Ringkasan Khotbah Jumat
Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad
Khalifatul Masih al-Khaamis ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz
tanggal 24 April 2015 di Masjid Baitul Futuh, Morden, London, UK.
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضَّالِّينَ. (آمين)
Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad
Khalifatul Masih al-Khaamis ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz
tanggal 24 April 2015 di Masjid Baitul Futuh, Morden, London, UK.
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضَّالِّينَ. (آمين)
Sebuah pertanyaan yang semakin meningkat timbul hari-hari ini khususnya di dalam benak kaum muda-mudi, mereka yang belum memiliki bimbingan yang tepat dan orang-orang yang tidak mengikuti agama adalah bahwa karena pendidikan duniawi menyebabkan tumbuhnya moral yang baik lalu apa gunanya mengikuti sesuatu agama? Dikatakan, moral dapat ditanamkan tanpa pendidikan agama apapun, sebenarnya mereka itu menyatakan orang-orang yang tidak mengikuti agama memiliki moral lebih baik daripada orang-orang religius (yang mengikuti agama). Secara khusus tuduhan ini ditujukan pada penganut Islam. Para penganut agama lain telah menjauhkan diri (menjaga jarak) dari kepercayaan mereka, tetapi, bahkan Muslim yang tidak mengamalkan ajarannya mengaitkan diri dengan iman (agama) asal mereka sejak lahir, karena itu pada kenyataannya tuduhan ini ditujukan untuk umat Islam.
Berbagai upaya dilakukan untuk mempengaruhi generasi muda kita agar menentang terhadap agama. Aspek baik dari pendidikan Barat adalah bahwa ia menekankan penelitian dan eksplorasi tapi ini perlu dilakukan secara metodis. Orang tua tidak mampu menjawab para remaja ketika mereka bertanya tentang isu-isu tersebut, baik karena kurangnya waktu karena tekanan sosial atau ekonomi atau karena mereka tidak memiliki pengetahuan. Bukannya meluangkan banyak waktu menjawab pertanyaan para remaja itu, para orang tua malah menekan mereka [para muda-mudi yang bertanya seperti itu]. Hal ini menyebabkan para remaja beranggapan bahwa meskipun Islam menyatakan diri sebagai agama yang benar dengan semua resolusi (pemecahan) berbagai masalah, namun tidak memiliki jawaban dalam hal praktis dan sesuai dengan perkembangan zaman.
Para remaja mengambil semua pendapat ini secara diam-diam, tetapi mereka memiliki kebebasan untuk melakukannya, yaitu menjauhkan diri dari agama. Sebagai hasilnya, kendatipun Islam itu adalah agama yang hidup, namun kita menemukan terdapat orang-orang di kalangan umat Islam yang menolak agama dan menolak keberadaan Tuhan. Dalam hal yang terang ini kita semua harus bercermin bagaimana kita harus mengamalkan agama kita dan juga menginspirasi (mendorong) anak-anak kita untuk mempraktekkannya juga.
Suatu hal yang pasti bahwa Islam adalah agama yang sempurna, Al Qur'an adalah kitab yang lengkap dan teladan penuh berkat Nabi (damai dan berkah Allah padanya), yang merupakan perwujudan dari Al-Qur'an, ada di depan kita. Al-Qur'an itu yang menghasilkan perubahan revolusioner dalam diri para sahabat (ridha Allah semoga menyertai mereka), mereka mengerti apa itu iman, mereka mengerti moralitas dan mereka juga berkembang dalam segi materi (jasmaniah). Mereka terus menjaga ketiga aspek ini dalam konteks mereka.
Anak-anak muda harus berusaha, sebenarnya faktanya orang-orang dewasa pun juga demikian, untuk memahami akhlak (moral) yang benar, kesuksesan materi dan spiritualitas dan kemudian menempatkan mereka semua dalam praktek. Ketika anak-anak memahami titik pandangan ini, hal tersebut akan membuka jalan kesuksesan bagi mereka dan mereka akan menyadari betapa indah ajaran Islam dan mereka akan mengakui kebohongan pencela Islam. Pertanyaan-pertanyaan yang timbul saat ini bukanlah sesuatu yang baru; ini telah terjadi di masa lalu karena orang tidak berusaha memahami agama dalam bentuknya yang benar. Mereka yang disebut ulama, menyajikan hal-hal fiktif (dibuat-buat, khayali), memberikan solusi yang salah kepada orang-orang dan membuat orang-orang berpendidikan menjadi terjebak masuk dalam kebingungan lebih lanjut tentang agama. Pada saat yang sama, masyarakat sendiri membuat kesimpulan yang salah tentang agama.
