Menu

Tuesday, 28 July 2015

Surat Permohonan Jemaat Ahmadiyah Priangan Timur Kepada Menteri Dalam Negeri

JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA
Badan Hukum Keputusan Menteri Kehakiman R.I. No. JA.5/23/13 Tgl.13-3-1953
PENGURUS DAERAH PRIANGAN TIMUR
Jl. Nagarawangi No.61/63, Tasikmalaya - 46124 Jawa Barat
Email: amirda.priatim@gmail.com, c/p(+62) 853-1746-8741 a/n Drs. Iyon Sopyan
 
Nomor    : 014/Amrda-Priatim/27/07/2015
Perihal : Permohonan Pencabutan Pergub/Perwal/SK-Wal Yang Membatasi dan Melarang Warga Jemaat Ahmadiyah Beribadah di Wilayah Jawa Barat
 Tembusan    : 
1. Yth. Presiden RI (sebagai laporan)
2. Yth. Komnas HAM RI (sebagai laporan)
3. Yth. Amir Nasional Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Jakarta
4. Yth. Gubernur Jawa Barat di Bandung
5. Yth. Bupati Tasikmalaya di Singaparna-Tasikmalaya
6. Yth. Walikota Tasikmalaya di Tasikmalaya
7. Yth. Walikota Banjar di Banjar
8. Yth. Direktur LBH Bandung di Bandung
9. Arsip
Assalamu ‘alaikum warahmatullaahi  wabarakatuhu!
Salam silaturrahim kami sampaikan dan IED MUBARAK 1436H kami haturkan, semoga Allah senantiasa memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada Bapak dan sukses memimpin Kementerian Dalam Negeri RI dalam Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Amien!

    Kami telah mendengar dan membaca pernyataan Bapak dalam pertemuan dengan para ulama dan tokoh agama yang tergabung dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) se-Indonesia di Pondok Pesantren Buntet, Desa Buntet, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon, dan juga disampaikan kepada Media, Jumat (24/7/2015). Kami setuju dan mendukung pernyataan dan rencana kebijakan Bapak: “Pemerintah daerah wajib memfasilitasi kebebasan beribadah bagi setiap warganya. Gubernur, bupati, wali kota, harus memberikan pelayanan dalam kebebasan beribadah itu, kalau ada yang menyimpang dari tugas sebagai pejabat akan dipecat.” (FOKUSJabar.com, Sabtu, 25/7/2015, Sindonews.com, Sabtu, 25/7/2015, dll).

    Kami berkeyakinan, Bapak Mendagri sepakat dengan kami, Republik ini tidak dirancang untuk melindungi minoritas. Tidak juga untuk melindungi mayoritas. Republik ini dirancang untuk melindungi setiap warga negara, melindungi setiap anak Bangsa. Tak penting jumlahnya, tak penting siapanya. Setiap orang warga negara Bangsa Indonesia wajib dilindungi, wajib diberikan kebebasan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaanya.
   
Sehubungan dengan pernyataan Bapak tersebut, dan sesuai dengan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia tersebut, izinkan kami menyampaikan permohonan, dan sudilah kiranya Bapak mengabulkan permohonan kami, sbb:
1. Mohon Pergub Jabar Nomor 12 Tahun 2011, Tentang: Larangan kegiatan Jemaat Ahmadiyah di Jawa Barat, DICABUT. Sebagai turunan SKB Tiga Menteri Tahun 2008 Tentang: Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), dan Warga Masyarakat, Pergub tidak sesuai/bertentangan dengan SKB, dan tidak sesuai/bertentangan dengan konstitusi UUD 1945, khususnya Pasal 29 ayat (1) dan (2), Pasal 28E ayat (1) (2) dan (3), dan Pasal 28I ayat (1) dan (2). Selain itu, sejak Pergub Jabar diterbitkan (2011), aksi-aksi intoleransi terhadap Jemaat Ahmadiyah di Jawa Barat tidak pernah berhenti, bahkan semakin menjadi-jadi. Pada Mei 2013, ratusan massa intoleran berjubah pada sekitar pukul 02:00 dinihari, menyerang dan merusak rumah-rumah warga Jemaat Ahmadiyah di Desa Tenjowaringin, Kec. Salawu, Kab. Tasikmalaya, bahkan merembet hingga ke Babakan Sindang, Singaparna, Kab. Tasikmalaya. Pergub Jabar hanya dijadikan alat legitimasi oleh kelompok-kelmopok intoleran melakukan aksi intoleransi terhadap warga dan aset Jemaat Ahmadiyah di Jawa Barat Barat. (Terlampir, salinan Pergub Jabar Nomor 12 Tahun 2011, Tentang: Larangan kegiatan Jemaat Ahmadiyah di Jawa Barat)
 
2. Mohon Peraturan Walikota Banjar Nomor 10 Tahun 2011, Tentang: Penanganan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kota Banjar, dan SK Walikota Banjar Nomor 450/Kpts.115-Huk/2011, Tentang: Pembekuan Aktifitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kota Banjar, DICABUT. Sebagai turunan Pergub Jabar 2011, dan SKB Tiga Menteri 2008, Peraturan Walikota Banjar Nomor 10 Tahun 2011, dan SK Walikota Banjar Nomor 450/Kpts.115-Huk/2011, tidak sesuai/bertentangan dengan Pergub Jabar 2011, dengan SKB Tiga Menteri 2008, dan tidak sesuai/bertentangan dengan konstitusi UUD 1945, khususnya Pasal 29 ayat (1) dan (2), Pasal 28E ayat (1) (2) (3), dan Pasal 28I ayat (1) dan (2). Sudah 4 tahun Jemaat Ahmadiyah Indonesia Kota Banjar tidak dapat beribadah didalam Masjid, karena Masjid-nya disegel/ditutup dengan balok-balok kayu, dan dinyatakan status quo oleh Pemerintah Kota Banjar. (Terlampir, salinan Peraturan Walikota Banjar Nomor 10 Tahun 2011, dan SK Walikota Banjar Nomor 450/Kpts.115-Huk/2011)

3. Mohon Bapak Menteri Dalam Negeri RI, memperingatkan dan memberi teguran kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Tasikmalaya karena pada tanggal 31 Maret 2015, dengan alasan demi keamanan, telah menutup Masjid Jemaat Ahmadiyah Kersamaju di Dusun Gadel, Desa Kersamaju, Kec. Cigalontang, Kab. Tasikmlaya, yang sedang dalam proses renovasi. Penutupan yang sama, bahkan lebih rapat lagi, dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Tasikmalaya, pada 29 Juni 2015, setelah pihak Jemaat Ahmadiyah mencoba membukanya dan menggunakannya untuk kegiatan shalat tarawih di bulan Ramadhan. Mohon Bapak Menteri Dalam Negeri RI, menginstruksikan agar Pemda Kabupaten Tasikmalaya segera membuka Masjid Jemaat Ahmadiyah Kersamaju, dan segera memfasilitasi warga Jemaat Ahmadiyah Kersamaju untuk dapat beribadah, demi Bhineka Tunggal Ika, Pancasila, UUD 1945, dan NKRI.

4. Mohon Bapak Menteri Dalam Negeri RI, mendorong Pemerintah Kabupaten Tasikmlaya, memfasilitasi warga Jemaat Ahmadiyah Sukaratu di Dusun Tolenjeng, Desa Sukagalih, Kec. Sukaratu, Kab. Tasikmalaya, dapat memperbaiki dan beribadah menggunakan Masjid kembali, yang dirusak massa pada tahun 2005, dan memfasilitasi warga Jemaat Ahmadiyah Sukapura, Kec. Sukaraja, Kab. Tasikmalaya, dapat memperbaiki dan menggunakan kembali Masjid yang disegel dan dirusak massa pada tahun 2007. Sudah 10 tahun Jemaat Ahmadiyah Sukaratu, dan sudah 8 tahun Jemaat Ahmadiyah Sukapura, beribadah tanpa Masjid. 

5. Mohon Bapak Menteri Dalam Negeri RI, mendorong Pemerintah Kota Tasikmlaya, memfasilitasi warga Jemaat Ahmadiyah Buninagara di Kel. Nagarasari, Kec. Cipedes, Kota Tasikmalaya, untuk dapat beribadah menggunakan kembali Masjid yang dilarang digunakan oleh massa intoleran berjubah dan aparat pemerintah setempat pada tahun 2011, dan memfasilitasi warga Jemaat Ahmadiyah Saripin, Kel. Sukanagara, Kec. Purbaratu, Kota Tasikmalaya, untuk dapat memperbaiki dan menggunakan kemabli Masjid yang di stop pembangunannya oleh massa intoleran berjubah bersama aparat pemerintah setempat pada tahun 2012. Sudah 4 tahun Masjid Jemaat Ahmadiyah Buninagara tidak digunakan, dan sudah 3 tahun Masjid Jemaat Ahmadiyah Saripin, menjadi puing karena tidak boleh dilanjutkan perbaikannya. 
 
Pergub Jabar 2011, Perwal dan SK-Wal Banjar 2011, pembatasan, penutupan, dan pelarangan penggunaan dan renovasi Masjid Jemaat Ahmadiyah di Wilayah Jawa Barat, khususnya di daerah Priangan Timur, semua latarnya lebih disebabkan memenuhi tekanan kelompok intoleran berjubah, dan dengan alasan demi keamanan. 

Kami setuju dengan pernyataan Bapak Mendagri: “Pemerintah daerah wajib memfasilitasi kebebasan beribadah bagi setiap warganya. Gubernur, bupati, wali kota, harus memberikan pelayanan dalam kebebasan beribadah. Dalam pandangan kami, saat ini, yang harus dilakukan Pemerintah sebagai pemegang amanat Pancasila dan UUD 1945, bukan memenuhi tekanan kelompok intoleran, dan dengan alasan demi keamanan, menutup tempat ibadah. Yang harus dilakukuan Pemerintah adalah yang seperti Bapak Mendagri nyatakan: memfasilitasi kebebasan beribadah bagi setiap warganya dan memberikan pelayanan dalam kebebasan beribadah itu. Negara tidak boleh kalah oleh tekanan kelompok intoleran berjubah yang selama ini kerjanya hanya mengganggu ketertiban dan keamanan, dan merusak tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sungguh sangat ironi, di negara yang menjunjung tinggi falsafah Bhineka Tunggal Ika, di negara berasaskan Pancasila dan menjamin kebebasan beragama, ada masyarakatnya yang tidak dapat beribadah dan dilarang menggunakan Masjid.

Demikian surat ini kami sampaikan. Kami sangat mengharapkan tanggapan dan jawaban Bapak Mendagri RI. Atas perhatian Bapak, kami haturkan terimkasih dan jazakumullah ahsanal jaza.

Tasikmalaya, 27 Juli 2015

Wassalam, dan hormat:
 
PENGURUS DAERAH JEMAAT AHMADIYAH PRIANGAN TIMUR

Tertanda,
Drs. Iyon Sopyan (Amir Daerah)
H.M. Syaeful Uyun (Mubaligh Wilayah)

Friday, 24 July 2015

Khutbah Jumat: PENTINGNYA SHALAT JUMAT

Ringkasan Khutbah Jumat
Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad
Khalifatul Masih al-Khaamis ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz
17 Juli 2015 di Baitul Futuh, London, UK.

أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.

بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضَّالِّينَ. (آمين)

Hai, orang-orang yang beriman ! Apabila dipanggil untuk Shalat pada hari Jumat. maka bersegeralah untuk mengingat Allah dan tinggalkanlah jual-beli. Hal demikian adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. Dan, apabila telah diselesaikan Shalat, maka bertebaranlah kamu di bumi dan carilah karunia Allah, dan ingatlah kepada Allah banyak-banyak, supaya kamu mendapat kebahagiaan. [Al-Jumua’ah, 62:10-11]

mirza-masroor-ahmad
Bulan Ramadhan segera berakhir. Di beberapa tempat, hari ini adalah hari terakhir berpuasa sementara di tempat lainnya, besok baru merupakan hari terakhir berpuasa. Dan dengan demikian bilangan hari berpuasa akan terpenuhi. Banyak di antara kita telah meraih karunia dalam bulan Ramadhan dan telah merasakan pengalaman kerohanian yang baru. Sekarang, doa dan usaha hendaklah dilakukan untuk menjadikan pengalaman kerohanian ini bagian dari kehidupan kita dan segala langkah yang diambil menuju Allah Ta’ala selama bulan Ramadhan hendaklah tidak cukup berhenti di situ saja melainkan senantiasa terus maju dan berkembang. Semoga setiap langkah kita dapat menarik keberkatan-Nya yang tak terbatas.

Sekarang adalah hari Jumat, suatu hari dimana kebanyakan kita secara dawam menunaikan Shalat Jumat namun ada juga banyak orang yang hanya mementingkan Shalat Jumat terakhir dalam bulan Ramadhan. Jemaat kita sedang berkembang di seluruh dunia dan orang-orang dari berbagai lapisan masyarakat sedang masuk ke dalam Jemaat serta amalan mereka sebelumnya meninggalkan sebuah kesan. Akan ada beberapa orang yang akan memberikan perhatian khusus kepada Jumat terakhir di bulan Ramadhan serta menganggap bahwa menghadiri Shalat Jumat pada hari Jumat terakhir di bulan Ramadhan ini yang disebut Jumatul Wida (Jumat Perpisahan/terakhir, konsep non Ahmadi), akan menjadi sarana memperoleh keselamatan dari segala dosa sepanjang tahun dan mungkin dengan melaksanakan Shalat Jumat pada kesempatan ini akan memenuhi segala kewajibannya sepanjang tahun.

