Ringkasan Khotbah Jumat
Sayyidina Amirul Mu’minin,
Hadhrat Mirza Masroor Ahmad
Khalifatul Masih al-Khaamis
ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz
7 Agustus 2015
di Masjid Baitul Futuh, Morden, UK.
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
]بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضالِّينَ[، آمين.
Ketika membaca atau mendengar riwayat-riwayat para sahabat Hadhrat Masih Mau’ud as, kita senantiasa melihat suatu keinginan besar mereka untuk mengenal kebenaran, mengorbankan jiwa dan harta mereka serta menunjukan kecintaan mereka yang mendalam terhadap Hadhrat Masih Mau’ud as sesuai dengan pemahaman dan standar mereka. Walhasil, mereka adalah kaum akhirin yang senantiasa berupaya memenuhi kewajiban-kewajiban mereka untuk dapat masuk ke dalam derajat kaum awalin. Mereka memiliki cara dan gaya masing-masing. Barangsiapa yang melihat mereka atau berada di dekat mereka juga mendapatkan nasehat dari mereka sesuai dengan kapasitas mereka masing-masing serta menarik kesimpulan dari beberapa perkara.
Hadhrat Muslih Mau’ud ra juga merupakan seorang sahabat. Beliau ra juga memiliki ikatan yang dekat dengan semua para sahabat atau dengan para sahabat yang kisahnya beliau sampaikan. Beliau ra menarik kesimpulan dari beberapa riwayat mereka dan memberikan nasehat kepada kita. Nasehat tersebut begitu berkesan di dalam hati. Dengan merenungkannya, kita melihat bahwa terdapat berbagai aspek dalam setiap riwayat tersebut.
Hadhrat Maulwi Burhanuddin Dehlvi Sahib. Pertemuan pertama beliau dengan Hadhrat Masih Mau’ud as merupakan sebuah kisah yang sangat menarik. Beliau tiba di Qadian untuk mengunjungi Hadhrat Masih Mau’ud as. Namun ternyata, beliau as telah berangkat ke Gurdaspur. Oleh karena itu, beliau pun pergi ke sana. Tempat dimana Hadhrat Masih Mau’ud as tinggal di Gurdaspur pada saat itu berdampingan dengan sebuah kebun. Hamid Ali Sahib pada saat itu sedang duduk di dekat pintu dan tidak mengizinkan Burhan Sahib untuk masuk. Akan tetapi beliau dengan sembunyi-sembunyi mencoba mendekati pintu tersebut. Ketika membuka pintu tersebut dengan pelan-pelan, beliau melihat Hadhrat Masih Mau’ud as sedang berjalan dengan cepat di dalam rumah. Burhan Sahib lalu melangkah mundur. Beliau langsung menyadari bahwa Hadhrat Masih Mau’ud as merupakan seorang yang benar yang harus mencapai suatu tempat tujuan yang jauh. Oleh sebab itu, beliau berjalan dengan cepat.
Hadhrat Muslih Mau’ud ra melihat bahwa Burhan Sahib merupakan seorang mantan Wahabi dan terkenal keras. Namun Burhan Sahib tidak mencari bukti dan dalil dari Al-Quran dan Hadits. Sungguh, pendirian orang Wahabi adalah pintu wahyu sudah tertutup setelah kewafatan Hadhrat Rasulullah saw. Mereka juga beranggapan bahwa – naudzubillah - para wali dan nabiullah tidak memiliki keunggulan yang luar biasa. Untuk menyanggah konsep yang keliru ini, Hadhrat Masih Mau’ud as bersabda bahwa wujud para nabi Allah Ta’ala adalah seperti hujan dan merupakan wujud kilauan sinar yang luhur dan memiliki banyak keunggulan dan keberkatan. Sungguh keji menganggap mereka sama seperti orang biasa. Kecintaan kepada para nabi Allah Ta’ala dan para wali meningkatkan kekuatan keimanan seseorang.