Allah mengutus Hadhrat Masih Mau’ud as (Imam Mahdi) untuk mengatasi masalah ini dan beliau menyampaikan wawasan (pengertian mendalam) kepada kita. Hadhrat Mushlih Mau’ud (semoga Allah meridhai beliau) menyampaikan khotbah Jumat perihal korelasi (kaitan, hubungan) antara moralitas (akhlak), keuntungan materi (capaian duniawi) dan agama serta sudut pandang Islam tentang masalah ini dan bagaimana Baginda Nabi Muhammad shallAllahu ‘alaihi wa sallam (damai dan berkah Allah pada beliau) menjelaskan hakikat hal ini melalui keteladanan dan perbuatannya.
Kita berkata kepada dunia bahwa Islam adalah sebuah agama yang dikirim Allah Ta’ala sesuai dengan fitrah (sifat dasar dan suci) kemanusiaan sepenuhnya. Hadhrat Mushlih Mau’ud menguraikan bahwa Islam adalah agama fitrah. Agama, akhlak dan kebutuhan manusia – yang terkait dengan jasmaninya – saling mempengaruhi, saling menyerap dan merasuk satu dengan yang lain sehingga sulit untuk memisahkan itu semua. Seseorang yang beragama tidak bisa memisahkan moralitas dari agama dan ia juga tidak bisa meninggalkan pemikiran untuk memiliki kebutuhan materi (jasmaniah). Hal demikian karena menghentikan pemikiran untuk memerlukan kebutuhan duniawi akan menghentikan siklus kemajuan materi. Oleh karena itulah, semua hal tersebut, yaitu agama, akhlak dan kemajuan materi itu saling berhubungan. Namun, meskipun berkorelasi juga ada perbedaan. Di satupihak, orang-orang yang tidak mengikuti agama tetap dalam pendapat bahwa manusia membutuhkan moral yang baik dan kesuksesan materi. Namun, seorang Muslim sejati akan mempertahankan pendapat bahwa disamping itu semua, manusia juga membutuhkan agama karena itu mengantarkan manusia kepada Tuhan.
Islam sajalah yang membuat korelasi antara spiritualitas, moralitas dan kesuksesan materi. Namun, sebagian besar umat Islam tidak memahami realitas (kebenaran) agama. Dan, mereka menghubungkan moralitas dan keuntungan materi dengan agama secara agak berlebihan sedemikian rupa sehingga mereka mendorong orang-orang menjauh dari agama. Selain hal yang esensial (pokok mendasar) dalam Islam seperti shalat dan puasa, beberapa ulama bersikeras berpendapat bahwa hal seperti konvensi dan rapat umum (unjuk rasa) dan sebagainya juga merupakan bagian dari Islam dan mereka yang tidak berpartisipasi di dalamnya adalah orang-orang kafir atau murtad.
Bahkan, sikap ini bertambah terus dan setiap sekte mengeluarkan fatwa menentang fatwa sekte (golongan Muslim) yang lain dan konflik pun berlanjut. Semua ini mengarah pada kelompok-kelompok ekstremis merumuskan sesuatu yang mereka namai hukum agama dan membawa pembunuhan dan penganiayaan satu sama lain. Situasi di Suriah, Irak, Afghanistan dan Pakistan muncul akitab lahirnya hukum-hukum fiktif yang dibuat atas nama agama!
Seorang wartawan Prancis (Didier Francois) yang dibebaskan dari penahanan ISIL melihat berbagai praktek perbuatan mereka yang bertentangan dengan pengetahuan tentang Islam yang dimilikinya. Setelah ia bertanya kepada beberapa individu dari ISIL, mereka mengatakan bahwa mereka tidak tahu apa yang Qur'an dan Hadis katakan, apa yang mereka diikuti adalah hukum mereka sendiri.