Meskipun hanya ada segelintir orang yang beranggapan demikian, saya (Hadhrat khalifatul masih V) tetap mengingatkan mereka bahwa menghadiri Shalat Jumat pada kesempatan seperti ini tidaklah berarti telah memenuhi tujuan hidup kita.  Hal ini jelas terlihat dari sabda Hadhrat Rasulullah saw bahwa hanya menghadiri Shalat Jumat terakhir dalam bulan Ramadhan bukanlah sumber keselamatan kita. Para generasi muda kita dan mereka yang lalai menghadiri Shalat Jumat hendaknya senantiasa mengingat bahwa mungkin ada suatu konsep Jumatul Wida di kalangan non-Ahmadi namun sesuai dengan ajaran-Nya dan Hadhrat Rasulullah saw, para Ahmadi hendaknya tidak memegang konsep seperti ini. Memang, jika seseorang menghadiri Shalat Jumat pada kesempatan ini dengan perhatian khusus dan fokus untuk membersihkan dirinya dari segala kelemahan sejak hari ini, maka barulah hari ini dan Jumat ini menjadi sangat berarti. Kesempatan untuk menciptakan perubahan suci ini akan menjadi Lailatul Qadr baginya; dimana ia akan masuk ke dalam cahaya setelah kegelapan malam. Sebagaimana yang dijelaskan pada Khutbah Jumat yang lalu, Hadhrat Masih Mau’ud as menguraikan bahwa Lailatul Qadr juga merupakan saat pensucian bagi seseorang ketika ia berpaling kepada Allah Ta’ala.

Ayat yang disebutkan di atas menjelaskan bahwa Allah Ta’ala telah menekankan untuk menghadiri Shalat Jumat dengan ketakwaan dan mengesampingkan hal-hal lainnya. Tidak ada disebutkan secara khusus tentang Shalat Jumat di bulan Ramadhan atau bahkan tentang Shalat Jumat terakhir di bulan Ramadhan. Bahkan, pentingnya Shalat Jumat disebutkan tanpa pengecualian dan dikatakan untuk meninggalkan segala bisnis pada hari tersebut dan menghadiri Shalat Jumat seraya menekankan bahwa menghadiri Shalat Jumat merupakan suatu aspek penting dalam keimanan. Mereka yang tidak menghadiri Shalat Jumat tanpa adanya suatu alasan yang dapat diterima hendaknya memikirkan keimanan mereka. Mereka yang terlambat untuk melaksanakan Shalat Jumat pun hendaknya memikirkan hal ini. Mereka hendaknya menyelesaikan pekerjaan mereka di waktu yang tepat sehingga dapat menghadiri Shalat Jumat.

Setiap orang mengetahui waktu-waktu shalat. Di negara-negara eropa, orang-orang hendaknya menyisihkan waktu untuk perjalanan dan sadar akan kemacetan dan waktu yang dibutuhkan untuk parkir mobil. Hadhrat Rasulullah saw bersabda bahwa mereka yang pertama menghadiri Shalat Jumat layak memperoleh banyak pahala. Beliau saw bersabda bahwa pada hari Jumat, para malaikat berdiri di setiap pintu mesjid dan menulis nama-nama mereka yang datang pertama kali ke mesjid di bagian teratas penghisaban serta mempersiapkan suatu daftar mereka yang datang ke mesjid hingga saat imam selesai menyampaikan khutbahnya. Ini juga merupakan saat ketika para malaikat menutup daftarnya. Setiap orang yang datang ke mesjid untuk mengingat Allah dapat meraih pahala. Hadhrat Rasulullah saw secara khusus memberikan peringatan terhadap yang tidak memberikan perhatian untuk melaksanakan Shalat Jumat. Beliau saw juga bersabda bahwa barangsiapa yang secara sengaja meninggalkan Shalat Jumat 3 kali, maka Allah Ta’ala telah mengunci mata hatinya.

Dengan demikian, tidaklah Allah Ta’ala di dalam Al-Quran dan tidak pula Hadhrat Rasulullah saw memberikan penekanan pada Shalat Jumat terakhir pada bulan Ramadhan. Bahkan, semua Shalat Jumat merupakan hal yang penting diperhatikan. Hadhrat Rasulullah saw bersabda bahwa Allah Ta’ala telah menjadikan Jumat sebagai Ied bagi kalian. Hendaknya kalian membersihkan diri serta mempersiapkan diri pada hari tersebut. Hal ini menuntut agar kita meninggalkan segala sesuatunya pada hari tersebut dan berangkat ke mesjid. Hadis-hadis juga menunjukan bahwa Shalat Jumat merupakan kewajiban setiap orang mukmin untuk meningkatkan standar keimanan mereka. Begitu pula disebutkan berkenaan dengan segala aspek negatif dari seseorang yang lalai terhadap hal ini. Mereka perlu memberikan perhatian khusus terhadap hal ini dan hendaknya mereka senantiasa mengintrospeksi diri berkenaan dengan hal ini.

Islam bukanlah agama yang hanya menunjukan kekerasan; tidak hanya tentang peringatan. Pada dasarnya, jika ada suatu alasan khusus maka barulah seseorang boleh meninggalkan Shalat Jumat. Akan tetapi, meninggalkannya tanpa suatu alasan tidak diizinkan. Hadhrat Rasulullah saw bersabda bahwa Shalat Jumat merupakan kewajiban setiap muslim dengan pengecualian bagi para budak, wanita, anak-anak dan orang sakit. Jika para wanita pergi ke mesjid untuk menghadiri Shalat Jumat, maka itu merupakan suatu perbuatan yang baik namun bukanlah menjadi suatu kewajiban bagi mereka. Beberapa wanita datang dengan anak-anak mereka yang masih kecil yang dapat membuat kegaduhan. Para ibu yang masih muda hendaknya tidak datang ke mesjid dengan anak-anak mereka yang masih kecil karena mereka dapat mengganggu orang lain yang sedang melaksanakan Shalat Jumat. Dan beberapa wanita yang sedang berhalangan hendaknya tidak menghadiri Shalat Jumat. Memang, hanya menghadiri Shalat Ied yang menjadi kewajiban bagi mereka bahkan bagi yang tidak sedang melakukan Shalat pada hari tersebut.

Begitu pula para budak harus tunduk kepada majikannya. Pada dasarnya, tidak ada seorang pun yang diperbudak pada hari-hari tersebut. Para pekerja tidak termasuk ke dalam klasifikasi demikian terlepas dari beberapa kasus tertentu dimana para majikan tidak mengizinkan mereka untuk pergi dan tidak ada lagi sarana untuk mendapatkan rezeki serta mengakibatkan bahaya kelaparan. Ini merupakan kondisi yang kritis. Bagaimanapun juga, kondisi tersebut tidaklah umum terjadi jika para majikan diberikan pemahaman agar mereka dapat memberikan izin pada setiap hari Jumat. Banyak Ahmadi telah meninggalkan pekerjaanya dimana mereka tidak memperoleh izin pada hari Jumat dan bahkan telah memperoleh pekerjaan yang lebih baik dengan karunia Allah Ta’ala.

Hadhrat Rasulullah saw telah membawa hukum agama terakhir yang paripurna dan lengkap. Beliau saw ingin melihat setiap pengikutnya dengan standar kerohanian yang sangat tinggi. Beliau saw menekankan bagaimana untuk menghindari dosa, bagaimana untuk meraih kedekatan dengan Allah Ta’ala dan bagaimana untuk memenuhi tujuan hidup kita. Hadhrat Rasulullah saw bersabda bahwa suatu Shalat hingga Shalat berikutnya, suatu Jumat hingga Jumat berikutnya dan suatu Ramadhan hingga Ramadhan berikutnya menjadi sarana penebusan dosa bagi seseorang selama ia senantiasa menghindari dosa-dosa besar. Seseorang yang melaksanakan Shalat dan yang senantiasa memperhatikan Shalat berikutnya yang ia harus terus laksanakan tidak akan terlibat dalam hal yang penuh dosa dan tak wajar atau sesuatu yang akan merugikan orang lain. Dan jika ia melakukannya, berarti Shalatnya bukanlah Shalat yang sejati dan ia sedang melakukan dosa besar. Ia tidak mendirikan Shalat bagi Allah Ta’ala serta tidak melakukannya dengan mengingat dosa-dosanya. Shalat orang-orang seperti ini mengakibatkan kehancurannya serta akan menimpa kembali kepada mereka sebagaimana yang Al-Quran jelaskan.

Sebagaimana perhatian kita ditarik kepada kewajiban untuk melaksanakan Shalat lima waktu, demikian pula perhatian kita juga ditarik kepada Shalat Jumat. Ketakwaan yang diraih dengan menghadiri Shalat Jumat hendaknya dijaga hingga Shalat Jumat berikutnya. Dalam situasi seperti itu, suatu Jumat hingga Jumat berikutnya akan melepaskan seseorang dari dosa dan menjadi sumber memperoleh ampunan-Nya. Dengan demikian, pentingnya setiap Shalat Jumat pun disampaikan sebagaimana pentingnya Ramadhan juga dinyatakan. Sungguh penting untuk memenuhi kewajiban Shalat dan begitu pula penting untuk memenuhi kewajiban Shalat Jumat dan kewajiban Ramadhan. Meraih karunia dengan melaksanakan semua hal ini dengan kondisi tertentu senantiasa menyelamatkan seseorang dari dosa dan meningkatkan ketakwaan. Dengan demikian, Allah Ta’ala memberikan kita bimbingan hidup setiap hari, setiap bulan dan setiap tahun bagi reformasi kerohanian kita. Seseorang yang melampaui derajat ini akan dianugerahi ampunan-Nya.

Allah Ta’ala telah menempatkan Ramadhan sebagai sarana untuk menciptakan perbaikan kerohanian di setiap tahun dan tidak hanya terbatas pada Jumatul Wida saja. Karena untuk mencari karunia hari Jumat, Hadhrat Rasulullah saw bersabda bahwa setiap Jumat merupakan karunia dan sarana untuk memperoleh ampunan. Setiap Jumat hendaknya menjadi saksi di hadapan Allah Ta’ala bahwa seseorang melewati hari-hari dengan rasa takut pada Allah Ta’ala dan tidak melakukan hal-hal yang tidak diridhai Allah Ta’ala secara sengaja. Barulah setiap Jumat akan menjadi saksi bahwa orang ini senantiasa berusaha melewati hidupnya dengan rasa takut pada-Nya. Begitu pula, jika Shalat 5 waktu dilaksanakan untuk mencari keridhaan-Nya, mereka akan menjadi saksi untuk mendukung kita dan hal tersebut sama dengan berpuasa selama bulan Ramadhan. Inilah yang dimaksud dengan penebusan dosa bahwa segala ibadah memberikan saksi untuk mendukung kita dan menjadi sarana untuk memperoleh ampunan-Nya.

Seraya menyebutkan keindahan dan keutamaan hari Jumat, Hadhrat Rasulullah saw bersabda bahwa hari Jumat merupakan hari terbaik di antara hari-hari lainnya. Sampaikanlah shalawat sedalam-dalamnya pada hari ini; shalawat yang disampaikan pada hari ini akan dipersembahkan kepadaku. Tentu ini pun keberkatan hari Jumat lainnya. Tidak ada disebutkan dimana pun bahwa shalawat yang disampaikan pada hari Jumat terakhir di bulan Ramadhan ini akan dipersembahkan kepadaku. Beruntunglah mereka yang meraih manfaat dari karunia ini.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَءَالِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى ءَالِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَّجِيْدٌ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى ءَالِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمِ عَلَى ءَالِ إِبْرَاهِيْمِ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

Wahai Allah ! pada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad saw kirimlah salam sejahtera, sebagaimana Engkau telah mengirim kesejahteraan pada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Engkau maha terpuji dan Maha mulia. Wahai Allah ! berkatilah pada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad  sebagaimana Engkau telah memberkati pada Ibrahim dan kepada keluarga  Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha terpuji maha mulia.

Setiap orang hendaknya berusaha mencari keberkatan hari Jumat ini. Allah Ta’ala menyatakan bahwa penuhilah kewajiban pada hari Jumat seraya memperhatikan keutamaannya dan mengesampingkan segala perjanjian dan urusan bisnis lainnya. Hal ini akan memberikan kalian faedah kerohanian. Kemudian untuk meraih faedah duniawi, maka kembalilah kepada perjanjian dan urusan bisnis kalian setelah Shalat dan carilah keberkatan-Nya. Sungguh, Allah Ta’ala akan memberkati bisnis kalian. Hal ini menjelaskan kepada kita bahwa sungguh Allah Ta’ala lah yang senantiasa memberkati segala hal. Jika sedikit pengorbanan waktu diberikan karena Allah Ta’ala pada hari Jumat, Dia akan memberkati bisnis kalian. Dia memiliki segala kekuatan dan memperbaiki segalanya. Dia akan memperbaiki kerugian serta akan memberkatinya. Dengan demikian bagi seorang mukmin sejati yang memperoleh rezeki juga merupakan keberkatan dari Allah Ta’ala. Bekerjalah dengan keras untuk urusan bisnis kalian setelah Shalat Jumat dan begitu pula ketika mengingat Allah Ta’ala dan melakukan urusan duniawi kalian sesuai dengan kehendak ilahi. Hendaknya tidak ada satu hal pun yang kalian lakukan yang bertentangan dengan kehendak ilahi karena hal itu akan mengesampingkan dzikir ilahi. Sebagaimana yang disebutkan pada Khutbah Jumat yang lalu, hendaknya kita sadar bahwa apapun yang kita lakukan, Allah Ta’ala senantiasa melihat kita. Hal ini akan memenuhi kewajiban untuk mengingat-Nya serta kewajiban terhadap tanggung jawab kita.

