Ringkasan Khutbah Jumat
Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad
Khalifatul Masih al-Khaamis ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz
3 Juli 2015di Baitul Futuh, London, UK.
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ *
الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ
نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ
أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضَّالِّينَ.
(آمين)
Kita hendaknya mengingat dan meninjau kembali perintah-perintah yang Allah Ta’ala berikan di dalam Al-Quran. Mereka yang diberikan tanggung jawab untuk senantiasa mengingatkan orang-orang lain terhadap perintah-perintah Ilahi ini hendaknya bersungguh-sungguh dalam melaksanakan tanggung jawabnya. Mereka yang mengemban tanggung jawab seperti ini adalah para mubaligh dan pengurus. Dengan karunia Allah Ta’ala, struktur Nizam Jemaat terdiri dari tingkat pusat dan badan-badan. Baik di tingkat pusat maupun badan-badan dalam Jemaat suatu negara masing-masing memiliki sturktur kepengurusan di tingkat pusat maupun daerah. Masing-masing pengurus diharapkan melaksanakan tanggung jawabnya sebagai pembantu khilafat; yaitu tanggung jawab khilafat dalam skala yang lebih besar. Jika semua mubaligh dan pengurus memahami hal ini, maka perubahan revolusioner pun dapat terjadi. Hal ini mengharuskan seseorang yang diberikan tanggung jawab tersebut agar memiliki kesadaran bahwa setelah mewakafkan hidup mereka atau setelah menerima tugas Jemaat, mereka hendaknya pertama-tama melakukan introspeksi diri apakah mereka sudah berjalan di atas perintah-Nya dan apakah mereka telah menampilkan diri mereka sebagai suatu teladan sehingga mereka dapat mengingatkan orang-orang lain terhadap tanggung jawab mereka. Jika mereka hanya mengingatkan orang lain saja namun tidak mengamalkan segala perintah tersebut, maka hal ini sangat disayangkan dan hendaklah mereka senantiasa membaca istighfar (mencari ampunan-Nya).
Hendaknya jelas bagi semua pengurus bahwa memberikan nasehat kepada yang lain tidak hanya tanggung jawab Amir, Sadr Anshar, Sadr Majelis, Sadr Lajnah atau sekretaris tarbiyat saja. Setiap sekretaris, sebagai contoh sekretaris Dhiafat atau sekretaris Khidmat Khalq yang ada di badan-badan atau bahkan sekretaris sehat jasmani hendaknya menunjukan diri mereka sebagai teladan dalam hal ini. Jika hal ini diamalkan maka pastilah lebih dari 50% anggota Jemaat akan menjalankan perintah Ilahi, akan menjadi orang-orang yang senantiasa datang ke mesjid atau akan menjadi orang-orang yang senantiasa memenuhi huququl ‘ibad.
Seseorang yang mengkhidmati Jemaat hendaknya pertama-tama mengintrospeksi diri mereka dan melihat berapa banyak perintah Ilahi yang ia telah jalankan, mengadakan perubahan di dalam dirinya ke arah yang lebih baik dan kemudian barulah memberikan nasehat kepada yang lain. Demikian pula, hendaknya para ahmadi yang telah menyatakan baiat/ berjanji untuk mengadakan perubahan di dalam hidupnya hendaknya senantiasa berkali-kali memperhatikan segala perintah Allah Ta’ala. Tidak hanya akan menciptakan perubahan di dalam diri mereka namun juga akan memungkinkan mereka untuk menunjukan akhlak sejati kepada dunia. Perhatian khusus hendaknya diberikan kepada hal ini dan hendaknya perintah Ilahi ini senantiasa diperhatikan dan diamalkan.
Khutbah jumat yang lalu berbicara tentang kualitas-kualitas yang dimiliki oleh seorang mukmin sejati. Pada hari ini, kembali beberapa kualitas yang lainnya akan diuraikan.
