Berikut ini adalah dua percakapan
dari Hazrat Masih Maud.a.s. dengan beberapa orang non-Muslim. Teks Urdu dari
percakapan ini terdapat dalam Malfuzat, volume 5, halaman 151-154 dan 141-146.
Pada tanggal 1 Maret 1903 datang
seorang pria dari Lahore bernama Kashi Ram Ved untuk kunjungan kehormatan
kepada Hazrat Masih Maud.a.s. Hadir pula beberapa orang lain ketika setelah
shalat Zuhur, dalam percakapan itu beliau mengemukakan kepada Kashi Ram Ved bahwa:
Perbedaan agama merupakan suatu
hal yang baik.Tuhan sejalan dengan Kebijaksanaan-Nya memang meniatkan hal itu
ada. Adanya perbedaan itu akan mempertajam kemampuan intelektual manusia. Di
dunia dimana misalnya pun ada kesepakatan mengenai suatu hal, tetap saja dalam
detilnya ada perbedaan yang mungkin akan menjadi masalah nantinya. Memberikan
pidato dalam suatu kumpulan besar dalam rangka pertukaran fikiran juga
merupakan suatu hal yang baik, tetapi nyatanya di negeri kita ini sampai dengan
sekarang, sedikit sekali orang yang cukup beradab yang mau tenang mendengarkan
ulasan pandangan dan pendapat dari lawan mereka. Aku sendiri menginginkan dan
memang menjadi niatku untuk menyediakan satu tempat di Qadian ini dimana
orang-orang dari berbagai agama yang berbeda bisa berkumpul dan menyatakan
kebenaran serta faktor keunggulan agama mereka masing-masing secara terbuka.
Jika ada debat atau diskusi terbuka dalam mengemukakan kebenaran, hal itu
sebenarnya merupakan suatu yang baik, namun pengalaman menunjukkan bahwa hal
itu juga mengandung unsur kejahilan dan kekacauan dan karena itulah tidak
digalakkan. Bisa jadi ada saja segelintir orang-orang yang mau mendengarkan
pandangan lawan bicaranya dengan sabar dan lembut hati, tetapi mayoritas
lainnya terdiri dari orang-orang yang tidak mampu mendengarkan bahkan sepatah
kata pun yang dirasanya tidak sejalan dengan agama yang dianutnya, tidak peduli
betapa lembutnya pun hal itu disampaikan. Bila ada seseorang beragama lain yang
berbicara, kemungkinan besar apa yang dikemukakannya itu tidak sejalan dengan
pandangannya sendiri dan hal itu langsung merangsang emosinya. Dalam pertemuan
seperti yang dimaksud, bisa terdapat kedamaian jika si pembicara dan si
pendengar bisa duduk bersama, seperti halnya seorang ayah yang menemukan
sesuatu yang buruk pada anaknya dan ia menasihati si anak yang mendengarkan
dengan sabar dan lembut hati. Hubungan kasih demikian jelas besar manfaatnya.
Mengharapkan ada sesuatu yang baik yang bisa dihasilkan dari amarah dan
kekerasan adalah samanya bermimpi.
Yang menjadi masalah di masa kini
bukan saja tentang perbedaan agama tetapi juga yang menjadi tambah sulitnya
masalah kenyataan bahwa manusia tidak lagi memfokus pada dasar atau basis
kebenaran, dimana rasa permusuhan dan prasangka buruk satu terhadap yang
lainnya sudah demikian rupa sehingga jika ada yang mengemukakan sesuatu yang
baik tentang agama orang lain maka hal itu langsung dianggap sebagai suatu
dosa. Aku
melihat bahwa manusia sekarang
ini umumnya berbicara tanpa adab sopan santun dan malah kasar. Di masa lalu,
hubungan di antara bangsa Hindu dengan umat Muslim adalah sedemikian baiknya
sehingga mereka merasa sebagai satu komunitas. Sekarang ini terdapat perpecahan
sehingga perasaan positif yang ada di masa lalu kini sudah tiada. Perasaan demikian
telah digantikan oleh rasa permusuhan dan prasangka buruk. Karena itu jika
tidak ada lagi unsur ketertarikan satu sama lain, sedangkan semua pihak hanya
memikirkan menang atau kalah saja dalam suatu perdebatan, bagaimana mungkin
muncul ekspresi kebenaran dari sana? Untuk bisa mengemukakan kebenaran,
syaratnya adalah seseorang tidak memiliki prasangka, rasa permusuhan atau pun
dendam.