Perhatian khusus perlu diberikan bahwa kita meninggalkan ibadah Ramadhan baik hari ini maupun besok bukan berarti kita meninggalkan ibadah Shalat Jumat. Jumat selanjutnya akan menjadi penting seperti Jumat pada hari ini. Sementara itu, hendaknya kita berusaha untuk menghilangkan kelemahan kita. Dengan demikian, kita akan mengucapkan selamat tinggal terhadap kelemahan kita namun bukan mengucapkan selamat tinggal terhadap hari Jumat! Kita hendaknya tidak berfikir untuk mengucapkan selamat tinggal terhadap hari Jumat dan tidak pula terhadap Ramadhan. Pikiran seperti itu akan membawa kita jauh dari tujuan penciptaan kita. Dan seseorang yang jauh dari tujuan penciptaannya berarti jauh dari ketakwaan dan seseorang yang jauh dari ketakwaan tidak dapat meraih keberkatan Allah Ta’ala. Seolah-olah kita sendiri membuang-buang sesuatu yang telah kita coba raih selama bulan Ramadhan dan akan kosong dari kesuksesan dan kemakmuran yang telah Allah Ta’ala janjikan dengan datangnya Ramadhan.

Allah Ta’ala telah berfirman bahwa akibat dari berpuasa di bulan Ramadhan adalah tumbuhnya ketakwaan. Pada hari ini, kita perlu merenungkan apakah kita telah meraih hal ini atau belum atau paling tidak apakah kita telah mengambil langkah ke arah itu. Apakah kita telah berjanji untuk tetap kokoh terhadap apapun yang kita raih selama Ramadhan dan apakah kita akan berupaya semakin jauh untuk meningkatkannya.

Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda bahwa bacalah Al-Quran lagi dan lagi dan buatlah daftar mengenai apa-apa yang dilarangnya. kemudian berusahalah dengan pertolongan ilahi dan karunia-Nya untuk menghindari segala penyakit rohani. Ini merupakan tahapan pertama ketakwaan. Hanya ini saja tidaklah cukup untuk meraih keridhaan ilahi. Memang, keburukan hendaknya dihindari dan digantikan dengan amalan baik; tidak akan ada ketulusan tanpa hal ini. Seseorang yang bangga bahwa ia tidak melakukan suatu keburukan apapun merupakan seorang yang bodoh. Islam tidak membawa manusia ke tahapan ini dan kemudian berhenti; pada dasarnya, ketakwaan tersebut menginginkan manusia untuk memenuhi keduanya, yakni, secara sempurna meninggalkan keburukan dan mengamalkan kebaikan dengan ketulusan yang sempurna. Keselamatan tidak dapat diraih tanpa kedua aspek ini.

Ramadhan ini, Jumat ini dan ibadah kita hendaknya membuat kita sadar bahwa sementara kita telah meninggalkan keburukan sebagai tahapan pertama ketakwaan, kita juga harus naik ke tahapan ketakwaan selanjutnya dan memenuhi segala amalan baik dengan ketulusan yang sempurna. Hendaknya kita tidak merasa bangga bahwa kita telah dawam dalam Shalat namun setelah Shalat, kita mulai mengkritik orang lain atau membicarakan masalah-masalah yang tidak ada kaitannya dengan ketakwaan. Jika begitu, kita bahkan tidak akan sampai ke tahapan pertama ketakwaan!

Hadhrat Rasulullah saw bersabda bahwa ada suatu masa dalam hari Jumat dimana doa akan diterima. Kita hendaknya secara khusus berdoa agar kita meninggalkan Ramadhan ini dengan secara utuh melepaskan segala keburukan dan melakukan amal shaleh dengan ketulusan dan sepenuhnya berjalan di atas ketakwaan. Semoga kita dapat memenuhi tujuan kedatangan Hadhrat Masih Mau’ud as dan membawa ajaran Islam yang indah ke seluruh pelosok dunia serta menyampaikan kepada mereka bahwa Islam merupakan satu-satunya agama yang menghubungan manusia dengan Tuhan Yang maha Hidup dan inilah agama yang menarik perhatian kita terhadap cara yang terbaik bagaimana saling memenuhi hak-hak orang lain.

Semoga Allah Ta’ala memungkinkan kita untuk melakukan hal ini! Semoga Allah Ta’ala menghilangkan beban para Ahmadi yang dilanda kesulitan dan semoga Dia menghilangkan kekhawatiran mereka. Semoga Allah Ta’ala memungkinkan umat muslim untuk mengenal Imam Zaman dan mengobati rasa sakit dan masalah mereka! Semoga Allah Ta’ala menghentikan mereka dari kekejaman yang sedang mereka lakukan terhadap yang lain sehingga Islam dapat memanifestasikan kemuliaan sejatinya di setiap negara muslim!

Penerjemah: Hafizurrahman

Wednesday, 22 July 2015

Khutbah Jumat: RAHMAT, AMPUNAN DAN GANJARAN DARI ALLAH TA’ALA

Ringkasan Khutbah Jumat
Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad
Khalifatul Masih al-Khaamis ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz
10 Juli 2015 di Masjid Baitul Futuh, London, UK.

أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.

بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضَّالِّينَ. (آمين)
 
inni-maaka-ya-masroor
Dengan karunia Allah Ta’ala hari ini kita sedang melewati hari puasa yang ke-22 dan berada pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan ini. Sebagaimana sabda Hadhrat Rasulullah saw, kita telah melalui 10 hari turunnya Rahmat Ilahi, 10 hari turunnya Ampunan Ilahi dan sekarang kita sedang melewati 10 hari terhindarnya dari api Neraka. Ini merupakan ihsaan (anugerah kebaikan) Allah Ta’ala bagi kita semua bahwa Dia telah menganugerahkan kita kesempatan untuk merasakan hal ini. Namun demikian, seorang mu-min sejati memiliki keyakinan teguh terhadap Allah Ta’ala, senantiasa berupaya untuk berjalan di atas ketakwaan dan hatinya dipenuhi rasa takut pada Allah Ta’ala dan ia tidak hanya merasa senang bahwa 10 hari terakhir bulan Ramadhan menjadi sumber keselamatan baginya. Tidak diragukan lagi, hari-hari di bulan Ramadhan ini merupakan sumber rahmat, ampunan serta keselamatan dari api Neraka. Namun apakah kita benar-benar telah merasakan segala karunia tersebut? Karunia itu tidak dapat diraih tanpa menjalankan perintah Allah Ta’ala dan rasul-Nya saw. Sungguh, untuk merasakan segala karunia dari hari-hari ini memerlukan persyaratan yang mestinya kita perhatikan demi mencari keridhaan-Nya dan meraih karunia-Nya.

Sebagian mufassirin (para penafsir) berpendapat bahwa ada dua jenis rahmat Allah Ta’ala. Pertama, Dia memberikan rahmat-Nya sebagai karunia yang untuk hal tersebut manusia tidak harus melakukan suatu usaha sebagaimana dinyatakan:

رَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْء
 “…rahmat-Ku meliputi segala sesuatu…” [Al-Araf, 7:157]

Manusia pada umumnya merasakan rahmat-Nya. Hadhrat Masih Mau’ud as menjelaskan: “Ayat ini menunjukan bahwa rahmat Ilahi turun secara umum dan meluas sedangkan hukuman, sesuai dengan sifat ‘Adil-Nya, diberikan setelah manusia melakukan suatu tindakan. Artinya, sifat ini muncul saat hukum Ilahi dilanggar. Hal ini sebagai konsekuensi adanya hukum Ilahi dan dosa merupakan pelanggaran terhadap hukum Ilahi tersebut. Barulah kemudian pada saat itu sifat ini muncul dan memenuhi persyaratannya. [Tafsir Hadhrat Masih Mau’ud as, Vol II, hal 566]

Sungguh Allah Ta’ala itu Maha Penyayang kepada para hamba-Nya namun ketika mereka melanggar hukum-Nya dan pantas diberikan hukuman, maka sifat ‘Adil-Nya bermanifestasi. Pada umumnya, rahmat Allah Ta’ala meliputi segala sesuatu tetapi pelanggaran terhadap hukum Ilahi perlu mendapatkan hukuman. Namun demikian, Allah Ta’ala tetap bisa menurunkan rahmat dan ampunan-Nya. Hendaklah diingat kondisi tersebut bukanlah bagi seorang Mu-min. Seorang mu-min sejati memiliki derajat yang khas dan keimanannya menuntutnya menjaga kondisi kerohaniannya dan menjalankan perintah Ilahi dengan sebaik-baiknya. Namun demikian, jika seseorang melakukan perbuatan dosa karena kelemahannya, maka rahmat Ilahi senantiasa menyelimutinya. Situasi demikian akan menjadi berbeda dengan seseorang yang dijelaskan pada khutbah yang lalu yakni ia menjadi berani dalam berbuat dosa dengan dalih rahmat Ilahi sangat luas. Ini sama saja artinya dengan menantang Murka Ilahi. 

Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda: “Tidak ada janji dalam memberikan peringatan. Hanya karena kesucian-Nya, Allah Ta’ala berkehendak untuk menghukum orang yang berdosa. Oleh karena itu, terkadang Dia juga memberitahu mereka yang kepadanya Dia turunkan wahyu (para Nabi-Nya) mengenai masalah ini. Namun, ketika orang yang berdosa tersebut memberikan perhatiannya untuk bertaubat dan mencari ampunan Allah Ta’ala melalui doa yang dipanjatkan dengan kerendahan dan kelembutan hati, maka rahmat-Nya akan menghapuskan hukuman tersebut. Inilah yang dimaksud oleh ayat:

عَذَابِي أُصِيبُ بِهِ مَنْ أَشَاء وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ
“…Aku akan timpakan azab-Ku kepada siapa yang Aku kehendaki, dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu…” [Al-Araf, 7:157]

[Tafsir Hadhrat Masih Mau’ud, Vol II, hal 566]
Memang, Allah Ta’ala menyelamatkan dan memberikan ampunan kepada mereka yang berbuat dosa disebabkan karena mereka bertaubat. Bahkan mereka yang telah ditakdirkan akan memperoleh hukuman karena kesalahan mereka pun dapat memperoleh ampunan-Nya melalui doa yang mereka panjatkan dengan kerendahan hati. Ini bukanlah maqam seorang mu-min sejati, yaitu, ia melanggar hukum Ilahi dan kemudian barulah memanjatkan doa serta mencari rahmat-Nya.
Jenis rahmat yang kedua berkaitan dengan para mu-min sejati, yakni rahmat yang bersyarat yakni rahmat yang dapat diraih dengan berbuat kebaikan. Sebagaimana dinyatakan:

إِنَّ رَحْمَةَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ
“Sesungguhnya, rahmat Allah swt. dekat kepada orang-orang yang berbuat kebaikan.” 
[Al-Araf, 7:57]

[Kata dalam bahasa arab yang digunakan di sini bagi mereka yang melakukan amal baik yaitu Muhsin]. Muhsin adalah seseorang yang beramal baik kepada yang lain, yang berjalan di atas ketakwaan, yang memiliki wawasan dan yang melaksanakan perintah Allah Ta’ala dengan baik. Rahmat Ilahi adalah bagi mereka yang tidak melakukan dosa secara sengaja, yang senantiasa menyeru kepada-Nya dan mengingat-Nya serta takut berbuat dosa. Jika mereka secara tidak sengaja berbuat dosa, maka mereka akan menyeru Allah Ta’ala dengan ketakwaan di dalam hati dan inilah yang menarik rahmat-Nya dan segala doa mereka dikabulkan. Sungguh merupakan karunia khas Ilahi bahwa Dia mengabulkan segala doa kita. Rahmat Ilahi  ada beserta orang-orang yang berbuat ihsan yang menjalani hidup yang penuh ketakwaan dan yang melakukan kebaikan bagi yang lain serta memenuhi hak-hak mereka. Manusia tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang berbuat ihsan dengan hanya melakukan amalan baik yang biasa saja. Hal ini menuntut seseorang untuk memiliki tingkat amal yang sangat tinggi.

Hadhrat Rasulullah saw mendefinisikan muhsin dengan sedemikian rupa sehingga kita perlu memberikan perhatian besar ke arahnya. Beliau saw bersabda bahwa seorang muhsin merupakan seseorang yang ketika berbuat kebaikan, ia senantiasa menyadari bahwa ia sedang melihat Allah Ta’ala atau paling tidak ia menyadari Allah Ta’ala sedang melihatnya. Jika seseorang setiap saat menyadari hal ini, maka ia tidak akan melakukan perbuatan buruk lagi dan tidak akan tersesat dari jalan ketakwaan. Bahkan ia tidak akan pernah membayangkan untuk memberikan kerugian bagi orang lain. Perintah Islam adalah sedemikian rupa sehingga bagaimana pun caranya bagi seseorang untuk mengamalkannya namun pada akhirnya segala perintah tersebut tetap memenuhi huququllah (hak-hak Allah) dan huququl ‘ibad (hak-hak para hamba-Nya). Meski kita ingin agar segala doa kita dikabulkan dan agar kita menerima rahmat Ilahi, namun sangat banyak di antara kita yang tidak dawam melakukan upaya yang selayaknya dilakukan oleh seorang mu-min sejati untuk meraih ketinggian derajat kerohanian mereka.