Ramadhan merupakan sarana yang luar biasa untuk mengadakan perubahan diri. Selain menarik perhatian kita untuk beribadah kepada Allah Ta’ala, bulan ini juga menjadikan kita melihat kepada kelemahan-kelemahan yang ada di dalam diri kita. Dengan demikian, hendaknya kita mengerahkan upaya penuh selama bulan ini untuk mengadakan perbaikan terhadap segala kekurangan tersebut. Jika kita tidak melakukannya, maka kita hanya akan menjalankan sahur dan berbuka tanpa adanya pengaruh terhadap amalan kita untuk meningkatkan kerohanian dan akhlak kita. Hal demikian tak ubahnya seperti perihal mereka yang senantiasa menyampaikan alasan saat diminta untuk berpuasa atau untuk menunaikan Shalat Nafal atau Tarawih atau untuk mendirikan shalat berjamaah. Namun ketika mereka diminta untuk berbuka, mereka senantiasa setuju seraya mengatakan “Tentu, kami tidaklah terlalu buruk dalam mengamalakan ajaran agama”. Kita hendaknya tidak menjadi orang mukmin seperti itu yang mengolok-olok agama dan keadaan mereka menggambarkan kondisi umat Islam yang patut disesalkan.
Standar mereka yang beriman kepada Hadhrat Masih Mau’ud as hendaklah sangat tinggi. Dengan pengecualian beberapa alasan yang dibenarkan untuk tidak berpuasa, mereka hendaknya terus berpuasa dan memiliki derajat yang sangat unggul dalam hal beribadah kepada-Nya serta membaca Al-Quran selama bulan Ramadhan. Hadhrat Jibril biasanya secara khusus meminta Hadhrat Rasulullah saw untuk mengulang Al-Quran selama bulan ini. Dengan demikian, hendaknya setiap orang memberikan perhatian khusus untuk membaca Al-Quran serta memperhatikan perintah Ilahi yang ada di dalamnya dan mengamalkannya.
Shalat Tarawih bukanlah kewajiban dalam Ramadhan. Shalat ini dimulai pada zaman Hadhrat Umar ra untuk memberikan kemudahan bagi mereka yang tidak dapat mendirikan shalat Tahajjud. Memang, mereka yang dapat bangun lebih awal hendaknya mendirikan shalat Tahajjud. Pada hari-hari ini, ada sedikit waktu untuk melaksanakan Tahajjud, jadi dirikanlah Tahajjud walau hanya beberapa rakaat saja. Bukanlah hal utama untuk mendirikan shalat Tarawih ketika berpuasa dan Tahajjud juga bukan merupakan kewajiban. Namun demikian, yang ditekankan disini adalah hendaknya shalat-shalat nafal didirikan selama bulan Ramadhan dan tahajjud senantiasa ditingkatkan bahkan di luar bulan Ramadhan.
Uraian ini disampaikan karena seseorang berkata bahwa adalah hal yang utama bagi seseorang yang berpuasa untuk melaksanakan shalat Tarawih minimal hingga 8 raka’at. Ini bukanlah syarat berpuasa. Namun demikian, membaca Al-Quran merupakan hal yang dianjurkan dan terpuji. Memang, seseorang hendaklah berusaha menghiasi ibadahnya selama bulan Ramadhan serta melewati hari-hari dengan sebanyak-banyaknya berdzikir kepada Allah. Segala upaya hendaklah dilakukan dalam suasana khas Ramadhan ini untuk memperbaiki segala kelemahan dalam melaksanakan shalat dan hendaknya hal ini dilaksanakan dengan niat untuk menjadikannya bagian dalam hidupnya. Setiap orang hendaknya memiliki pemahaman yang jelas bahwa shalat merupakan perintah Ilahi yang mendasar.
