Menu

Wednesday, 22 July 2015

Khutbah Jumat: RAHMAT, AMPUNAN DAN GANJARAN DARI ALLAH TA’ALA

Ringkasan Khutbah Jumat
Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad
Khalifatul Masih al-Khaamis ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz
10 Juli 2015 di Masjid Baitul Futuh, London, UK.

أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.

بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضَّالِّينَ. (آمين)
 
inni-maaka-ya-masroor
Dengan karunia Allah Ta’ala hari ini kita sedang melewati hari puasa yang ke-22 dan berada pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan ini. Sebagaimana sabda Hadhrat Rasulullah saw, kita telah melalui 10 hari turunnya Rahmat Ilahi, 10 hari turunnya Ampunan Ilahi dan sekarang kita sedang melewati 10 hari terhindarnya dari api Neraka. Ini merupakan ihsaan (anugerah kebaikan) Allah Ta’ala bagi kita semua bahwa Dia telah menganugerahkan kita kesempatan untuk merasakan hal ini. Namun demikian, seorang mu-min sejati memiliki keyakinan teguh terhadap Allah Ta’ala, senantiasa berupaya untuk berjalan di atas ketakwaan dan hatinya dipenuhi rasa takut pada Allah Ta’ala dan ia tidak hanya merasa senang bahwa 10 hari terakhir bulan Ramadhan menjadi sumber keselamatan baginya. Tidak diragukan lagi, hari-hari di bulan Ramadhan ini merupakan sumber rahmat, ampunan serta keselamatan dari api Neraka. Namun apakah kita benar-benar telah merasakan segala karunia tersebut? Karunia itu tidak dapat diraih tanpa menjalankan perintah Allah Ta’ala dan rasul-Nya saw. Sungguh, untuk merasakan segala karunia dari hari-hari ini memerlukan persyaratan yang mestinya kita perhatikan demi mencari keridhaan-Nya dan meraih karunia-Nya.

Sebagian mufassirin (para penafsir) berpendapat bahwa ada dua jenis rahmat Allah Ta’ala. Pertama, Dia memberikan rahmat-Nya sebagai karunia yang untuk hal tersebut manusia tidak harus melakukan suatu usaha sebagaimana dinyatakan:

رَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْء
 “…rahmat-Ku meliputi segala sesuatu…” [Al-Araf, 7:157]

Manusia pada umumnya merasakan rahmat-Nya. Hadhrat Masih Mau’ud as menjelaskan: “Ayat ini menunjukan bahwa rahmat Ilahi turun secara umum dan meluas sedangkan hukuman, sesuai dengan sifat ‘Adil-Nya, diberikan setelah manusia melakukan suatu tindakan. Artinya, sifat ini muncul saat hukum Ilahi dilanggar. Hal ini sebagai konsekuensi adanya hukum Ilahi dan dosa merupakan pelanggaran terhadap hukum Ilahi tersebut. Barulah kemudian pada saat itu sifat ini muncul dan memenuhi persyaratannya. [Tafsir Hadhrat Masih Mau’ud as, Vol II, hal 566]

Sungguh Allah Ta’ala itu Maha Penyayang kepada para hamba-Nya namun ketika mereka melanggar hukum-Nya dan pantas diberikan hukuman, maka sifat ‘Adil-Nya bermanifestasi. Pada umumnya, rahmat Allah Ta’ala meliputi segala sesuatu tetapi pelanggaran terhadap hukum Ilahi perlu mendapatkan hukuman. Namun demikian, Allah Ta’ala tetap bisa menurunkan rahmat dan ampunan-Nya. Hendaklah diingat kondisi tersebut bukanlah bagi seorang Mu-min. Seorang mu-min sejati memiliki derajat yang khas dan keimanannya menuntutnya menjaga kondisi kerohaniannya dan menjalankan perintah Ilahi dengan sebaik-baiknya. Namun demikian, jika seseorang melakukan perbuatan dosa karena kelemahannya, maka rahmat Ilahi senantiasa menyelimutinya. Situasi demikian akan menjadi berbeda dengan seseorang yang dijelaskan pada khutbah yang lalu yakni ia menjadi berani dalam berbuat dosa dengan dalih rahmat Ilahi sangat luas. Ini sama saja artinya dengan menantang Murka Ilahi. 

Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda: “Tidak ada janji dalam memberikan peringatan. Hanya karena kesucian-Nya, Allah Ta’ala berkehendak untuk menghukum orang yang berdosa. Oleh karena itu, terkadang Dia juga memberitahu mereka yang kepadanya Dia turunkan wahyu (para Nabi-Nya) mengenai masalah ini. Namun, ketika orang yang berdosa tersebut memberikan perhatiannya untuk bertaubat dan mencari ampunan Allah Ta’ala melalui doa yang dipanjatkan dengan kerendahan dan kelembutan hati, maka rahmat-Nya akan menghapuskan hukuman tersebut. Inilah yang dimaksud oleh ayat:

عَذَابِي أُصِيبُ بِهِ مَنْ أَشَاء وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ
“…Aku akan timpakan azab-Ku kepada siapa yang Aku kehendaki, dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu…” [Al-Araf, 7:157]

[Tafsir Hadhrat Masih Mau’ud, Vol II, hal 566]
Memang, Allah Ta’ala menyelamatkan dan memberikan ampunan kepada mereka yang berbuat dosa disebabkan karena mereka bertaubat. Bahkan mereka yang telah ditakdirkan akan memperoleh hukuman karena kesalahan mereka pun dapat memperoleh ampunan-Nya melalui doa yang mereka panjatkan dengan kerendahan hati. Ini bukanlah maqam seorang mu-min sejati, yaitu, ia melanggar hukum Ilahi dan kemudian barulah memanjatkan doa serta mencari rahmat-Nya.
Jenis rahmat yang kedua berkaitan dengan para mu-min sejati, yakni rahmat yang bersyarat yakni rahmat yang dapat diraih dengan berbuat kebaikan. Sebagaimana dinyatakan:

إِنَّ رَحْمَةَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ
“Sesungguhnya, rahmat Allah swt. dekat kepada orang-orang yang berbuat kebaikan.” 
[Al-Araf, 7:57]

[Kata dalam bahasa arab yang digunakan di sini bagi mereka yang melakukan amal baik yaitu Muhsin]. Muhsin adalah seseorang yang beramal baik kepada yang lain, yang berjalan di atas ketakwaan, yang memiliki wawasan dan yang melaksanakan perintah Allah Ta’ala dengan baik. Rahmat Ilahi adalah bagi mereka yang tidak melakukan dosa secara sengaja, yang senantiasa menyeru kepada-Nya dan mengingat-Nya serta takut berbuat dosa. Jika mereka secara tidak sengaja berbuat dosa, maka mereka akan menyeru Allah Ta’ala dengan ketakwaan di dalam hati dan inilah yang menarik rahmat-Nya dan segala doa mereka dikabulkan. Sungguh merupakan karunia khas Ilahi bahwa Dia mengabulkan segala doa kita. Rahmat Ilahi  ada beserta orang-orang yang berbuat ihsan yang menjalani hidup yang penuh ketakwaan dan yang melakukan kebaikan bagi yang lain serta memenuhi hak-hak mereka. Manusia tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang berbuat ihsan dengan hanya melakukan amalan baik yang biasa saja. Hal ini menuntut seseorang untuk memiliki tingkat amal yang sangat tinggi.

Hadhrat Rasulullah saw mendefinisikan muhsin dengan sedemikian rupa sehingga kita perlu memberikan perhatian besar ke arahnya. Beliau saw bersabda bahwa seorang muhsin merupakan seseorang yang ketika berbuat kebaikan, ia senantiasa menyadari bahwa ia sedang melihat Allah Ta’ala atau paling tidak ia menyadari Allah Ta’ala sedang melihatnya. Jika seseorang setiap saat menyadari hal ini, maka ia tidak akan melakukan perbuatan buruk lagi dan tidak akan tersesat dari jalan ketakwaan. Bahkan ia tidak akan pernah membayangkan untuk memberikan kerugian bagi orang lain. Perintah Islam adalah sedemikian rupa sehingga bagaimana pun caranya bagi seseorang untuk mengamalkannya namun pada akhirnya segala perintah tersebut tetap memenuhi huququllah (hak-hak Allah) dan huququl ‘ibad (hak-hak para hamba-Nya). Meski kita ingin agar segala doa kita dikabulkan dan agar kita menerima rahmat Ilahi, namun sangat banyak di antara kita yang tidak dawam melakukan upaya yang selayaknya dilakukan oleh seorang mu-min sejati untuk meraih ketinggian derajat kerohanian mereka.

