Ahmadiyya Priangan Timur

.

Thursday, 19 March 2015

Khutbah Jumat: Ketaqwaan

Ringkasan Khotbah Jumat
Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad
Khalifatul Masih al-Khaamis ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz

tanggal 6 Maret 2015 di Masjid Baitul Futuh, Morden, London, UK.

أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدًا عبده ورسوله. أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم. [ بسمْ الله
الرَّحمَْن الرَّحيم * الحَْمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحمَْن الرَّحيم * مَالك يوَْم الدِّين * إيَّاكَ نعَْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ *
صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضا لِّين ]، آمين.
[يَا أَيهَُّا الَّذِينَ آمَنُوا اتقَُّوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نفَْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتقَُّوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ * وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ
(20- فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ ] (الحشر: 19

“Hai, orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah; dan hendaklah setiap
jiwa memperhatikan apa yang didahulukan untuk esok hari, dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan, janganlah kamu
menjadi seperti orang-orang yang telah melupakan Allah; maka Dia pun menjadikan
mereka lupa terhadap diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik. (Surah al-
Hasyr, 59:19-20)

Secara umum, akar dari segala keburukan dan dosa terletak pada tidak adanya usaha untuk menghindari keburukan dan dosa tersebut dengan menganggapnya sebagai hal yang sepele dan kecil, atau tidak menaruh perhatian terhadap hal itu [menganggapnya sebagai perbuatan tersebut tidak ada gunanya]. Namun, kelalaian (ketidakwaspadaan)-lah yang kemudian mengarahkan manusia menuju timbulnya dosa yang lebih besar. Hal demikian karena manusia secara perlahan melupakan kebajikan, melupakan taraf (tingkat, standar) kebaikan yang diharuskan bagi seorang mu’min (beriman) untuk menjaganya, rasa takut pada Allah Ta’ala pun menjadi berkurang dan keimanan seseorang terhadap akhirat pun juga semakin melemah. Dengan kata lain, dalam prakteknya, seseorang yang menyatakan beriman beramal (berperilaku) menjauh dari tuntutan keimanan. Dua ayat Al-Quran yang disebutkan di atas menarik perhatian kita terhadap masalah ini. Seseorang diingatkan untuk tidak hanya peduli terhadap kepentingan, kenyamanan dan hubungan duniawi saja. Perhatian utama seseorang hendaknya tertuju pada kehidupan setelah mati, tingkat keimanannya dan penerapan ketakwaan. Pertanggungjawaban di akhirat kelak hendaknya menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan oleh seseorang dan hanya inilah yang akan membawanya kepada perkembangan akhlak yang sejati. Seseorang akan mengalami kemajuan secara rohani ketika ia menyadari apa yang ia dahulukan untuk esok hari.

Seraya menjelaskan ayat وَلْتَنْظُرْ نفَْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ 59:19 Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihis salaam menulis: “Wahai orang-orang beriman, takutlah kepada Allah dan hendaknya setiap orang diantara kalian melihat kepada apa yang ia telah berikan untuk kehidupan mendatang. Dan takutlah kepada Allah Yang Maha Menyadari dan Maha Mengetahui serta melihat segala perbuatan kalian. Yakni, Dia Mengetahui serta melihat dengan sangat baik dan dengan demikian Dia tidak akan pernah menerima perilaku buruk dan palsu kalian”(Tafseer oleh Hadhrat Masih Mau’ud as, Vol IV, hal 338)

Perintah Allah ini sangat perlu untuk dipahami dan dimengerti dengan penuh perhatian dan perenungan. Hendaknya seseorang berjalan di atas ketakwaan dan senantiasa mengawasi perilakunya sendiri serta memperhatikan hal-hal tersebut yang akan menghiasi hari esoknya. Sesungguhnya Allah Maha Melihat hingga sudut-sudut hati kita yang terdalam sekalipun. Dia Maha Mengetahui semuanya tentang kita. Tidak mungkin dapat menipu-Nya dengan hal-hal superficial (dangkal atau yang terlihat di permukaan) saja. Melainkan, Dia adalah Dzat Yang dapat membedakan antara yang salah atau palsu dan yang benar sebagaimana telah disabdakan oleh Hadhrat Masih Mau’ud as. Amal-amal perbuatan palsu dan menipu takkan diterima oleh Allah Ta’ala selamanya. Karenanya, ia harus tidak menganggap dunia ini sebagai segalanya seperti anggapan orang-orang yang tidak beriman. Melainkan, kita harus berjalan di atas jalan ketakwaan untuk meraih keberhasilan yang hakiki.

