya dan dalam memberikan jawaban, Hazrat Masih Maud.a.s. mengemukakan secara singkat bahwa:)
Dalam buku Nasimi Dawat kalian akan melihat bahwa aku berpegang pada kebenaran meski terdapat perbedaan pandangan. Allah swt mencabut dari diriku kemampuan untuk mencerca, tidak juga aku bisa menjawab masing-masing (mereka yang mencerca). Berjuta-juta orang yang mencerca, yang mana yang harus aku layani? Aku kemukakan masalah ini langsung kepada kelompok Arya Samaj dan bukan dengan kitab Veda karena aku tidak menguasai Veda.
Pada sore hari tanggal 28 Pebruari 1903, beberapa orang Arya datang dalam kunjungan kehormatan kepada Hazrat Masih Maud.a.s. yang menanyakan kepada mereka apakah mereka datang untuk menghadiri pertemuan. Mereka menjawab bahwa mereka datang hanya karena mereka mendengar kalau Hazrat Masih Maud.a.s. akan berbicara dalam pertemuan itu. Jika tidak demikian maka mereka tidak berkeinginan datang kesini. Hazrat Masih Maud.a.s. kemudian menjawab:
Kami menyadari bahwa dalam realitas selalu ada orang-orang yang sopan dalam setiap bangsa, orang-orang yang tidak melakukan pencercaan semena-mena atas orang lain atau berprasangka buruk atau juga berkata buruk tentang para pemimpin yang dihormati orang lain. Namun apa pun yang aku lakukan, semuanya itu berdasarkan perkenan dan perintah dari Allah swt. Dia tidak menginginkan aku terjerumus dalam bentuk perdebatan verbal yang bersifat abusif demikian. Karena itu beberapa tahun yang lalu aku telah menerbitkan
buku Anjami Atham dan aku telah berikrar kepada Tuhan bahwa aku tidak akan ikut dalam pertemuan untuk perdebatan verbal seperti itu. Kalian tentunya menyadari bahwa dalam pertemuan seperti itu terdapat beragam manusia yang menghadirinya. Ada yang sama sekali tidak tahu permasalahan dan ikut hanya karena ingin bergabung dengan kelompoknya. Yang lainnya ada yang datang hanya untuk melontarkan cercaan atas diri orang-orang yang dihormati oleh kelompok lawannya dimana mereka memperoleh kenikmatan dalam lakunya itu. Ada pula orang yang fitratnya memang sangat kasar. Pergi menghadiri pertemuan yang terdiri dari orang-orang seperti itu untuk berdebat soal agama, jadinya merupakan suatu hal yang muskil sekali. Kalian tentunya menyadari bahwa jika ada dua umat yang berhadapan dengan tujuan utama untuk membuktikan bahwa agama lawannya itu palsu adanya serta tidak memiliki kebenaran ruhaniah sama sekali dan karena itu sama saja dengan mati karena tidak mempunyai hubungan dengan Tuhan, maka sampai mereka berhasil membuktikannya (dan diterima oleh lawannya), sulit baginya untuk mengemukakan keindahan dari agamanya sendiri. Mereka harus mengemukakan kesalahan-kesalahan agama lawannya, karena jika tidak maka tidak akan ada ekspresi kebenaran. Hanya saja beberapa orang lalu lalu menjadi terlalu terangsang dan mereka tidak bisa mendengarkan lagi, dimana emosi mereka lalu meletup-letup dan mereka jadinya siap berkelahi.
Dengan demikian maka pergi ke pertemuan seperti itu akan menjadi bertentangan dengan akal sehat karena untuk suatu analisis agama yang tepat perlu kiranya para partisipan berhati dingin dengan perbawaan sifat adil dan tidak memihak. Sewajarnya mereka tidak cenderung kepada pertengkaran atau kekerasan. Hanya dalam suasana demikian saja maka seseorang akan bisa menguraikan keunggulan agamanya dan berbicara sebanyak maunya, untuk kemudian lawan bicaranya yang sama sopannya menimpali tentang agamanya sendiri. Hanya saja sayangnya di negeri kita ini telaah analisis agama yang dilakukan dengan sabar dan lemah lembut demikian nyatanya tidak ada. Saat yang didambakan seperti itu belum lagi mewujud. Namun kami berharap bahwa Tuhan akan mewujudkannya juga suatu waktu. Aku bahkan berniat menyiapkan sebuah bangunan di sini dimana orang-orang dari berbagai agama bisa berbicara bebas tentang agamanya masing-masing.
