Ringkasan Khutbah Jumat
Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad
Khalifatul Masih al-Khaamis ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz
tanggal 08 Mei 2015 di Masjid Baitul Futuh, Morden, London, UK.
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضَّالِّينَ. (آمين)
Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad
Khalifatul Masih al-Khaamis ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz
tanggal 08 Mei 2015 di Masjid Baitul Futuh, Morden, London, UK.
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضَّالِّينَ. (آمين)
Khutbah Jumat yang lalu menyinggung mengenai kisah awal Qadian ketika tempat tersebut masih kecil dan tidak terkenal. Saat itu Hadhrat Masih Mau’ud as pergi jalan-jalan hanya ditemani dengan satu orang saja, dan mereka berjalan-jalan di jalan setapak yang dipenuhi semak belukar. Qadian telah berkembang pesat sejak saat itu, kemajuan yang telah dinubuatkan oleh Tuhan. Umumnya tempat yang lokasinya berdekatan dengan jalan raya lah yang maju berkembang, namun Qadian yang lokasinya di sudut terpencil dan bahkan tidak bisa diakses melalui jalan, kini malah ramai dikunjungi orang-orang dari tempat-tempat yang jauh.
Hadhrat Mushlih Mau’ud ra menjelaskan kemajuan ini sebagai tanda yang sangat luar biasa dari Hadhrat Masih Mau’ud as. Beliau menceritakan kembali ukuran asli Masjid Mubarak pada zaman Hadhrat Masih Mau’ud as. Tempat tersebut hanya bisa menampung dua shaf Jamaah, dan beliau membandingkannya dengan daya tampung yang ada pada masa beliau. Beliau mendorong orang-orang untuk datang ke Masjid dan membayangkan bagaimana orang-orang Ahmadi tersebut tercengang saat masjid yang kecil dan hanya bisa menampung dua shaf yang setiap shaff-nya terdiri dari lima orang, telah menjadi tiga shaff yang setiap shaff-nya berjumlah lima belas orang.
Hadhrat Mushlih Mau’ud ra juga ingat bahwa sebagai anak kecil beliau harus memanjat tangga di samping rumah Mirza Sultan Ahmad Sahib agar dapat pergi ke atas atapnya untuk bermain. Keluarga tersebut belum menerima Ahmadiyah dan bibi beliau selalu mengolok-olok beliau dengan bahasa daerah setempat. Karena ibu beliau selalu berbicara bahasa Urdu dengan beliau setiap harinya, beliau pun tidak mengerti bahasa Punjab dengan baik kala itu, sehingga beliau menanyakan kepada sang ibu apa maksud dari ucapan sang bibi. Ucapan tersebut adalah ucapan penghinaan yang artinya ‘bapak sama anak sama aja’ yang menggambarkan persamaan dengan burung gagak. Kemudian tiba waktunya tatkala keluarga tersebut telah menerima Ahmadiyah, sang bibi yang sama itu amat menunjukan rasa takzimnya terhadap Hadhrat Mushlih Mau’ud (ra).
Berdasarkan ilham Hadhrat Masih Mau’ud as yang menubuatkan bahwa Qadian akan tumbuh dan berkembang begitu besar sehingga akan mencapai tepi sungai Beas. Hadhrat Mushlih Mau’ud ra menarik perhatian kita untuk memperhatikan shalat dengan rujukan perkembangan Qadian tersebut. Hadhrat Masih Mau’ud telah bermimpi bahwa Qadian menyebar hingga tepi sungai Beas dan Hadhrat Mushlih Mau’ud menarik kesimpulan dari ilham tersebut bahwa populasi Qadian akan mencapai satu juta jiwa yang berarti diperlukan sebuah masjid yang menampung 400,000 jamaah. Beliau berkata bahwa Masjid Aqsa Qadian akan diperluas guna menampung para Jamaah untuk Shalat Jumat.
Memang, Masjid Aqsa telah diperluas dan dikembangkan sebesar-besarnya mengingat bangunan-bangunan tua dan bersejarah di sekitarnya pun harus dipertahankan. Hal ini tentu saja mungkin karena populasi Qadian yang meningkat sehingga sebuah masjid yang besar harus dibangun di sana.