Sungguh, Hadhrat Burhanuddin Sahib mengira cara berjalan Hadhrat Masih Mau’ud as yang cepat merupakan tanda kebenaran beliau. Ini merupakan karunia yang khas dari Allah Ta’ala karena banyak orang yang meski telah diberikan dalil dan tanda yang kuat, tetap saja tidak menerima kebenaran. Tentu tidak semua orang Wahabi berhati keras. Ribuan orang di Afrika [banyak dari antara mereka berasal dari golongan Wahabi] telah meyakini kebenaran Hadhrat Masih Mau’ud as serta telah mengambil baiat. Mereka menghargai pentingnya wahyu ilahi dan menyadari bahwa para nabiullah dan para wali adalah seperti hujan yang senantiasa menjaga bumi agar tetap hijau dan subur serta bahwa wahyu ilahi itu penting bagi kesuburan rohani.
Hadhrat Saith Abdul Rahman Sahib dari Madras. Beliau menjadi seorang Ahmadi pada masa Hadhrat Masih Mau’ud as. Beliau seorang yang sangat tulus dengan kecenderungan yang besar terhadap tabligh. Hadhrat Masih Mau’ud as biasa menceritakan sebuah kisah mengenai kelembutan hati beliau. Saith Sahib sangat sejahtera di masa awal. Beliau biasa memberikan pengorbanan harta yang besar demi agama dan mengirimkan sumbangan 300 hingga 500 rupee per bulan. Suatu kali beliau membuat keputusan bisnis yang buruk yang membuat bisnis beliau hancur. Hadhrat Masih Mau’ud as mendapatkan wahyu berkenaan dengan beliau: “Maha Kuasa Dia, Dia membetulkan kembali rencana yang rusak dan menghancurkan rencana yang sedang berjalan. Tidak ada yang mengetahui rahasia-Nya.” [Surat kepada Saith Abdur Rahman di Madras tgl. 21 Desember 1898, Tadhkirah, hal. 424]
Dari baris pertama wahyu tersebut dipahami bahwa bisnis Saith Sahib akan membaik. Akan tetapi dari baris kedua, mengisyarahkan bahwa Allah Ta’ala pun dapat mematahkan suatu bisnis yang telah berjalan dengan baik. Selang 2 atau 3 tahun setelah terjadinya kerugian tersebut, bisnis Saith Sahib kembali membaik namun kemudian mengalami kemerosotan yang begitu parah sehingga beliau pun mengalami kesulitan dalam urusan makan dan minum.
Hadhrat Masih Mau’ud as suatu kali berbicara tentang Saith Sahib dengan penuh kecintaan. Beliau as bersabda bahwa Saith Sahib merupakan seseorang yang sangat tulus dan setia. Saith Sahib telah mengirimkan 500 rupee. Melihat kondisi sulit yang beliau alami, seorang sahabat memberinya 2000 atau 3000 rupee yang darinya beliau keluarkan 500 rupee untuk Hadhrat Masih Mau’ud as. Beliau menjelaskan di dalam secarik surat bahwa sudah lama beliau tidak mampu membayar candah. Namun sekarang kehormatannya tidak dapat menerima untuk tidak memberikan sumbangan demi agama dari uang yang beliau dapatkan.
Suatu kali, Hadhrat Masih Mau’ud as menerima wesel dari seorang non-Ahmadi. Ia menulis bahwa Saith Sahib merupakan sahabatnya yang ia anggap sebagai seorang yang mulia dan ia percaya kepada beliau. Suatu hari ia melihat Saith Sahib sedang murung. Ketika ditanya, beliau menjawab bahwa beliau biasa secara dawam mengirimkan uang kepada Hadhrat Masih Mau’ud as untuk agama ketika beliau dahulu punya uang namun sekarang beliau tidak lagi dapat melakukannya. Ia menulis bahwa hal ini sangat menyentuhnya serta memutuskan untuk mengirimkan 200 rupee hingga 300 rupee per bulan.