Aku juga meyakini bahwa manusia
sekarang ini berada dalam suatu kekeliruan. Sebelum menyerang agama lain,
mereka tidak mempertimbangkan apakah materi yang mereka gunakan sebagai sarana
menyerang itu memang ada dalam kitab suci atau tidak. Mereka mengesampingkan
kitab itu dan mengemukakan opini pribadinya dan menganggapnya sebagai sifat
dari agama bersangkutan. Memang ada beberapa hal yang menurut hemat kami tidak
benar dari agama bangsa Arya, namun aku tidak ada menganggap aspek-aspek itu
sebagai bagian dari kitab Veda. Aku tidak mengetahui apa yang ada di dalamnya
dan kami menganggapnya sebagai pandangan dari Pandit Dayanand dimana yang
bersangkutan memang mengakuinya. Kami sendiri memang bicara menentang
kepercayaan seperti itu serta mempublikasikannya dengan mengemukakan bahwa
inilah kepercayaan dari kelompok Arya Samaj. Begitu pula mestinya jika bangsa
Arya mempunyai keberatan, mereka seharusnya mengungkapkannya dibanding Al-Quran
atau pun keyakinan yang telah aku kemukakan dan publikasikan sebagai keyakinan
diriku. Jelas tidak patut mengemukakan tentang sesuatu yang tidak kita yakini
sebagai keyakinan kita.
Karena sekarang ini terdapat
begitu banyak sekte dari berbagai agama, mestinya jika ada keberatan terhadap
suatu keyakinan seharusnya diarahkan hanya kepada sekte yang menganut keyakinan
dimaksud. Dengan demikian, pada saat diskusi agar diajukan kitab-kitab yang relevan
dengan hal itu. Dari banyaknya versi dan penafsiran yang ada, terlihat betapa
banyaknya perbedaan yang ada. Kalau saja prinsip ini dipatuhi maka yang hadir
akan memperoleh manfaat. Bagaimana mungkin seseorang yang tidak pernah membaca
atau memahami suatu buku lalu merasa punya hak untuk mengemukakan keberatan
terhadapnya? Menyangkut masalah agama, perlu kiranya bahwa perdebatan
difokuskan pada prinsip-prinsip dasar yang umum diakui meski ia untuk itu tidak
harus sudah pernah membacanya karena proses membaca semua kitab demikian akan
menghabiskan usia hidupnya.
Suatu perdebatan mestinya
dilakukan mengikuti prinsip-prinsip perdebatan. Para ahli telah mengemukakan
bahwa ketentuan seni berdebat telah menggariskan agar jangan tenggelam dalam
permasalahan sampingan yang tidak berarti, sama seperti suatu lasykar yang
dituntun oleh suatu prinsip yang sama dengan para perwiranya. Jika sudah ada
keputusan yang desisif diantara para perwira, hal yang sama juga berlaku pada
para prajuritnya. Contohnya, jika perwira komandan itu tewas maka para
prajuritnya akan juga menyerah.
Aku sendiri tidak akan
mengucapkan sesuatu kecuali Allah swt mengizinkan. Jika memang aku akan
mengadakan perdebatan verbal maka aku tidak akan menulis buku ini, Nasimi
Dawat. Biasanya dalam suatu pertemuan (yang membahas masalah keagamaan),
kebenaran selalu tersembunyi dan orang-orang berperilaku dengan prasangka buruk
dan kedegilan hati. Karena itu aku telah membuat janji dengan Allah swt bahwa
aku akan meninggalkan kebiasaan tersebut.