Hadhrat Khalifatul Masih I ra bersabda bahwa Allah Ta’ala telah memberikan kita suatu prinsip untuk meraih kesuksesan di dunia ini serta di akhirat kelak. Itu adalah seseorang di dunia ini harus menaruh perhatian [bagaimana] untuk kehidupan mendatang. Prinsip ini memperindah kehidupannya baik di dunia ini maupun juga di akhirat kelak. Seseorang harus mulai dari sekarang untuk mempersiapkan dirinya untuk kehidupan di akhirat kelak.

Ada hal yang hendak saya jelaskan, bahwa ayat yang ditilawatkan tadi merupakan salah satu ayat Al-Quran yang dibacakan pada saat khotbah akad nikah. Ini adalah ayat terakhir dari beberapa ayat lainnya yang dibacakan pada saat khutbah nikah. Pada khutbah nikah, Allah Ta’ala menarik perhatian kita pada banyak aspek; memelihara hubungan keluarga, menerapkan kejujuran yang memungkinkan seseorang untuk melakukan kebaikan dan memenuhi kewajibannya, menjalankan perintah Allah Ta’ala dan Rasul-Nya dan lebih jauh lagi diberikan penekanan bahwa jika seseorang senantiasa memperhatikan kehidupannya sesudah mati, maka ia juga akan memperhatikan perintah Allah Taala dan Rasul-Nya.

Ada banyak perintah Allah Ta’ala dan Rasul-Nya yang membantu untuk menciptakan kehidupan suatu keluarga/ pasangan suami-istri menjadi sangat bahagia. Kehidupan berkeluarga seseorang di dunia ini senantiasa menjadi seperti surga serta ia pun berharap agar memperoleh keberkatan-keberkatan di kehidupan mendatang sesuai dengan amalan baiknya. Ini tidak terbatas kepada dirinya saja. Namun, pengaruh keberkatan-keberkatan ini sangat luas dan anak-anaknya juga menjadi penerima keberkatan ini.

Jika keluarga-keluarga yang mengalami kehancuran oleh hal-hal kecil dan sepele merenungkan perintah Allah Ta’ala ini serta juga mengamalkannya, maka tidak hanya perintah-perintah ini akan memberikan jaminan suatu kehidupan keluarga yang penuh kedamaian namun juga akan menghiasi masa depan anak-anak mereka. Keluarga-keluarga yang sedang mengalami kehancuran karena masalah-masalah duniawi yang sepele hendaknya merenungkan serta memikirkan hal ini. Generasi mendatang tidak hanya milik kalian, mereka juga aset Jemaat dan bangsa. Para orang tua bertanggung jawab untuk menunjukan jalan yang benar kepada anak-anak mereka dan hal ini hanya dapat terwujud jika para orang tua mengikuti perintah Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Semoga Allah Ta’ala memberi taufik pada setiap mu’min terhadap aspek ini.

Ini adalah salah satu segi yang telah dijabarkan oleh Allah Ta’ala pada orang-orang beriman agar kehidupan mereka dan anak keturunan mereka kokoh kuat dalam keelokan duniawi dan ukhrawi. Seperti telah kita ketahui bersama, ada banyak peristiwa dalam kehidupan kita sehari-hari ketika kita tidak berjalan di atas ketakwaan serta tidak memperhatikan akhirat. Secara tidak sadar, kita mendahulukan kepentingan dunia daripada kepentingan akhirat. Karena kebodohan dan kelemahan kita, kita menghancurkan masa depan kita di dunia ini dan juga mengabaikan kehidupan mendatang.