Sesungguhnya suatu permasalahan yang tidak didengarkan dengan hati yang dingin dan fikiran yang tidak memihak serta dilambari dengan toleransi, maka akan sulit sekali mendalami inti kebenarannya. Ambil saja contoh kejadian dalam sebuah pengadilan dimana sang hakim bisa mendengarkan dengan kepala dingin segala bukti-bukti dan alasan dari kedua pihak yang bertikai, ia akan mampu berfikir dan menganalisis secara tenang untuk kemudian memberikan keputusannya. Terkadang proses seperti itu membutuhkan waktu bertahun-tahun. Jika dengan peradilan duniawi sudah demikian keadaannya, bagaimana mungkin permasalahan agama bisa mencapai kata kesepakatan dalam lima atau sepuluh menit. Memang mudah bagi si penanya untuk mengemukakan pertanyaannya, tetapi kesulitan yang dihadapi oleh yang ditanya bukanlah suatu hal yang gampang. Bila ada seseorang yang mengajukan pertanyaan minta dijelaskan tentang sistem matahari, bumi dan bintang-bintang, lalu meminta jawaban secepat ia mengajukan pertanyaan atau kalau tidak akan menganggap lawannya sebagai pendusta, apa yang bisa
dilakukan oleh lawan bicaranya itu? Jelas bahwa ia harus mempersiapkan jawaban yang mungkin harus berupa satu buku lengkap dengan berbagai bab, karena kalau tidak maka jawabannya tidak akan lengkap. Singkat kata, demikian itulah kesulitan yang aku hadapi. Hal itu juga yang menjadi alasan yang menahan diriku untuk menghadiri pertemuan-pertemuan seperti itu.
Kalau saja si penanya bersikap akan sabar sampai selesai mendengarkan dengan tenang jawabannya maka orang yang menjawab akan senang memberikan jawabannya. Sesungguhnya sesuatu yang dikemukakan atas nama Tuhan dan yang bersangkutan melakukannya dalam mencari keridhaan Ilahi dan karena itu dipenuhi dengan jiwa ketakwaan, maka seperti itu tidak akan melakukan perbuatan nista seperti menggunakan kata-kata yang kotor. Namun sekarang ini lidah orang tajam laiknya pisau dan keberatan demi keberatan diajukan tanpa ada alasan yang mendasari.
Jika suatu pertanyaan diajukan hanya demi Ilahi dengan gaya yang menyejukkan hati dan bahasa yang baik, maka sesuatu yang berasal dari hati akan sampai ke hati juga! Aku sendiri bisa mengindera suatu pertanyaan yang datang dari hati tulus seseorang yang mencari kebenaran. Bahkan nada keras yang datang dari seseorang yang mencari kebenaran, tetap saja mengandung unsur yang menyenangkan. Adalah haknya jika ia bersikeras sampai ia mendapatkan kepuasan dalam jawaban yang dicarinya dan sampai bukti-bukti bisa meyakinkan dirinya. Aku tidak berkeberatan dengan hal seperti itu. Sebaliknya, justeru orang seperti itu patut dihargai. Kata-kata yang diutarakan demi Tuhan tidak bisa dibandingkan dengan ucapan palsu dari orang yang rendah akhlaknya.
Aku telah menekankan berulangkali kepada Jemaatku bahwa mereka tidak boleh gegabah menilai buruk orang lain. Semua agama terdahulu pada dasarnya datang dari Tuhan, hanya saja karena perjalanan waktu lalu mengalami penyimpangan. Hal seperti itu harus dihilangkan secara halus dan lembut. Jangan pernah mengemukakan keberatan kepada orang lain seperti lemparan batu. Kita sendiri bisa melihat kain yang kita beli hari ini dan kemudian dibuat pakaian, setelah jangka waktu yang singkat akan menjadi tua dan mengalami perubahan yang menjadikan bentuknya terkadang berbeda sama sekali dari asalnya dahulu. Begitu juga dengan semua agama terdahulu, pasti ada akar kebenaran di dalamnya. Tuhan beserta yang benar dan agama hakiki berisi hal itu di dalamnya sebagai tanda-tanda kehidupan. Sebuah pohon dikenali dari buah yang dihasilkannya. Bahkan dalam suatu pemerintahan pun, yang menjadi bayangan dari Wujud yang Maha Tersembunyi itu, kita bisa melihat bagaimana orang-orang yang jujur dihormati dan disayang oleh mereka. Para pejabat dan pekerja yang ditunjuk pemerintah, misalnya sebagai gubernur di suatu daerah, mereka akan bekerja dengan berani dan ingin juga dikenal. Tetapi seorang pejabat deputi-komisioner atau inspektur polisi yang culas yang menipu rakyatnya, beranikah mereka menghadap secara terbuka kepada pemerintahnya? Jika pemerintah kemudian menemukan keculasan mereka, tentulah mereka akan dipermalukan dan dijebloskan ke penjara dengan tangan terbelenggu. Hal yang sama juga berlaku tentang kebenaran suatu agama. Barangsiapa yang benar di hadapan Allah swt maka ia akan memiliki tanda dari Ilahi serta citra keberanian dan kebenaran.