Suatu kali Saith Sahib mengirimkan beberapa ratus rupee dan ketika ditanya bagaimana beliau masih dapat mengirimkan uang. Beliau menulis bahwa beliau telah meminjam uang dari seorang teman untuk membayar hutang dan dari uang itu juga beliau kirimkan sedikit kepada Hadhrat Masih Mau’ud as. Lihatlah, bagaimana semangat pengorbanan beliau pada saat itu.
Hadhrat Muslih Mau’ud ra bersabda bahwa Hadhrat Masih Mau’ud as telah memberikan tantangan kepada seluruh agama. Oleh karena itu, umat Kristen dan Hindu menjadi sangat menentang keras terhadap beliau as serta berupaya untuk menghinakan beliau as dan membawa beliau as ke ranah pengadilan terhadap beberapa kasus. Sampai-sampai Hadhrat Masih Mau’ud as harus menghadiri persidangan dalam hari-hari kerja selama 3 bulan lamanya dan beliau as terpaksa berdiri selama berjam-jam di pengadilan tersebut. Suatu kali beliau tidak diizinkan minum oleh seorang Hakim atas dasar permusuhannya terhadap beliau as.
Mungkin, pada hari ini kita telah melupakan kejadian-kejadian tersebut. Namun bagi para Ahmadi mukhlis pada saat ini, peristiwa ini merupakan ujian yang sangat berat. Di satu sisi, mereka mendengar wahyu ilahi yang menyebutkan bahwa “Para raja akan mencari berkat dari jubah engkau”. Akan tetapi di sisi lain, seorang Hakim rendah yang beragama Hindu ini bahkan tidak memberikan izin bagi beliau as untuk minum air! Hakim itulah yang memerintahkan beliau as untuk harus berdiri berjam-jam sehingga beliau merasa pusing dan sakit kaki. Mereka yang lemah iman akan bertanya-tanya apakah mungkin hal ini dapat terjadi terhadap seseorang yang kepadanya turun segala Janji-Janji Ilahi?
Hadhrat Muslih Mau’ud ra bersabda bahwa beliau ra ingat suatu hari ketika keputusan kasus pengadilan akan diberikan. Ada seorang Ahmadi yang dikenal sebagai Profesor. Sebelum menjadi Ahmadi, beliau seorang pejudi yang menghabiskan banyak uang setiap bulan untuk bermain kartu. Beliau berhenti dari kebiasaan tersebut setelah menerima Ahmadiyah dan mulai membuka sebuah kedai kecil. Kecintaannya kepada Hadhrat Masih Mau’ud as sangat besar. Beliau pun bahagia hidup dalam kemiskinan demi kecintaannya terhadap beliau as. Beliau senantiasa bertabligh kepada para pelanggannya dan mulai berdebat dan marah kepada mereka yang menghina Hadhrat Masih Mau’ud as.
Beliau pun menyampaikan keluhannya kepada Hadhrat Masih Mau’ud as. Beliau as kemudian menasehatinya dengan kasih sayang bahwa kita diperintahkan untuk tetap bersikap lembut dan ini adalah ajaran Allah Ta’ala. Seraya mendengar nasehat beliau as, wajah professor tersebut menjadi merah namun beliau tetap mendengarkannya dengan tenang. Kemudian beliau berkata bahwa beliau tidak dapat menerima nasehat tersebut. Beliau berkata bahwa ketika ada seseorang yang melontarkan perkataan buruk terhadap Hadhrat Rasulullah saw, lantas Hadhrat Masih Mau’ud as menantangnya untuk bermubahalah atau menulis buku untuk menjawabnya. Akan tetapi jika sekarang ada seseorang yang melontarkan perkataan buruk terhadap Hadhrat Masih Mau’ud as, lalu kenapa saya tidak boleh marah dan bahkan hanya diam! Hal ini memang tampak kurang sopan namun menunjukan betapa besarnya kecintaan yang dimiliki Profesor tersebut kepada Hadhrat Masih Mau’ud as.