Hadhrat Khalifatul Masih Awwal ra telah bersabda dengan kalimat-kalimat yang singkat lagi jelas bahwa seorang mu’min hendaknya pertama-tama memikirkan akibat dari apa yang ia mulai atau akan lakukan. Ketika marah, manusia cenderung untuk bertindak kejam serta juga melontarkan kata-kata kasar. Namun ia hendaknya merenungkan akibat dari perbuatan tersebut. Dengan memperhatikan konsekuensinya, maka akan menggiringnya untuk berjalan di atas ketakwaan. Segala keburukan dan kejahatan berasal dari kenyataan bahwa di dalam pikiran kita ini terdapat setan dan kita melakukan apapun yang kita ingin lakukan tanpa memberikan sedikit pertimbangan terhadap akibat yang akan timbul dari hal ini. Dalam hal ini, acuannya bukan pada mereka yang biasa melakukan kesalahan atau mereka yang tidak dapat mengontrol tindakan mereka. Namun, mereka yang dimaksudkan adalah orang-orang yang menyatakan diri memiliki keimanan.

Hadhrat Khalifatul Masih I ra bersabda bahwa hendaknya seseorang memiliki keimanan bahwa Allah Ta’ala senantiasa mengawasi apapun yang dilakukan. Jika seseorang menyakini bahwa suatu wujud yang berkuasa di atasnya itu sangat menyadari dan mengetahui, yang mengawasi setiap jenis kejahatan, kebodohan dan kemalasan serta akan memberikan hukuman, maka manusia dapat menghindari hukuman tersebut dengan mengambil suatu tindakan. Ini adalah jenis keimanan yang hendaknya ditanamkan oleh seseorang. Jika seseorang tidak menjalankan tugas-tugas dengan ketulusan hati bahkan dalam urusan duniawi maka ia tidaklah pantas memperoleh gaji/bayarannya.

Ayat 59:19, yakni

يَا أَيهَُّا الَّذِينَ آمَنُوا اتقَُّوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نفَْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتقَُّوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Hai, orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah; dan hendaklah setiap jiwa
memperhatikan apa yang didahulukan untuk esok hari, dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

yang menarik perhatian kepada hari esok memiliki makna dan pengertian yang sangat luas. Kita perlu menanamkan keyakinan bahwa Tuhan mengawasi setiap gerak-gerik kita dan kita juga perlu menanamkan keyakinan bahwa setiap jenis kecurangan, tidak peduli betapa kecilnya itu, atau kemalasan dan kelalaian yang ada pada diri kita tidak disenangi oleh Allah Ta’ala. Dengan menyuruh orang-orang mu’min agar mencari apa yang akan dia berikan untuk hari esok, berarti Allah Ta’ala telah memerintahkan kita agar berjalan di atas ketakwaan dalam urusan keluarga serta dalam urusan bisnis baik dalam cakupan nasional maupun internasional. Manusia mungkin mengira bahwa masalah-masalah duniawi tidak ada hubungannya dengan keimanan namun seorang mu’min diminta agar berjalan di atas ketakwaan.

Terkadang orang-orang mengambil langkah-langkah tertentu untuk menghindari kerugian secara duniawi namun hendaknya diingat bahwa suatu langkah yang menguntungkan melalui jalan penipuan akan menjauhkan seseorang dari keimanan dan keyakinannya. Dan secara perlahan orang itu akan jauh dari agama dan Tuhan. Dengan demikian, hendaknya seseorang memperhatikan konsekuensi dari segala sesuatu yang dilakukan karena Allah Ta’ala mengawasi segala sesuatu yang kita lakukan. Pada kenyataannya, hendaknya kita sendiri memegang tanggung jawab atas diri kita. Jika kita melakukan sesuatu dengan niat yang baik dan melakukannya untuk mencari keridhaan Ilahi, maka kita dijanjikan akan memperopleh ganjaran yang berlipat dari Allah Ta’ala. Jika niat dibalik melakukan sesuatu itu tidak baik, maka kita hendaknya sadar bahwa kita akan tertimpa siksa Ilahi. Jika setiap orang memenuhi kewajibannya dengan pemikiran seperti ini, maka tingkat ketakwaan secara umum di dalam jemaat ini akan meningkat dan akan menjadi jelas bagi semua orang untuk disaksikan. Tidaklah bidang Tarbiyat akan dilibatkan dalam hal ini dan tidak pula kantor Umur Ammah atau departemen lainnya. Dengan demikian hendaknya kita secara terus-menerus melihat kedalam diri kita serta melakukan usaha untuk menjaga diri kita dari serangan setan.