Kita bahagia dapat merasakan 10 hari pertama bulan Ramadhan yang merupakan hari-hari turunnya rahmat-Nya namun apakah kita juga berhenti merenungkan apakah selama hari-hari tersebut kita telah mengamalkan apa yang seharuskan diamalkan untuk mencari rahmat-Nya? Apakah kita hanya memanjatkan doa yang bersifat sementara seperti halnya para pendosa atau apakah kita telah mencoba untuk membentuk kehidupan kita agar senantiasa berjalan di atas ketakwaan seperti para muhsin yang menjadikan Ramadhan sebagai sumber hakiki untuk menciptakan perubahan suci yang abadi di dalam diri mereka? Hadhrat Rasulullah saw telah memberikan kita pedoman hidup pada kata ‘rahmat’ ini. Beliau saw mengatakan kepada kita untuk mencari rahmat ini pada 10 hari pertama bulan Ramadhan. Kemudian tatkala telah mendapatkannya, maka berjanjilah untuk menjadikannya bagian dalam kehidupan.

Namun demikian, karena Syaithan senantiasa membawa manusia kepada kesesatan, maka tatkala kita telah meraih rahmat Allah Ta’ala, kita tetap memerlukan pertolongan agar tetap teguh. Apa yang perlu kita lakukan dalam hal ini? Lewatilah 10 hari selanjutnya di bulan Ramadhan dengan memohon pertolongan dan kekuatan dari Allah Ta’ala dan kekuatan tersebut adalah Istighfar (mencari ampunan-Nya). Seorang mu-min sejati menjadikan sifat Sattar Allah Ta’ala dan rahmat-Nya menjadi bagian hidupnya, baik dalam beribadah maupun dalam amalannya. Hal ini menghasilkan ampunan dari Allah Ta’ala yang senantiasa menyelimuti dan menutupinya dan bahkan pintu rahmat-Nya menjadi terbuka baginya.

Hadhrat Masih Mau’ud as menjelaskan: “Makna hakiki daripada istighfar adalah permohonan kepada Allah Ta’ala agar kelemahan manusiawi janganlah sampai ditampakkan dan harapan semoga Allah Ta’ala mau membantu dengan kekuatan-Nya secara alamiah dan memasukkan mereka ke dalam lingkaran perlindungan-Nya. Akar kata istighfar adalah ghafara yang mengandung arti menutupi atau menyelimuti. Dengan demikian pengertian daripada istighfar ialah agar Allah Ta’ala berkenan menutupi kelemahan alamiah si pemohon dengan kekuatan-Nya. Pengertian ini menjadi lebih luas dengan juga menyertakan pengertian menutupi dosa dan kesalahan yang telah dilakukan. Namun pengertian hakikinya adalah permohonan agar Allah Ta’ala berkenan memelihara si pemohon terhadap kelemahan alamiah dirinya dan menganugrahkan kepadanya kekuatan dari Wujud-Nya, pengetahuan dari khazanah-Nya dan cahaya dari Nur-Nya. 

Setelah menciptakan manusia, Allah Ta’ala tidak lalu melepaskan diri daripadanya. Sebagaimana Dia itu Pencipta manusia dan segala fitrat internal dan eksternal yang ada pada diri manusia, Dia juga bersifat Dzat yang Tegak Dengan Sendiri-Nya dengan pengertian bahwa Dia akan memelihara dan membantu segala sesuatu yang telah diciptakan-Nya. Karena itu perlu selalu diingat oleh manusia bahwa mengingat ia telah diciptakan Tuhan maka ia harus menjaga karakteristik dirinya melalui fitrat Tuhan sebagai sang Maha Pemelihara. Dengan demikian adalah suatu kebutuhan alamiah bahwa manusia diperintahkan untuk selalu beristighfar [Review of Religions – Urdu, Vol. I, hal, 187 – Inti pokok Ajaran Islam, Vol II, hal 241-242]

Menarik perhatian terhadap rahmat Ilahi selama bulan Ramadhan menandakan bahwa dukungan dan karunia Ilahi secara khusus datang selama bulan ini dan selama 10 hari turunnya rahmat tersebut, turunlah karunia-Nya yang khas untuk memberikan ampunan-Nya. Selama masa ini, hendaknya seseorang mencari kekuatan untuk berbuat kebaikan serta mencari cahaya dari Nur Ilahi sehingga ia tidak lagi kembali kepada kegelapan. Manusia tidak terpisahkan dari kelemahan. Dengan demikian, agar senantiasa terjaga dari kelemahan ini dan agar memperoleh kekuatan dari Kekuatan Ilahi maka perlu untuk senantiasa membaca Istighfar. Perhatian ditarik kepada sifat Maha Memelihara Allah Ta’ala karena untuk menciptakan sesuatu seperti kesalehan, seseorang memerlukan pertolongan Allah Ta’ala. Dia Maha Hidup dan Maha Memelihara dan merupakan sandaran yang paling kuat. Pada 10 hari pertengahan bulan Ramadhan tidak hanya berarti untuk beristighfar sebanyak mungkin guna meraih tujuan tersebut. Hadhrat Rasulullah saw menekankan kepada kita bahwa ketika Ramadhan datang, Allah Ta’ala datang mendekati para hamba-Nya dan kita dianjurkan untuk memberikan perhatian yang besar untuk memanjatkan doa-doa. Oleh karena itu, untuk memperoleh bagian yang sepenuhnya dari ampunan-Nya, hendaklah kita beristighfar supaya kita senantiasa berada di bawah perlindungan-Nya. Semoga sebagian besar dari kita dapat melewati Ramadhan dengan cara demikian. Sekarang kita telah memasuki 10 hari terakhir dengan harapan bahwa semoga cahaya dan kekuatan yang kita telah raih dapat membawa kita meraih keridhaan Ilahi!

Hadhrat Rasulullah saw bersabda kepada kita bahwa 10 hari terakhir bulan Ramadhan merupakan terhindarnya dari api Neraka. Ketika seseorang datang untuk meraih ampunan Ilahi, meraih cahaya dan kekuatan dari-Nya, maka jelaslah ia akan semakin dekat dengan-Nya. Allah Ta’ala tidak meninggalkan siapapun tanpa memberikan ganjaran. Ketika manusia berupaya untuk melakukan amal baik demi Allah Ta’ala, maka Dia tidak hanya menyelamatkannya dari api Neraka. Dengan menyebut 10 hari terakhir bulan Ramadhan ini sebagai terhindarnya dari api Neraka, Hadhrat Rasulullah saw bersabda kepada kita bahwa Dia juga memberikan kabar suka adanya Surga bagi mereka yang memenuhi segala persyaratannya. Jika kita bertaubat dengan tulus dan mencari ampunan Ilahi serta berusaha untuk tetap melakukan kebaikan, maka ibadah yang dilakukan selama 30 hari tersebut, pemenuhan terhadap hak-hak, taubat serta istighfar tersebut akan secara permanen menutup pintu-pintu Neraka bagi kita.

Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda: “Tujuan daripada agama adalah agar manusia memperoleh keselamatan dari hawa nafsunya dan menciptakan kecintaan pribadi kepada Allah yang Maha Kuasa melalui keimanan kepada eksistensi-Nya dan sifat-sifat-Nya yang Maha Sempurna. Kecintaan kepada Allah demikian merupakan Surga yang akan mewujud dalam berbagai bentuk di Akhirat nanti. Tidak menyadari akan adanya Tuhan dan menjauh dari Wujud-Nya adalah Neraka yang akan berbentuk macam-macam di Akhirat nanti.” [Chashma e Masih, Ruhani Khaza’in, Vol. 20, hal 352]

Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda bahwa tidak ada buku lain yang telah menguraikan tentang Surga dan Neraka sebagaimana Al-Quran telah jelaskan. Seraya menjelaskan ayat:

وَلِمَنۡ خَافَ مَقَامَ رَبِّهٖ جَنَّتٰنِ
“Dan bagi orang yang takut pada Keagungan Tuhan-nya ada dua Surga.” [Ar-Rahman, 55:47]

Beliau bersabda: “Itu artinya, suatu Surga diperoleh di dunia ini karena rasa takut kepada Allah Ta’ala menghentikannya dari berbuat keburukan. Melakukan kejahatan senantiasa membuat hatinya penuh kekhawatiran dan kegelisahan yang merupakan Neraka di dalam dirinya. Seseorang yang takut kepada Allah Ta’ala senantiasa menghindari kejahatan dan dengan segera selamat dari siksaan dan kesakitan yang diciptakan oleh hawa nafsu duniawinya. Ia meningkatkan keimanan dan berpaling kepada Allah Ta’ala yang menganugerahkan kegembiraan serta kebahagiaan kepadanya dan dengan demikian kehidupan Surgawi baginya dimulai di dunia ini juga. Demikian pula jika ia melakukan hal sebaliknya, maka kehidupan Neraka akan dimulai di dunia ini juga. [Tafsir Hadhrat Masih Mau’ud as, Vol. IV hal 300]

Konsep Islam mengenai Surga dan Neraka tidak terbatas di kehidupan Akhirat saja. Juga ada Surga dan Neraka di dunia ini. Sebagaimana hadis Hadhrat Rasulullah saw menjelaskan bahwa jika kita berfikir bahwa kita dapat melihat Allah Ta’ala atau Allah Ta’ala setiap saat melihat kita, maka hal tersebut akan menghentikan kita dari kesesatan. Mereka yang melakukan kesalahan, di dalam dirinya timbul perasaan takut akan ditangkap dan hal ini menjadikan mereka berada dalam kondisi seperti di Neraka. Seseorang yang merasa takut kepada Allah Ta’ala meraih Surga di dunia ini dan di Akhirat kelak sedangkan seseorang yang terikat dalam hawa nafsu dan hasrat rendahnya berarti sedang terikat dalam Neraka di dunia ini dan di Akhirat kelak. Menjadi seseorang yang jujur dan tulus kepada Allah Ta’ala merupakan suatu Surga sedangkan jauh dari segala perintah-Nya merupakan Neraka. Hadis ini menyebutkan tiga hal dan menekankan kita ke arah rahmat Ilahi, istighfar agar tetap senatiasa memiliki keteguhan hati. Dan tatkala semua hal ini telah diraih, maka setiap perkataan dan amalan seorang manusia adalah demi Allah Ta’ala. Merasakan karunia di bulan Ramadhan telah menjadi bagian hidupnya dan ia senantiasa meraih Surga Ilahi di dunia ini dan di Akhirat kelak.

Guna meraih keridhaan Ilahi dan untuk melindungi keimanan seseorang, ada satu hal lain pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan yang mengenainya Hadhrat Rasulullah saw telah berikan kabar suka, yakni Lailatul Qadr. Hadhrat Rasulullah saw bersabda: 
 
" مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَقَامَهُ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ , وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ " ‘man shaama Ramadhaana wa qaamanhu imaanaw wahtisaaban ghufira lahu ma taqaddama min dzanbihi, wa man qaama lailatal qadri imaanaw 
wahtisaaban ghurifa lahu maa taqaddama min dzanbihi.’ – 
 
“Seseorang yang berpuasa selama bulan Ramadhan dengan imaanaw wa htisaaban (penuh keimanan dan penuh harap akan pahala dan ridha-Nya) maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.  Dan seseorang yang mendapatkan Lailatul Qadr dengan imaanaw wa htisaaban maka juga akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (Kitab Hadits Masyikhah Abi al-Hasan as-Sukri, w. 386 H.)

Lailatul Qadr memiliki makna yang luar biasa namun hari-hari lain pada bulan Ramadhan pun juga memiliki makna yang besar. Hal penting dalam Lailatul Qadr adalah faktor keimanan dan mengharapkan pahala dari-Nya. Jika ada kelemahan di hari-hari awal Ramadhan, hendaklah lakukan upaya untuk memperbaiki kelemahan tersebut di hari-hari kemudian. Hadhrat Rasulullah saw tidak mengatakan bahwa dosa yang akan diampuni ialah dosa orang yang mendapatkan Lailatul Qadr, namun beliau saw memberikan persyaratan dengan keimanan dan mengharapkan pahala. Keimanan telah terikat dengan amal-amal baik dan hendaklah kita senantiasa memperhatikan hal ini.
Salah satu tanda seorang mu-min sejati di dalam al-Quran adalah:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Orang-orang mu-min ialah mereka yang apabila disebut nama Allah swt., gemetarlah hati mereka, dan apabila Ayat-ayat-Nya ditilawatkan kepada mereka, bertambahlah keimanan mereka, dan kepada Tuhan merekalah, mereka bertawakal.” [Al-Anfal, 8:3]

Ketika perhatian kita berkali-kali ditekankan untuk berbuat baik dan memenuhi hak-hak orang lain demi Allah Ta’ala, maka hendaklah kita senantiasa memperhatikan perintah-perintah tersebut. Ketika seseorang diminta untuk memenuhi hak-hak ini demi Allah Ta’ala namun kemudian ia tidak memenuhinya, apakah orang tersebut dapat termasuk ke dalam golongan mu-min sejati sesuai dengan ayat ini? Disebutkan bahwa jika setiap orang berpuasa selama bulan Ramadhan dengan mengharapkan pahala dan merasakan Lailatul Qadr, maka barulah segala dosanya akan diampuni. Keberkatan Ramadhan dan Lailatul Qadr itu bersyarat sebagaimana perintah Allah Ta’ala dan Rasul-Nya juga bersyarat. Contohnya, jika seseorang memiliki kelemahan iman dan merampas hak orang lain namun kemudian berkata bahwa ia mengalami Lailatul Qadr maka berarti terjadi satu dari dua hal ini; yaitu Allah Ta’ala telah menganugerahkannya karunia yang luar biasa (sebagai pengecualian), yang menuntutnya agar tetap teguh pada kebenaran dan menjalankan segala perintah Ilahi, dan [kedua], jika tidak demikian, berarti apa yang ia klaim sebagai mengalami Lailatul Qadr hanyalah khayalan imajinasinya saja.