Aku telah mengarang buku Nasimi
Dawat ini sejalan dengan ketentuan mengenai perdebatan dan dalam buku itu aku
telah mengemukakan argumentasiku sejalan dengan prinsip-prinsip yang telah aku
kemukakan. Aku tidak akan menanggapi mereka yang melontarkan cercaan terhadap
diriku karena Allah swt sudah mencabut kemampuan diriku membalas dengan cercaan
pula. Lagi pula siapa yang akan ditanggapi karena begitu banyak orangnya.
(Ketika para tamu bangsa Arya itu
meninggalkan tempat, datang beberapa orang lainnya dan dalam memberikan
jawaban, Hazrat Masih Maud.a.s. mengemukakan secara singkat bahwa:)
Dalam buku Nasimi Dawat kalian
akan melihat bahwa aku berpegang pada kebenaran meski terdapat perbedaan
pandangan. Allah swt mencabut dari diriku kemampuan untuk mencerca, tidak juga aku
bisa menjawab masing-masing (mereka yang mencerca). Berjuta-juta orang yang
mencerca, yang mana yang harus aku layani? Aku kemukakan masalah ini langsung
kepada kelompok Arya Samaj dan bukan dengan kitab Veda karena aku tidak
menguasai Veda.
Pada sore hari tanggal 28
Pebruari 1903, beberapa orang Arya datang dalam kunjungan kehormatan kepada
Hazrat Masih Maud.a.s. yang menanyakan kepada mereka apakah mereka datang untuk
menghadiri pertemuan. Mereka menjawab bahwa mereka datang hanya karena mereka
mendengar kalau Hazrat Masih Maud.a.s. akan berbicara dalam pertemuan itu. Jika
tidak demikian maka mereka tidak berkeinginan datang kesini. Hazrat Masih
Maud.a.s. kemudian menjawab:
Kami menyadari bahwa dalam
realitas selalu ada orang-orang yang sopan dalam setiap bangsa, orang-orang
yang tidak melakukan pencercaan semena-mena atas orang lain atau berprasangka
buruk atau juga berkata buruk tentang para pemimpin yang dihormati orang lain.
Namun apa pun yang aku lakukan, semuanya itu berdasarkan perkenan dan perintah
dari Allah swt. Dia tidak menginginkan aku terjerumus dalam bentuk perdebatan
verbal yang bersifat abusif demikian. Karena itu beberapa tahun yang lalu aku
telah menerbitkan
buku Anjami Atham dan aku telah
berikrar kepada Tuhan bahwa aku tidak akan ikut dalam pertemuan untuk
perdebatan verbal seperti itu. Kalian tentunya menyadari bahwa dalam pertemuan
seperti itu terdapat beragam manusia yang menghadirinya. Ada yang sama sekali
tidak tahu permasalahan dan ikut hanya karena ingin bergabung dengan kelompoknya.
Yang lainnya ada yang datang hanya untuk melontarkan cercaan atas diri
orang-orang yang dihormati oleh kelompok lawannya dimana mereka memperoleh
kenikmatan dalam lakunya itu. Ada pula orang yang fitratnya memang sangat
kasar. Pergi menghadiri pertemuan yang terdiri dari orang-orang seperti itu
untuk berdebat soal agama, jadinya merupakan suatu hal yang muskil sekali.
Kalian tentunya menyadari bahwa jika ada dua umat yang berhadapan dengan tujuan
utama untuk membuktikan bahwa agama lawannya itu palsu adanya serta tidak
memiliki kebenaran ruhaniah sama sekali dan karena itu sama saja dengan mati
karena tidak mempunyai hubungan dengan Tuhan, maka sampai mereka berhasil
membuktikannya (dan diterima oleh lawannya), sulit baginya untuk mengemukakan
keindahan dari agamanya sendiri. Mereka harus mengemukakan kesalahan-kesalahan
agama lawannya, karena jika tidak maka tidak akan ada ekspresi kebenaran. Hanya
saja beberapa orang lalu lalu menjadi terlalu terangsang dan mereka tidak bisa
mendengarkan lagi, dimana emosi mereka lalu meletup-letup dan mereka jadinya
siap berkelahi.