Sungguh, Rasulullah saw bersabda, “ إنَِّ الشَّيْطَانَ يجَْرِي مِنِ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ " - ‘innasy syaithaana yajri min ibni Aadama majrad dam.’ “Setan mengalir di dalam pembuluh darah setiap anak Adam (setiap orang).” Kemudian beliau saw menambahkan bahwa setan yang ada dalam aliran darah beliau saw telah menjadi Muslim.

Ketika kita dalam kondisi tidak sehat, mungkin kita terinfeksi oleh sesuatu yang masuk ke dalam aliran darah kita. Pada awalnya kita bahkan tidak menyadari penyakit ini dan bahkan terkadang dokter pun tidak dapat menunjukan secara tepat penyakit apa yang telah masuk ke dalam aliran darah kita. Ada banyak sekali virus sebagaimana kita lihat akhir-akhir ini ada suatu penyakit yang menyebar luas. Bagaimanapun juga, penyakit yang paling berbahaya akhir-akhir ini adalah penyakit rohani yang sedang merajalela. Manusia bahkan tidak mengetahui kapan dan bagaimanan setan masuk ke dalam aliran darahnya.

Paling tidak, dengan penyakit jasmani seseorang merasakan beberapa gejala, merasa waspada dan mencari pertolongan medis. Namun, hal ini tidaklah seperti penyakit rohani. Orang-orang terdekat melihat timbulnya tanda-tanda penyakit rohani serta mencoba untuk menasehatinya. Mereka yang telah mencapai penyakit rohani pada tahapan yang lebih buruk akan menganggap segala nasehat orang-orang terdekatnya sebagai sesuatu yang salah. Memang, serangan setan dan penyakit rohani ini jauh lebih buruk dan lebih berbahaya dari pada penyakit jasmani karena manusia tidak siap untuk penyembuhannya. Inilah mengapa para mu’min sejati hendaknya mengambil tindakan pencegahan sebelum serangan demikian terjadi. Kita memerlukan praktek dan pengobatan yang terus menerus untuk melindungi diri kita karena penyakit rohani ini sedang merajalela.



Hendaknya kita ingat bahwa seorang mu’min sejati tidak pernah untuk tidak merasa takut terhadap Allah Ta’ala. Di dalam riwayat-riwayat disebutkan bahwa setiap kali Hadhrat Rasulullah saw terbangun di malam hari, beliau biasa berdoa (bertahajjud) dan memohon kepada Allah dengan penuh kerendahan dan ketulusan hati.4 Hadhrat Aisyah rh bertanya kepada beliau saw bahwa sungguh Allah Ta’ala telah menganugerahkan ampunan kepada beliau saw, lalu mengapa beliau saw begitu rendah hatinya dalam memanjatkan doa. Hadhrat Rasulullah saw menjawab bahwa meskipun begitu keselamatan beliau saw adalah dengan karunia Allah Ta’ala dan beliau saw perlu agar senantiasa berpaling kepada Allah Ta’ala. kerendahan hati yang seperti ini serta takut pada Allah Ta’ala, maka siapakah yang dapat mengatakan bahwa ia tidak perlu mencari keberkatan dari Allah Ta’ala!


Kita perlu untuk terus merasa waspada, kita perlu untuk terus berjalan di atas ketakwaan, kita perlu untuk terus mengintrospeksi diri, kita perlu untuk terus mencari ampunan Ilahi dan kita perlu untuk terus memperhatikan bagaimana cara untuk menjaga keimanan kita seperti yang dijelaskan dalam ayat لَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّه , 59:19 “Dan, janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang telah melupakan Allah; maka Dia pun menjadikan mereka lupa terhadap diri mereka sendiri.” Permisalan sebagai contoh, penyakit rohani yang diidap oleh seseorang menjadikannya tidak menyadari keadaan dirinya yang sedang terkena penyakit rohani tersebut. Faktanya, ketika orang-orang yang bersimpati mencoba untuk menyembuhkannya, ia berpikir bahwa adalah orang-orang itulah yang sedang sakit. Hal ini tidak menghasilkan apapun kecuali kehancuran.