Pada saat pengumuman keputusan, orang-orang yakin sang hakim akan memberikan hukuman keras terhadap beliau, bahkan mungkin hukuman penjara yang merupakan suatu hal yang tak dapat terbayangkan oleh para Ahmadi. Ketika Hadhrat Masih Mau’ud as tiba, para Ahmadi berusaha untuk menghentikan Profesor Sahib yang juga ingin masuk ke dalam ruang pengadilan. Hal itu dilakukan karena melihat fitratnya yang cepat marah. Beliau pun telah menyembunyikan sebuah batu besar di bawah pohon. Beliau berteriak dengan keras serta penuh emosi dan berlari ke arah pengadilan tersebut seraya membawa batu tadi. Jika para Ahmadi lainnya pada saat itu tidak menghentikannya, beliau mungkin telah memukul hakim tersebut dengan batu. Beliau mengira bahwa hakim tersebut pasti akan memberikan vonis bersalah dan jika demikian, beliau ingin menyerangnya.
Beberapa orang juga bersikap sama dalam keadaan seperti itu. Mereka yang lemah iman akan murtad, sedangkan orang-orang yang mukhlis senantiasa akan semakin kuat keimanan mereka. Dan mereka yang cepat marah seperti Profesor Sahib senantiasa berupaya mencari cara untuk dapat membalasnya jika disakiti. Akan tetapi, bagaimana ta’lim dan tarbiyat dari Hadhrat Masih Mau’ud as sebagaimana yang beliau as sendiri perlihatkan dalam teladan beberkat beliau yakni hendaklah kita senantiasa sabar dan tabah. Pada akhirnya, apa yang telah Allah Ta’ala janjikan pasti akan terbukti. Dan melalui kesabaran dan doa, barulah hal ini dapat dirasakan.
Beberapa orang bertanya mengenai beberapa hari tertentu seraya menyebutnya sebagai hari yang baik dan beberapa hari lainnya adalah hari yang buruk. Berkenaan dengan ini, orang-orang juga mengambil referensi dari Hadhrat Masih Mau’ud as atau dari Hadhrat Amman Jan. Hadhrat Muslih Mau’ud ra bersabda bahwa Hadhrat Amman Jan ra meminta beliau ra untuk tidak melakukan safar pada hari Rabu atas dasar sebuah mimpi atau takhayul. Tidak ada makna lain dari hal tersebut.
Seraya menjelaskan hal ini dengan merujuk kepada Hadhrat Masih Mau’ud as, Hadhrat Muslih Mau’ud ra bersabda bahwa beliau ra diceritakan bahwa Hadhrat Masih Mau’ud as menganggap beberapa hari tertentu sebagai hari yang buruk. Hadhrat Muslih Mau’ud ra sendiri bersabda dalam sebuah pidato bahwa mungkin Hadhrat Masih Mau’ud as telah menerima wahyu berkenaan dengan hari Selasa atau ada beberapa alasan tertentu dibalik ketidaksenangan beliau terhadap hari tersebut. Hadhrat Muslih Mau’ud ra mengatakan bahwa beliau hanya menjelaskan sebuah riwayat. Beliau tidak mengatakan bahwa hari Selasa merupakan suatu hari yang buruk. Karena riwayat tersebut berhubungan dengan Hadhrat Masih Mau’ud as, maka Hadhrat Muslih Mau’ud ra menjelaskan bahwa jika riwayat ini dianggap benar, mungkin kecendrungan beliau terhadap hari Selasa adalah karena beliau akan wafat pada hari Selasa kelak.
