Ringkasan Khotbah Jumat
Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad
Khalifatul Masih al-Khaamis ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz
tanggal 13 Maret 2015 di Masjid Baitul Futuh, Morden, London, UK.
Diterjemahkan oleh: Hafizurrahman; editor: Dildaar Ahmad Dartono
Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad
Khalifatul Masih al-Khaamis ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz
tanggal 13 Maret 2015 di Masjid Baitul Futuh, Morden, London, UK.
أشْهَدُ أنْ لا إله
إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ
وَرَسُولُهُ.
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله
رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ
نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط
الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضَّالِّينَ.
(آمين)
Khotbah Jumat pada hari ini tentang riwayat-riwayat yang dikisahkan oleh Hadhrat Mushlih Mau'ud as. Riwayat-riwayat ini mempunyai hubungan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan Hadhrat Masih Mau'ud as. Di dalamnya terdapat bimbingan dan pelajaran yang banyak dari beliau as dan juga membantu menentukan arah atau jalan bagi kita.
Peristiwa pertama yang riwayatnya dibahas dalam kesempatan kali ini mengisyaratkan bahwa Hadhrat Masih Mau'ud as senantiasa memiliki hasrat yang sangat besar dalam bertabligh. Beliau as memikirkan segala macam cara dan sarana yang luar biasa untuk melakukan pertablighan yang dapat membawa pesan beliau hingga ke pelosok dunia. Beliau as suatu kali menyarankan agar para anggota Jemaat mengenakan pakaian khas yang akan membedakan mereka dengan yang selain Jemaat. Telah diajukan pula pelbagai saran yang banyak mengenai tema perbedaan khas Ahmadi dengan bukan Ahmadi.
Pembedaan ini dalam batas tertentu tidak berarti apa-apa. Sungguh keinginan beliau ini telah muncul supaya orang-orang bukan Ahmadi tertarik kepada para Ahmadi karena pakaian khas mereka dan dengan melihat keadaan amal perbuatan dan akidah para Ahmadi, demikian pula (dengan mengenakan pakaian yang khas) setiap Ahmadi sadar dengan sendirinya juga bahwa ia dikenali oleh masyarakat sebagai orang Ahmadi sehingga itu mengharuskannya untuk senantiasa menjaga amal perbuatan serta akidahnya. Dengan demikian, itu membuatnya senantiasa bersikap lurus. Bahkan pada hari ini kita perlu menciptakan kesadaran ini, bahwa meskipun pakaian khas tersebut bukan persoalan utama namun hendaknya masyarakat dapat membedakan yang mana Ahmadi dan yang mana yang bukan melalui amal perbuatan dan akidah kita.
Berbicara soal berpakaian, Hadhrat Mushlih Mau'ud ra melanjutkan dengan menguraikan bagaimana hendaknya penampilan para dai (termasuk Muballigh) dan setiap orang yang bekerja di jalan agama; “Para mubaligh dan para pengkhidmat agama hendaknya berpenampilan sebagai gambaran seorang mukmin sejati.”
Beliau ra menasihati anggota Majlis Khuddamul Ahmadiyah, “Para anggota Majlis Khuddamul Ahmadiyah hendaknya memberikan perhatian penuh agar penampilan luar mereka sejalan dengan syiar-syiar keislaman. Mereka bisa memilih kesederhanaan dalam hal jenggot, rambut dan pakaian mereka. Sungguh, Islam tidak melarang untuk mengenakan pakaian yang bersih dan tertata rapi bahkan malahan mengharuskannya. Islam tidak melarangnya bahkan memerintahkan untuk menaruh perhatian pada kebersihan lahiriah dan tidak dekat-dekat dengan kekotoran. Namun demikian, berlebih-lebihan, mengada-ada, memaksakan dan menyulitkan diri dalam berpakaian pun tidak diperkenankan.
Orang-orang terkadang menghadiahkan pakaian-pakaian yang baik bagi Hadhrat Masih Mau'ud as dan beliau as senantiasa menggunakannya namun beliau tidak memberikan perhatian yang berlebihan terhadap tampilan pakaian beliau. Tentu benar untuk senantiasa membuat pakaian agar bersih, namun perhatian yang berlebihan hingga memakan waktu untuk hal itu pun tidak disukai.