Hadhrat Mushlih Mau’ud ra menceritakan sebuah peristiwa saat beliau remaja. Ketika beliau dalam perjalanan hendak shalat Jumat beliau melihat seseorang berjalan pulang dari Masjid. Beliau bertanya kepadanya dan orang itu menjawab bahwa masjidnya penuh sesak dan tidak ada lagi tempat yang kosong. Maka beliau pun berbalik pulang dan mengerjakan shalat zuhur di rumah. Mengambil pelajaran dari pengalaman tersebut beliau merasa harus mengecek sendiri guna memastikan apakah benar tidak ada tempat di masjid.
Dengan rahmat Allah Ta’ala beliau dawam mengerjakan shalat dari usia sangat muda dan tidak pernah meninggalkannya barang sesaat pun. Ayah beberkat beliau tidak perlu lagi bertanya apakah beliau sudah shalat atau belum. Ketika beliau berusia sebelas tahun, beliau mengenakan mantel ayahanda beliau dan berdoa dengan sungguh-sungguh dan penuh semangat berjanji tidak akan pernah meninggalkan Shalat. Akan tetapi, karena beliau masih cukup muda kala itu, beliau tidak melaksanakan shalat berjamaah. Seseorang mengadu kepada Hadhrat Masih Mau’ud as mengenai hal tersebut. Hadhrat Masih Mau’ud as mengambil contoh seorang anak muda lainnya yang ayahnya terlalu ketat mengecek shalatnya, dan beliau mengatakan bahwa anak muda tersebut shalat karena ayahnya dan beliau tidak ingin putra beliau shalat karena beliau namun ingin shalatnya karena Allah Ta’ala.
Dari kisah tersebut, anak-anak jangan sampai menyimpulkan bahwa para orang tua tidak perlu mengawasi shalat mereka, atau para orang tua jangan menyimpulkan bahwa bukanlah tanggung jawab mereka untuk mengawasi shalat anak mereka. Sebenarnya, Hadhrat Masih Mau’ud as memiliki keyakinan yang besar dalam diri Hadhrat Musleh Mau’ud ra dan beliau juga menyadari bahwa putranya itu akan tumbuh menjadi perwujudan dari sang pembaharu yang dijanjikan (Musleh Mau’ud), dan beliau juga mengetahui bahwa Tuhan sendiri yang akan memperbaiki putranya tersebut. Disamping itu, fakta bahwa Hadhrat Musleh Mau’ud berdoa dengan begitu menyayat hati agar dawam shalat pada usia yang masih belia yaitu sebelas tahun merupakan bukti akan ketulusan beliau.
Akan tetapi, beliau menceritakan bahwa pada waktu beliau berbalik pulang saat hendak pergi ke masjid untuk shalat Jumat, itu merupakan kehendak Tuhan untuk menghapus kemalasan beliau. Hadhrat Masih Mau’ud as bertanya kepada beliau mengapa beliau tidak pergi ke Masjid untuk shalat. Beliau menjawab jika beliau sudah pergi namun beliau diberi tahu masjid penuh sesak dan tidak ada ruang tersisa. Secara pribadi beliau ketakutan dan bertanya-tanya mengapa beliau tidak mengecek sendiri apakah benar masjid tersebut penuh sesak. Pada saat yang sama Maulana Abdul Karim Sialkoti pulang dari masjid---setelah menanyakan kesehatan Masih Mau’ud yang tidak baik yang menyebabkan beliau tidak datang ke Masjid---. Hadhrat Masih Mau’ud as bertanya kepada Maulana Abdul Karim apakah masjid penuh sesak pada saat shalat Jumat. Ia menjawab bahwa dengan rahmat Allah masjid penuh sesak sehingga tidak ada ruang untuk bergerak.