Umumnya, manusia melupakan Allah Ta’ala dalam tiga cara. Pertama, mereka yang tidak percaya terhadap keberadaan Allah Ta’ala dan pada hari-hari ini ada sejumlah besar orang yang tidak percaya akan hal ini. Orang-orang ini nyatanya terdidik dan menggunakan media serta internet untuk meracuni pikiran anak-anak muda dan orang-orang yang mudah dipengaruhi.


Kedua, mereka yang tidak memiliki keyakinan sejati terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa. Orang-orang ini percaya akan keberadaan Allah Ta’ala sebagai Sang Pencipta dan meyakini bahwa seluruh jagad raya berjalan dibawah kuasa Ilahi. Kendatipun demikian, mereka tidak mengamalkan perintah-perintah-Nya.


Ketiga, adalah mereka yang begitu fana dalam urusan dunia sehingga mereka telah melupakan Allah Ta’ala. Mereka mungkin mengerjakan shalat atau berdoa ketika mereka ingat namun mereka tidak memiliki perhatian bahwa Shalat adalah kewajiban bagi mu’min sejati. Mereka yang melupakan Allah Ta’ala pada akhirnya mencapai suatu tahap penurunan akhlak dan kerohanian serta tidak memiliki kedamaian batin. Mereka sangat cepat dalam mengenali kenyamanan duniawi dan Allah Ta’ala membuat mereka lupa akan diri-Nya.


Ketakwaan meminta seseorang untuk menjalani kehidupan sesuai dengan perintah Ilahi dan termasuk melihat kepada akibat dari segala sesuatu yang ia mulai serta juga termasuk memiliki keyakinan yang teguh bahwa Allah Ta’ala senantiasa mengawasi segala sesuatu yang dilakukan.


Ketika saya (Hadhrat Khalifatul Masih V aba) berkunjung ke Kenya, saya bertemu dengan seorang politisi yang menceritakan kepada beliau bahwa dia juga telah bertemu dengan Hadhrat Khalifatul Masih IV rh yang telah menasehatinya sesuatu yang telah terbukti sangat bermanfaat. Nasehat tersebut adalah agar berpikirlah sebelum melakukan sesuatu bahwa Allah Ta’ala sedang mengawasi engkau dan bahwa Dia juga memiliki rekaman segala sesuatu yang seseorang lakukan. Mungkin orang ini adalah seorang nasrani. Jika ia dapat mengambil manfaat dari nasehat ini, berapa banyak lagi keuntungan yang akan nasehat ini berikan bagi seorang mu’min sejati yang telah diberikan peringatan oleh Allah Ta’ala untuk mengikutinya. Jika seseorang melupakan Allah Ta’ala, maka ia termasuk di antara orang-orang fasik. Ayat tersebut menjadikannya sangat jelas bahwa jika kalian tidak berjalan di atas ketakwaan, tidak peduli akan kehidupan mendatang dan tidak mengikuti perintah Ilahi maka kalian akan termasuk di antara orang-orang fasik. Dan orang-orang fasik adalah mereka yang merusak batasan yang telah diatur oleh Allah Ta’ala, yang terlibat dalam dosa, yang jelas-jelas menentang ketaatan dan yang jauh dari kejujuran. Ini adalah penyebab timbulnya kekhawatiran yang sangat besar jika kita tidak mengintrospeksi diri. Sekarang, jika seseorang seperti Hadhrat Rasulullah saw mengamalkan


Hadhrat Khalifatul Masih I ra bersabda, “Janganlah menjadi seperti mereka yang meninggalkan sumber mata air segala kesucian ini yang Allah Ta’ala harapkan supaya kita bisa meraih kesuksesan menghadapi segala rencana jahat. Sungguh, manusia dihadapkan kepada banyak masalah dalam kehidupan namun kemuliaan seseorang yang bertakwa adalah tidak akan pernah adanya sesuatu yang tidak wajar masuk ke dalam hubungannya dengan Allah Ta’ala. Kita hendaknya jangan pernah melepaskan hubungan kita dengan Allah Ta’ala Yang tidak berpisah dari kita di dalam kehidupan dan kematian.”

0 komentar:

Post a Comment