Beberapa orang merasa sedih jika mereka tidak memiliki pakaian spesial untuk dikenakan pada suatu kesempatan khusus. Hendaknya dalam pergaulan seseorang mengenakan apapun yang ia miliki dengan rasa percaya diri. Tema asasi (hal pokok) dalam bahasan ini ialah perihal pakaian sebagai penutup aurat, kebersihan dan kerapian. Jika saat seseorang telah berpakaian yang menutupi aurat dan saat itu ia menghalangi diri untuk wawancara dengan seseorang karena ia masih mempertimbangkan pakaian mana dan kemeja mana yang secara khusus sesuai dengan situasi itu, maka ini bukanlah soal agama tetapi soal duniawi.
Nasehat ini sangat penting bagi para mubaligh Ahmadi dan para waqif zindegi khususnya dan juga umumnya bagi seluruh Ahmadi, yaitu segala sesuatu hendaknya dilakukan dengan tidak berlebih-lebihan. Hendaknya mereka tidak memusatkan perhatian secara berlebihan dalam hal lahiriah sehingga sampai-sampai melupakan tujuan hakiki dan masalah penting. Namun, sebagian orang tidak memperhatikan kebersihan. Hendaknya mereka ingat bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman. Harus ada i’tidaal (moderat, keseimbangan) diantara hal yang kurang secara berlebihan dan lebih dalam berlebih-lebihan.
Hadhrat Mushlih Mau'ud meriwayatkan bahwa saat masih kecil, mengikuti keluarga untuk berkunjung ke Delhi, kota tempat tinggal neneknya dari jalur ibu. Beliau yang masih anak-anak ditanya oleh kerabatnya mengenai kehebohan apa yang telah diciptakan ayah beliau ra yang berkata-kata bertentangan dengan al-Qur’an. Meskipun pada saat itu beliau ra masih kecil, namun beliau ra tidak takut serta menjawab, “Masih Mau’ud (ayah beliau) tidak mengatakan sesuatu selain bahwa Hadhrat Isa as telah wafat dan Al-Masih dan al-Mahdi yang dijanjikan yang kedatangannya telah ditentukan adalah berasal dari umat Islam ini.”
Beliau ra juga menjelaskan kepada kerabat beliau tersebut mengenai ayat Al-Quran yang menjelaskan permasalahan kewafatan Yesus as yaitu: يا عيسى إني متوفيك ورافعك إليّ
Kerabat itu mengatakan karena terkejut mendengarnya, “Dari ayat ini jelas bahwa Nabi Isa sudah wafat. Lalu, kenapa para ulama itu menjadi ribut?”
“Kalau soal itu, silakan bertanya sendiri kepada para ulama itu.”
Namun, reaksi nenek sangat aneh ketika ia berkata kepadanya dengan suara keras, “Kamu harus bertaubat. Kamu harus bertaubat. Pikiran anak itu sudah dipengaruhi secara negatif sebagai akibat telah mendengarkan pembicaraan seperti ini. Berteman dengannya membuat banyak kerusakan padamu.”
Hadhrat Mushlih Mau'ud ra meriwayatkan seputar bahasa metode dan pendekatan dalam gaya bertabligh yang dilakukan oleh salah seorang sahabat Hadhrat Masih Mau'ud as yang sangat mukhlis bernama Sher Muhammad Sahib. Beliau merupakan seseorang yang tidak berpendidikan. Beliau sahabat masa awal Hadhrat Masih Mau'ud as. Beliau sangat fana dalam beragama. Beliau biasa menarik dokar (kereta yang ditarik sapi atau kuda dan berisi beberapa penumpang). Mungkin biasa mengemudikannya antara daerah Bahalor dan Bangga. Beliau berlangganan majalah Al-Hakam dan Al-Fadhal (majalah Jemaat). Seraya mengantarkan penumpangnya, beliau akan berbicara dengan mereka. Setelah menanyakan apakah mereka dapat membaca, maka beliau akan memberikan mereka majalah Al-Hakam dan Al-Fadhal serta meminta mereka agar membacakannya untuk beliau. Para penumpang itu akan melakukannya sembari menghabiskan waktu.
Sher Sahib kemudian bertanya kepada si pembaca dengan suatu cara sehingga pembaca tersebut harus berfikir dengan hati-hati dan harus memahami apa yang telah dia baca sebelum memberikan jawaban. Hadhrat Mushlih Mau'ud meriwayatkan bahwa Sher Sahib tidak mempermasalahkan soal jumlah orang yang baiat dengan cara tabligh beliau itu. Beliau membaiatkan sekitar 20 orang untuk masuk ke dalam Ahmadiyah dengan cara seperti ini. Beliau berumur panjang dan tidak diketahui berapa banyak lagi orang yang beliau baiatkan kemudian. Demikianlah semangat beliau untuk menyebarkan pesan ini sehingga meskipun beliau bukanlah seseorang yang terdidik, namun beliau dapat menemukan suatu cara (untuk bertabligh).