Penuhnya masjid menjadi sumber kemajuan kita dengan Tuhan. Perluasan Qadian dan perluasan Jemaat kita ini bukan berada dalam konteks tempat dan jumlah, lebih pada konteks terisi penuhnya rumah dan masjid kita. Ketika kita berbicara mengenai pembangunan masjid kita harus menjalin ikatan yang tulus dengan Tuhan, supaya Tuhan tidak meninggalkan kita dan kita dapat mengalami pemenuhan setiap nubuatan Hadhrat Masih Mau’ud as dengan kemuliaan.
Hahdrat Mushlih Mau’ud ra bersabda ‘Tuhan berfirman kepada Hadhrat Masih Mau’ud as bahwa Qadian akan tumbuh sebesar Bombay dan Kalkuta, dan akan mencapai tepi sungai Beas yang mengalir sekitar sembilan mil jauhnya. Tentu saja nubuatan ini terjadi saat penduduk Qadian hanya berjumlah dua ribu jiwa dan kebanyakan rumahnya terbuat dari batubata yang belum dibakar, dan bahkan seseorang belum bisa membeli kebutuhan pokok seperti terigu kecuali dalam jumlah yang kecil. Orang-orang menggiling tepung mereka sendiri di rumah, ada sebuah madrasah ibtidaiyah yang kecil dan surat-surat pos diantar seminggu sekali. Situasi seperti ini tidak mendukung untuk penggenapan nubuatan yang agung tersebut. Jalur kereta api terbentang jauh, tidak ada industry untuk memfasilitasi pembangunan tersebut dan tidak ada kantor pemerintahan dan juga tidak ada pos polisi. Bahkan tidak ada pasar. Hadhrat Masih Mau’ud as hanya mempunyai beberapa ratus pengikut yang tersebar di seluruh negeri.
Merefleksikan (merenung) kembali nubuatan yang berhubungan dengan bagaimana Qadian telah berkembang hari ini, meskipun belum mencapai tepi sungai Beas, tapi siapa pun akan menyebutnya sebagai sebuah tanda. Bukan saja hal tersebut meningkatkan keimanan bagi para Ahmadi namun hal tersebut juga menarik perhatian orang lain. Seorang professor dari sini (Inggris) yang ahli dalam Islam pergi ke Qadian untuk tujuan penelitian. Kesan dan komentarnya dalam buku yang ditulisnya sekembalinya dari Qadian begitu luar biasa dan akan dipublikasikan.
Hadhrat Mushlih Mau’ud mengatakan bahwa bukanlah suatu keharusan bahwa pemandangan yang telah dilihat oleh Hadhrat Masih Mau’ud as tentang kemajuan Qadian telah dapat dilihat secara sempurna persis seperti penglihatan tersebut, kecuali bahwa kemajuan Qadian tak pelak lagi takkan lebih kecil dari pemandangan tersebut. Ada pun bila kemajuan Qadian melebihi pemandangan tersebut, maka tidak ada cela sedikit pun atas nubuatan tersebut, bahkan malah akan menambah keagungannya. Rukya yang dilihat oleh Hadhrat Masih Mau’ud as berupa diperlihatkan seluruh taraf pembangunan Qadian bukan berarti kemajuan Qadian hanya persis seperti itu dan tidak akan lebih besar dan luas lagi. Memang, sangat lah mungkin Qadian tumbuh menjadi besar sehingga sungai Beas masuk menjadi wilayah Qadian dan Qadian terbentang jauh melampaui hingga Hosyiarpur.
Sebagaimana Qadian berkembang dengan bangunan-bangunan baru, masyarakat Qadian pun membangun rumah-rumah mereka layaknya para Ahmadi yang mempunyai keluasan rezeki dari belahan wilayah lainnya di India dan bahkan dari seluruh dunia. Akan tetapi, aspek mendasar yang merupakan rahasia setiap kesuksesan tersebut adalah dengan mengisi penuh rumah-rumah Tuhan (Masjid). Fakta ini juga terkait dengan kesuksesan dan kemajuan Jemaat secara umum.