Kita bahagia dapat merasakan 10 hari pertama bulan Ramadhan yang merupakan hari-hari turunnya rahmat-Nya namun apakah kita juga berhenti merenungkan apakah selama hari-hari tersebut kita telah mengamalkan apa yang seharuskan diamalkan untuk mencari rahmat-Nya? Apakah kita hanya memanjatkan doa yang bersifat sementara seperti halnya para pendosa atau apakah kita telah mencoba untuk membentuk kehidupan kita agar senantiasa berjalan di atas ketakwaan seperti para muhsin yang menjadikan Ramadhan sebagai sumber hakiki untuk menciptakan perubahan suci yang abadi di dalam diri mereka? Hadhrat Rasulullah saw telah memberikan kita pedoman hidup pada kata ‘rahmat’ ini. Beliau saw mengatakan kepada kita untuk mencari rahmat ini pada 10 hari pertama bulan Ramadhan. Kemudian tatkala telah mendapatkannya, maka berjanjilah untuk menjadikannya bagian dalam kehidupan.

Namun demikian, karena Syaithan senantiasa membawa manusia kepada kesesatan, maka tatkala kita telah meraih rahmat Allah Ta’ala, kita tetap memerlukan pertolongan agar tetap teguh. Apa yang perlu kita lakukan dalam hal ini? Lewatilah 10 hari selanjutnya di bulan Ramadhan dengan memohon pertolongan dan kekuatan dari Allah Ta’ala dan kekuatan tersebut adalah Istighfar (mencari ampunan-Nya). Seorang mu-min sejati menjadikan sifat Sattar Allah Ta’ala dan rahmat-Nya menjadi bagian hidupnya, baik dalam beribadah maupun dalam amalannya. Hal ini menghasilkan ampunan dari Allah Ta’ala yang senantiasa menyelimuti dan menutupinya dan bahkan pintu rahmat-Nya menjadi terbuka baginya.

Hadhrat Masih Mau’ud as menjelaskan: “Makna hakiki daripada istighfar adalah permohonan kepada Allah Ta’ala agar kelemahan manusiawi janganlah sampai ditampakkan dan harapan semoga Allah Ta’ala mau membantu dengan kekuatan-Nya secara alamiah dan memasukkan mereka ke dalam lingkaran perlindungan-Nya. Akar kata istighfar adalah ghafara yang mengandung arti menutupi atau menyelimuti. Dengan demikian pengertian daripada istighfar ialah agar Allah Ta’ala berkenan menutupi kelemahan alamiah si pemohon dengan kekuatan-Nya. Pengertian ini menjadi lebih luas dengan juga menyertakan pengertian menutupi dosa dan kesalahan yang telah dilakukan. Namun pengertian hakikinya adalah permohonan agar Allah Ta’ala berkenan memelihara si pemohon terhadap kelemahan alamiah dirinya dan menganugrahkan kepadanya kekuatan dari Wujud-Nya, pengetahuan dari khazanah-Nya dan cahaya dari Nur-Nya. 

Setelah menciptakan manusia, Allah Ta’ala tidak lalu melepaskan diri daripadanya. Sebagaimana Dia itu Pencipta manusia dan segala fitrat internal dan eksternal yang ada pada diri manusia, Dia juga bersifat Dzat yang Tegak Dengan Sendiri-Nya dengan pengertian bahwa Dia akan memelihara dan membantu segala sesuatu yang telah diciptakan-Nya. Karena itu perlu selalu diingat oleh manusia bahwa mengingat ia telah diciptakan Tuhan maka ia harus menjaga karakteristik dirinya melalui fitrat Tuhan sebagai sang Maha Pemelihara. Dengan demikian adalah suatu kebutuhan alamiah bahwa manusia diperintahkan untuk selalu beristighfar [Review of Religions – Urdu, Vol. I, hal, 187 – Inti pokok Ajaran Islam, Vol II, hal 241-242]