Ringkasnya, dalam rangka bertabligh itu, kita tidak harus menjadi orang yang menunggu keharusan adanya para ulama besar (orang-orang yang sangat berilmu) yang nanti merekalah yang akan bertabligh. Bahkan, daerah-daerah yang tidak terdapat orang-orang berpendidikan pun dapat juga dikirim [dalam rangka tabligh] ke sana orang Ahmadi yang tidak terpelajar namun ia memahami berbagai masalah. Saya menujukan nasehat saya ini kepada cabang-cabang Jemaat yang kecil dan terpencil secara khusus sehingga walau bagaimana pun pekerjaan bisa dimulai. Jika kita menunggu-nunggu saja adanya ulama besar dan mendalam ilmunya dalam jemaat, entah sampai berapa lama itu bisa terpenuhi.
Meskipun kita sekarang telah memiliki beberapa tempat Jamiah (juga tempat pelatihan para dai dan Muballigh) di seluruh dunia, namun kita lihat mereka tidak dapat menutupi kebutuhan kita yang muncul dalam waktu dekat di masa mendatang karena para ulama (non Ahmadi) selalu saja memaksakan bertarung (perdebatan, makalah dan sebagainya) dalam perkara-perkara agama secara mendalam. Sementara untuk memperoleh ilmu agama di Jamiah memakan waktu yang cukup lama dalam rangka menghadapi itu. Artinya, manusia membutuhkan jangka waktu yang cukup lama untuk mendalam dalam hal pengetahuan agama. Namun demikian, Hadhrat Rasulullah saw bersabda bahwa Islam merupakan agama yang memberikan kemudahan. Tidaklah menjadi suatu keharusan untuk selalu mengadakan seminar-seminar yang besar dalam rangka menyerukan orang-orang kepada Tuhan. Hendaknya kita membuat rencana yang sesuai dengan kondisi kita.
Hadhrat Mushlih Mau'ud meriwayatkan mengenai Nizamuddin Sahib, sangat bersahabat dengan Hadhrat Masih Mau'ud as. Bersamaan dengan itu, ia juga bersahabat dengan penentang beliau as yaitu Maulwi Muhammad Hussain Batalwi. Nizamuddin Sahib seorang yang sangat ceria dan telah berhaji tujuh kali. Nizamuddin Sahib merasa tidak senang terhadap Maulwi Muhammad Hussain yang menfatwakan kafir terhadap Hadhrat Masih Mau'ud as. Hal ini terjadi setelah Hadhrat Masih Mau'ud as mendakwakan sebagai Al-Masih.
Beliau tinggal di Ludhiana. Tiap kali terjadi pertengkaran orang-orang yang berbicara menentang Hadhrat Masih Mau'ud as, beliau menganjurkan para penentang Hadhrat Masih Mau'ud as agar terlebih dahulu pergi dan melihat kemukhlisan yang ada di dalam diri Hadhrat Masih Mau'ud as. Ia juga menambahkan, “Saya kenal baik dengan beliau (Hadhrat Masih Mau'ud as). Jika dijelaskan mengenai suatu perkara berdasarkan Al-Quran, pasti beliau as akan menerimanya. Beliau tidak pernah menipu. Jika permasalahan dijelaskan menurut al-Qur’an kepada beliau yang menunjukkan beliau itu salah, pasti beliau akan menerima dan mengoreksi dirinya. Jika saya datang kepada Hadhrat Masih Mau'ud as membahas masalah ini serta membuktikan bahwa Hadhrat Isa as masih hidup dengan merujuk kepada Al-Quran, maka beliau as akan bertaubat dari pendakwaannya.”
Ketika Nizamuddin Sahib bertemu dengan Hadhrat Masih Mau'ud as, ia menanyakan apakah beliau as telah meninggalkan Islam dan tidak menerima Al-Quran lagi. Hadhrat Masih Mau'ud berkata padanya, "Bagaimana bisa hal itu terjadi?" Nizamuddin berkata jika ia dapat menyebutkan 100 ayat Al-Quran untuk membuktikan bahwa Hadhrat Isa as masih hidup, maka apakah beliau as akan menerimanya?