Namun beberapa orang menjadikan perkara ini, secara khusus terhadap wujud Hadhrat Masih Mau’ud as, sebagai suatu keputusan serta meyakini kesialan pada hari Selasa. Sungguh, menganggap sesuatu yang berasal dari Allah Ta’ala sebagai suatu kesialan adalah sangat bodoh. Jika hal itu dinisbahkan kepada Hadhrat Masih Mau’u as dan jika riwayat tersebut memang benar, maka maksud dari riwayat tersebut ialah mengacu pada kemalangan atas wafatnya Hadhrat Masih Mau’ud as yang jatuh pada hari Selasa.
Akan tetapi, pada dasarnya setiap hari merupakan hari yang beberkat. Jika ada suatu riwayat yang bertentangan dengan hal ini, kami akan mengatakan bahwa orang yang meriwayatkanya adalah keliru. Kami tidak dapat mengakui riwayat seperti itu. Atau kami akan mengatakan bahwa mungkin Hadhrat Masih Mau’ud as memiliki suatu pengalaman berkenaan dengan hari Selasa namun kami tidak akan mengatakan bahwa suatu hari tertentu sebagai hari yang sial. Pada kenyataannya, Allah Ta’ala telah menyatakan di dalam Al-Quran bahwa semua hari tersebut penuh berkat.
Hadhrat Muslih Mau’ud ra meriwayatkan bahwa di zaman Hadhrat Masih Mau’ud as ada seorang sahabat yang cepat emosi dan bertabiat keras bernama Hafiz Muhammad Sahib. Suatu kali, sepulang ke Peshawar setelah menghadiri Jalsah di Qadian, terjadi sebuah perdebatan berkenaan dengan rasa takut dan kagum terhadap Allah Ta’ala. Seseorang memuji Allah Ta’ala lalu berkata bahwa ia bertanya apakah Allah Ta’ala menerima shalat, puasa, zakat dan haji kita. Seorang lainnya juga memuji Allah Ta’ala lalu bertanya apakah ia merupakan seorang mukmin sejati atau bukan. Mendengar hal ini, Hafiz Sahib bertanya, apakah engkau menganggap dirimu sebagai seorang mukmin atau bukan? Orang tersebut menjawab bahwa ia tidak dapat menjawab dengan pasti. Hafiz Sahib membalas, “Baik, kalau begitu saya tidak akan shalat di belakang engkau”.
Orang-orang berkata kepada Hafiz Sahib bahwa orang tersebut benar bahwa derajat keimanan itu sangat luhur. Hafiz Sahib menjawab, “Baik, kalau begitu saya tidak akan shalat di belakang setiap orang di antara kalian”. Dengan demikian, sepulang ke Peshawar, beliau benar-benar melakukannya dan menolak untuk shalat berjamaah seraya berkata bahwa beliau tidak dapat shalat di belakang mereka karena mereka mengatakan bahwa mereka tidak yakin bahwa mereka adalah seorang mukmin. Ketika suasana semakin memanas, perkara ini pun disampaikan kepada Hadhrat Masih Mau’ud as. Beliau as bersabda bahwa Hafiz Sahib benar namun adalah keliru untuk tidak mendirikan shalat dengan yang lain karena orang-orang tersebut tidaklah melakukan perbuatan yang mengingkari keimanan mereka. Akan tetapi, anggota Jemaat hendaklah berfikiran positif terhadap diri mereka sendiri dan senantiasa berupaya untuk meningkatkan keimanannya. Akan tetapi, tidak benar untuk menolak menyatakan diri sebagai seorang mukmin.
Selama musim panas di Eropa, seseorang melihat masyarakat mengenakan sedikit pakaian serta menampakan bentuk tubuh mereka. Allah Ta’ala telah menyatakan bahwa pakaian adalah untuk menjadikan lebih indah. Akan tetapi masyarakat saat ini merasa bahwa tidak mengenakan busana sebagai suatu gaya modern. Akhir-akhir ini tersebar berita bahwa suatu kelompok wanita Islam sedang bersepeda ke suatu tempat dan ketika merasa kepanasan saat bersepeda, mereka melepaskan pakaian mereka. Jadi telah datang masa dimana memperlihatkan sebagian bentuk tubuh tidak lagi dianggap sebagai suatu kesalahan dalam sudut pandang akhlak bagi umat Islam. Dahulu, ada masa ketika hal tersebut dianggap sebagai akhlak yang buruk, khususnya bagi umat Islam. Pada zaman Hadhrat Muslih Mau’ud ra, tren tidak mengenakan busana seperti ini mungkin 70%-80% lebih sedikit dari apa yang terjadi pada hari ini.