Kita harus senantiasa ingat dengan baik, bahwa Tuhan tidak hanya menjanjikan kemajuan Qadian tapi juga bagi seluruh Jemaat. Ketika kita melihat sempurnanya suatu tanda, iman pun bertambah dengan sempurnanya tanda yang lain. Terkadang beberapa orang cemas bingung dan merasa kikuk melihat keadaan yang terjadi kala itu dan diantara mereka terdapat orang yang kemudian membuat penilaian dan pengukuran sendiri dan menggambarkan bahwa apakah perkara ini dan itu akan terpenuhi berdasarkan nubuatan ini dan itu. Sementara sebagian orang lagi merasa sangat bingung dan cemas menyaksikan kesulitan-kesulitan yang menerpa dan berbagai keadaan yang keras yang menimpa Jemaat.
Sebagai contoh, berita datang dari Pakistan hari ini bahwa atas nama unsur sektarianisme dan menekan terorisme (radikalisme), pemerintah wilayah Punjab telah melarang buku dan majalah tertentu. Al-Fazal dan Ruhani Khazain termasuk yang dilarang, meskipun buku-buku tersebut tidak ada kaitannya sedikit pun dengan sektarianisme dan terorisme. Bahkan sebenarnya orang-orang itu sama sekali tidak mau membuka dan membaca buku-buku yang ditulis untuk membela Islam tersebut. Tak perduli apapun situasinya kita tidak boleh berputus asa. Tuhan telah menyatakan berkali-kali, "إني مع الأفواج آتيك بغتة." ‘Aku bersama bala tentara-Ku akan datang dengan tiba-tiba’, sebagai pertolongan untuk Hadhrat Masih Mau’ud as.
Hadhrat Mushlih Mau’ud ra berkata bahwa seseorang tidak bisa menduga kapan pertolongan itu datang. Seseorang bisa memikirkan dan merenungkannya dalam Tahajud dan subuh bahwa betapa banyaknya masalah yang dihadapinya, kemudian saat matahari terbit maka pertolongan itu akan datang!
Sekarang saya hendak menyampaikan berbagai hal. Saya hendak menjelaskan mengenai sebuah pertanyaan dari seorang anak dalam acara Daras Athfal tentang meletakan bunga di kuburan. Anak itu menanyakan, “Apakah itu perlu atau tidak? Boleh atau tidak?”
Saya (Hadhrat Khalifatul Masih V) bersabda hal itu merupakan perbuatan yang sia-sia dan tidak masuk akal, sebuah bid’ah (inovasi) yang tidak ada dasarnya dalam agama Islam dan harus dihindari. Di Qadian dulu beberapa orang meletakan bunga di makam Hadhrat Masih Mau’ud as sehingga sekarang makam tersebut dipagar dan menutup tempat pekuburan itu.
Hadhrat Mushlih Mau’ud ra bersabda, “Beberapa orang dulu mengambil tanah dari kuburan Hadhrat Masih Mau’ud as sebagai tabarruk (mencari berkat) dan meletakan bunga di atas kuburan beliau. Ini adalah perbuatan sia-sia dan tidak masuk akal sebab semua itu tidak mendatangkan manfaat bagi yang meninggal. Ruh-ruh orang yang meninggal tidak terdapat di pekuburan tempat jasad mereka dikubur melainkan di tempat lain. Memang, ruh-ruh orang yang meninggal memiliki sesuatu pertalian dengan tempat kubur lahiriahnya. Hal ini harus dipahami bahwa Allah menciptakan suatu jenis hubungan antara kuburan lahiriah dengan jiwa-jiwa orang yang sudah mati di mana pun mereka berada. Memang, suatu kali Hadhrat Masih Mau’ud as pergi berdoa di kuburan orang suci. Beliau mengatakan bahwa ketika beliau berdoa, beliau melihat orang suci yang telah meninggal tersebut duduk di hadapan beliau.