Hadhrat Masih Mau'ud as mengatakan padanya untuk hanya memberikannya 1 ayat saja untuk meyakinkan beliau as. Ia berkata, “Mungkin tidak 100 tapi saya dapat memberikan 50 ayat untuk membuktikan Hadhrat Isa as masih hidup.” Hadhrat Masih Mau'ud as sekali lagi mengatakan padanya untuk hanya memberikan 1 ayat saja. Nizamuddin menjadi curiga bahwa mungkin tidak ada begitu banyak ayat di dalam Al-Quran yang membuktikan Hadhrat Isa as masih hidup. Maka ia meminta apakah beliau as akan menerima jika hanya 10 ayat saja yang diberikan? Hadhrat Masih Mau'ud as tertawa dan mengulangi bahwa beliau as hanya meminta 1 ayat saja.
Selama hari-hari tersebut, Hadhrat Maulana Nuruddin ra dan Maulwi Muhammad Hussain sedang bernegosiasi untuk mengadakan perdebatan antara Hadhrat Masih Mau'ud as dengan Maulwi Muhammad Hussain. Sementara Maulwi berpendapat untuk mendasarkan perdebatan pada hadits, Maulana Nuruddin ra berpendapat untuk mendasarkannya pada Al-Quran. Hal ini menjadi begitu berlarut-larut sehingga Maulana Nuruddin ra mulai menyerahkannya pada Maulwi tersebut sehingga paling tidak perdebatan tersebut dapat berlangsung.
Sementara itu Nizamuddin Sahib sampai di tempat tersebut dan memberitahukan bahwa Hadhrat Masih Mau'ud as akan siap bertaubat. Ia juga telah mengambil janji Hadhrat Masih Mau'ud as bahwa jika ia dapat memberikan 10 ayat Al-Quran yang membuktikan Hadhrat Isa as masih hidup maka beliau as akan menerimanya. Maulwi Muhammad Hussain sangat marah mendengar hal ini dan berkata bahwa segala usahanya telah hancur. Sementara di sana ia sedang mencoba untuk mengadakan perdebatan berdasarkan pada hadits namun Nizamuddin malah membawanya kembali pada Al-Quran. Peristiwa ini memberikan petunjuk kepada Nizamuddin dan ia pun menerima Ahmadiyah.
Hadhrat Masih Mau'ud as memiliki keyakinan teguh bahwa selama beliau as berdiri di atas kebenaran, maka Al-Quran akan mendukung apa yang beliau as katakan. Beliau biasa mengatakan bahwa jika pendakwaan yang beliau as buat adalah tidak sesuai dengan Al-Quran, maka beliau siap untuk membuangnya. Hal ini adalah karena beliau as yakin bahwa Al-Quran akan membenarkan apa yang beliau katakan.
Hadhrat Mushlih Mau'ud menjelaskan secara gamblang bahwa penentangan juga menyebabkan datangnya petunjuk bagi seseorang, “Ketika penentangan secara keras datang Jemaat meraih kemajuan. Semakin bertambah penentangan, bertambah pula dukungan dan pertolongan mukjizat Allah Ta’ala. Ketika seorang Ahmadi berkata kepada Hadhrat Masih Mau'ud as bahwa mereka mengalami banyak penentangan di daerah mereka, maka Hadhrat Masih Mau'ud as senantiasa bersabda bahwa ini adalah sebuah tanda kemajuan bagi daerah tersebut, “Melalui penentangan, orang-orang yang tidak mengenal kita akan mencari tahu siapa kita. Dan ketika mereka membaca buku-buku kita, maka kebenaran akan masuk ke dalam hati mereka.” Hadhrat Masih Mau'ud as suatu kali bertanya kepada seseorang yang akan baiat mengenai siapa yang telah menyampaikan kepadanya tabligh Ahmadiyah. Ia menjawab, Maulwi Tsanaullah [ulama penentang keras Jemaat]. Mengejutkan, Hadhrat Masih Mau'ud as bertanya, “Kenapa demikian?” Orang tersebut mengatakan bahwa ia biasa membaca tulisan-tulisan Maulwi Tsanaullah yang sangat menentang Jemaat. Hal ini menuntunnya untuk membaca sendiri buku-buku Jemaat dan hal ini membukakan hatinya dan ia siap untuk baiat.
Pada waktu ini juga demikian, penentangan telah menjadi sebab terbukanya pikiran orang-orang untuk menerima kebenaran. Para dai dan muballigh menyebutkannya dalam ceramah-ceramah mereka seperti telah sampai kepada saya (Hudhur V atba) berbagai majalah dalam beberapa edisi yang memuat bahasan mereka, yaitu bagaimana manusia bisa mengenal Jemaat.