Seraya menjelaskan hal ini, Hadhrat Masih Mau’ud as telah bersabda bahwa Lailatul Qadr tidak hanya suatu malam khusus yang turun selama bulan Ramadhan. Lailatul Qadr itu ada tiga bentuk: [pertama], suatu malam selama bulan Ramadhan, [kedua] zaman kedatangan seorang Nabi Allah dan [ketiga], Lailatul Qadr bagi seseorang juga berarti suatu waktu ketika ia disucikan dan memiliki keimanan yang teguh serta membersihkan dirinya dari segala kejahatan dengan mengharapkan pahala-Nya. Jika Lailatul Qadr seperti ini dialami dan kita sungguh-sungguh menjadi milik-Nya, menjalankan segala perintah-Nya serta meningkatkan standar ibadah kita, berarti kita telah menemukan tujuan yang telah Allah Ta’ala perintahkan kepada kita. Setiap siang dan malam menjadi saat-saat pengabulan doa. 

Kita, yang merupakan pengikut dari pecinta sejati Hadhrat Rasulullah saw, yakni Hadhrat Masih Mau’ud as, perlu mengadakan perubahan revolusioner di dalam diri kita dan meningkatkan keimanan kita sehingga setiap perkataan dan perbuatan kita adalah untuk meraih keridhaan Allah Ta’ala dan dimana kita melewati kehidupan kita demi meraih pahala-Nya. Semoga keberkatan Ramadhan ini senantiasa menyertai kita! Semoga Allah Ta’ala membuat kita semua merasakan Lailatul Qadr yang merupakan contoh khas pengabulan doa dan yang mengenainya Hadhrat Rasulullah saw telah katakan kepada kita bahwa malam tersebut turun pada satu malam selama hari-hari terakhir bulan Ramadhan. Semoga dengan merasakannya dapat menjadikan kita tetap berada dalam ketakwaan serta meningkatkan standar ketakwaan kita. Semoga segala dosa yang telah lalu memperoleh ampunan-Nya dan semoga dengan karunia-Nya, Allah Ta’ala senantiasa menganugerahkan kita kekuatan yang khas agar dapat terhindar dari segala dosa di masa depan! 
 
Penerjemah: Hafizurrahman; editor: Dildaar AD

Tuesday, 21 July 2015

Khutbah Jumat: PERUBAHAN DIRI DAN MEMBANTU YANG LAIN

Ringkasan Khutbah Jumat
Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad
Khalifatul Masih al-Khaamis ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz
3 Juli 2015di Baitul Futuh, London, UK.

أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.

بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضَّالِّينَ. (آمين)
Kita hendaknya mengingat dan meninjau kembali perintah-perintah yang Allah Ta’ala berikan di dalam Al-Quran. Mereka yang diberikan tanggung jawab untuk senantiasa mengingatkan orang-orang lain terhadap perintah-perintah Ilahi ini hendaknya bersungguh-sungguh dalam melaksanakan tanggung jawabnya. Mereka yang mengemban tanggung jawab seperti ini adalah para mubaligh dan pengurus. Dengan karunia Allah Ta’ala, struktur Nizam Jemaat terdiri dari tingkat pusat dan badan-badan. Baik di tingkat pusat maupun badan-badan dalam Jemaat suatu negara masing-masing memiliki sturktur kepengurusan di tingkat pusat maupun daerah. Masing-masing pengurus diharapkan melaksanakan tanggung jawabnya sebagai pembantu khilafat; yaitu tanggung jawab khilafat dalam skala yang lebih besar. Jika semua mubaligh dan pengurus memahami hal ini, maka perubahan revolusioner pun dapat terjadi. Hal ini mengharuskan seseorang yang diberikan tanggung jawab tersebut agar memiliki kesadaran bahwa setelah mewakafkan hidup mereka atau setelah menerima tugas Jemaat, mereka hendaknya pertama-tama melakukan introspeksi diri apakah mereka sudah berjalan di atas perintah-Nya dan apakah mereka telah menampilkan diri mereka sebagai suatu teladan sehingga mereka dapat mengingatkan orang-orang lain terhadap tanggung jawab mereka. Jika mereka hanya mengingatkan orang lain saja namun tidak mengamalkan segala perintah tersebut, maka hal ini sangat disayangkan dan hendaklah mereka senantiasa membaca istighfar (mencari ampunan-Nya).

Hendaknya jelas bagi semua pengurus bahwa memberikan nasehat kepada yang lain tidak hanya tanggung jawab Amir, Sadr Anshar, Sadr Majelis, Sadr Lajnah atau sekretaris tarbiyat saja. Setiap sekretaris, sebagai contoh sekretaris Dhiafat atau sekretaris Khidmat Khalq yang ada di badan-badan atau bahkan sekretaris sehat jasmani hendaknya menunjukan diri mereka sebagai teladan dalam hal ini. Jika hal ini diamalkan maka pastilah lebih dari 50% anggota Jemaat akan menjalankan perintah Ilahi, akan menjadi orang-orang yang senantiasa datang ke mesjid atau akan menjadi orang-orang yang senantiasa memenuhi huququl ‘ibad.

Seseorang yang mengkhidmati Jemaat hendaknya pertama-tama mengintrospeksi diri mereka dan melihat berapa banyak perintah Ilahi yang ia telah jalankan, mengadakan perubahan di dalam dirinya ke arah yang lebih baik dan kemudian barulah memberikan nasehat kepada yang lain. Demikian pula, hendaknya para ahmadi yang telah menyatakan baiat/ berjanji untuk mengadakan perubahan di dalam hidupnya hendaknya senantiasa berkali-kali memperhatikan segala perintah Allah Ta’ala. Tidak hanya akan menciptakan perubahan di dalam diri mereka namun juga akan memungkinkan mereka untuk menunjukan akhlak sejati kepada dunia. Perhatian khusus hendaknya diberikan kepada hal ini dan hendaknya perintah Ilahi ini senantiasa diperhatikan dan diamalkan.

Khutbah jumat yang lalu berbicara tentang kualitas-kualitas yang dimiliki oleh seorang mukmin sejati. Pada hari ini, kembali beberapa kualitas yang lainnya akan diuraikan.

Ramadhan merupakan sarana yang luar biasa untuk mengadakan perubahan diri. Selain menarik perhatian kita untuk beribadah kepada Allah Ta’ala, bulan ini juga menjadikan kita melihat kepada kelemahan-kelemahan yang ada di dalam diri kita. Dengan demikian, hendaknya kita mengerahkan upaya penuh selama bulan ini untuk mengadakan perbaikan terhadap segala kekurangan tersebut. Jika kita tidak melakukannya, maka kita hanya akan menjalankan sahur dan berbuka tanpa adanya pengaruh terhadap amalan kita untuk meningkatkan kerohanian dan akhlak kita. Hal demikian tak ubahnya seperti perihal mereka yang senantiasa menyampaikan alasan saat diminta untuk berpuasa atau untuk menunaikan Shalat Nafal atau Tarawih atau untuk mendirikan shalat berjamaah. Namun ketika mereka diminta untuk berbuka, mereka senantiasa setuju seraya mengatakan “Tentu, kami tidaklah terlalu buruk dalam mengamalakan ajaran agama”. Kita hendaknya tidak menjadi orang mukmin seperti itu yang mengolok-olok agama dan keadaan mereka menggambarkan kondisi umat Islam yang patut disesalkan.

Standar mereka yang beriman kepada Hadhrat Masih Mau’ud as hendaklah sangat tinggi. Dengan pengecualian beberapa alasan yang dibenarkan untuk tidak berpuasa, mereka hendaknya terus berpuasa dan memiliki derajat yang sangat unggul dalam hal beribadah kepada-Nya serta membaca Al-Quran selama bulan Ramadhan. Hadhrat Jibril biasanya secara khusus meminta Hadhrat Rasulullah saw untuk mengulang Al-Quran selama bulan ini. Dengan demikian, hendaknya setiap orang memberikan perhatian khusus untuk membaca Al-Quran serta memperhatikan perintah Ilahi yang ada di dalamnya dan mengamalkannya. 

Shalat Tarawih bukanlah kewajiban dalam Ramadhan. Shalat ini dimulai pada zaman Hadhrat Umar ra untuk memberikan kemudahan bagi mereka yang tidak dapat mendirikan shalat Tahajjud. Memang, mereka yang dapat bangun lebih awal hendaknya mendirikan shalat Tahajjud. Pada hari-hari ini, ada sedikit waktu untuk melaksanakan Tahajjud, jadi dirikanlah Tahajjud walau hanya beberapa rakaat saja. Bukanlah hal utama untuk mendirikan shalat Tarawih ketika berpuasa dan Tahajjud juga bukan merupakan kewajiban. Namun demikian, yang ditekankan disini adalah hendaknya shalat-shalat nafal didirikan selama bulan Ramadhan dan tahajjud senantiasa ditingkatkan bahkan di luar bulan Ramadhan. 

Uraian ini disampaikan karena seseorang berkata bahwa adalah hal yang utama bagi seseorang yang berpuasa untuk melaksanakan shalat Tarawih minimal hingga 8 raka’at. Ini bukanlah syarat berpuasa. Namun demikian, membaca Al-Quran merupakan hal yang dianjurkan dan terpuji. Memang, seseorang hendaklah berusaha menghiasi ibadahnya selama bulan Ramadhan serta melewati hari-hari dengan sebanyak-banyaknya berdzikir kepada Allah. Segala upaya hendaklah dilakukan dalam suasana khas Ramadhan ini untuk memperbaiki segala kelemahan dalam melaksanakan shalat dan hendaknya hal ini dilaksanakan dengan niat untuk menjadikannya bagian dalam hidupnya. Setiap orang hendaknya memiliki pemahaman yang jelas bahwa shalat merupakan perintah Ilahi yang mendasar.

Kebanyakan orang fokus untuk beribadah kepada-Nya selama bulan Ramadhan karena ini merupakan bulan penuh berkah dan bulan pengabulan doa-doa dan mereka ingin mencari rahmat-Nya. Hendaknya diingat bahwa Allah Ta’ala mengetahui apa yang ada di dalam hati kita serta mengetahui niat kita dan melihat segala amalan kita sesuai dengan niat kita. Oleh karena itu, kita hendaknya fokus untuk beribadah kepada-Nya dengan niat agar dapat berjalan di atas ketakwaan dan membuat segala ibadah yang ditunaikan di bulan ini menjadi bagian dalam hidup kita. Jika kita terbiasa mendirikan shalat Tahajjud atau shalat nafal, hendaknya kita berupaya untuk menjadikannya dawan di dalam hidup kita. Allah Ta’ala berfirman: 

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai manusia, sembahlah Tuhan-mu Yang telah menjadikan kamu dan orang- orang yang sebelummu supaya kamu bertakwa.” [Al-Baqarah, 2:22]

Seraya menjelaskan hal ini, Hadhrat Masih Mau’ud as menulis: “Wahai manusia, sembahlah Tuhan yang menciptakan kalian… Hanya Dia-lah yang pantas disembah Yang telah menciptakan kalian, yakni, Hanya Dia-lah yang Yang Maha Hidup, jadi hanyalah Dia yang hendaknya kalian cintai. Dengan demikian keimanan berarti memperoleh hubungan dengan Allah Ta’ala dan tidak menganggap berharga segala sesuatunya selain Allah Ta’ala. (Tafsir Hadhrat Masih Mau’ud as, Vol I, hal 454)

Secara ilmu pengetahuan, kita mengetahui dan meyakini bahwa Tuhan mencipatakan kita dan hanya Dia-lah Yang Maha Hidup serta mendengarkan semua doa dan hendaklah kita senantiasa mencintai-Nya. Meskipun demikian, kebanyakan orang tidak melakukan suatu upaya khusus yang diperlukan dalam hal ini yang akan menjadikan segala sesuatunya tidak berarti. Suasana khas Ramadhan membawa seseorang untuk menciptakan hubungan seperti ini namun setelah itu proses ini berhenti secara bertahap. Hendaknya kita memberikan bukti dari amalan kita bahwa kita menganggap segala sesuatu tidak berarti apa-apa jika dibandingakn dengan Allah Ta’ala. Ayat di atas menyatakan, “Sembahlah Tuhan supaya kalian menumbuhkan ketakwaan”. Tujuan beribadah kepada-Nya tidak hanya untuk mengenal-Nya namun juga untuk menanamkan ketakwaan dan meraih ketinggian rohani serta mengembangkan makrifat terhadap sifat-sifat Alah Ta’ala. Sungguh makrifat terhadap sifat-sifat Ilahiyah adalah yang akan menjadikan kita tidak menganggap berarti segala sesuatunya jika dibandingan dengan wujud-Nya. Pada ayat di atas, Allah Ta’ala menyatakan, “…sembahlah Tuhanmu…” Kata bahasa arab di sini adalah Rabb yang merupakan sifat Allah Ta’ala untuk menciptakan, untuk memelihara dan untuk mengembangkan. Dengan demikian, kata ini berarti bahwa segala kemajuan yang dialami seseorang berhubungan dengan Allah Ta’ala. Dan selain akan menganugerahkan karunia dari sifat Rabbubiyat-Nya (sifat untuk menciptakan, memelihara dan menjaga), beribadah kepada-Nya semata tersebut juga akan memberikan pemeliharaan dan kemajuan terhadap kerohanian. Beribadah kepada-Nya dengan memenuhi syarat yang diinginkan akan memberikan kita kenikmatan rohani dari sifat Ilahi ini dan hal ini akan mempertinggi ketakwaan kita yang tidak hanya terbatas pada bulan Ramadhan saja namun senantiasa terpelihara sepanjang tahun. Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda: “Kenyataannya adalah bahwa tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya semata. Sebagaimana di suatu tempat juga di nyatakan:
 وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan, tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” [Adz-Dzariyat, 51:57]

Sebenarnya, beribadah tersebut ialah ketika manusia membersihkan hatinya dari segala kebengkokan dan kekerasan seperti seorang petani yang mempersiapkan ladangnya.” (Tafsir Hadhrat Masih Mau’ud as, Vol V, hal 237). 