Kebanyakan orang fokus untuk beribadah kepada-Nya selama bulan Ramadhan karena ini merupakan bulan penuh berkah dan bulan pengabulan doa-doa dan mereka ingin mencari rahmat-Nya. Hendaknya diingat bahwa Allah Ta’ala mengetahui apa yang ada di dalam hati kita serta mengetahui niat kita dan melihat segala amalan kita sesuai dengan niat kita. Oleh karena itu, kita hendaknya fokus untuk beribadah kepada-Nya dengan niat agar dapat berjalan di atas ketakwaan dan membuat segala ibadah yang ditunaikan di bulan ini menjadi bagian dalam hidup kita. Jika kita terbiasa mendirikan shalat Tahajjud atau shalat nafal, hendaknya kita berupaya untuk menjadikannya dawan di dalam hidup kita. Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai manusia, sembahlah Tuhan-mu Yang telah menjadikan kamu dan orang- orang yang sebelummu supaya kamu bertakwa.” [Al-Baqarah, 2:22]
Seraya menjelaskan hal ini, Hadhrat Masih Mau’ud as menulis: “Wahai manusia, sembahlah Tuhan yang menciptakan kalian… Hanya Dia-lah yang pantas disembah Yang telah menciptakan kalian, yakni, Hanya Dia-lah yang Yang Maha Hidup, jadi hanyalah Dia yang hendaknya kalian cintai. Dengan demikian keimanan berarti memperoleh hubungan dengan Allah Ta’ala dan tidak menganggap berharga segala sesuatunya selain Allah Ta’ala. (Tafsir Hadhrat Masih Mau’ud as, Vol I, hal 454)
Secara ilmu pengetahuan, kita mengetahui dan meyakini bahwa Tuhan mencipatakan kita dan hanya Dia-lah Yang Maha Hidup serta mendengarkan semua doa dan hendaklah kita senantiasa mencintai-Nya. Meskipun demikian, kebanyakan orang tidak melakukan suatu upaya khusus yang diperlukan dalam hal ini yang akan menjadikan segala sesuatunya tidak berarti. Suasana khas Ramadhan membawa seseorang untuk menciptakan hubungan seperti ini namun setelah itu proses ini berhenti secara bertahap. Hendaknya kita memberikan bukti dari amalan kita bahwa kita menganggap segala sesuatu tidak berarti apa-apa jika dibandingakn dengan Allah Ta’ala. Ayat di atas menyatakan, “Sembahlah Tuhan supaya kalian menumbuhkan ketakwaan”. Tujuan beribadah kepada-Nya tidak hanya untuk mengenal-Nya namun juga untuk menanamkan ketakwaan dan meraih ketinggian rohani serta mengembangkan makrifat terhadap sifat-sifat Alah Ta’ala. Sungguh makrifat terhadap sifat-sifat Ilahiyah adalah yang akan menjadikan kita tidak menganggap berarti segala sesuatunya jika dibandingan dengan wujud-Nya. Pada ayat di atas, Allah Ta’ala menyatakan, “…sembahlah Tuhanmu…” Kata bahasa arab di sini adalah Rabb yang merupakan sifat Allah Ta’ala untuk menciptakan, untuk memelihara dan untuk mengembangkan. Dengan demikian, kata ini berarti bahwa segala kemajuan yang dialami seseorang berhubungan dengan Allah Ta’ala. Dan selain akan menganugerahkan karunia dari sifat Rabbubiyat-Nya (sifat untuk menciptakan, memelihara dan menjaga), beribadah kepada-Nya semata tersebut juga akan memberikan pemeliharaan dan kemajuan terhadap kerohanian. Beribadah kepada-Nya dengan memenuhi syarat yang diinginkan akan memberikan kita kenikmatan rohani dari sifat Ilahi ini dan hal ini akan mempertinggi ketakwaan kita yang tidak hanya terbatas pada bulan Ramadhan saja namun senantiasa terpelihara sepanjang tahun. Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda: “Kenyataannya adalah bahwa tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya semata. Sebagaimana di suatu tempat juga di nyatakan:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan, tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” [Adz-Dzariyat, 51:57]
Sebenarnya, beribadah tersebut ialah ketika manusia membersihkan hatinya dari segala kebengkokan dan kekerasan seperti seorang petani yang mempersiapkan ladangnya.” (Tafsir Hadhrat Masih Mau’ud as, Vol V, hal 237).