Dengan demikian maka pergi ke
pertemuan seperti itu akan menjadi bertentangan dengan akal sehat karena untuk
suatu analisis agama yang tepat perlu kiranya para partisipan berhati dingin dengan
perbawaan sifat adil dan tidak memihak. Sewajarnya mereka tidak cenderung
kepada pertengkaran atau kekerasan. Hanya dalam suasana demikian saja maka
seseorang akan bisa menguraikan keunggulan agamanya dan berbicara sebanyak
maunya, untuk kemudian lawan bicaranya yang sama sopannya menimpali tentang
agamanya sendiri. Hanya saja sayangnya di negeri kita ini telaah analisis agama
yang dilakukan dengan sabar dan lemah lembut demikian nyatanya tidak ada. Saat
yang didambakan seperti itu belum lagi mewujud. Namun kami berharap bahwa Tuhan
akan mewujudkannya juga suatu waktu. Aku bahkan berniat menyiapkan sebuah
bangunan di sini dimana orang-orang dari berbagai agama bisa berbicara bebas
tentang agamanya masing-masing.
Sesungguhnya suatu permasalahan
yang tidak didengarkan dengan hati yang dingin dan fikiran yang tidak memihak
serta dilambari dengan toleransi, maka akan sulit sekali mendalami inti
kebenarannya. Ambil saja contoh kejadian dalam sebuah pengadilan dimana sang
hakim bisa mendengarkan dengan kepala dingin segala bukti-bukti dan alasan dari
kedua pihak yang bertikai, ia akan mampu berfikir dan menganalisis secara
tenang untuk kemudian memberikan keputusannya. Terkadang proses seperti itu
membutuhkan waktu bertahun-tahun. Jika dengan peradilan duniawi sudah demikian
keadaannya, bagaimana mungkin permasalahan agama bisa mencapai kata kesepakatan
dalam lima atau sepuluh menit. Memang mudah bagi si penanya untuk mengemukakan
pertanyaannya, tetapi kesulitan yang dihadapi oleh yang ditanya bukanlah suatu
hal yang gampang. Bila ada seseorang yang mengajukan pertanyaan minta
dijelaskan tentang sistem matahari, bumi dan bintang-bintang, lalu meminta
jawaban secepat ia mengajukan pertanyaan atau kalau tidak akan menganggap
lawannya sebagai pendusta, apa yang bisa
dilakukan oleh lawan bicaranya
itu? Jelas bahwa ia harus mempersiapkan jawaban yang mungkin harus berupa satu
buku lengkap dengan berbagai bab, karena kalau tidak maka jawabannya tidak akan
lengkap. Singkat kata, demikian itulah kesulitan yang aku hadapi. Hal itu juga
yang menjadi alasan yang menahan diriku untuk menghadiri pertemuan-pertemuan
seperti itu.
Kalau saja si penanya bersikap
akan sabar sampai selesai mendengarkan dengan tenang jawabannya maka orang yang
menjawab akan senang memberikan jawabannya. Sesungguhnya sesuatu yang
dikemukakan atas nama Tuhan dan yang bersangkutan melakukannya dalam mencari
keridhaan Ilahi dan karena itu dipenuhi dengan jiwa ketakwaan, maka seperti itu
tidak akan melakukan perbuatan nista seperti menggunakan kata-kata yang kotor.
Namun sekarang ini lidah orang tajam laiknya pisau dan keberatan demi keberatan
diajukan tanpa ada alasan yang mendasari.