Situasi saat ini di Yaman juga merupakan penampakan dari pelaksanaan fatwa populer dalam kedok agama untuk membunuh orang yang tidak bersalah melalui serangan udara. Ini benar bahwa dalam kedua belah pihak terdapat kesalahan tetapi ini tidak berarti seseorang dapat atau boleh membunuh yang lainnya! Jika kita renungkan bahasan ini lebih lanjut, niscaya akan kita temukan bahwa – sebagaimana terekam dalam sejarah Islam dan praktek ini berlangsung hingga sekarang - Setiap ulama membangun madzhab khusus buat mereka sendiri. Dengan demikian, hakikat kebenaran Islam tidak kedalam Islam yang mereka klaim telah mereka amalkan itu. Akibatnya, sebagian besar orang Islam telah menjauh dari Islam yang sebenarnya dikarenakan sikap taqlid (mengikuti begitu saja) mereka terhadap para ulama dan pemberi fatwa. Tidak diketahui apa yang terjadi dengan hal-hal yang atas nama rohaniah dan apa yang atas nama Islam.
Bertentangan dengan itu, dunia Barat yang maju berkembang tetapi non-agamis mencoba untuk membuat moralitas dan spiritualitas sebagai bagian dari dunia secara jasmaniah. Jika mereka memandang fenomena wahyu, mereka katakan itu adalah unsur dinamis manusia [bagian dari perbuatan manusia]. Jika mereka memandang moralitas (akhlak), mereka memandangnya sebagai sesuatu yang bermanfaat bagi mereka secara duniawi. Jika mereka merenungkan soal agama, mereka mengatakan bahwa orang-orang yang mengikuti agama adalah orang-orang yang tidak berpendidikan, tidak berperadaban atau berperadaban rendah, dan itu gunanya dalam batas tertentu dengan mengatasnamakan agama agak menyelamatkan mereka dari melakukan kejahatan-kejahatan. Dan mereka mengatakan bahwa orang-orang yang sudah bermoral tidak perlu (tidak membutuhkan) agama.
Dengan merenungkan moralitas (akhlak), spiritualitas (rohaniah) dan kesuksesan materi (capaian duniawi), hal itu memberitahu kita bahwa itu semua begitu terjalin sehingga tidak semua orang menyadari di mana dan bagaimana mereka berhubungan. Kita melihat kehidupan penuh berkat Baginda Nabi saw (damai dan berkah Allah atas beliau) untuk memahami korelasi tersebut. Beliau pembaharu dunia untuk aspek spiritual, moral dan material. Kehidupan beliau nan penuh berkat adalah gabungan dari itu semua. Beliau saw mengatakan tanpa doa (shalat dan ibadah lainnya), iman manusia tidak dapat disempurnakan. Artinya, sementara di satu segi ibadah Allah itu penting, beliau saw juga menekankan pada pengembangan spiritual.
Hubungan antara doa (doa) dan manusia adalah seperti hubungan antara ibu dan anak. Kata bahasa Arab, ‘Dua’ berarti memanggil seseorang dan satu-satunya panggilan ketika salah satu yakin bahwa bantuan akan datang. Tiga elemen (unsur) yang diperlukan untuk memanggil. Pertama, seseorang harus yakin bahwa permohonannya akan didengar, kedua, seseorang harus memiliki jaminan bahwa siapa yang kita sebut dalam panggilan itu memiliki kekuatan untuk membantu dan ketiga, seseorang harus memiliki cinta yang melekat dan pengabdian kepada siapa yang ia panggil dan mau tak mau untuk berpaling hanya ke orang itu dan tidak kepada yang lain.
Dua yang pertama adalah elemen yang berkaitan dengan pikiran. Jika salah satu tidak yakin bahwa panggilannya akan didengar dan jika seseorang tidak memiliki jaminan bahwa orang yang disebut-sebutnya dalam panggilan itu datang dengan memiliki kekuatan untuk membantu maka itu adalah hal yang sia-sia untuk memanggil orang itu! Unsur ketiga, bagaimanapun, adalah keinginan alami, kecintaan fitri, melekat pada sifat dasar manusiawi. Unsur ketiga ini adalah kasih yang melekat dan pengabdian yang membuat orang mengabaikan orang lain, dan membuatnya hanya berpaling ke obyek yang ia cintai. Seperti cinta yang melekat antara ibu dan anak. Bahkan, jika seorang anak yang tengah tenggelam mengetahui ibunya itu tidak bisa berenang, jika dia ada di sekitar itu, maka sang anak akan memanggilnya untuk bantuan dan tidak orang lain.