Beliau as juga bersabda: “Ada kebutuhan yang besar bagi kalian untuk memahami bahwa Allah Ta’ala telah menciptakan kalian supaya kalian akan beribadah kepada-Nya dan menjadi milik-Nya. Dunia ini hendaknya tidak menjadi tujuan hidup kalian. Inilah mengapa Aku berulang kali telah menyebutkan hal ini karena bagi diriku, hanya hal ini lah aspek dibalik diciptakannya manusia sayangnya manusia jauh dari aspek ini.”
Sangat memalukan sekali ketika ada keluhan bahwa para pengurus tidak datang ke mesjid untuk mendirikan shalat atau tidak mendirikan shalat di rumah. Hal ini sangat perlu diperhatian karena tidak akan ada ketakwaan tanpa mendirikan shalat. Tanpa mendirikan shalat, seseorang tidak akan bisa memenuhi huququllah dan tidak pula huququl ‘ibad dan ia tidak akan memperoleh keberkatan dan pengurus seperti itu tidak akan bermanfaat bagi Jemaat.
Allah Ta’ala juga memerintahkan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَخُونُواْ اللّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُواْ أَمَانَاتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu berkhianat kepada Allah Ta’ala dan Rasul dan jangan berkhianat terhadap amanat-amanat yang ada padamu padahal kamu mengetahui.” [Al-Anfal, 8:28]
Ini merupakan perintah yang penting dan butuh perhatian besar. Pengkhianatan tidak hanya dilakukan pada skala besar saja namun pelanggaran kepercayaan terhadap hal-hal kecil pun juga termasuk pengkhianatan. Hadhrat Masih Mau’ud as mencantumkan “menghindari serta menjauhkan diri dari khianat” sebagai bentuk ketidak jujuran di dalam syarat baiat yang kedua. Beberapa penyakit dapat menimbulkan penyakit-penyakit lainnya dan berkhianat terhadap amanat-amanat merupakan salah satu penyakit tersebut. Allah Ta’ala berfirman bahwa seseorang yang berkhianat tidaklah memenuhi huququllah dan huququl ‘ibad. Seseorang dapat saja berkali-kali menegaskan bahwa ia dawam melaksanakan shalat namun tujuan beribadah kepada-Nya adalah untuk menanamkan ketakwaan dan ketakwaan itu berarti memenuhi huququllah dan huququl ‘ibad yang didasari rasa cinta dan takut pada Allah Ta’ala sedangkan mengkhianati amanat-amanat menjauhkan seseorang dari ketakwaan. Allah Ta’ala tidak menerima ibadah dari orang semacam itu. Jangankan menjadi seorang ‘abid (hamba Allah Ta’ala), seseorang yang mengkhianati amanat-amanat bahkan tidak dapat dianggap sebagai orang yang memiliki keimanan.
Hadhrat Rasulullah saw bersabda bahwa keyakinan dan ketidak yakinan, kebenaran dan kebohongan tidak dapat hidup berdampingan di dalam hati seseorang. Begitu pula dengan memegang amanat dan berkhianat juga tidak dapat tinggal berdampingan. Hadhrat Rasulullah saw juga bersabda: “Seorang mukmin mungkin memiliki kebiasaan-kebiasaan buruk selain kebohongan dan mengkhianati amanat; artinya seorang mukmin tidak dapat memiliki dua kebiasaan buruk ini yakni berbohong dan mengkhianati amanat.” Mengkhianati amanat merupakan perkara besar dan diharapkan bagi seorang mukmin untuk dapat mengetahui makna dan cakupannya. Sabda Hadhrat Rasulullah saw di atas menjelaskan dengan sangat baik bahwa hati seorang mukmin tidak bisa melanggar amanat dalam tiga keadaan: ketulusan dalam bekerja demi Allah Ta’ala, mendoakan seluruh umat Islam dan hidup dalam keharmonisan dengan Jemaat.