Jika suatu pertanyaan diajukan
hanya demi Ilahi dengan gaya yang menyejukkan hati dan bahasa yang baik, maka
sesuatu yang berasal dari hati akan sampai ke hati juga! Aku sendiri bisa
mengindera suatu pertanyaan yang datang dari hati tulus seseorang yang mencari
kebenaran. Bahkan nada keras yang datang dari seseorang yang mencari kebenaran,
tetap saja mengandung unsur yang menyenangkan. Adalah haknya jika ia bersikeras
sampai ia mendapatkan kepuasan dalam jawaban yang dicarinya dan sampai
bukti-bukti bisa meyakinkan dirinya. Aku tidak berkeberatan dengan hal seperti
itu. Sebaliknya, justeru orang seperti itu patut dihargai. Kata-kata yang
diutarakan demi Tuhan tidak bisa dibandingkan dengan ucapan palsu dari orang
yang rendah akhlaknya.
Aku telah menekankan berulangkali
kepada Jemaatku bahwa mereka tidak boleh gegabah menilai buruk orang lain.
Semua agama terdahulu pada dasarnya datang dari Tuhan, hanya saja karena
perjalanan waktu lalu mengalami penyimpangan. Hal seperti itu harus dihilangkan
secara halus dan lembut. Jangan pernah mengemukakan keberatan kepada orang lain
seperti lemparan batu. Kita sendiri bisa melihat kain yang kita beli hari ini
dan kemudian dibuat pakaian, setelah jangka waktu yang singkat akan menjadi tua
dan mengalami perubahan yang menjadikan bentuknya terkadang berbeda sama sekali
dari asalnya dahulu. Begitu juga dengan semua agama terdahulu, pasti ada akar kebenaran
di dalamnya. Tuhan beserta yang benar dan agama hakiki berisi hal itu di
dalamnya sebagai tanda-tanda kehidupan. Sebuah pohon dikenali dari buah yang
dihasilkannya. Bahkan dalam suatu pemerintahan pun, yang menjadi bayangan dari
Wujud yang Maha Tersembunyi itu, kita bisa melihat bagaimana orang-orang yang
jujur dihormati dan disayang oleh mereka. Para pejabat dan pekerja yang
ditunjuk pemerintah, misalnya sebagai gubernur di suatu daerah, mereka akan
bekerja dengan berani dan ingin juga dikenal. Tetapi seorang pejabat
deputi-komisioner atau inspektur polisi yang culas yang menipu rakyatnya,
beranikah mereka menghadap secara terbuka kepada pemerintahnya? Jika pemerintah
kemudian menemukan keculasan mereka, tentulah mereka akan dipermalukan dan dijebloskan
ke penjara dengan tangan terbelenggu. Hal yang sama juga berlaku tentang
kebenaran suatu agama. Barangsiapa yang benar di hadapan Allah swt maka ia akan
memiliki tanda dari Ilahi serta citra keberanian dan kebenaran.
Dalam realitas, seseorang yang takut
kepada Tuhan biasa menghadapi berbagai kesulitan besar. Seseorang baru akan
menjadi suci jika ia mampu menanggalkan semua nafsu dan keinginannya, lalu
sepenuhnya tenggelam dalam upayanya mencari keridhaan Ilahi. Sifat mementingkan
diri sendiri, ketakaburan dan keangkuhan telah dicerabutnya sama sekali dari
dalam batinnya. Matanya hanya memandang ke arah yang diperintahkan Tuhan.
Telinganya hanya mendengar apa yang difirmankan Tuhan. Bibirnya hanya terbuka
untuk menyampaikan kebenaran dan kebijakan, kalau tidak akan menutup terus
sampai diperintahkan Tuhan. Cara yang bersangkutan makan, berpakaian, tidur,
minum, bergaul dengan isterinya, semuanya dilakukan sejalan dengan perintah
Tuhan. Ia tidak sepatutnya makan karena merasa lapar tetapi karena Tuhan menyuruhnya
demikian. Dengan kata lain, jika ia belum mengalami ‘kematian’ sebelum maut
yang sesungguhnya maka ia belum akan mencapai derajat ketakwaan. Tetapi jika ia
‘mematikan’ dirinya maka Tuhan tidak akan membiarkannya mengalami kematian yang
kedua.