Ikatan ini ini lahir dari hubungan emosional. Tentang hal ini, Baginda Nabi saw (damai dan berkah dari Allah atas beliau) mengatakan, «الدُّعَاءُ مُخُّ العِبَادَةِ» ‘ad-du’aa-u mukhul ibaadah’ - “Doa adalah sumsum ibadah.” Itu artinya, iman seseorang tidak dapat menjadi sempurna tanpa doa. Pendeknya, beliau saw mengumpamakan hubungan antara Allah dan manusia sebagai hubungan antara ibu dan anak, hal mana seorang anak berjalan ke arah ibunya dalam semua keadaan dan mengabaikan yang lainnya.
Elemen kedua adalah moral. Kita melihat aspek indah ini dalam kehidupan penuh berkat Baginda Nabi saw (damai dan berkah Allah atas beliau). Kita melihat kelakuan baik dan ekspresi cinta beliau saw atas istri-istri beliau, sesuatu yang penting agar memiliki kehidupan rumah tangga yang bahagia. Cinta dan kepedulian beliau bagi istri-istrinya adalah sampai-sampai jika seorang istri beliau minum air dari suatu perkakas untuk minum, ketika beliau saw ingin minum, beliau menempatkan mulutnya di tempat istrinya telah menempatkan mulutnya untuk minum.
Dalam corak itu, ini adalah sesuatu yang nampaknya kecil tapi itu merupakan suatu pokok pandangan yang sangat halus lagi mendalam. Hal ini menandakan bahwa cinta tidak hanya diungkapkan dengan sikap-sikap dan perkara-perkara yang besar tetapi benar-benar terlihat dari gerakan-gerakan kecil! Tidak cukup hanya itu. Kehidupan penuh berkat Baginda Nabi (damai dan berkah Allah atas beliau) penuh dengan peristiwa-peristiwa menakjubkan yang berkaitan dengan akhlak sedemikian banyak sehingga tampaknya semua hidup beliau hanya untuk mengajarkan akhlak kepada orang-orang. Beliau adalah teladan dan tiada taranya dalam setiap hal, seperti misalnya hubungan dengan umat manusia dan antar kerabat serta menghindari kepalsuan, pengkhianatan, prasangka buruk dan ketidakpercayaan.
Unsur ketiga yang beliau saw ajarkan ialah memandu dalam aspek materi (jasmaniah). Misalnya, menjaga jalan-jalan yang jelas dan terbuka untuk kehidupan warga, pasokan air, kebersihan jalan, saran petunjuk beliau agar membuat rumah yang lapang sehingga udara dapat masuk kedalamnya. Beliau saw mengarahkan perhatian pada semua hal-hal materi dan duniawi, baik itu pemerintahan, budaya, kemasyarakatan, perdagangan atau industri.
Namun, bertentangan dengan orang-orang yang disebut ulama (pemimpin agama) hari ini, Nabi (damai dan berkah Allah atas beliau) tidak menganggap semuanya itu sebagai bagian dari agama. Misalnya, suatu kali Baginda Nabi saw (damai dan berkah Allah atas beliau) melihat beberapa petani melakukan penyerbukan pohon kurma dengan membawa bagian benih jantan dari pohon ke dalam kontak dengan bagian benih betina dari pohon tersebut. Beliau saw bersabda, ”لَعَلَّكُمْ لَوْ لَمْ تَفْعَلُوا كَانَ خَيْرًا" “Aku menduga, andai kalian tidak melakukannnya, mungkin lebih baik”, dan membiarkan penyerbukan terjadi secara alami melalui angin. Para petani meninggalkan praktek itu tetapi pada musim panen tahun berikutnya itu mereka tidak memperoleh panen yang baik.