Setiap orang yang diberikan kepercayaan dalam mengkhidmati agama hendaknya senantiasa mengintospeksi dirinya dengan ketakwaan. Hal ini akan membuat mereka berfikir bahwa sudah berapa banyak perhatian yang mereka berikan untuk memenuhi kewajiban terhadap amanat-amanat yang ada pada mereka. Hadhrat Rasulullah saw juga bersabda bahwa seseorang yang tidak memenuhi hak-hak saudaranya berarti berkhianat terhadap amanatnya. Menyakiti saudaranya dengan perkataan maupun tindakan berarti tidak memenuhi hak-hak mereka dan merupakan pengkhianatan terhadap amanatnya. Jelas, adalah kewajiban bagi seorang muslim untuk memenuhi hak-hak setiap manusia dan menafikan hal ini menjadikannya sebagai seorang yang melanggar amanat. Adalah penting bagi setiap anggota Jemaat untuk berjalan di atas Nizam Jemaat dan untuk menjalankan syarat-syarat baiat. Setiap ahmadi masing-masing telah berjanji. Janji-janji ini juga merupakan amanat dan tidak memenuhinya berarti pengkhianatan terhadap amanat. Juga penting untuk senantiasa menjalin hubungan serta taat kepada Khilafat dan hal ini diulang-ulang dalam janji-janji tersebut.
Hendaknya diingat bahwa dalam urusan rumah tangga setelah menikah, para lelaki dan wanita muda saling memiliki hak dan kewajiban satu sama lain dan memenuhi hal ini merupakan amanat. Seorang suami memegang amanat untuk membayar haq mahar. Banyak kasus terjadi dimana konflik tersebut bermula dari tidak membayarkan haq mahar. Hadhrat Rasulullah saw bersabda bahwa seseorang yang telah menyebutkan haq maharnya tanpa niat untuk membayarkannya merupakan seorang pezina dan orang yang mengambil pinjaman tanpa niat untuk mengembalikannya lagi merupakan seorang pencuri. Jika seseorang meminta nasehat kepada saudara muslim lainnya namun ia memberikan nasehat tanpa kebijaksanaan, berarti ia telah mengkhianati amanat. Memang, beberapa orang mempercayai orang lain dan meminta nasehat mereka namun mereka tidak memberikan nasehat yang tepat kepada mereka. Jika seseorang tidak memiliki pengetahuan yang diperlukan untuk memberikan nasehat yang tepat, maka hendaklah ia minta maaf saja dan menyarankannya untuk menemui seseorang yang mungkin dapat memberinya nasehat. Beberapa pengacara memberikan nasehat yang tidak benar dan sembarangan bagi para pencari suaka namun tetap saja menerima bayaran. Ini merupakan pengkhianatan terhadap amanat.
Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda, “Seseorang yang tidak bertaubat dan tidak meninggalkan pandangan birahi, khianat, penyuapan dan semua sarana yang tak sah lainnya bukanlah dari Jemaatku. Setiap suami yang menyalahi amanatnya terhadap istrinya dan setiap istri yang menyalahi amanat terhadap suaminya bukanlah dari Jemaatku. Setelah mengakui Ketauhidan Ilahi, adalah penting untuk tidak merebut hak-hak makhluk-Nya. Seseorang yang merebut hak-hak saudaranya dan mengkhianatinya bukanlah orang yang menganut “La Ilaaha Illallah” (tiada yang patut disembah kecuali Allah). Beliau as bersabda, “Allah Ta’ala telah menghubungkan ketakwaan dengan kata ‘pakaian’ di dalam Al-Quran. Pakaian ketakwaan merupakan sebuah idiom dalam Al-Quran. Kata ini mengindikasikan keindahan dan keanggunan kerohanian berasal dari ketakwaan. Dan ketakwaan tersebut ialah menjalankan segala amanat Allah Ta’ala serta segala janji keimanan dan menjalankan amanat dan janji terhadap manusia dengan kemampuan yang terbaiknya, yakni, mengamalkannya dengan kapasitas terbaiknya.