Menarik perhatian terhadap rahmat Ilahi selama bulan Ramadhan menandakan bahwa dukungan dan karunia Ilahi secara khusus datang selama bulan ini dan selama 10 hari turunnya rahmat tersebut, turunlah karunia-Nya yang khas untuk memberikan ampunan-Nya. Selama masa ini, hendaknya seseorang mencari kekuatan untuk berbuat kebaikan serta mencari cahaya dari Nur Ilahi sehingga ia tidak lagi kembali kepada kegelapan. Manusia tidak terpisahkan dari kelemahan. Dengan demikian, agar senantiasa terjaga dari kelemahan ini dan agar memperoleh kekuatan dari Kekuatan Ilahi maka perlu untuk senantiasa membaca Istighfar. Perhatian ditarik kepada sifat Maha Memelihara Allah Ta’ala karena untuk menciptakan sesuatu seperti kesalehan, seseorang memerlukan pertolongan Allah Ta’ala. Dia Maha Hidup dan Maha Memelihara dan merupakan sandaran yang paling kuat. Pada 10 hari pertengahan bulan Ramadhan tidak hanya berarti untuk beristighfar sebanyak mungkin guna meraih tujuan tersebut. Hadhrat Rasulullah saw menekankan kepada kita bahwa ketika Ramadhan datang, Allah Ta’ala datang mendekati para hamba-Nya dan kita dianjurkan untuk memberikan perhatian yang besar untuk memanjatkan doa-doa. Oleh karena itu, untuk memperoleh bagian yang sepenuhnya dari ampunan-Nya, hendaklah kita beristighfar supaya kita senantiasa berada di bawah perlindungan-Nya. Semoga sebagian besar dari kita dapat melewati Ramadhan dengan cara demikian. Sekarang kita telah memasuki 10 hari terakhir dengan harapan bahwa semoga cahaya dan kekuatan yang kita telah raih dapat membawa kita meraih keridhaan Ilahi!

Hadhrat Rasulullah saw bersabda kepada kita bahwa 10 hari terakhir bulan Ramadhan merupakan terhindarnya dari api Neraka. Ketika seseorang datang untuk meraih ampunan Ilahi, meraih cahaya dan kekuatan dari-Nya, maka jelaslah ia akan semakin dekat dengan-Nya. Allah Ta’ala tidak meninggalkan siapapun tanpa memberikan ganjaran. Ketika manusia berupaya untuk melakukan amal baik demi Allah Ta’ala, maka Dia tidak hanya menyelamatkannya dari api Neraka. Dengan menyebut 10 hari terakhir bulan Ramadhan ini sebagai terhindarnya dari api Neraka, Hadhrat Rasulullah saw bersabda kepada kita bahwa Dia juga memberikan kabar suka adanya Surga bagi mereka yang memenuhi segala persyaratannya. Jika kita bertaubat dengan tulus dan mencari ampunan Ilahi serta berusaha untuk tetap melakukan kebaikan, maka ibadah yang dilakukan selama 30 hari tersebut, pemenuhan terhadap hak-hak, taubat serta istighfar tersebut akan secara permanen menutup pintu-pintu Neraka bagi kita.

Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda: “Tujuan daripada agama adalah agar manusia memperoleh keselamatan dari hawa nafsunya dan menciptakan kecintaan pribadi kepada Allah yang Maha Kuasa melalui keimanan kepada eksistensi-Nya dan sifat-sifat-Nya yang Maha Sempurna. Kecintaan kepada Allah demikian merupakan Surga yang akan mewujud dalam berbagai bentuk di Akhirat nanti. Tidak menyadari akan adanya Tuhan dan menjauh dari Wujud-Nya adalah Neraka yang akan berbentuk macam-macam di Akhirat nanti.” [Chashma e Masih, Ruhani Khaza’in, Vol. 20, hal 352]

Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda bahwa tidak ada buku lain yang telah menguraikan tentang Surga dan Neraka sebagaimana Al-Quran telah jelaskan. Seraya menjelaskan ayat:

وَلِمَنۡ خَافَ مَقَامَ رَبِّهٖ جَنَّتٰنِ
“Dan bagi orang yang takut pada Keagungan Tuhan-nya ada dua Surga.” [Ar-Rahman, 55:47]