Ketika Nabi saw diberitahu penyebab hasil panenan yang lebih rendah, beliau saw mengatakan bahwa beliau saw tidak memerintahkan mereka untuk meninggalkan praktek tersebut, beliau saw bersabda, " أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ " ‘Antum a’lamu biamri dunyakum’ – “Kalian lebih mempunyai pengetahuan tentang hal-hal duniawi kalian.”
Hadhrat Mushlih Mau’ud ra mengatakan, “Jadi, jelas dalam hal ini, bahwa beliau saw telah memisahkan aspek materi dari masalah agama. Itu jugalah sabda beliau saw, ”لَعَلَّكُمْ لَوْ لَمْ تَفْعَلُوا كَانَ خَيْرًا" ‘Aku menduga, andai kalian tidak melakukannya, mungkin lebih baik’. Sabda beliau saw sendiri diucapkan sesuai dengan perintah-perintah Allah.” Sementara ini adalah sebuah sabda dari lisan seorang Rasul dari Allah Ta’ala yang menganggap hal-hal materi sebagai materi dan berkata kepada manusia bahwa mereka lebih tahu dari beliau perihal tersebut, namun, kita saat ini mendapati para Maulwi (Ulama) yang selalu siap untuk menyatakan orang-orang sebagai kafir dan murtad hanya karena bertentangan pendapat dengan mereka!
Dan kemudian di sisi lain, kita melihat bangsa-bangsa Barat –atau mereka yang menamakan diri bangsa-bangsa maju berperadaban- tidak menganggap penting beriman kepada agama, tidak menghormati ajaran agama dan juga akhlak, tetapi mereka hanya menekankan segala hal yang bersifat materi (jasmaniah).
Hadhrat Mushlih Mau’ud ra mengatakan, “Para filsuf (ahli filsafat) mereka (bangsa Barat) mengatakan, ‘Persoalannya bukanlah bagaimana Tuhan menciptakan manusia, melainkan bagaimana manusia (na’udzu biLlaah) telah menciptakan Tuhan.’ Mereka menganggap pertanyaan mengenai Tuhan adalah akibat kemajuan manusia, dan jika memang Tuhan itu Ada maka itu hanyalah lingkaran akhir kemajuan akal manusia. Mereka beranggapan manusia mencari model (rancangan, contoh, teladan) yang sangat baik dan ketika model ini tidak ditemukan di antara umat manusia, pikiran melampaui alam kemanusiaan dan secara bertahap sesuatu yang sempurna dibayangkan dan ini mereka anggap sebagai konsep Tuhan.”
Hadhrat Mushlih Mau’ud ra mengatakan bahwa demikianlah bagaimana orang-orang itu telah membuat konsep Tuhan sebagai aspek material. Secara bertahap mereka berpaling dari agama dan para filsuf zaman ini cenderung untuk menganut ateisme. Sebagian besar orang di Barat tidak percaya adanya Tuhan dan mereka menganggap moralitas dan kesuksesan materi sebagai segalanya. Sementara itu, para Maulwi zaman ini mendukung pandangan-pandangan para Ateis tersebut dengan membuat segala pemikiran mereka (para ulama itu) sebagai bagian dari agama sebagai akibatnya mereka tengah menyebarlaskan kejahilan (kebodohan). Bila kita memandang bahasan ini dari segi ini, kita dapati para ulama zaman sekarang juga salah, salah juga orang-orang yang menganggap agama sebagai hal-hal materi dan yang menolaknya.
Kita beruntung dan berbahagia sebagai Muslim Ahmadiyah karena Allah Ta’ala telah mengutus Hadhrat Masih Mau’ud as dan menyelamatkan kita dari masalah ini serta menuntun kita untuk mengikuti teladan penuh berkat Baginda Nabi saw (damai dan berkah Allah atas beliau) karena kebenaran ada pada beliau saw. Beliau saw mengajarkan I’tidaal (moderasi, keseimbangan) dalam segala hal dan menunaikan haq-haq (tanggungjawab) kita dan inilah agama yang benar.
