”Setelah doa [Al-Fatihah] tersebut, di permulaan Surah Al-Baqarah ada dikatakan, “Hudan- lil-muttaqin” (petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa), seolah-olah Allah Ta’ala sudah siap untuk memberi. Yakni, Kitab ini menjanjikan untuk menyampaikan orang mutaki (bertakwa) kepada kesempurnaannya.
Jadi, artiny adalah bahwa Kitab [Al-Quran] ini bermanfaat bagi mereka yang bersedia untuk bertakwa dan mendengarkan nasihat. Orang mutaki pada derajat ini adalah dia yang secara alami siap untuk mendengarkan kebenaran. Misalnya, ketika seseorang menjadi Muslim (orang Islam) maka dia akan menjadi mutaki (orang yang bertakwa).
Ketika datang hari-hari yang baik bagi agama lain maka di dalam dirinya timbul ketakwaan, sedangkan keangkuhan, kesombongan serta takabur akan lenyap. Ini semua adalah penghalang-penghalang yang telah punah, dan dengan kepunahan semua itu maka jendela rumah yang gelap menjadi terbuka, dan sinar-sinar pun telah masuk ke dalamnya.
Ada pun yang difirmankan, bahwa Kitab ini adalah petunjuk bagi orang-orang mutaki (bertakwa) - yakni “hudan- lil-muttaqīn” – kata ittiqa’ yang berasal dari bab if’al (perbuatan), bab ini digunakan untuk menyatakan suatu hal yang dilakukan dengan usaha (kerja-keras/kegigihan). Yakni di dalamnya terdapat isyarat bahwa, “Ketakwaan yang Kami inginkan tidak kosong dari usaha gigih (kerja keras), yang untuk menjaga ketakwaan itulah terdapat petunjuk-petunjuk di dalam Kitab ini.” – seakan-akan orang mutaki (bertakwa) terpaksa harus menanggung derita susah-payah dalam melakukan kebaikan.” (Malfuzat, jld I, hlm. 21 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).
No comments:
Post a Comment