Beliau bersabda: “Itu artinya, suatu Surga diperoleh di dunia ini karena rasa takut kepada Allah Ta’ala menghentikannya dari berbuat keburukan. Melakukan kejahatan senantiasa membuat hatinya penuh kekhawatiran dan kegelisahan yang merupakan Neraka di dalam dirinya. Seseorang yang takut kepada Allah Ta’ala senantiasa menghindari kejahatan dan dengan segera selamat dari siksaan dan kesakitan yang diciptakan oleh hawa nafsu duniawinya. Ia meningkatkan keimanan dan berpaling kepada Allah Ta’ala yang menganugerahkan kegembiraan serta kebahagiaan kepadanya dan dengan demikian kehidupan Surgawi baginya dimulai di dunia ini juga. Demikian pula jika ia melakukan hal sebaliknya, maka kehidupan Neraka akan dimulai di dunia ini juga. [Tafsir Hadhrat Masih Mau’ud as, Vol. IV hal 300]

Konsep Islam mengenai Surga dan Neraka tidak terbatas di kehidupan Akhirat saja. Juga ada Surga dan Neraka di dunia ini. Sebagaimana hadis Hadhrat Rasulullah saw menjelaskan bahwa jika kita berfikir bahwa kita dapat melihat Allah Ta’ala atau Allah Ta’ala setiap saat melihat kita, maka hal tersebut akan menghentikan kita dari kesesatan. Mereka yang melakukan kesalahan, di dalam dirinya timbul perasaan takut akan ditangkap dan hal ini menjadikan mereka berada dalam kondisi seperti di Neraka. Seseorang yang merasa takut kepada Allah Ta’ala meraih Surga di dunia ini dan di Akhirat kelak sedangkan seseorang yang terikat dalam hawa nafsu dan hasrat rendahnya berarti sedang terikat dalam Neraka di dunia ini dan di Akhirat kelak. Menjadi seseorang yang jujur dan tulus kepada Allah Ta’ala merupakan suatu Surga sedangkan jauh dari segala perintah-Nya merupakan Neraka. Hadis ini menyebutkan tiga hal dan menekankan kita ke arah rahmat Ilahi, istighfar agar tetap senatiasa memiliki keteguhan hati. Dan tatkala semua hal ini telah diraih, maka setiap perkataan dan amalan seorang manusia adalah demi Allah Ta’ala. Merasakan karunia di bulan Ramadhan telah menjadi bagian hidupnya dan ia senantiasa meraih Surga Ilahi di dunia ini dan di Akhirat kelak.

Guna meraih keridhaan Ilahi dan untuk melindungi keimanan seseorang, ada satu hal lain pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan yang mengenainya Hadhrat Rasulullah saw telah berikan kabar suka, yakni Lailatul Qadr. Hadhrat Rasulullah saw bersabda: 
 
" مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَقَامَهُ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ , وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ " ‘man shaama Ramadhaana wa qaamanhu imaanaw wahtisaaban ghufira lahu ma taqaddama min dzanbihi, wa man qaama lailatal qadri imaanaw 
wahtisaaban ghurifa lahu maa taqaddama min dzanbihi.’ – 
 
“Seseorang yang berpuasa selama bulan Ramadhan dengan imaanaw wa htisaaban (penuh keimanan dan penuh harap akan pahala dan ridha-Nya) maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.  Dan seseorang yang mendapatkan Lailatul Qadr dengan imaanaw wa htisaaban maka juga akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (Kitab Hadits Masyikhah Abi al-Hasan as-Sukri, w. 386 H.)

Lailatul Qadr memiliki makna yang luar biasa namun hari-hari lain pada bulan Ramadhan pun juga memiliki makna yang besar. Hal penting dalam Lailatul Qadr adalah faktor keimanan dan mengharapkan pahala dari-Nya. Jika ada kelemahan di hari-hari awal Ramadhan, hendaklah lakukan upaya untuk memperbaiki kelemahan tersebut di hari-hari kemudian. Hadhrat Rasulullah saw tidak mengatakan bahwa dosa yang akan diampuni ialah dosa orang yang mendapatkan Lailatul Qadr, namun beliau saw memberikan persyaratan dengan keimanan dan mengharapkan pahala. Keimanan telah terikat dengan amal-amal baik dan hendaklah kita senantiasa memperhatikan hal ini.
Salah satu tanda seorang mu-min sejati di dalam al-Quran adalah:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Orang-orang mu-min ialah mereka yang apabila disebut nama Allah swt., gemetarlah hati mereka, dan apabila Ayat-ayat-Nya ditilawatkan kepada mereka, bertambahlah keimanan mereka, dan kepada Tuhan merekalah, mereka bertawakal.” [Al-Anfal, 8:3]