Hadhrat Mushlih Mau'ud meriwayatkan betapa Allah ta’ala menganugerahi ketajaman akal kepada seseorang yang bahkan buta huruf, setelah mereka baiat. Miyan Muhammad Nur, penduduk Ludhiana telah bertekad kuat untuk menyebarluaskan Islam di seluruh dunia. Dia bertabligh/berdakwah kepada para tukang sapu yang mayoritas beragama Kristen. Ratusan tukang sapu menjadi muridnya. Lalu ia baiat menerima Hadhrat Masih Mau'ud as. Sebagian dari ratusan pengikutnya itu juga mengunjungi beliau as di Qadian. Alasan mereka, Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad adalah syaikh (guru) dari guru mereka.
Orang-orang itu dipandang rendah secara sosial. Meskipun mereka tak berpendidikan, namun pada saat mereka ditanya oleh seorang kerabat Hadhrat Masih Mau'ud as yang bukan Ahmadi bahwa mengapa mereka berada bersama Mirza Ghulam Ahmad Sahib, maka mereka menjawab, "Kami tidak tahu banyak hal. Namun kami begitu menyadari bahwa orang-orang biasa menyebut kami sebagai chooray (panggilan yang hina bagi para tukang sapu) akan tetapi sekarang mereka memanggil kami Mirzai (Mirza adalah gelar kebangsawanan dari Persia, pent). Namun demikian, engkau (kerabat Masih Mau'ud yang bertanya tadi, pent) yang dulu biasa dipanggil Mirzai akan tetapi sekarang karena penentangan yang engkau lakukan terhadap Hadhrat Masih Mau'ud as maka engkau telah menjadi chooray".
Jadi, ketika orang-orang menerima Ahmadiyah, akal mereka menjadi semakin tajam. Setiap Ahmadi memiliki persepsi yang lebih tajam dalam hal agama dari pada umat Nasrani ataupun non Ahmadi lainnya di tingkat sosial pendidikan masing-masing.
Hadhrat Mushlih Mau’ud ra menyebutkan mengenai corak keikhlasan yang unik dari para Ahmadi, keinginan besar mereka untuk memenuhi wahyu Hadhrat Masih Mau’ud, juga mengenai orang-orang yang tadinya keras menentang lalu berubah menjadi orang yang mencintai Hadhrat Masih Mau’ud as. Suatu kali saat Hudhur II ra masih kecil, orang-orang dari kota Sialkot dan distrik Gujrat mengunjungi Hadhrat Masih Mau'ud as. Kota Sialkot dan distrik Gujarat keduanya adalah markaz/pusat Ahmadiyah waktu itu. Kota Sialkot menempati posisi sebagai pusat pertama sedangkan Gujarat pusat kedua. Berbeda dengan wilayah Gurdaspur yang penduduknya tidak memandang berharga adanya nabi di wilayah mereka. Saya ingat wajah-wajah para lelaki dari Gujarat. Mereka, bukan karena kesulitan keuangan, menyengaja berjalan kaki menempuh suatu jarak dengan ketulusan hati mereka untuk menjumpai Hadhrat Masih Mau'ud as, seraya menginginkan untuk memenuhi salah satu wahyu beliau as: : يأتيك من كل فج عميق "Orang-orang akan datang kepada engkau dari tempat yang jauh"
Riwayat selanjutnya yang juga diriwayatkan oleh saksi mata, Hadhrat Rosyan Ali ra. Selama hari-hari Jalsah, beberapa orang dari Gujrat datang dari satu arah sementara yang lainnya berjalan dari arah yang berlawanan. Ketika kedua kelompok ini bertemu, mereka pun saling bertangisan. Hadhrat Rosyan Ali ra bertanya kenapa bisa demikian. Mereka menjelaskan bahwa suatu kelompok dari antara mereka merupakan bagian dari orang-orang yang terlebih dahulu telah menerima Hadhrat Masih Mau'ud as. Sedangkan satu kelompok lainnya adalah mereka yang dulunya secara kejam menganiaya sekelompok yang pertama serta sangat menghina mereka sehingga kelompok Ahmadi awal yang teraniaya itu meninggalkan kampung halaman mereka dan tidak terdengar kabar mereka lagi. Setelah selang beberapa waktu, kelompok yang menganiaya ini pun akhirnya memperoleh petunjuk dan menerima Hadhrat Masih Mau'ud as. Dan mereka menjadi terharu karena mereka bertemu ketika sama-sama ingin bertemu dengan Hadhrat Masih Mau'ud as.