Beliau saw mengajarkan bahwa ibadah kepada Allah adalah penting, bahkan teramat penting, itu adalah tujuan penciptaan kita sebagai manusia; namun, bersamaan dengan hal itu, setiap diri sendiri juga memiliki hak atas dirinya seperti halnya istri dan tetangga memiliki hak atasnya. Dalam rangka memenuhi hak-hak ini kita harus menggunakan tiga macam sumber atau sarana. Pertama, doa dan ibadah kepada Allah; kedua, mengendalikan emosi dan merenungkan ilmu psikologi (kejiwaan) manusia, ketiga berpegang teguh pada kejujuran dalam pekerjaan atau profesi dan mencari dan menuntut ilmu-ilmu keduniaan.
Jika kita merenungkan kita akan menyadari bahwa demi memenuhi hak (menunaikan kewajiban) bagi diri kita sendiri, doa dan hubungan dengan Tuhan itu berfaedah seperti halnya mengendalikan emosi dan hawa nafsu. Hal demikian karena, perasaan emosional sering membuat kita menghilangkan hak-hak kejiwaan kita sendiri, jika ia keluar tanpa pertimbangan, atau keluarnya emosi tanpa kendali juga mengakibatkan ketidakadilan dan kezaliman (sikap aniaya). Maka, penambahan ilmu dan berpegang teguh pada kejujuran dalam pekerjaan dapat membimbing kita menuju peningkatan kehidupan moral, spiritual dan juga materi kita.
Demikian pula, dalam rangka memenuhi hak-hak keluarga kita, kita berdoa, mengendalikan emosi kita dan memenuhi kebutuhan materi mereka. Hak tetangga atau masyarakat akan terpenuhi dengan doa-doa, menunaikan kewajiban-kewajiban (memenuhi hak-hak) terhadap mereka dan berusaha memahami pola pikir mereka sehingga pesan Islam dapat mereka terima secara tepat. Dengan bekerja keras di tempat kerja kita menjadi anggota masyarakat yang berguna dan ketika semua orang melakukan hal ini masyarakat menjadi teladan dalam hal moralitas, spiritualitas dan kesuksesan materi.
Kesukaran mengerikan dari dunia Muslim saat ini ialah tersimpannya fakta atau kenyataan bahwa mereka telah melalaikan semua ini dan memberikan nama pada hasrat-hasrat keakuan mereka sebagai agama. Sebagai hasilnya, bukannya memuji kualitas Islam kepada orang lain, mereka malah mengikuti keyakinan fiktif (yang dibuat-buat) dan membunuh satu sama lain. Mereka telah kehilangan baik dari segi duniawi dan dalam hal-hal ukhrawi (spiritual) dan terhina dengan mengemis kepada pihak lain (non Islam) dalam setiap masalah.
Dunia Barat memberi prioritas (pengutamaan) pada hal-hal duniawi melebihi keimanan (agama), tapi setidaknya mereka berhasil mencapai tujuan duniawi mereka bahkan kendatipun itu melalui cara-cara yang salah. Hadhrat Masih Mau’ud as diutus untuk reformasi (perbaikan) kedua segi ekstrem tersebut [berlebihan dalam hal duniawi dan berlebihan dalam hal agamawi, atas nama agama]. Pada saat-saat seperti itulah Allah mengirimkan orang-orang pilihan-Nya kepada dunia yang menjaga hal-hal dalam suatu perspektif, menggerakkan iman (agama) dalam konteks (sudut bahasan) iman/agama, moralitas (akhlak) dalam konteksnya dan hal-hal duniawi dibahas dalam konteks duniawi tersebut. Dalam bentuk corak itu, orang-orang pilihan Allah membawa pesan spiritual tetapi tiga aspek tersebut tetap berkorelasi (berkaitan, yaitu akhlak, rohaniah dan jasmaniah).
Keunggulan dalam spiritualitas pasti mengarah ke reformasi moral, dan moral yang baik pasti menyebabkan kondisi materi yang lebih baik. Namun, seseorang yang perkara-perkara duniawinya baik maka tidak perlu mengartikannya bahwa ia mendapatkan segalanya, dan tidaklah menjamin keharusan bahwa orang yang maju dalam hal dunia itu menjadi benar dalam akhlaknya, juga tidak harus benar mengatakan bahwa siapa yang akhlak (moralnya) baik maka agamanya juga pasti benar. Hal demikian karena Allah ingin membawa manusia lebih dekat kepada-Nya. Untuk ini, Dia telah membuat reformasi moral dan kesuksesan materi bersyarat pada spiritualitas atau religiusitas. Allah menyatakan seorang mukmin sejati diberikan segala macam kesuksesan (jasmani, akhlak, rohaniah).