Beliau as juga bersabda: “Ada kebutuhan yang besar bagi kalian untuk memahami bahwa Allah Ta’ala telah menciptakan kalian supaya kalian akan beribadah kepada-Nya dan menjadi milik-Nya. Dunia ini hendaknya tidak menjadi tujuan hidup kalian. Inilah mengapa Aku berulang kali telah menyebutkan hal ini karena bagi diriku, hanya hal ini lah aspek dibalik diciptakannya manusia sayangnya manusia jauh dari aspek ini.”

Sangat memalukan sekali ketika ada keluhan bahwa para pengurus tidak datang ke mesjid untuk mendirikan shalat atau tidak mendirikan shalat di rumah. Hal ini sangat perlu diperhatian karena tidak  akan ada ketakwaan tanpa mendirikan shalat. Tanpa mendirikan shalat, seseorang tidak akan bisa memenuhi huququllah dan tidak pula huququl ‘ibad dan ia tidak akan memperoleh keberkatan dan pengurus seperti itu tidak akan bermanfaat bagi Jemaat.
Allah Ta’ala juga memerintahkan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَخُونُواْ اللّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُواْ أَمَانَاتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu berkhianat kepada Allah Ta’ala dan Rasul dan jangan  berkhianat terhadap amanat-amanat yang ada padamu padahal kamu mengetahui.” [Al-Anfal, 8:28]

Ini merupakan perintah yang penting dan butuh perhatian besar. Pengkhianatan tidak hanya dilakukan pada skala besar saja namun pelanggaran kepercayaan terhadap hal-hal kecil pun juga termasuk pengkhianatan. Hadhrat Masih Mau’ud as mencantumkan “menghindari serta menjauhkan diri dari khianat” sebagai bentuk ketidak jujuran di dalam syarat baiat yang kedua. Beberapa penyakit dapat menimbulkan penyakit-penyakit lainnya dan berkhianat terhadap amanat-amanat merupakan salah satu penyakit tersebut. Allah Ta’ala berfirman bahwa seseorang yang berkhianat tidaklah memenuhi huququllah dan huququl ‘ibad. Seseorang dapat saja berkali-kali menegaskan bahwa ia dawam melaksanakan shalat namun tujuan beribadah kepada-Nya adalah untuk menanamkan ketakwaan dan ketakwaan itu berarti memenuhi huququllah dan huququl ‘ibad yang didasari rasa cinta dan takut pada Allah Ta’ala sedangkan mengkhianati amanat-amanat menjauhkan seseorang dari ketakwaan. Allah Ta’ala tidak menerima ibadah dari orang semacam itu. Jangankan menjadi seorang ‘abid (hamba Allah Ta’ala), seseorang yang mengkhianati amanat-amanat bahkan tidak dapat dianggap sebagai orang yang memiliki keimanan.

Hadhrat Rasulullah saw bersabda bahwa keyakinan dan ketidak yakinan, kebenaran dan kebohongan tidak dapat hidup berdampingan di dalam hati seseorang. Begitu pula dengan memegang amanat dan berkhianat juga tidak dapat tinggal berdampingan. Hadhrat Rasulullah saw juga bersabda: “Seorang mukmin mungkin memiliki kebiasaan-kebiasaan buruk selain kebohongan dan mengkhianati amanat; artinya seorang mukmin tidak dapat memiliki dua kebiasaan buruk ini yakni berbohong dan mengkhianati amanat.” Mengkhianati amanat merupakan perkara besar dan diharapkan bagi seorang mukmin untuk dapat mengetahui makna dan cakupannya. Sabda Hadhrat Rasulullah saw di atas menjelaskan dengan sangat baik bahwa hati seorang mukmin tidak bisa melanggar amanat dalam tiga keadaan: ketulusan dalam bekerja demi Allah Ta’ala, mendoakan seluruh umat Islam dan hidup dalam keharmonisan dengan Jemaat.

Setiap orang yang diberikan kepercayaan dalam mengkhidmati agama hendaknya senantiasa mengintospeksi dirinya dengan ketakwaan. Hal ini akan membuat mereka berfikir bahwa sudah berapa banyak perhatian yang mereka berikan untuk memenuhi kewajiban terhadap amanat-amanat yang ada pada mereka. Hadhrat Rasulullah saw juga bersabda bahwa seseorang yang tidak memenuhi hak-hak saudaranya berarti berkhianat terhadap amanatnya. Menyakiti saudaranya dengan perkataan maupun tindakan berarti tidak memenuhi hak-hak mereka dan merupakan pengkhianatan terhadap amanatnya. Jelas, adalah kewajiban bagi seorang muslim untuk memenuhi hak-hak setiap manusia dan menafikan hal ini menjadikannya sebagai seorang yang melanggar amanat. Adalah penting bagi setiap anggota Jemaat untuk berjalan di atas Nizam Jemaat dan untuk menjalankan syarat-syarat baiat. Setiap ahmadi masing-masing telah berjanji. Janji-janji ini juga merupakan amanat dan tidak memenuhinya berarti pengkhianatan terhadap amanat. Juga penting untuk senantiasa menjalin hubungan serta taat kepada Khilafat dan hal ini diulang-ulang dalam janji-janji tersebut.

Hendaknya diingat bahwa dalam urusan rumah tangga setelah menikah, para lelaki dan wanita muda saling memiliki hak dan kewajiban satu sama lain dan memenuhi hal ini merupakan amanat. Seorang suami memegang amanat untuk membayar haq mahar. Banyak kasus terjadi dimana konflik tersebut bermula dari tidak membayarkan haq mahar. Hadhrat Rasulullah saw bersabda bahwa seseorang yang telah menyebutkan haq maharnya tanpa niat untuk membayarkannya merupakan seorang pezina dan orang yang mengambil pinjaman tanpa niat untuk mengembalikannya lagi merupakan seorang pencuri. Jika seseorang meminta nasehat kepada saudara muslim lainnya namun ia memberikan nasehat tanpa kebijaksanaan, berarti ia telah mengkhianati amanat. Memang, beberapa orang mempercayai orang lain dan meminta nasehat mereka namun mereka tidak memberikan nasehat yang tepat kepada mereka. Jika seseorang tidak memiliki pengetahuan yang diperlukan untuk memberikan nasehat yang tepat, maka hendaklah ia minta maaf saja dan menyarankannya untuk menemui seseorang yang mungkin dapat memberinya nasehat. Beberapa pengacara memberikan nasehat yang tidak benar dan sembarangan bagi para pencari suaka namun tetap saja menerima bayaran. Ini merupakan pengkhianatan terhadap amanat.

Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda, “Seseorang yang tidak bertaubat dan tidak meninggalkan pandangan birahi, khianat, penyuapan dan semua sarana yang tak sah lainnya bukanlah dari Jemaatku. Setiap suami yang menyalahi amanatnya terhadap istrinya dan setiap istri yang menyalahi amanat terhadap suaminya bukanlah dari Jemaatku. Setelah mengakui Ketauhidan Ilahi, adalah penting untuk tidak merebut hak-hak makhluk-Nya. Seseorang yang merebut hak-hak saudaranya dan mengkhianatinya bukanlah orang yang menganut “La Ilaaha Illallah” (tiada yang patut disembah kecuali Allah). Beliau as bersabda, “Allah Ta’ala telah menghubungkan ketakwaan dengan kata ‘pakaian’ di dalam Al-Quran. Pakaian ketakwaan merupakan sebuah idiom dalam Al-Quran. Kata ini mengindikasikan keindahan dan keanggunan kerohanian berasal dari ketakwaan. Dan ketakwaan tersebut ialah menjalankan segala amanat Allah Ta’ala serta segala janji keimanan dan menjalankan amanat dan janji terhadap manusia dengan kemampuan yang terbaiknya, yakni, mengamalkannya dengan kapasitas terbaiknya.

Segala hak dan kewajiban yang diberikan kepada kita merupakan amanat. Jika kita ingin mencari rahmat-Nya, kita harus menjalankan segala amanat ini. Perintah Allah Ta’ala yang lain yang meningkatkan keharmonisan di masyarakat adalah:

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Orang-orang yang membelanjakan harta di waktu lapang dan di waktu sempit, dan yang menahan marah dan yang memaafkan manusia. Dan Allah swt. mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan.” [Ali Imran, 3:135]

Ayat ini menguraikan bahwa selanjutnya, memenuhi hak-hak orang lain adalah dengan memberikan pengorbanan untuk menciptakan keharmonisan di dalam masyarakat. Sebuah masyarakat dimana hak-hak yang lainnya senantiasa dipenuhi dengan memberikan pengorbanan merupakan sebuah masyarakat surgawi. Kita melihat manifestasi hal ini di dalam kehidupan para sahabat Hadhrat Rasulullah saw. Allah Ta’ala berfirman: 

وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ
“…tetapi mereka mengutamakan di atas diri mereka sendiri, walaupun kemiskinan menyertai mereka…” [Al-Hasyr, 59:10]

Amalan-amalan seperti ini menanamkan semangat pengorbanan dan seseorang secara tulus memanjatkan doa bagi yang lainnya. Teladan terbaik dalam hal ini diperoleh dalam wujud Hadhrat Rasulullah saw yang bahkan memberikan maaf kepada pembunuh anak perempuannya. Beliau-lah wujud yang memberikan nasehat untuk menekan amarah dan menunjukan standar akhlak yang luhur.
Suatu kali seseorang berbicara kasar terhadap Hadhrat Abu Bakar ra di hadapan Hadhrat Rasulullah saw. Hadhrat Abu Bakar ra tidak mengatakan satu hal pun dan Hadhrat Rasulullah saw tetap tersenyum. Ketika orang tersebut telah melampaui batas, Hadhrat Abu Bakar ra membalasnya dengan keras. Tidak senang dengan hal ini, Hadhrat Rasulullah saw pun berdiri dan pergi. Di kemudian hari, Hadhrat Abu Bakar berkata kepada beliau saw bahwa tatkala orang tersebut berkata kasar, Hadhrat Rasulullah saw tetap berada di sana. Namun tatkala Hadhrat Abu Bakar ra membalasnya dengan marah, Hadhrat Rasulullah saw pun pergi. Terhadap hal ini beliau saw bersabda: “Selama engkau tetap diam di hadapan seseorang yang berkata kasar kepada engkau, maka para malaikat-Nya sedang membalasnya untuk engkau. Namun, ketika engkau membalasnya, maka syaithan pun datang.” Sungguh, setelah beliau ra menjawab perkataan kasar tersebut, beliau saw tidak dapat tetap tinggal di sana.

Hadhrat Aisyah ra suatu kali bersabda bahwa Hadhrat Rasulullah saw tidak pernah membalas perkataan kasar seseorang.

Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda: “Mereka yang dekat dengan Allah Ta’ala senantiasa dicaci maki dan dianiaya namun mereka senantiasa diperintahkan:

وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“…berpalinglah dari orang-orang jahil…” [Al-Araf, 7:200]

Sungguh, seorang wujud paripurna, Hadhrat Rasulullah saw senantiasa dianiaya dengan hebat. Beliau saw senantiasa dicaci-maki dan dianiaya. Namun sosok yang merupakan perwujudan dari akhlak yang luhur ini senantiasa membalasnya dengan memanjatkan doa bagi para pencela karena Allah Ta’ala telah berjanji untuk melindungi kehidupan dan kehormatan beliau jika beliau berpaling dari orang-orang jahil. Dan beliau pun telah dijanjikan bahwa orang-orang yang berakhlak rendah tersebut tidak akan dapat menyerang beliau saw. Sungguh inilah yang terjadi. Orang-orang yang mencela beliau saw memperoleh kehinaan dan di antara mereka ada yang jatuh di kaki beliau saw seraya menyerahkan dirinya dan ada pula yang hancur.