Hal ini bukan berarti bahwa ruhnya keluar dari dalam kuburannya. Melainkan, Tuhan mengizinkan orang saleh yang telah wafat itu untuk datang ke kuburannya berdasarkan hubungan lahiriah tersebut. Allah Ta’ala berfirman dalam al-Quran, ثُمَّ أَمَاتَهُ فَأَقْبَرَهُ ‘Kemudian Dia mematikannya lalu menguburkannya.’ (Abasa 80: 22). Artinya, ruh orang yang meninggal dimasukkan kedalam kuburan itu setelah kematiannya, dalam arti terdapat suatu jenis pertalian dengan tempat kuburnya, dan mengingat pertalian ini, manusia mendoakan orang yang dikubur, namun itu tidak bermakna dengan meletakan bunga diatas kuburan. Tak diragukan lagi, memang terdapat gelora semangat yang luar biasa dalam diri Hadhrat Masih Mau’ud as untuk mendoakan orang saleh tersebut sehingga Allah Ta’ala mengirim ruhnya dari maqam haqiqi (kedudukan sebenarnya)nya ke kuburan tersebut, sehingga wali tersebut datang ke kuburan lahiriahnya dan Hadhrat Masih Mau’ud as menyaksikannya secara kasyaf. Terkait dengan hal ini, terdapat beberapa riwayat yang menyebutkan bahwa suatu ketika Hadhrat Masih Mau’ud as bertanya kepada orang tua di wilayah tersebut ‘seperti apa tampilan sosok orang suci tersebut’ mereka menggabarkan tampilan yang ternyata penggambarannya sama persis dengan yang Hadhrat Masih Mau’ud as lihat.
Ringkasnya, peletakan bunga-bunga di kuburan tidak bermanfaat sedikit pun bagi para arwah orang-orang yang telah wafat dan dikubur sehingga kita wajib mendoakan mereka. Perhatikanlah alam, apa-apa yang terkubur di tanah akan menjadi tanah. Inilah hukum yang berlaku di alam. Jika keadaan yang sudah digariskan memang seperti ini lalu mengapa bunga-bunga dan bau harumnya akan bermanfaat bagi seseorang? Telah diketahui bahwa ruh-ruh (para arwah) hadir senantiasa di hadapan Allah untuk mendapatkan ganjaran dan balasannya. Tiada lain yang dapat kita lakukan, selain berdoa kepada Allah Ta’ala supaya Dia memberikan tsawab dan rahmat kepada orang yang dikubur tersebut, namun tidak ada jenis syirik (menyekutukan Tuhan) yang harus dipraktekkan oleh seseorang di kuburan. Telah diketahui bahwa dengan karunia Allah, para Ahmadi tidak melakukan hal itu, namun sampai juga kabar-kabar kepada kita bahwa sebagian orang meletakkan bunga-bunga di atas kuburan. Itu adalah perbuatan yang sia-sia dan perbuatan itu harus tidak ada dalam pekuburan para Ahmadi.”
Kisah berikut ini ada kaitannya dengan karya tulis agung Hadhrat Masih Mau’ud as ‘Filsafat Ajaran Islam.’ Pada tahun 1897 ketika konvensi antar agama direncanakan di Lahore, Tuan Khawaja [yang kemudian meninggalkan Jemaat Ahmadiyah] membawa pesan bagi Hadhrat Masih Mau’ud as untuk menuliskan sebuah uraian. Hadhrat Masih Mau’ud as kurang sehat di hari-hari tersebut, namun beliau tetap mulai menulis uraian tersebut dan menyelesaikannya. Tuan Khawaja tidak senang dengan uraian tersebut dan mengekspresikan rasa keputusasaan dan merasa uraian tersebut akan dicemooh dan diperolok-olok. Tuhan telah mengabarkan kepada Hadhrat Masih Mau’ud as bahwa uraian beliau akan unggul, sehingga beliau as membuat poster (selebaran) tercetak mengenai uraian tersebut dan meyakinkan Tuan Khawaja akan hal itu dan memintanya untuk memasang poster tersebut di Lahore. Tuan Khawaja keberatan mengenai isi uraian itu, sehingga ia menahan untuk memasang poster tersebut dan terakhir melakukannya ketika ada desakan dari orang lain. Ia memasang beberapa poster jauh diatas dinding malam sebelumnya, supaya tidak ada orang yang dapat melihatnya karena ia berpikir uraian tersebut tidak layak untuk dibaca pada konvensi itu.