Ada berbagai cara yang berbeda untuk mencapai keberhasilan dalam hal moral, spiritual dan material tetapi ada juga cara bersama dan itu adalah menjalin hubungan yang sempurna dengan Allah. Moralitas dicapai dengan mengusahakannya dan kesuksesan materi diperoleh dengan mengusahakannya tapi hasil dari kedua upaya ini terbatas dalam lingkup mereka sendiri. Namun, mereka yang berupaya mencapai spiritualitas diberikan segalanya. Para sahabat Nabi tidak mengambil bai'at-nya karena mereka ingin membuat jalan lebar atau ingin memiliki kebersihan di sekitar lingkungannya. Sebaliknya, mereka dibacakan dan membaca 'Tidak ada yang patut disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya' dan hal ini mereformasi moral mereka dan juga hal-hal duniawi mereka.
Di zaman Hadhrat Khalifah Umar ra, umat Muslim harus meninggalkan Suriah karena besarnya jumlah tentara Romawi yang hendak menyerang mereka. Kaum Kristen Suriah menangis ketika umat Islam berangkat pergi meninggalkan mereka. Warga Kristen tersebut menghentikan pasukan Muslim seraya mengatakan, “Kami akan membantu kalian jika tetap tinggal di sini.” Mereka adalah orang Kristen seperti halnya orang-orang Romawi juga [yang sebelumnya memerintah mereka], tetapi ikatan mereka dengan umat Islam itu karena moral yang tinggi dan tata kelola pemerintahan yang sangat baik dari kaum Muslim. Meskipun pemerintahan adalah pencapaian duniawi, umat Muslim waktu itu dianugerahi hal ini berdasarkan keistimewaan keadaan iman mereka.
Hadhrat Mushlih Mau’ud ra meriwayatkan bahwa Hadhrat Masih Mau’ud as biasa menceritakan kisah tentang seorang pedagang yang akan berangkat pergi pada sebuah perjalanan dan meninggalkan sejumlah besar uang yang dititipkannya kepada seorang Qadi (hakim) kota itu. Setelah kembali, ia meminta sang Qadi untuk mengembalikan tas uangnya tapi Qadi hanya menyangkal pernah diberi uang sebagai kepercayaan/titipan. Pedagang sangat gelisah dan memberi Qadi dengan banyak petunjuk dan informasi untuk mengingatkannya perihal tas uangnya, tapi kadi mengatakan bahwa ia tidak pernah menyimpang barang kepunyaan orang lain seperti kepercayaan.
Mereka diperintah oleh seorang raja yang sangat mudah didekati. Pedagang pergi menemuinya dan menjelaskan ceritanya. Raja memintanya beberapa bukti bahwa ia telah meninggalkan uangnya. Pedagang mengatakan dia tidak mempunyai bukti. Raja memikirkan rencana dan meminta pedagang untuk berdiri di samping Qadi pada hari prosesi penghadapan raja. Pedagang setuju dan mengikuti rencana pada hari prosesi. Raja berkata, “Saya akan berbicara dengan Anda dengan cara tak resmi seperti dengan kawan dekat dan ramah. Anda harus menanggapinya dalam keramahan yang sama.”
Pada hari prosesi, raja dan pedagang keduanya secara terbuka mengobrol dengan ramah dan pedagang menceritakan perihal tas uangnya yang tertinggal pada seseorang sebagai kepercayaan dan ia menderita kesulitan dalam mengambilnya kembali. Raja berkata, “Kalau Anda menyampaikan hal ini sebelumnya tentu saya akan menyelesaikan masalah anda sehingga tas uang Anda dapat kembali. Jika Anda terus mengalami kesulitan dalam mendapatkan kembali uang Anda, saya harus datang dan menemui Anda.” Qadi melihat semuanya.