Segala hak dan kewajiban yang diberikan kepada kita merupakan amanat. Jika kita ingin mencari rahmat-Nya, kita harus menjalankan segala amanat ini. Perintah Allah Ta’ala yang lain yang meningkatkan keharmonisan di masyarakat adalah:
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Orang-orang yang membelanjakan harta di waktu lapang dan di waktu sempit, dan yang menahan marah dan yang memaafkan manusia. Dan Allah swt. mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan.” [Ali Imran, 3:135]
Ayat ini menguraikan bahwa selanjutnya, memenuhi hak-hak orang lain adalah dengan memberikan pengorbanan untuk menciptakan keharmonisan di dalam masyarakat. Sebuah masyarakat dimana hak-hak yang lainnya senantiasa dipenuhi dengan memberikan pengorbanan merupakan sebuah masyarakat surgawi. Kita melihat manifestasi hal ini di dalam kehidupan para sahabat Hadhrat Rasulullah saw. Allah Ta’ala berfirman:
وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ
“…tetapi mereka mengutamakan di atas diri mereka sendiri, walaupun kemiskinan menyertai mereka…” [Al-Hasyr, 59:10]
Amalan-amalan seperti ini menanamkan semangat pengorbanan dan seseorang secara tulus memanjatkan doa bagi yang lainnya. Teladan terbaik dalam hal ini diperoleh dalam wujud Hadhrat Rasulullah saw yang bahkan memberikan maaf kepada pembunuh anak perempuannya. Beliau-lah wujud yang memberikan nasehat untuk menekan amarah dan menunjukan standar akhlak yang luhur.
Suatu kali seseorang berbicara kasar terhadap Hadhrat Abu Bakar ra di hadapan Hadhrat Rasulullah saw. Hadhrat Abu Bakar ra tidak mengatakan satu hal pun dan Hadhrat Rasulullah saw tetap tersenyum. Ketika orang tersebut telah melampaui batas, Hadhrat Abu Bakar ra membalasnya dengan keras. Tidak senang dengan hal ini, Hadhrat Rasulullah saw pun berdiri dan pergi. Di kemudian hari, Hadhrat Abu Bakar berkata kepada beliau saw bahwa tatkala orang tersebut berkata kasar, Hadhrat Rasulullah saw tetap berada di sana. Namun tatkala Hadhrat Abu Bakar ra membalasnya dengan marah, Hadhrat Rasulullah saw pun pergi. Terhadap hal ini beliau saw bersabda: “Selama engkau tetap diam di hadapan seseorang yang berkata kasar kepada engkau, maka para malaikat-Nya sedang membalasnya untuk engkau. Namun, ketika engkau membalasnya, maka syaithan pun datang.” Sungguh, setelah beliau ra menjawab perkataan kasar tersebut, beliau saw tidak dapat tetap tinggal di sana.
Hadhrat Aisyah ra suatu kali bersabda bahwa Hadhrat Rasulullah saw tidak pernah membalas perkataan kasar seseorang.
Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda: “Mereka yang dekat dengan Allah Ta’ala senantiasa dicaci maki dan dianiaya namun mereka senantiasa diperintahkan:
وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“…berpalinglah dari orang-orang jahil…” [Al-Araf, 7:200]
Sungguh, seorang wujud paripurna, Hadhrat Rasulullah saw senantiasa dianiaya dengan hebat. Beliau saw senantiasa dicaci-maki dan dianiaya. Namun sosok yang merupakan perwujudan dari akhlak yang luhur ini senantiasa membalasnya dengan memanjatkan doa bagi para pencela karena Allah Ta’ala telah berjanji untuk melindungi kehidupan dan kehormatan beliau jika beliau berpaling dari orang-orang jahil. Dan beliau pun telah dijanjikan bahwa orang-orang yang berakhlak rendah tersebut tidak akan dapat menyerang beliau saw. Sungguh inilah yang terjadi. Orang-orang yang mencela beliau saw memperoleh kehinaan dan di antara mereka ada yang jatuh di kaki beliau saw seraya menyerahkan dirinya dan ada pula yang hancur.