Para Maulwi telah memberikan kesan buruk bahwa Hadhrat Isa biasa menciptakan burung-burung serta meniupkan ruh ke dalamnya. Hal ini timbul karena kurangnya pemahaman akan firman-firman Allah Ta'ala yang ada dalam Al-Quran. Makna sebenarnya dari hal ini adalah bahwa Hadhrat Isa as biasa memberikan tarbiyat kepada orang-orang dengan kekuatan ruhani dengan sangat baik sehingga mereka “terbang” ke hadapan Tuhan. Pada satu kesempatan, Hadhrat Masih Mau'ud as bertanya kepada seorang Maulwi yang berpendapat bahwa Hadhrat Isa as telah membuat burung yang berarti bahwa beberapa burung yang ada di dunia ini sekarang adalah diciptakan oleh Hadhrat Isa as sementara beberapa lainnya diciptakan oleh Tuhan. Lalu bagaimana cara membedakan kedua ciptaan ini? Maulwi tersebut menjawab dalam bahasa daerah bahwa sedikit sulit membedakannya karena kedua jenis burung ini telah bercampur.
Hadhrat Mushlih Mau’ud ra menyebutkan bahwa terkadang perlu untuk memberikan jawaban terhadap suatu permasalahan yang telah melampaui batas. Selama berabad-abad umat Nasrani senantiasa menyerang Hadhrat Rasulullah saw dan karena umat Islam tidak dapat menjawabnya, maka umat Nasrani beranggapan bahwa Pendiri Islam ini (na’u’dzubillaah) penuh kecacatan atau aib buruk. Dengan demikian, hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun dan abad ke abad telah berlalu, bahkan hingga 700 atau 800 tahun sementara umat Nasrani terus-menerus menodai nama Rasulullah saw dengan menuliskan cacian dan serangan terhadap beliau saw sedangkan umat Islam tetap saja memaafkan mereka. Pada akhirnya Allah Ta’ala mengizinkan Hadhrat Masih Mau'ud as untuk menunjukan kecakapan beliau as. Dan Hadhrat Masih Mau'ud as menulis berkenaan dengan apa-apa yang orang Yahudi tulis dan kitab-kitab Kristen sebutkan mengenai Yesus dalam pandangan mereka sendiri tersebut. Seluruh umat Nasrani menjadi gempar (heboh) dan mengatakan bahwa itu bukan cara yang baik dan terpuji. Hadhrat Masih Mau'ud as bersabda bahwa beliau as sungguh telah mengatakan sebelumnya bahwa melancarkan kritik terhadap seorang wujud suci bukanlah cara yang baik dan sekarang adalah giliran umat Nasrani yang mengatakan cara-cara kita adalah tidak baik!
Hadhrat Mushlih Mau’ud ra meriwayatkan mengenai seorang tabib (dokter) terkemuka lagi terkenal di wilayah Punjab. Hadhrat Khalifatul Masih Awwal juga memandangnya dengan penuh hormat dan mengakui keilmuannya di bidang pengobatan. Ia bernama Hakeem Allah Din berasal dari kota Bhera. Ia memiliki penghormatan yang luar biasa terhadap Hadhrat Masih Mau'ud as. Kendatipun demikian ia tidak mengakui kebenaran beliau as. Ada kisah yang menarik sehubungan dengan pengumuman dari Hadhrat Masih Mau'ud as mengenai telah wafatnya Nabi Isa as, sementara ia (Hakeem Allah Din) melihat/memandang ada satu rahasia yang tidak diketahui orang-orang di balik pengumuman ini. Ketika Hadhrat Syu’aib as berkata kepada umatnya untuk tidak merampas kekuasaan orang lain dan tidak menghabiskan kekayaan mereka dengan jalan yang salah, mereka berkata bahwa Syu’aib telah menjadi gila (Na’udzubillah). Pada masa ini ketika Hadhrat Masih Mau'ud as mengajukan pendapat kepada umat Islam bahwa Nabi Isa telah wafat, mereka juga mengatakan bahwa (Na’udzubillah) Hadhrat Masih Mau'ud telah menjadi gila. Mereka (umat Islam) berkata, “Selama 1300 tahun, para pembesar umat Islam, mengatakan Nabi Isa as masih hidup di langit. Tidak dapat benar itu bahwa Hadhrat Isa as sungguh telah wafat.”