Ketika prosesi berlalu Qadi berkata kepada si pedagang, “Ingatan saya tidak sangat baik dan saya mungkin sudah lupa tentang tas uang. Coba Anda sampaikan beberapa petunjuk dan ciri-ciri barang Anda.” Ketika sang pedagang memberinya petunjuk, Qadi berkata, “Kenapa kau tidak memberitahu saya tanda-tandanya sebelumnya? Barang titipan Anda tersimpan pada saya. Saya akan pergi dan mendapatkan tas Anda lalu akan saya serahkan pada Anda!"
Sekarang, jika persahabatan dengan sumber kekuasaan duniawi yang terbatas kekuatannya dapat memberikan begitu banyak keuntungan kepada seseorang, maka bagaimana persahabatan dengan Allah? Bagaimana dunia tidak akan takluk pada manusia yang demikian, yang bersahabat dengan Allah. Dengan mengikuti agama yang benar secara benar memungkinkan seseorang untuk menang atas dunia seluruhnya. Para sahabat Nabi saw memperoleh itu semua berupa keduniaan melalui Nabi saw bukan dengan cara mengikuti sarana-sarana materi, melainkan dengan mengikuti agama. Tapi keyakinan (iman) sempurna diperlukan untuk ini, keyakinan yang menarik ridha (kesenangan) Allah. Jika seseorang telah mempunyai keyakinan sempurna, ia tidak akan pernah bisa meninggalkan moral yang tinggi (akhlak fadhilah).
Jika dia menerapkan semua aspek moral dan mempraktekkan semuanya, maka dia akan meraih kejujuran, kebenaran, kepercayaan, kesalehan dan kesucian. Dan ini tentu akan membuat dirinya memperoleh pengetahuan, keterampilan, kesadaran, kemampuan dan ketekunan, dan ia akan mencapai kesuksesan duniawi juga. Seorang mukmin sejati harus lebih fokus pada hubungan spiritual. Manusia tidak akan mendapat anugerah hingga dia mencapai puncak (unggul) dan kesempurnaan pada sesuatu hal yang ia kerjakan, dan kesempurnaan dan keunggulan juga bermanfaat dalam hal agama, dan seseorang harus berusaha untuk itu.
Hadhrat Masih Mau’ud as biasa bersabda bahwa orang-orang yang mendapatkan keuntungan dari beliau hanyalah mereka yang memiliki asosiasi (ikatan) yang kuat dan erat dengan beliau; baik mereka yang sangat menentang, seperti Maulawi Sana Ullah Sahib dan mereka yang menjadi terkenal terutama karena menentang beliau atau mereka yang benar-benar tulus mengikuti dan menaati beliau. Asosiasi lemah (hubungan yang lemah dengan beliau as) tidak menguntungkan sama sekali.
Jika seseorang berpaling kepada Allah ia akan diperlakukan sebagaimana orang lain diperlakukan pada jaman dulu. Jika seseorang benar-benar mencoba untuk ini ia akan mencapainya. Apa yang dibutuhkan adalah bersujud kepada Allah dengan ketulusan yang sempurna dan ini membawa kesuksesan. Kita harus melakukan upaya untuk mencapai Tuhan, berusaha dan memahami agama yang dikirim oleh Tuhan dan membuat karunia-Nya menjadi bagian terdalam dari diri kita. Hal ini akan menyebabkan moral yang tinggi dan kita juga akan menerima kesuksesan materi. Jika kita mencoba dan mengambil bagian dari cahaya Ilahi, kita akan benar-benar menerima kebaikan Tuhan. Jika kita mencoba dan mengambil bagian dari cahaya Ilahi dengan kesungguhan, itu akan menghilangkan kegelapan kepalsuan, kemalasan, penipuan dan penyakit lain, dan moral yang tinggi akan ditanamkan dalam diri kita.
Jika kita ingin menyelamatkan generasi keturunan berikutnya dari efek buruk materialisme di sini kita harus menjelaskan kepada mereka korelasi antara agama dan moralitas. Jika kita ingin membuat kesuksesan materi tergantung pada spiritualitas (agama) dan menghubungkan kesuksesan materi tersebut ke agama, kita juga harus berusaha dan menjalin hubungan yang benar dengan Tuhan untuk diri kita sendiri.
Penerjemah: Dildaar Ahmad
0 komentar:
Post a Comment