Teladan dari pecinta sejati Hadhrat Rasulullah saw yakni Hadhrat Masih Mau’ud as juga patut dicontoh. Selama kasus pengadilan yang melibatkan Dr. Martyn Clark, Maulwi Muhammad Hussain Batalwi memberikan kesaksian terhadap Hadhrat Masih Mau’ud as. Untuk melemahkan kesaksian Maulwi Hussain Batalwi, pengacara Hadhrat Masih Mau’ud as memberikannya beberapa pertanyaan yang merendahkan keturunannya di pengadilan. Hadhrat Masih Mau’ud as menghentikan pengacara beliau as untuk tidak memberikan pertanyaan-pertanyaan seperti itu dan dengan cepat meletakan tangannya di mulut pengacara beliau as untuk mencegahnya berbicara. Dengan demikian, beliau as membawa dirinya dalam bahaya di pengadilan namun menyelamatkan kehormatan musuhnya. Pengacara tersebut sering menceritakan peristiwa ini dan berkata bahwa Mirza Sahib merupakan seorang wujud yang memiliki akhlak yang luar biasa. Seseorang menyerang kehormatannya, bahkan hidupnya. Beberapa pertanyaan disampaikan untuk melemahkan kesaksian musuhnya namun beliau as sendiri segera melarang untuk memberikan pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Ini sungguh merupakan suatu derajat tatkala kemarahan telah ditekan dan tidak hanya memaafkan orang-orang namun juga memberikan kebaikan kepada mereka.

Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda: Mukmin sejati adalah mereka yang menekan amarahnya dan mengampuni tindakan orang-orang yang kasar dan kejam serta tidak membalas kekasaran dengan kekasaran. Beliau as memberikan nasehat kepada Jemaatnya seraya bersabda, tujuan dipersiapkannya Jemaat ini  adalah untuk menanamkan ketakwaan dalam berbicara, melihat, mendengar dan dalam setiap kemampuan lainnya dan agar seseorang memiliki cahaya ketakwaan yang tampak di dalam dirinya serta terpancar keluar serta menjadi teladan yang luar biasa dari kebaikan dengan tidak adanya kemarahan yang tak berdasar. Beliau as bersabda bahwa beliau as telah melihat bahwa orang-orang di dalam Jemaat ini masih ada yang cepat marah dan saling berkelahi satu sama lain. Orang-orang seperti itu tidak memiliki hubungan dengan Jemaat. 

Beliau as bersabda: “Aku tidak paham apa masalahnya untuk tetap diam dalam membalas caci makian orang lain! Reformasi setiap Jemaat berawal dari akhlak yang luhur. Apa yang dibutuhkan adalah kesabaran dan cara terbaik untuk meraihnya adalah berdoa dengan sepenuh hati bagi orang-orang yang melancarkan caci-makian bahwa semoga Allah Ta’ala memperbaiki orang ini. Janganlah ada rasa dendam dan dengki yang menguasai diri. Allah Ta’ala juga memiliki hukum seperti hukum duniawi. Jika dunia tidak menghentikan hukumnya, lalu mengapa Allah Ta’ala harus menghentikan hukum-Nya? Jika kalian tidak menciptakan perubahan, Allah Ta’ala tidak akan menghargai kalian. Allah Ta’ala lebih menyukai kesabaran, ketabahan dan memberi maaf daripada kekejaman. Jika kalian mengembangkan akhlak yang tinggi, kalian akan dengan segera mencapai Allah Ta’ala.

Semoga Allah Ta’ala memungkinkan kita untuk membangun standar akhlak yang demikian dan menjadikannya senantiasa ada di dalam kehidupan kita dan di bidang apapun kita mengkhidmati Jemaat ini, semoga kita senantiasa menjadi yang pertama dalam menunjukan teladan yang luhur, baik di rumah maupun di lingkungan luar.

Hendaklah senantiasa berdoa bagi kemajuan Jemaat dan agar selamat dari rencana jahat para penentang dan juga berdoa bagi kemenangan Islam. 
Penerjemah: Hafizurrahman

Khutbah Jumat: RAMADHAN: PERUBAHAN DIRI & TANGGUNG JAWAB KITA

Ringkasan Khutbah Jumat
Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad
Khalifatul Masih al-Khaamis ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz 
 26 Juni 2015 di Masjid Baitul Futuh, London, UK.

أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.

بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضَّالِّينَ. (آمين)
 
mirza-masroor-ahmad
Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda, “Hendaklah Jemaat kita tidak membatasi/mencukupkan diri mereka hanya pada kata-kata saja karena hal demikian itu bukanlah tujuan kita yang sejati, melainkan penyucian diri dan perubahan diri adalah hal yang lebih penting dan merupakan tujuan diutusnya saya oleh Allah Ta’ala.”

Beliau as menginginkan terjadinya perubahan akhlak di dalam Jemaat ini. Dengan mengatakan agar tidak membatasi diri hanya pada perkataan (yaitu diskusi dan perdebatan) saja, beliau as bermaksud supaya kita tidak hanya membatasi diri hanya pada pembicaraan saja dan mengubah-ubah perkataan kita sesuai dengan kepentingan pribadi kita, melainkan hendaknya kita dapat menjaga tingkat akhlak yang baik dan tinggi. Beliau as menginginkan agar kita senantiasa mengadakan penyucian diri di dalam hidup kita untuk memenuhi syarat-syarat baiat. Para Ahmadi hendaknya ingat bahwa untuk memenuhi syarat-syarat baiat, kita harus senantiasa memperhatikan segala perintah Allah Ta’ala dan berusaha mengamalkannya. Kita hendaknya senantiasa sadar untuk meraih keridhaan ilahi. Hal ini telah dijelaskan pada khutbah Jumat yang lalu bahwa untuk merasakan pengabulan doa, maka perintah فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي “Hendaklah mereka menjawab seruan-Ku” [Al-Baqarah, 2:187] agar senantiasa diamalkan dengan segala kapasitas yang dimiliki seseorang dan menghabiskan seluruh hidupnya sesuai dengan segala perintah ilahi. Kita hendaknya mengintrospeksi diri dalam suasana rohani di bulan Ramadhan ini untuk melihat berapa banyak perintah Allah Ta’ala ini telah menjadi bagian dari kehidupan kita atau sebaliknya, apakah kehidupan kita hanya berupa pernyataan lisan saja bahwa kami telah berjalan di atas perintah Allah Ta’ala.

Di dalam Al-Quran terdapat banyak perintah Ilahi yang hendaknya senantiasa diperhatikan sehingga kita dapat senantiasa berfikir untuk mengadakan perubahan di dalam diri kita. Pada hari ini, beberapa perintah ilahi dikemukakan dalam khutbah jumat yang memainkan peran dalam mensucikan diri seseorang dan juga dalam menciptakan kecintaan dan kedamaian di dalam masyarakat. Allah Ta’ala berfirman di dalam Al-Quran: وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلامًا Dan hamba-hamba Tuhan Yang Rahman ialah mereka yang berjalan di muka bumi dengan merendahkan diri; dan apabila orang-orang jahil menegur mereka, mereka mengucapkan “Selamat.” [Al-Furqan, 25:64] Artinya,  mereka tidak berjalan dengan kesombongan namun dengan kelembutan.

Ayat ini secara singkat menguraikan perubahan revolusioner terhadap akhlak dan rohani yang diciptakan oleh Hadhrat Rasulullah saw yang diamalkan oleh para sahabat beliau saw. Ini adalah saat ketika dunia terjatuh ke dalam jurang kegelapan moral dan pengaruh syaithan sedang merajalela. Dunia sedang berada dalam kekacauan karena egoisme, keakuan dan kejahatan. Ini adalah ketika manusia diajarkan akhlak dan kerendahan hati yang bermutu tinggi yang menghasilkan perwujudan dari ayat yang disebutkan di atas di dalam diri manusia. Pada hari ini, situasi dunia pun sama dan dengan mengutus seorang pecinta sejati Hadhrat Rasulullah saw, yakni Hadhrat Masih Mau’ud as, Allah Ta’ala menginginkan para hamba yang sama dengan yang telah Allah Ta’ala ciptakan di masa Hadhrat Rasulullah saw. Untuk alasan ini, kita perlu memperhatikan agar berjalan di muka bumi ini dengan penuh wibawa, dengan kelembutan dan merendahkan diri serta dengan menghilangkan kesombongan. Para hamba sejati Allah Ta’ala perlu memperhatikan hal ini. Orang-orang yang seperti ini senantiasa menyebarluaskan kecintaan dan menjadi penjamin kedamaian di dalam masyarakat. Mereka menjawab segala hasutan dari orang-orang jahil dengan mengucapkan salam dan bahkan tidak hanya membalas dengan kebaikan, mereka juga mendoakan demi keamanan dan kedamaian orang-orang jahil tersebut. Menjawab segala hasutan demi Allah Ta’ala dengan cara yang seperti ini tatkala seseorang sedang memiliki kekuatan dan kekuasaan merupakan suatu akhlak yang luhur yang akan menjadikannya seorang hamba sejati Allah Ta’ala. Orang-orang yang mengikuti hal ini juga merasakan pengabulan atas doa-doa mereka dan menjadi kisah yang mengenainya Hadhrat Masih Mau’ud sabdakan sebagai mereka yang mensucikan dirinya, mencari kerajaan Ilahi dan mendirikannya di muka bumi.

Allah Ta’ala menghendaki agar kecintaan, kedamaian dan persaudaraan di kalangan manusia tersebar di seluruh dunia, manusia menjadi terbebas dari jeratan syaithan dan dunia ini menjadi seperti surga. Ini adalah alasan Allah Ta’ala mengutus para nabi dan Hadhrat Rasulullah saw merupakan yang paling sempurna di antara mereka dalam mengajarkan kepada manusia bagaimana menjadi hamba sejati Allah Ta’ala. Beliau saw mengajarkan bahwa jika surga dicari di dunia ini, maka pertama-tama dunia ini harus menjadi surga dan jadilah seperti mereka yang Allah Ta’ala telah firmankan di dalam Al-Quran, فَادْخُلِي فِي عِبَادِي وَادْخُلِي جَنَّتِي “Maka masuklah dalam hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku” [Al-Fajr, 89:30-31]

Ramadhan membawa kabar suka bahwa selama bulan ini pintu-pintu surga akan terbuka sedangkan pintu-pintu neraka akan tertutup dan Allah Ta’ala senantiasa mendatangi para hamba-Nya. Memang, Allah Ta’ala dekat dengan hamba-Nya setiap saat. Namun maksudnya di sini adalah bahwa Dia senantiasa meninggikan ganjaran untuk kebaikan yang dilakukan di bulan ini. Setiap Ahmadi, yang merupakan seorang Muslim sejati, yang telah berbaiat kepada Hadhrat Masih Mau’ud as untuk menjadi hamba Allah Ta’ala, perlu meninggalkan segala kesombongan dan keakuan, mengakhiri keasingan dan menciptakan perbaikan dan menyebarkan kedamaian dengan kerendahan hati di rumah dan di masyarakat.

Hadhrat Rasulullah saw mengajarkan kita untuk mengamalkan kerendahan hati hingga mencapai suatu tingkatan dimana tidak ada satupun lagi yang ia banggakan. Tidak ada cara zahir untuk dapat mengukur hal ini. Setiap orang yang menyatakan dirinya memiliki keimanan perlu mengadakan introspeksi diri serta melihat apakah ia telah terbebas dari segala kebanggaan; kebanggaan atas garis keturunan, kebanggaan atas kekayaan, kebanggaan sebagai orang yang berpendidikan tinggi, kebanggaan atas kecakapannya dalam bidang akademik dan lain-lain.

Hadhrat Rasulullah saw bersabda, 
 
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ , وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ , أَلا لا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ ، وَلا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ , وَلا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ , وَلا أَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ إِلا بِتَقْوَى اللَّهِ 
“Wahai manusia, sesungguhnya Tuhan kalian Satu, bapak kalian satu (Adam). Ketahuilah! tidak ada kelebihan seorang Arab di atas orang non-Arab dan tidak ada kelebihan seorang non-Arab pun di atas orang Arab. Tidak ada kelebihan seorang berkulit hitam di atas orang berkulit merah dan tidak ada kelebihan seorang berkulit merah atas mereka yang berkulit putih, 
kecuali dengan ketakwaan kepada Allah.” 
 
2 Aspek utamanya adalah ketakwaan dan seseorang yang bertakwa tidak akan menyimpan suatu kebanggaan di dalam hati. Sering kali seseorang dapat merasa begitu bangga terhadap kecakapan akademiknya sehingga ia menjadi jauh dari keimanan. 

Ketika Allah Ta’ala memerintahkan Hadhrat Rasulullah saw untuk mengumumkan:  أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ  “Aku adalah pemimpin seluruh manusia” kemudian beliau menambahkan, وَلا فَخْرَ “Aku tidak memiliki suatu kebanggaan terhadap hal ini.”3 Ini merupakan tingkat kerendahan hati beliau setelah meraih keluhuran derajat yang tidak dapat diraih oleh seorang pun. Yang demikian itu adalah keinginan beliau saw untuk menjaga perdamaian dan persaudaraan di kalangan manusia sehingga tatkala seorang Yahudi berkata bahwa ia telah tersakiti oleh jawaban kasar seorang Muslim ketika ia mencoba membuktikan keunggulan Hadhrat Musa kepada seorang Muslim. Seorang Muslim itu kemudian berkata bahwa derajat Hadhrat Rasulullah saw lebih tinggi. Maka Hadhrat Rasulullah saw bersabda: لا تُخَيِّرُونِي عَلَى مُوسَى “Janganlah kalian melebihkan aku di atas Musa.”4

Ini merupakan suatu teladan beberkat untuk memelihara kedamaian di dalam masyarakat dan merupakan jawaban bagi mereka yang menyampaikan tuduhan-tuduhan terhadap Hadhrat Rasulullah saw dan juga jawaban bagi mereka yang menciptakan kekejaman atas nama beliau saw.