Teladan dari pecinta sejati Hadhrat Rasulullah saw yakni Hadhrat Masih Mau’ud as juga patut dicontoh. Selama kasus pengadilan yang melibatkan Dr. Martyn Clark, Maulwi Muhammad Hussain Batalwi memberikan kesaksian terhadap Hadhrat Masih Mau’ud as. Untuk melemahkan kesaksian Maulwi Hussain Batalwi, pengacara Hadhrat Masih Mau’ud as memberikannya beberapa pertanyaan yang merendahkan keturunannya di pengadilan. Hadhrat Masih Mau’ud as menghentikan pengacara beliau as untuk tidak memberikan pertanyaan-pertanyaan seperti itu dan dengan cepat meletakan tangannya di mulut pengacara beliau as untuk mencegahnya berbicara. Dengan demikian, beliau as membawa dirinya dalam bahaya di pengadilan namun menyelamatkan kehormatan musuhnya. Pengacara tersebut sering menceritakan peristiwa ini dan berkata bahwa Mirza Sahib merupakan seorang wujud yang memiliki akhlak yang luar biasa. Seseorang menyerang kehormatannya, bahkan hidupnya. Beberapa pertanyaan disampaikan untuk melemahkan kesaksian musuhnya namun beliau as sendiri segera melarang untuk memberikan pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Ini sungguh merupakan suatu derajat tatkala kemarahan telah ditekan dan tidak hanya memaafkan orang-orang namun juga memberikan kebaikan kepada mereka.
Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda: Mukmin sejati adalah mereka yang menekan amarahnya dan mengampuni tindakan orang-orang yang kasar dan kejam serta tidak membalas kekasaran dengan kekasaran. Beliau as memberikan nasehat kepada Jemaatnya seraya bersabda, tujuan dipersiapkannya Jemaat ini adalah untuk menanamkan ketakwaan dalam berbicara, melihat, mendengar dan dalam setiap kemampuan lainnya dan agar seseorang memiliki cahaya ketakwaan yang tampak di dalam dirinya serta terpancar keluar serta menjadi teladan yang luar biasa dari kebaikan dengan tidak adanya kemarahan yang tak berdasar. Beliau as bersabda bahwa beliau as telah melihat bahwa orang-orang di dalam Jemaat ini masih ada yang cepat marah dan saling berkelahi satu sama lain. Orang-orang seperti itu tidak memiliki hubungan dengan Jemaat.
Beliau as bersabda: “Aku tidak paham apa masalahnya untuk tetap diam dalam membalas caci makian orang lain! Reformasi setiap Jemaat berawal dari akhlak yang luhur. Apa yang dibutuhkan adalah kesabaran dan cara terbaik untuk meraihnya adalah berdoa dengan sepenuh hati bagi orang-orang yang melancarkan caci-makian bahwa semoga Allah Ta’ala memperbaiki orang ini. Janganlah ada rasa dendam dan dengki yang menguasai diri. Allah Ta’ala juga memiliki hukum seperti hukum duniawi. Jika dunia tidak menghentikan hukumnya, lalu mengapa Allah Ta’ala harus menghentikan hukum-Nya? Jika kalian tidak menciptakan perubahan, Allah Ta’ala tidak akan menghargai kalian. Allah Ta’ala lebih menyukai kesabaran, ketabahan dan memberi maaf daripada kekejaman. Jika kalian mengembangkan akhlak yang tinggi, kalian akan dengan segera mencapai Allah Ta’ala.
Semoga Allah Ta’ala memungkinkan kita untuk membangun standar akhlak yang demikian dan menjadikannya senantiasa ada di dalam kehidupan kita dan di bidang apapun kita mengkhidmati Jemaat ini, semoga kita senantiasa menjadi yang pertama dalam menunjukan teladan yang luhur, baik di rumah maupun di lingkungan luar.
Hendaklah senantiasa berdoa bagi kemajuan Jemaat dan agar selamat dari rencana jahat para penentang dan juga berdoa bagi kemenangan Islam.
Penerjemah: Hafizurrahman