Bagaimanakah dan sejauh mana kuatnya keyakinan umat Islam bahwa Nabi Isa as masih hidup dan belum wafat, itu bisa dijelaskan secara gamblang dari kisah mengenai tabib tersebut. Suatu kali seorang Ahmadi mukhlis, yang juga sahabat dekat Hadhrat Khalifatul Masih Awwal yang bernama Maulwi Fazl Din Dehlvi bertemu dengan tabib itu dan menablighinya. Hakeem Sahib (tabib tersebut) berkata, “Kenapa Anda mendakwahi saya? Apa yang Anda ketahui dan apa saja yang dapat Anda beritahukan? Anda (Dehlvi Sahib) tidak tahu betapa besar penghormatan yang saya miliki terhadap Tn. Mirza (Ghulam Ahmad). Bahkan, penghormatan Anda terhadap Tn. Mirza tidak sebanding dengan apa yang saya miliki.”
Dehlvi Sahib merasa mungkin Hakeem Sahib merupakan seorang Ahmadi di dalam hatinya sehingga ia menanyakan apa yang ada di pikirannya berkenaan dengan Jemaat Hadhrat Masih Mau'ud as. Hakeem Sahib berkata, “Para pemuda yang jahil (bodoh, belum paham) di masa ini tidak mungkin sampai kepada realitas hakekat yang sebenarnya. Mereka keluar untuk berdakwah dan bertabligh. Seperti contohnya, Anda yang datang pada saya menjelaskan perihal telah wafatnya Nabi Isa padahal Anda belum tahu hikmah dibalik pernyataan Tn. Mirza sehubungan dengan kewafatan Nabi Isa (Yesus).”
Dehlvi Sahib berkata, “Kalau demikian, bolehlah kiranya Anda memberitahukan kepada saya perihal itu?”
Ia kemudian berkata, “Dengarlah ini! Sebabnya ialah Tn. Mirza telah menulis sebuah buku luar biasa yang tiada taranya yakni ‘Barahin Ahmadiyah’. Adakah buku seperti itu di kalangan Islam selama 13 abad ini setelah Rasulullah saw? Buku itu merupakan pembela Islam yang setia serangan-serangan pihak luar Islam. Namun ada para Maulwi itu yang bodoh dan bukannya bersyukur, menghargai dan menghormati beliau, mereka malah memberikan fatwa kafir terhadap beliau. Tn. Mirza sangat marah terhadap sikap mereka ini. Beliau berkata kepada para Maulwi itu, ‘Kalian menganggap dirinya sebagai ulama besar. Kalian membanggakan ilmu kalian. Mari kita datang berjumpa. Kalian beranggapan konsep masih hidupnya Nabi Isa sudah sangat jelas dan tegas terbukti dari Al-Quran yang tidak mungkin untuk disangkal. Namun saya akan membuktikan kewafatan Nabi Isa dari Al-Quran dan jika kalian mempunyai keberanian maka kalian dapat menyangkalnya.’
Oleh karena itu, untuk membuktikan kebodohan para Maulwi itu, beliau memberikan konsep kewafatan Nabi Isa dari Al-Quran. Sekarang semua Maulwi di India boleh saja menyatukan kekuatan dan memberikan upaya terbaik mereka, namun mereka tidak akan dapat melawan Tn. Mirza. Beliau telah memerangkap mereka dengan suatu cara sehingga mereka tidak berani untuk mengangkat kepala mereka.
Kendatipun terbukti jelas dan tegas bahwa Nabi Isa masih hidup sementara pendapat bahwa Nabi Isa sudah wafat tidak benar, namun, hanya ada satu jalan keluar bagi semua perselisihan ini, yaitu semua Maulwi meminta maaf kepada Tn. Mirza berkenaan dengan fatwa kafir yang mereka keluarkan terhadap beliau. Jika mereka melakukan itu, Anda saksikan bagaimana Tn. Mirza akan sungguh membenarkan konsep masih hidupnya Nabi Isa dari Al-Quran!”
Alangkah ganjil dan anehnya penjelasan Tn. Dokter ini. Riwayat ini menunjukan bahwa terlepas dari rasa hormat yang mendalam kepada Hadhrat Masih Mau’ud as, namun konsep masih hidupnya Nabi Isa telah begitu mengakar di dalam dirinya sehingga Hakeem Sahib tidak baiat. Oleh karena itulah, merupakan suatu karunia yang besar dari Allah Ta’ala kepada siapapun yang mendapat taufik untuk baiat.