Hadhrat Muslih Mau’ud ra bersabda bahwa seorang pelukis terkenal berkebangsaan Inggris menulis sebuah artikel. Di dalam artikel itu ia berbicara kepada para wanita bahwa para wanita Eropa cenderung untuk memperlihatkan bentuk tubuh mereka lagi dan lagi. Ia menulis bahwa sebagai seorang pelukis, ia telah melihat tubuh pria maupun wanita yang tak berbusana lebih dari yang lainnya. Sebagai seorang seniman, ia memberikan nasehat bahwa tubuh yang tak berbusana tidaklah membuatnya tampak lebih indah, bahkan para wanita yang seperti itu tidak menarik dipandang bagi para pria. Oleh karena itu, jika para wanita memperlihatkan tubuh mereka supaya mendapat pujian atas keindahan mereka, maka alih-alih mendapatkan pujian, mereka senantiasa menuai penolakan.
Demikianlah nasehat dari seorang seniman Eropa dan sungguh nasehat tersebut sangat masuk akal dan penuh makna. Begitu pula bagi para pria. Terkadang mereka mengenakan pakaian yang aneh sehingga tidak menampilkan suatu kewibawaan. Akan tetapi di zaman ini, segelintir orang berkumpul dan menyatakan pendirian mereka atas nama kebebasan bahwa mereka menyatakan penting perbuatan mereka tersebut. Oleh karena itu, hal ini menjadikan degradasi akhlak secara umum semakin meningkat.
Para pelukis masa ini mungkin tidak dapat mengatakan apa yang para pelukis 70 tahun yang lalu tersebut katakan dan tidak dapat mengungkapkan pendapat mereka dengan jujur. Nyatanya, tidak ada seorang pun yang akan berani melakukan hal seperti itu dan inilah mengapa moralitas senantiasa semakin melemah. Tidak mengenakan busana dianggap sebagai suatu keindahan. Hendaknya diingat bahwa keindahan itu bukan karena tidak mengenakan busana atau karena apa yang tampak. Sungguh keindahan tersebut adalah suatu hal yang lain.
Hadhrat Muslih Mau’ud ra bersabda bahwa pada masa Hadhrat Masih Mau’ud as, suatu kali Hadhrat Khalifatul Masih I ra dan Hadhrat Maulwi Abdul Karim Sahib sedang berdiskusi. Hadhrat Khalifatul Masih I ra beranggapan bahwa tidak mudah untuk mengenal keindahan itu. Maulwi Abdul Karim Sahib berkata bahwa setiap orang dapat mengenali keindahan. Namun pendapat tersebut senantiasa dibantah bahwa memang keindahan dapat dikenali melalui pandangan akan tetapi pandangan tersebut bisa saja keliru. Hadhrat Khalifatul Masih I ra bertanya apakah Maulwi Sahib melihat seorang pria tampan di sekitarnya. Kemudian Maulwi Sahib menunjuk seorang pria.
Hadhrat Khalifatul Masih I ra bersabda bahwa hal tersebut mungkin benar dari sudut pandang beliau tetapi ternyata orang yang ditunjuk tersebut memiliki struktur tulang yang rusak. Beliau meminta pria tersebut untuk mengangkat kemejanya dan memperlihatkan struktur tulangnya yang rusak itu. Dengan demikian, Allah Ta’ala telah memerintahkan kita untuk menutupnya dengan pakaian supaya manusia bisa terihat indah dan tampan. Akan tetapi orang-orang berpaling dari hal ini!