Ketika perhatian kita berkali-kali ditekankan untuk berbuat baik dan memenuhi hak-hak orang lain demi Allah Ta’ala, maka hendaklah kita senantiasa memperhatikan perintah-perintah tersebut. Ketika seseorang diminta untuk memenuhi hak-hak ini demi Allah Ta’ala namun kemudian ia tidak memenuhinya, apakah orang tersebut dapat termasuk ke dalam golongan mu-min sejati sesuai dengan ayat ini? Disebutkan bahwa jika setiap orang berpuasa selama bulan Ramadhan dengan mengharapkan pahala dan merasakan Lailatul Qadr, maka barulah segala dosanya akan diampuni. Keberkatan Ramadhan dan Lailatul Qadr itu bersyarat sebagaimana perintah Allah Ta’ala dan Rasul-Nya juga bersyarat. Contohnya, jika seseorang memiliki kelemahan iman dan merampas hak orang lain namun kemudian berkata bahwa ia mengalami Lailatul Qadr maka berarti terjadi satu dari dua hal ini; yaitu Allah Ta’ala telah menganugerahkannya karunia yang luar biasa (sebagai pengecualian), yang menuntutnya agar tetap teguh pada kebenaran dan menjalankan segala perintah Ilahi, dan [kedua], jika tidak demikian, berarti apa yang ia klaim sebagai mengalami Lailatul Qadr hanyalah khayalan imajinasinya saja.

Seraya menjelaskan hal ini, Hadhrat Masih Mau’ud as telah bersabda bahwa Lailatul Qadr tidak hanya suatu malam khusus yang turun selama bulan Ramadhan. Lailatul Qadr itu ada tiga bentuk: [pertama], suatu malam selama bulan Ramadhan, [kedua] zaman kedatangan seorang Nabi Allah dan [ketiga], Lailatul Qadr bagi seseorang juga berarti suatu waktu ketika ia disucikan dan memiliki keimanan yang teguh serta membersihkan dirinya dari segala kejahatan dengan mengharapkan pahala-Nya. Jika Lailatul Qadr seperti ini dialami dan kita sungguh-sungguh menjadi milik-Nya, menjalankan segala perintah-Nya serta meningkatkan standar ibadah kita, berarti kita telah menemukan tujuan yang telah Allah Ta’ala perintahkan kepada kita. Setiap siang dan malam menjadi saat-saat pengabulan doa. 

Kita, yang merupakan pengikut dari pecinta sejati Hadhrat Rasulullah saw, yakni Hadhrat Masih Mau’ud as, perlu mengadakan perubahan revolusioner di dalam diri kita dan meningkatkan keimanan kita sehingga setiap perkataan dan perbuatan kita adalah untuk meraih keridhaan Allah Ta’ala dan dimana kita melewati kehidupan kita demi meraih pahala-Nya. Semoga keberkatan Ramadhan ini senantiasa menyertai kita! Semoga Allah Ta’ala membuat kita semua merasakan Lailatul Qadr yang merupakan contoh khas pengabulan doa dan yang mengenainya Hadhrat Rasulullah saw telah katakan kepada kita bahwa malam tersebut turun pada satu malam selama hari-hari terakhir bulan Ramadhan. Semoga dengan merasakannya dapat menjadikan kita tetap berada dalam ketakwaan serta meningkatkan standar ketakwaan kita. Semoga segala dosa yang telah lalu memperoleh ampunan-Nya dan semoga dengan karunia-Nya, Allah Ta’ala senantiasa menganugerahkan kita kekuatan yang khas agar dapat terhindar dari segala dosa di masa depan! 
 
Penerjemah: Hafizurrahman; editor: Dildaar AD

No comments:

Post a Comment