Di masa sekarang ini kita melihat
ketika bibir orang terbuka, yang keluar hanya kata-kata yang memperolok,
menertawakan orang dan mengatakan hal-hal yang menyakitkan tentang orang lain.
Apa yang terkandung dalam suatu bejana, itu juga yang akan keluar daripadanya.
Bicara mereka mencerminkan apa yang ada dalam batin mereka. Aku bisa mengenali
seorang yang baik hati dari kejauhan. Seseorang yang datang dengan sifat dan
hati yang baik adalah jenis orang yang selalu ingin aku temui. Bahkan cercaan
dari orang-orang seperti itu tidak akan mengganggu. Hanya saja sayangnya
oran-orang dengan hati yang suci demikian adalah amat langka.
(Saat itu seorang Arya mengatakan
bahwa hanya ada dua bangsa saja yang tolol. Jika anda tidak keberatan, yang
satu adalah bangsa Sikh dan yang lainnya adalah saudara-saudara umat Muslim
ini.)
Hazrat Masih Maud.a.s. menjawab:
Bagi seseorang yang mengerti,
tidak ada hinaan yang lebih besar daripada dikatakan ‘tolol.’ Menyebut
seseorang secara langsung kepadanya sebagai ‘tolol’ adalah suatu hinaan yang
amat kasar. Namun anda bisa melihat bahwa dari semua orang-orang kami yang ada
di sini tidak ada seorang pun yang menanggapi hinaan anda. Apakah anda masih
juga meragukan kelembutan dan laku adab umat kami? Banyak sekali orang yang
datang hanya untuk mencaci diriku tetapi tidak ada dari umatku yang berani
menanggapinya (dengan marah). Siang malam aku mengajarkan kesabaran kepada
mereka. Aku mengajarkan agar mereka berlaku lemah lembut dan sabar. Ini
bukanlah bangsa yang sejalan dengan prinsip ketololan menurut pandangan anda.
Namun kami tidak bertanggungjawab atas umat lainnya (yang tidak berada di bawah
pengaruh kami). Kami akan percaya kepada anda jika dalam suatu pertemuan bangsa
Arya lalu ada seseorang yang mengatakan kalian bangsa yang tolol, lalu mereka
bersabar hati dan bukannya lalu membalas seribu kali lipat.
Anda belum mengenal umat Muslim
dan juga belum melihat karakter mereka. Jika diadakan perbandingan di antara
mereka dengan bangsa Arya, samanya dengan membandingkan serigala dengan domba.
Aku tidak bertanggungjawab atas mereka yang tidak berada di bawah pengaruhku,
namun mampu sabar mendengarkan hinaan dan kata-kata yang membakar adalah ciri
dari laki-laki sejati. Bisakah orang lain menirunya? Kelemah-lembutan sulit
sekali bisa dicapai dan dipraktekkan tetapi semua orang bisa bersikap kasar!
==============================
Yang menjadi masalah di masa kini
bukan saja tentang perbedaan agama tetapi juga yang menjadi tambah sulitnya
masalah ialah kenyataan bahwa manusia tidak lagi memfokus pada dasar atau basis
kebenaran, dimana rasa permusuhan dan prasangka buruk satu terhadap yang
lainnya sudah demikian rupa sehingga jika ada yang mengemukakan sesuatu yang
baik tentang agama orang lain maka hal itu langsung dianggap sebagai suatu
dosa.
Aku telah menekankan berulangkali
kepada jemaatku bahwa mereka tidak boleh gegabah menilai buruk orang lain.
Semua agama terdahulu pada dasarnya datang dari tuhan, hanya saja karena
perjalanan waktu lalu mengalami penyimpangan. Hal seperti itu harus dihilangkan
secara halus dan lembut. Jangan pernah mengemukakan keberatan kepada orang lain
seperti lemparan batu.`
0 komentar:
Post a Comment