Hadhrat Muslih Mau’ud ra menceritakan sebuah kisah seorang Ahmadi yang dikenal sebagai Filosof (ahli filsafat) karena orang-orang dapat menemukan suatu poin baru dalam setiap hal yang ia katakan. Suatu ketika berkenaan dengan puasa beliau berkata bahwa orang-orang senantiasa beranggapan jika telat makan sahur beberapa saat dari waktu yang ditentukan, maka puasanya tidak benar dan batal. Beliau berfikir bahwa apa salahnya seseorang telat makan sahur 5 menit dari waktu yang ditentukan. Beliau pun memperdebatkan masalah ini. Esok pagi, beliau datang menemui Hadhrat Khalifatul Masih I dalam keadaan gelisah dan berkata bahwa tadi malam, para Maulwi berkata bahwa puasa akan menjadi tidak benar dan batal jika seseorang telat makan sahur 5 menit dari waktu yang ditentukan. Lalu apa salahnya telat makan sahur 5 menit dari waktu yang ditentukan sedangkan ia akan menahan lapar selam 12-14 jam lamanya.
Setelah itu, beliau pun pergi tidur dan mendapatkan mimpi. Beliau merupakan seorang penenun. Oleh karena itu, mimpi beliau pun berlandaskan pada profesi beliau tersebut. Beliau bermimpi bahwa beliau sedang berusaha menyiapkan benang di alat tenunnya. Akan tetapi, betapa pun beliau berusaha menarik benang tersebut dari satu paku ke paku yang lainnya di alat tenun tersebut, benang tersebut terjatuh ketika sedikit lagi sampai ke paku lainnya. Beliau merasa seolah-olah benangnya menjadi sia-sia dan terjatuh ke tanah. Dari mimpi ini beliau memahami bahwa Allah Ta’ala telah memberinya nasehat jika benangnya telah menjadi rusak hanya karena sedikit lagi tidak sampai ke paku, lalu bagaimana pula puasa bisa dianggap benar jika telat makan sahur meskipun hanya sebentar!
Hadhrat Masih Mau’ud as biasa bersabda bahwa suatu kali dalam sebuah pertemuan muncul pertanyaan adakah diantara mereka yang sudah makan roti gandum. Pada saat itu, umumnya orang-orang makan roti yang terbuat dari bahan selain gandum karena orang-orang Sikh telah merampas semua gandum. Tidak seorang pun berkata bahwa mereka telah makan roti gandum. Namun ada seseorang yang berkata bahwa roti gandum sangat lezat. Ia ditanya apakah ia telah memakannya. Ia menjawab, belum. Ia hanya pernah melihat seseorang memakannya dengan sangat nikmat jadi ia beranggapan bahwa pastilah roti itu sangat lezat.
Hadhrat Muslih Mau’ud ra bersabda bahwa beberapa orang sangat gemar makan daging ayam. Hadhrat Chaudhry Zafrullah suka makan ceker (kaki) ayam seperti Hadhrat Masih Mau’ud as meski beliau berkata bahwa beliau tidak suka memakannya karena ada masalah di gigi beliau. Pada kenyataannya, beberapa hal disenangi oleh banyak orang dan menjadi sangat beruntung untuk bisa mendapatkannya. Namun ini semua hanyalah hal-hal biasa saja dan tidak berarti. Akan tetapi tidak diragukan lagi bahwa jika seseorang beriman kepada Allah Ta’ala dan menemukan-Nya, ia dapat berkata dengan pasti dan penuh keyakinan bahwa ia tidak memerlukan apapun lagi.
Hadhrat Masih Mau’ud as sering mengutip perkataan seorang Sufi yakni: Kalian yang memegang jubah seseorang atau jubah seseorang yang menutupi kalian. Artinya, cara dunia ini adalah sedemikian rupa sehingga tidak ada pilihan lain selain kalian menjadi seperti orang lain atau orang lain menjadi seperti kalian.