Namun saat uraian itu dibacakan pada konvensi tersebut, sebagaimana yang kita tahu, para hadirin terpesona. Waktu yang diberikan untuk uraian tersebut telah habis namun para hadirin tetap bersemangat. Waktu pun diperpanjang, saking banyaknya isi uraian tersebut maka untuk mengakomodasinya konvensi pun diperpanjang satu hari. Kawan dan lawan memuji uraian tersebut, dan Firman Tuhan pun tergenapi, namun kelemahan iman Tuan Khawaja menyembunyikan kehebatan itu. Tuan Khawaja adalah seorang terpelajar, ia seorang pengacara namun kearogansian (kesombongan) dapat membuat seseorang kehilangan akal sehatnya. Uraian tersebut terus mengesankan dan menggerakkan orang-orang hingga hari ini pada tingkatan akdemisi, dan banyak orang menerima Ahmadiyah setelah membacanya.
Suatu kali terdengar kabar oleh Hadhrat Mushlih Mau’ud ra bahwa beberapa Ahmadi menghadiri sebuah pertemuan para ulama non Ahmadi. Di dalam pertemuan itu, para ulama menyampaikan cacian terhadap Jemaat dan orang-orang saleh lainnya. Menguraikan perihal rasa hormat terhadap iman, Hadhrat Mushlih Mau’ud ra bersabda memberikan pengarahan, “Mengapa seseorang pergi ke tempat bahasa kasar digunakan untuk mencaci Jemaat dan orang tuanya. Beberapa Ahmadi terkadang pergi ke suatu pertemuan guna mendengarkan para ulama non Ahmadi menyampaikan ceramahnya. Jika seorang Ahmadi pergi ke tempat yang demikian, itu menunjukan tidak adanya rasa hormat akan keimanannya sendiri karena tidak ada seorang pun yang mau datang ke suatu tempat yang terdapat cacian terhadap orangtuanya sendiri. Tidak pernah terjadi pula bahwa jika seseorang telah diberitahu di tempat anu dan anu, orang tuanya sedang dicaci-maki, maka ia pergi ke tempat itu! Jika seseorang melakukannya, itu memperlihatkan bahwa orang itu memiliki kehormatan yang begitu hina sekali. Jika kalian mempunyai perhatian dan kepedulian terhadap rasa hormat akan keimanan, mengapa pergi ke tempat yang terdapat ceramah berisi caci-maki terhdap Hadhrat Masih Mau’ud as, Imam kalian dan orang-orang saleh lainnya?”
Pada masa Hadhrat Masih Mau’ud as para Arya menyelenggarakan konvensi di Lahore dan mengundang beliau untuk menulis sebuah artikel guna dibacakan di konvensi tersebut. Hadhrat Masih Mau’ud as mengatakan bahwa beliau tahu akan ada caci-maki di konvensi tersebut dan menolak untuk ambil bagian. Beberapa orang bersikeras bahwa beliau harus ambil bagian, akhirnya meski merasa muak, Hadhrat Masih Mau’ud as menulis sebuah artikel dan mengirim Hadhrat Maulana Hakim Nuruddin ra untuk membacakannya.
Hadhrat Mushlih Mau’ud pun pergi bersamanya. Artikel tersebut berisi pesan cinta kasih dan kerukunan. Ketika pembicara Arya membacakan karyanya terdapat bahasa kasar (hinaan dan caci makian) terhadap Rasulullah saw. Hadhrat Mushlih Mau’ud ra bangun untuk pergi. Orang-orang yang lain berkata ‘Hadhrat Maulawi Sahib tetap duduk.’ Beliau ingin pergi namun karena saran dari yang lainnya akhirnya beliau pun duduk. Sesuatu yang beliau ra sesali seumur hidup. Ketika Hadhrat Masih Mau’ud as mengetahui situasinya, beliau amat sangat tidak senang karena mengapa mereka tidak meninggalkan tempat itu.