Dalam realitas, seseorang yang takut kepada Tuhan biasa menghadapi berbagai kesulitan besar. Seseorang baru akan menjadi suci jika ia mampu menanggalkan semua nafsu dan keinginannya, lalu sepenuhnya tenggelam dalam upayanya mencari keridhaan Ilahi. Sifat mementingkan diri sendiri, ketakaburan dan keangkuhan telah dicerabutnya sama sekali dari dalam batinnya. Matanya hanya memandang ke arah yang diperintahkan Tuhan. Telinganya hanya mendengar apa yang difirmankan Tuhan. Bibirnya hanya terbuka untuk menyampaikan kebenaran dan kebijakan, kalau tidak akan menutup terus sampai diperintahkan Tuhan. Cara yang bersangkutan makan, berpakaian, tidur, minum, bergaul dengan isterinya, semuanya dilakukan sejalan dengan perintah Tuhan. Ia tidak sepatutnya makan karena merasa lapar tetapi karena Tuhan menyuruhnya demikian. Dengan kata lain, jika ia belum mengalami ‘kematian’ sebelum maut yang sesungguhnya maka ia belum akan mencapai derajat ketakwaan. Tetapi jika ia ‘mematikan’ dirinya maka Tuhan tidak akan membiarkannya mengalami kematian yang kedua.
Di masa sekarang ini kita melihat ketika bibir orang terbuka, yang keluar hanya kata-kata yang memperolok, menertawakan orang dan mengatakan hal-hal yang menyakitkan tentang orang lain. Apa yang terkandung dalam suatu bejana, itu juga yang akan keluar daripadanya. Bicara mereka mencerminkan apa yang ada dalam batin mereka. Aku bisa mengenali seorang yang baik hati dari kejauhan. Seseorang yang datang dengan sifat dan hati yang baik adalah jenis orang yang selalu ingin aku temui. Bahkan cercaan dari orang-orang seperti itu tidak akan mengganggu. Hanya saja sayangnya oran-orang dengan hati yang suci demikian adalah amat langka.
(Saat itu seorang Arya mengatakan bahwa hanya ada dua bangsa saja yang tolol. Jika anda tidak keberatan, yang satu adalah bangsa Sikh dan yang lainnya adalah saudara-saudara umat Muslim ini.)
Hazrat Masih Maud.a.s. menjawab:
Bagi seseorang yang mengerti, tidak ada hinaan yang lebih besar daripada dikatakan ‘tolol.’ Menyebut seseorang secara langsung kepadanya sebagai ‘tolol’ adalah suatu hinaan yang amat kasar. Namun anda bisa melihat bahwa dari semua orang-orang kami yang ada di sini tidak ada seorang pun yang menanggapi hinaan anda. Apakah anda masih juga meragukan kelembutan dan laku adab umat kami? Banyak sekali orang yang datang hanya untuk mencaci diriku tetapi tidak ada dari umatku yang berani menanggapinya (dengan marah). Siang malam aku mengajarkan kesabaran kepada mereka. Aku mengajarkan agar mereka berlaku lemah lembut dan sabar. Ini bukanlah bangsa yang sejalan dengan prinsip ketololan menurut pandangan anda. Namun kami tidak bertanggungjawab atas umat lainnya (yang tidak berada di bawah pengaruh kami). Kami akan percaya kepada anda jika dalam suatu pertemuan bangsa Arya lalu ada seseorang yang mengatakan kalian bangsa yang tolol, lalu mereka bersabar hati dan bukannya lalu membalas seribu kali lipat.
Anda belum mengenal umat Muslim dan juga belum melihat karakter mereka. Jika diadakan perbandingan di antara mereka dengan bangsa Arya, samanya dengan membandingkan serigala dengan domba. Aku tidak bertanggungjawab atas mereka yang tidak berada di bawah pengaruhku, namun mampu sabar mendengarkan hinaan dan kata-kata yang membakar adalah ciri dari laki-laki sejati. Bisakah orang lain menirunya? Kelemah-lembutan sulit sekali bisa dicapai dan dipraktekkan tetapi semua orang bisa bersikap kasar!
==============================
Yang menjadi masalah di masa kini bukan saja tentang perbedaan agama tetapi juga yang menjadi tambah sulitnya masalah ialah kenyataan bahwa manusia tidak lagi memfokus pada dasar atau basis kebenaran, dimana rasa permusuhan dan prasangka buruk satu terhadap yang lainnya sudah demikian rupa sehingga jika ada yang mengemukakan sesuatu yang baik tentang agama orang lain maka hal itu langsung dianggap sebagai suatu dosa.
Aku telah menekankan berulangkali kepada jemaatku bahwa mereka tidak boleh gegabah menilai buruk orang lain. Semua agama terdahulu pada dasarnya datang dari tuhan, hanya saja karena perjalanan waktu lalu mengalami penyimpangan. Hal seperti itu harus dihilangkan secara halus dan lembut. Jangan pernah mengemukakan keberatan kepada orang lain seperti lemparan batu.`

No comments:

Post a Comment