Hendaknya diingat bahwa konsep kewafatan Nabi Isa (Yesus) tidak hanya merupakan konsep ideologis lahiriah semata. Hal ini adalah sangat penting berhubungan dengan penegakan ketauhidan Ilahi. Dengan membuktikan kewafatan Nabi Isa (Yesus), berarti Hadhrat Masih Mau’ud as telah menghapus hambatan terhadap akidah ketauhidan Ilahi. Suatu ketika ada seseorang yang mengatakan kepada Hadhrat Masih Mau’ud as agar mengurangi propaganda konsep kewafatan Nabi Isa (Yesus). Hadhrat Masih Mau’ud as menjawab dengan berwibawa dan berkata bahwa konsep ini telah menyebabkan kerugian besar terhadap Islam dan perlu untuk ditumpas.
Sebagian orang bertanya, “Apa perlu dan pentingnya masalah kewafatan Nabi Isa (Yesus) ini?” Pada hakekatnya, akidah ini meletakkan hambatan diatas jalan Ahadiyyat (Keesaan) Allah Ta’ala di dunia. Oleh karena itulah, Hadhrat Masih Mau’ud as sangat keras menentangnya. Gejolak ini atas tarikan karuni Allah sehingga beliau meninggikan dasar kebenaran. Setiap dari kita yang menyintai Islam dapat mengetahui secara sekilas betapa terdapat gejolak api meradang (semangat membela Islam) dalam hati beliau as dalam hal ini. Bila di dalam hati seseorang terdapat kecintaan terhadap Allah dan ketidaknyamanan hati karena ingin menyebarkan Islam, niscaya dia akan tahu betapa terdapat gejolak api meradang (semangat membela Islam) dalam hati beliau as dalam hal ini. Oleh karena itu, kita harus memusatkan upaya kita dalam hal ini. Namun, jika kita tidak memahami hal ini, maka setiap perbuatan yang kita lakukan dapat mengarah kepada syirik walau pun secara lahiriahnya terlihat sebagai manifestasi dari Tauhid.
Bagaimana mungkin suatu perbuatan bisa bersifat tauhid dan syirik dalam waktu yang bersamaan? Hadhrat Mushlih Mau’ud ra menjelaskan, “Pada masa Hadhrat Masih Mau’ud as ada seseorang yang pernah di sini (Qadian) untuk belajar. Dia selalu mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw mengetahui yang gaib. Dia biasa memakai topi gaya Turki. Dia dipanggil dan ditanya, ‘Apakah Anda menyangka Nabi Muhammad saw tahu Anda selalu memakai topi gaya itu?’ Tanpa ragu dengan yakin ia menjawab, ‘Iya.’”
Hadhrat Mushlih Mau’ud ra bersabda bahwa orang-orang jauh mendalami وحدانیت - Wahdaniyat berkaitan dengan keyakinan terhadap Allah Ta’ala. namun mereka tidak mencapai احدیت - Ahadiyyat. Setelah memahami Ahadiyyat, maka seseorang menyadari bahwa tidak diragukan lagi bagi manusia dapat memiliki kemampuan untuk sebagai خالق khaaliq- menciptakan dan رازق raaziq-menyediakan rejeki (dua diantara banyak sifat Allah) akan tetapi, adalah hal yang berbeda jauh antara khalq (kemampuan menciptakan) manusia dengan khalq Allah Ta’ala. Begitu juga dalam hal raaziq (memberi rejeki), manusia dan Allah tentu tidak sama.
Saya hendak menguraikan kalimat saya perihal الواحد al-Waahid (Tunggal) dan الأحد al-Ahad dari segi bahasa supaya dapat dipahami dengan mudah. Sungguh Allah Ta’ala itu Waahid dan juga Ahad (Esa), Wahdaniyyat berarti bahwa Dia itu Waahid dalam sifat-sifat-Nya. Dalam batas tertentu kemanusiaan, Sifat-sifat Ilahi ini dapat timbul di dalam diri manusia. Memang, teladan terbaik dalam hal ini adalah Hadhrat Rasulullah saw. Namun, tidak ada satu pun yang sempurna sifat-sifatnya kecuali Allah saja. Sedangkan Ahadiyyat Allah Ta’ala berarti Keesaan Wujud Allah Ta’ala dan tidak ada sesuatu apapun yang dapat dibandingkan dengan-Nya.
Hadhrat Mushlih Mau’ud ra bersabda bahwa ketauhidan Ilahi yang sejati didirikan ketika konsep Ahadiyyat dipahami secara benar. Semoga Allah Ta’ala memungkinkan kita untuk memenuhi tujuan Hadhrat Masih Mau’ud as dan menegakkan Ketauhidan Ilahi.
No comments:
Post a Comment