Hadhrat Mushlih Mau’ud ra bersabda, “Terkadang tidak ada salahnya mempublikasikan narasi-narasi (pengisahan-pengisahan) yang menghina dan cacian tersebut dalam bentuk sebuah buku karena cacian dan penghinaan terhadap Jemaat juga menjadi bagian dari corak dukungan terhadap kebenaran Jemaat. Namun, tidak dibenarkan duduk dalam pertemuan yang demikian itu karena itu berarti menjadi sarana penyebab menambah arti pentingnya majlis pertemuan yang seperti itu. Namun masih mungkin untuk mendata kata-kata yang disampaikan di dalam majlis tersebut. Apa-apa yang dikatakan oleh para penentang kita terhadap kita, harus kita catat, data dan kita simpan guna dijelaskan kepada anak keturunan selanjutnya. Namun, duduk-duduk di pertemuan yang seperti itu tidak bermanfaat bagi orang-orang zaman sekarang begitu juga bagi generasi mendatang. Mereka yang duduk-duduk di pertemuan seperti itu berarti sedang menghabisi ghirah semangat keimanan mereka sendiri. Oleh karena itu, saya nasehatkan kepada Jemaat agar menaruh perhatian dan cermat untuk tidak menghadiri majlis pertemuan yang seperti itu.” Maka itulah, bagi para anggota Jemaat, baik itu anak-anak, dewasa maupun muda-mudi agar senantiasa mengingat hal ini dan segera keluar dari pertemuan yang seperti itu jika mendapatinya, guna mengamalkan perintah Al-Qur’an.
Pada Khotbah Jumat yang lalu saya (Huzur V atba) menceritakan sebuah kisah mengenai Hadhrat Masih Mau’ud as yang menderita serangan batuk, namun beliau tetap memakan pisang yang sebenarnya tidak bagus bagi orang yang sedang batuk. Sebabnya ialah Tuhan telah mengabarkan kepada beliau bahwa batuk beliau sembuh. Seseorang saudara Jemaat menulis surat kepada saya (Huzur V atba) dan mengatakan bahwa kisah yang sesungguhnya adalah Hadhrat Masih Mau’ud as sebenarnya makan buah apel bukan pisang. Perlu disebutkan di kesempatan ini bahwa apel dan pisang keduanya terdapat dalam peristiwa tersebut. Pada mulanya, Hadhrat Masih Mau’ud as memakan sebuah pisang, selanjutnya beliau berhenti, lalu beberapa saat kemudian beliau mulai memakan buah apel yang dihidangkan oleh Tn. Khalifah Rasyiduddin. Ketika dikatakan bahwa apel tersebut begitu asam sehingga mungkin dapat menyusahkan seorang yang sehat yang baru batuk dengan memakannya. Beliau menjawab sambil tersenyum, “Allah telah mengabarkan kepadaku bahwa penyakit batukku telah lewat.” Beliau as memakannya, kendati terlihat enggan. Pokok bahasan utamanya adalah wahyu tersebut tergenapi. Batuk beliau sembuh dengan doa dan tidak ada yang menyusahkan beliau sedikit pun sekarang sebagaimana telah terjadi sebelumnya.
Saya (Huzur V atba) menjelaskan hal tersebut karena di samping surat yang saya sebut tadi juga ada surat-surat lainnya yang menyebutkan peristiwa tersebut seperti yang dikatakan surat pertama yang saya sebut tadi. Rincian dalam peristiwa itu menyebutkan apel dan pisang namun saya hanya membaca salah satu darinya dalam khotbah Jumat lalu [buah apel tidak disebut]. Pendek kata, buah apel dan pisang, keduanya ada dalam peristiwa tersebut.
Shalat jenazah gaib diperuntukan bagi seorang Darwis dari Qadian, Haji Manzoor Ahmad Sahib yang wafat di usia 85 tahun pada tanggal 1 Mei.
-----------------------------------------------oo0oo-------------------------------------------------------------------
Penerjemah: Yusuf Awwab & Dildaar Ahmad
0 komentar:
Post a Comment