Bahkan, seorang anak yang belum mencapai usia yang memiliki kesadaran/kedewasaan pun ingin menjadi seperti orang lain meskipun masa dewasanya masih jauh lagi. Sebagai contoh, bagaimana gadis-gadis kecil bermain boneka dan meraka main nikah-nikahan dengan boneka mereka. Gadis-gadis kecil ini juga menunjukan cinta dan kasih sayang mereka kepada boneka itu serta juga memeluknya seraya menjadi seperti ibu-ibu mereka. Sedangkan anak laki-laki senantiasa melekat dengan ibu mereka dan juga kepada istri-istri mereka ketika sudah menikah. Inilah apa yang Allah Ta’ala maksudkan dalam ayat: خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ “Menciptakan manusia dari segumpal darah.” [Al-Alaq, 96:3]
Tidak ada rasa puas bagi manusia selain hal ini. Rencana terbaik tentunya bahwa manusia menjadi milik-Nya dan senantiasa berupaya untuk itu. Cara ini akan memberinya manfaat baik jasmani maupun rohani.
Seraya menjelaskan dengan standar kecintaan, Hadhrat Muslih Mau’ud ra memberikan contoh bahwa seorang almarhum guru beliau, Maulwi Muhammad Yar Sahib memiliki kecintaan kepada Hadhrat Masih Mau’ud as yang begitu mendalam sehingga merasuk ke dalam dirinya. Begitu besarnya kecintaan beliau terhadap Hadhrat Masih Mau’ud as sehingga membuatnya gila. Beliau mulai menisbahkan setiap nubuatan Hadhrat Masih Mau’ud as dengan dirinya sendiri. Terkadang, karena keinginannya agar senantiasa dekat dengan beliau as, beliau melakukan beberapa hal yang tidak baik. Sebagai contoh, sewaktu shalat, beliau akan memegang Hadhrat Masih Mau’ud as. Melihat kejadian ini, Hadhrat Masih Mau’ud as menunjuk beberapa orang untuk senantiasa memperhatikannya supaya tidak berada di sekitar beliau as ketika penyakitnya sedang kambuh.
Ketika sedang berbicara atau menyampaikan pidato, Hadhrat Masih Mau’ud as memiliki kebiasaan menggerakan tangannya. Melihat hal itu, Maulwi Yar Muhammad Sahib ini melompat mendekati beliau as. Ketika ditanya, beliau menjawab bahwa Hadhrat Masih Mau’ud as telah memberinya isyarat untuk datang mendekati beliau as. Demikianlah kecintaan yang telah merasuk ke dalam dirinya terhadap Hadhrat Masih Mau’ud as sampai-sampai menganggap kebiasaan beliau as tersebut sebagai isyarat untuk memanggilnya.
Kita menyatakan kecintaan kita kepada Allah Ta’ala namun tidak memberikan perhatian kepada seruan ilahi “Marilah kita Shalat dan marilah menuju Kemenangan”. Oleh karena itu, setiap Ahmadi hendaknya berupaya untuk menjawab seruan ilahi seperti seorang pemabuk cinta dan senantiasa melompat dalam ketaatan. Sekarang adalah masa libur sekolah dan para orang tua membawa anak-anak mereka. Namun kemudian, makmum shalat kembali menjadi berkurang. Ini adalah suatu peringatan. Semoga Allah Ta’ala memungkinkan kita untuk menjaga dan mendirikan shalat kita.
Penerjemah: Hafizurrahman; editor: Dildaar Ahmad
Khotbah II
اَلْحَمْدُ ِللهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنُؤْمِنُ بِهِ وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ وَنَعُوْذ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ ‑ وَنَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ ‑ عِبَادَ اللهِ! رَحِمَكُمُ اللهُ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُبِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذكَّرُوْنَ ‑ أُذكُرُوا اللهَ يَذكُرْكُمْ وَادْعُوْهُ يَسْتَجِبْ لَكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
0 komentar:
Post a Comment