Bandung - Ketika perbedaan tidak menjadi halangan untuk saling menghargai, maka harapan untuk mewujudkan perdamaian sejati bukanlah hanya sebuah mimpi. Inilah pemandangan yang dapat kita lihat pada Youth Interfaith Camp (YIC) yang terselenggara atas kerjasama Gereja Kristen Pasundan dan Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (Jakatarub). Kegiatan ini dilaksanakan selama 3 hari mulai hari Jum’at, 19 September 2014. Sebanyak 80 orang calon duta perdamaian dari berbagai komunitas di Jawa Barat mengikuti rangkaian kegiatan yang sudah ke empat kalinya ini diadakan.
|
Dr. KH. Abdul Muqsid Ghazali, MA. |
Antusiasme para peserta sudah dapat dirasakan sejak hari pertama. Pada sesi keakraban para peserta didampingi oleh fasilitator yang merupakan alumni YIC sebelumnya saling memperkenalkan diri masing-masing kepada anggota dari kelompoknya dan diminta untuk mengingat nama seluruh anggota di daam kelompoknya tersebut. Setelah itu mereka diminta menyebutkan nama teman-teman dalam grup masing-masing di hadapan peserta yang lain.
Setelah makan malam acara dilanjutkan dengan sebuah sesi yang menarik yaitu Religious Cafe. Dalam sesi ini terdapat lima stand yang berisi expert dari lima keyakinan yang berbeda. Setiap kelompok diberikan kesempatan selama 10 menit untuk bertanya-tanya tentang masing-masing keyakinan itu. Lima stand tersebut adalah Islam, Kristen, Buddha, Baha’i dan Penghayat. Stand Baha’i dan Penghayat mendapat antusias lebih dari para peserta karena banyak yang baru mendengar serta mengetahui adanya dua keyakinan ini di Indonesia.
Hari kedua dimulai dengan olahraga pagi di halaman Griya Krida Sekesalam yang dipilih menjadi lokasi bertemunya berbagai keyakinan dalam kerukunan ini. Sesi indoor pertama pada hari ini yaitu nonton bareng film “Ketika Bung di Ende” yang menceritakan kehidupan Presiden pertama Indonesia, Soekarno ketika beliau diasingkan ke Pulau Ende di Flores oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1934-1938. Terlihat bagaimana Bung Karno hendak mewujudkan cita-cita mempersatukan Indonesia yang beragam baik suku, budaya maupun agama. Setelah itu acara diisi oleh narasumber dari Wahid Institute yang juga merupaka Dosen di UIN Syarif Hidayatullah serta Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL), Dr. KH. Abdul Muqsid Ghazali, MA. Beliau menyampaikan bagaimana realitas keragaman agama dalam payung besar bangsa Indonesia. Selama ini terjadi stratifikasi sosial di Indonesia yang memang sudah masuk sejak zaman pendudukan kolonial Belanda di Indonesia.
|
Sesi Keakraban |
Setelah itu Kang Wawan, koordinator Jakatarub dan Pendeta Obertina, koordinator YIC menjelaskan permasalahan di Indonesia yang menyangkut radikalisme serta diskriminasi yang terjadi kepada beberapa keyakinan tertentu dan bagaimana kita harus menghadapinya. Acara dilanjutkan kepada sesi grup lagi. Setiap grup mendapatkan selebaran yang berbeda-beda berisikan isu-isu terhangat mengenai toleransi. Kemudian para peserta diminta untuk mengutarakan apa yang mereka rasakan setelah melihat isi dari selebaran yang mereka dapatkan. Kemudian perasaan itu diungkapkan dalam bentuk gambar. Setiap grup dapat menggambarkan apa saja yang mereka rasakan di dalam kertas A2 yang kemudian mereka presentasikan di hadapan para peserta yang lain. Setelah itu para peserta dibagi berdasarkan regional wilayah masing-masing. Mereka mendiskusikan Rencana Tindak Lanjut apa yang akan dilaksanakan setelah berakhirnya YIC ini agar kegiatan ini tidak hanya terhenti disini saja dan dapat menghasilkan sesuatu yang kongkrit.
Malam harinya tidak kalah seru. Acara api unggun dikemas menarik dengan menampilkan slideshow foto-foto dokumentasi selama 2 hari acara diselenggarakan. Lagu harmoni dan rumah kita yang dibawakan bersama-sama menambah hangatnya suasana malam itu. Kesempatan itu juga dimanfaatkan untuk memperkenalkan dua komunitas yang ada di Kota Bandung yaitu Praxis yang bergerak di bidang sosial serta LBH yang bergerak di bidang advokasi. Kemudian dilanjutkan dengan pemutaran film Alur Waktu karya komunitas 6211 yang menampilkan perjalanan toleransi bangsa Indonesia sejak kemerdekaan RI pada tahun 1945. Banyak peristiwa yang menunjukkan masih harus dibangunnya toleransi pada diri seluruh masyarakat Indonesia. Akhirnya malam itu ditutup dengan renungan yang dipimpin oleh Mln. Syaefullah Ahmad Farouq, muballigh Jemaat Ahmadiyah Indonesia untuk wilayah Priangan Barat. Beliau menyampaikan pentingnya motto Love For All Hatred For None dalam menyikapi keberagaman di negeri kita.
|
Kunjungan ke Vihara Dharma Ramsi |
Pada hari terakhir para peserta diajak oleh panitia dan fasilitator YIC untuk berwisata rohani ke beberapa tempat ibadah di kota Bandung. Ada dua kelompok besar yang dibagi untuk mengunjungi Hindu Hare Krisna, Vihara Dharma Ramsi, Pesantren Darut Taubah, Kong Miao milik Kong Hu Cu serta Gereja St. Mikael yang menjadi destinasi terakhir rangkaian acara YIC ini.
Sebuah pengalaman yang luar biasa mengetahui bagaimana ajaran agama dan keyakinan lain diajarkan. Dengan mengetahui langsung dari setiap agama dan keyakinan itu kita dapat menarik kesimpulan bahwa tidak ada agama yang mengajarkan kejahatan. Semua mengarahkan manusia untuk dapat menjadi manusia yang lebih baik. Hanya cara pandang serta pelaksanaan yang berbeda. Seperti pepatah banyak jalan menuju Roma, banyak cara untuk menuju Sang Pencipta sesuai dengan keyakinan yang ada di hati kita masing-masing. Berbeda itu indah karena dengan berbeda kita bisa menjadi suatu kesatuan yang berwarna. (Syihab)
0 komentar:
Post a Comment