Kita yang telah menerima Hadhrat Masih Mau’ud as berkewajiban untuk membantah segala tuduhan yang ditujukan kepada wujud beberkat ini. Untuk hal ini, kita harus menjadi perwujudan ajaran sejati dari seseorang yang kita telah terima. Memang, Hadhrat Rasulullah saw bersabda, “Allah Ta’ala berfirman barangsiapa yang menjalankan kerendahan hati demi Aku” dan ia merendahkan telapak tangannya hingga menyentuh tanah, “maka Aku akan mengangkatnya” dan ia mengangkat telapak tangannya dengan sangat tinggi.5 Allah Ta’ala menganugerahkan ketinggian yang tak terbayangkan kepada mereka yang menjalankan kerendahan hati demi Allah Ta’ala, yang membenci kesombongan demi Allah Ta’ala dan yang mencabut kebencian dari masyarakat demi Allah Ta’ala untuk menciptakan perdamaian dan keamanan.

Kita perlu mengadakan introspeksi diri selama bulan Ramadhan dan mengakhiri pertikaian di dalam keluarga demi Allah Ta’ala dan menciptakan lingkungan yang damai. Pertikaian yang terjadi di antara saudara biasanya disebabkan karena ego maka hendaklah diakhiri. Kemudian berdoalah bagi para penentang agar segala gangguan dan kekacauan yang terjadi di dunia ini menjadi berakhir. Meskipun kita banyak berbicara tentang perdamaian namun kekacauan tetap saja terjadi jika kita juga terlibat di dalamnya. Oleh karena itu, demi Allah Ta’ala, segeralah akhiri perbuatan tersebut.

Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda: “Aku mengingatkan Jemaatku agar menjauhi sifat sombong karena takabur tidak disukai Allah Ta’ala….Ia yang tidak mendengarkan bicara saudaranya dengan santun dan memalingkan wajahnya, itu termasuk kesombongan.… Karena itu, upayakanlah selalu jangan sampai kalian bersikap sombong dalam segala hal agar kalian terpelihara dari kebinasaan dan agar kalian memperoleh keselamatan. Bersandarlah kepada Tuhan dan kasihilah Dia dengan sepenuh hati serta takutilah Dia dengan hati yang setakut-takutnya. Sucikan hati kalian dan sucikan niat, bersikaplah lemah lembut dan rendah hati serta jauhi kejahilan agar kalian mendapat rahmat. (Inti Pokok Ajaran Islam Vol II, hal. 355-357, Nuzulul Masih, Ruhani Khazain, vol. 18, hal. 402-403)

Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda: “Ini bukanlah jalan Allah Ta’ala untuk menghinakan seseorang yang berpaling kepada-Nya dalam kerendahan hati dan memberikannya kematian yang tercela. Seseorang yang berpaling kepada Allah Ta’ala tidak pernah disia-siakan. Tidak akan ada satu contoh pun sejak awal dimana seseorang yang menjalin hubungan secara tulus dengan Allah Ta’ala namun kemudian mati dalam kegagalan. Allah Ta’ala menginginkan manusia tidak hanya sekedar berdoa untuk keinginan egonya saja namun adalah untuk berpaling kepada-Nya dalam kerendahan hati. Dia sendiri berfirman: 
 
مَنْ يَتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا * وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ  “
…. Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, Dia akan membuat baginya suatu jalan keluar dan Dia akan memberikan rezeki kepadanya dari mana tidak pernah ia sangka….” [Ath-Thalaq, 65:3-4]

Di sini, rezeki yang dimaksud bukanlah roti dan mentega namun juga berarti penghormatan, ilmu pengetahuan dll yang seorang manusia perlukan. Seseorang yang bahkan memiliki hubungan yang tipis dengan Allah Ta’ala pun tidak pernah disia-siakan.

Hadhrat Masih Mau’ud as juga bersabda bahwa manusia merupakan wujud yang rendah hati namun karena amal-amal buruk menjadikan dirinya tinggi dan berkuasa serta menumbuhkan kesombongan dan keangkuhan. Manusia tidak akan bisa mendapatkan tempat di jalan Allah Ta’ala jika ia tidak menganggap dirinya paling rendah dari semuanya. Hadhrat Masih Mau’ud as memberikan contoh Kabir (seorang penyair sufi India pada abad ke 15) yang menulis bahwa ia senang terlahir di dalam sebuah rumah yang sederhana dan berbeda dari yang lain. Ia menambahkan bahwa jika ia terlahir sebagai golongan priyayi (bangsawan), maka ia tidak akan bisa menemukan Allah Ta’ala. Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda bahwa manusia hendaknya selalu memperhatikan kerendahan hatinya. Tidak peduli sekalipun ia merupakan seorang bangsawan namun ketika ia mengintrospeksi dirinya, ia pasti akan menemukan bahwa dari beberapa aspek ia merupakan seseorang yang paling tidak cakap dan rendah di seluruh alam. Beliau as juga bersabda bahwa jika manusia tidak menunjukan sikap hormat kepada orang miskin dan kepada seorang wanita tua yang tak berdaya namun hanya menunjukan rasa hormatnya kepada seseorang yang memiliki kehormatan yang tinggi saja serta tidak menghindari setiap jenis kesombongan dan keangkuhan maka ia tidak akan pernah masuk ke dalam kerajaan ilahi.

Kita hendaknya melewati hari-hari dalam bulan Ramdhan ini untuk menciptakan perubahan suci dan meraih pengabulan doa dan hendaknya kita senantiasa merenungkan perkara-perkara ini. Hendaknya kita berpaling kepada Allah Ta’ala, mencari pertolongan-Nya untuk menghilangkan segala macam kebanggaan dan kesombongan yang mungkin bersemayam di dalam diri dan yang menjadi penghambat dalam menumbuhkan kerendahan hati dan yang memainkan peranan di dalam menyebarkan ketidaknyamanan dan perselisihan. Dengan demikian, kedamaian dan keserasian dapat tersebar dan tidak ada seorang pun yang merasakan kegelisahan karena diri kita.
Allah Ta’ala memerintahkan:

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا  (النساء: 37)
 “Dan, sembahlah Allah Ta’ala dan janganlah kalian mempersekutukan sesuatu dengan-Nya; dan berbuat baiklah terhadap kedua orang tua, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang sesanak-saudara dan tetangga yang bukan kerabat, handai taulan, orang musafir dan yang dimiliki oleh tangan kananmu. Sesungguhnya, Allah Ta’ala tidak menyukai orang sombong dan membanggakan diri.” [An-Nisa, 4:37]

Di sini, setelah menarik perhatian untuk beribadah kepada Allah Ta’ala dan menghindari perbuatan syirik terhadap-Nya, Allah Ta’ala telah menarik perhatian kepada perkara-perkara lainnya. Demikian pula, Ramadhan juga menarik perhatian ke arah hak-hak masyarakat dan seseorang dapat menjalankannya selama bulan ini secara terus menerus. Jika hak-hak ini tidak diindahkan maka ibadah semata tidak dapat mencapai tujuan Ramadhan. Memang, menyembah Allah Ta’ala merupakan tujuan yang hendaknya diamalkan di bulan ini dan terus-menerus dijalankan pada bulan-bulan lainnya. Demikian pula, hendaklah hak-hak manusia senantiasa diperhatikan pada bulan ini dan juga terus diperhatikan pada bulan-bulan selanjutnya.

Selama Ramadhan, kedermawanan Hadhrat Rasulullah saw terhadap orang-orang yang membutuhkan senantiasa meningkat secara intensif seperti angin kencang. Kedermawanan beliau saw selama bulan-bulan selanjutnya juga tidak ada bandingannya; oleh karena itu, menyamakan intensitas kedermawanan beliau saw selama bulan Ramadhan dengan angin yang kencang adalah karena tidak ada analogi/permisalan lain yang tepat untuk hal ini.

Setelah berbicara tentang beribadah kepada Allah Ta’ala, ayat yang disebutkan di atas membahas tentang seorang ‘abid dan hamba sejati Allah Ta’ala yang Maha Pemurah dan menarik perhatian mereka kepada huququl ‘ibad.  Jika kedua hak tersebut yakni huququllah dan huququl ‘ibad tidak dipenuhi, maka seseorang tidak dapat menjadi seorang mukmin sejati melainkan menjadi seorang yang sombong. Memenuhi kedua hak ini bukanlah sesuatu yang luhur namun merupakan kewajiban setiap mukmin sejati dan memenuhi kedua hak ini semata akan membawa seseorang merasakan pengabulan doa-doanya. Ini merupakan hak para orang tua, para kerabat, orang-orang yang membutuhkan, tetangga, musafir, kenalan lainnya dan mereka yang berada di bawah tanggungan kalian. Dengan demikian, satu ayat ini menarik perhatian dan memerintahkan terhadap hak-hak seluruh manusia. Di suatu tempat, Al-Quran juga menyebutkan hak-hak para orang tua. Ini merupakan tugas dari anak-anak mereka dan bukanlah sebuah sebuah kebaikan. Ada juga hak-hak para kerabat; jika suami dan istri memenuhi hak-hak saudara-saudara ipar mereka sebagaimana Allah Ta’ala perintahkan untuk memenuhi hak-hak kerabat dekat, maka berbagai macam pertikaian dan pertentangan akan teratasi. Perhatian khusus hendaknya juga diberikan terhadap perkara ini selama hari-hari di bulan Ramadhan.

Kepedulian terhadap anak-anak yatim dan menjadikan mereka berguna di masyarakat merupakan kewajiban yang penting. Hadhrat Rasulullah saw bersabda bahwa seseorang yang merawat anak-anak yatim akan menemaniku di surga. Jemaat telah mendirikan sebuah sistem untuk merawat anak-anak yatim. Kemudian ada hak-hak orang-orang yang membutuhkan, maka penuhilah segala kebutuhan mereka dan Jemaat sendiri memiliki dana yang terpisah dan khusus untuk hal itu. Mereka yang mampu hendaklah memberikan sumbangan untuk dana ini. Kemudian ada juga hak-hak kerabat dan tetangga; tetangga yang tinggal di sekitar kita, tetangga yang memiliki ikatan dengan kita, tetangga yang tidak dikenal baik dan tetangga yang tidak berhubungan baik dengan kita. Dengan demikian, ini merupakan ajaran untuk menciptakan perdamaian dan kedamaian. Kemudian ada pula hak-hak teman dekat, sahabat dan musafir. Di dalam kata-kata ini termasuk hak-hak suami dan istri dan juga mencakup hak-hak teman, kolega dan rekan kerja. Perhatian hendaknya juga ditarik kepada hak-hak mereka yang berada dibawah tanggungan kita dan kemudian dinyatakan bahwa barangsiapa yang tidak mengamalkan hal ini berarti ia adalah orang yang sombong dan tidak disenangi Allah Ta’ala. Dengan demikian, ini merupakan ajaran Islam yang indah bagi setiap segi masyarakat.

Selama Ramadhan, Allah Ta’ala memberikan karunia kepada mereka yang memenuhi huququllah dan huququl ‘ibad. Kita hendaknya memberikan perhatian penuh terhadap masalah ini. Suasana spesial Ramadhan menarik perhatian kita untuk beribadah dan untuk melaksanakan kegiatan rohani lainnya dan hendaklah kita memperoleh manfaat sebanyak mungkin dari kegiatan tersebut.

Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda: “Jika kalian ingin agar Allah Ta’ala di surga ridha atas kalian maka hendaklah kalian satu sama lain menjadi satu seperti dua orang saudara kandung. Bersikap baiklah kepada bawahan kalian, istri-istri kalian dan saudara-saudara kalian yang membutuhkan sehingga kebaikan tersebut nantinya juga diperlihatkan kepada kalian di surga. Jika kalian benar-benar telah menjadi milik-Nya, maka Dia juga akan menjadi milik kalian.”

Beliau bersabda di suatu tempat bahwa seseorang yang ingin memiliki umur yang panjang maka sebarkanlah amal-amal shaleh dan jadilah orang yang bermanfaat bagi makhluk-Nya.

Semoga Allah Ta’ala memungkinkan kita untuk beribadah kepada-Nya serta memenuhi huququl ‘ibad dan semoga kita semua benar-benar menjadi hamba-hamba Allah Ta’ala Yang Rahman.

Dua shalat jenazah ghaib diumumkan. Yang pertama adalah Hadayat Bibi Sahiba, istri seorang Darwaisy Qadian yang meninggal pada tanggal 4 Juni 2015 setelah menderita sakit. Beliau merupakan seorang Musiah. Yang kedua adalah Maulwi Muhammad Ahmad Saqib Sahib yang meninggal pada tanggal 18 Mei 2015 pada umur 98 tahun. Beliau mulai mewakafkan dirinya pada tahun 1939 dan terus mengkhidmati Jemaat dalam posisi yang berbeda-beda. Beliau merupakan seorang Musi.

Penerjemah: Hafizurrahman