Ahmadiyya Priangan Timur

.

Sunday, 18 May 2014

Jalsah: Sebuah Catatan Penuh Kenangan

Oleh: Doni Sutriana
Pada akhirnya waktu yang mempertemukan pada sebuah pemahaman, ia tak pernah dapat kembali meski runutan kenangan dapat melukiskan apa yang telah terjadi dalam perjalanan waktu. Bukan kebersamaan masa kecil yang mengajarkanku, bukan pula pelajaran majelis yang kini sering kutemui membuka khazanah pengetahuanku, namun bila kuasa Tuhan berkehendak disisi-Nya segalanya adalah mudah.
Umurku belum cukup dalam kedewasaan untuk memahami semua yang bapakku hendak sampaikan, ia tak mengajariku seperti halnya seorang murid diajari gurunya untuk sekedar mendapat nilai tertentu di kertas ujiannya, ia mengajariku hakikat yang tersembunyi akan sesuatu khazanah yang terbuka seiring perjalanannya waktu.
Kini dan hingga kapanpun aku akan berucap terima kasih padanya, sosoknya kini begitu lemah terbaring di tempat tidurnya. Sudah begitu lama sakit itu menderanya, ia bersaksi kala seorang putranya pergi tanpa berucap perpisahan ke hadirat-Nya dan ia pula menanggung kesedihan saat seseorang yang telah menemani hidupnya begitu lama berpulang ke sisi-Nya, adalah juga ibuku yang kepergiannya memberi kesedihan tiada terperi. Cukuplah Allah bagi hamba-Nya adalah yang menghibur hati kami.
Kenangan itu masih tersimpan kala roda dua bapakku menghantar kami tiap jumat tengah hari untuk mendirikan shalat di surau sederhana yang jaraknya begitu jauh untuk kujangkau dalam permainan keseharian anak kecil seusiaku, mendengarkan seorang tua membacakan lembaran-lembaran wejangan yang dihalaman depannya terpajang foto seorang insan berparas indah, dari raut mukanya terpancar suatu keteduhan dan kecintaan seorang ayah bagi putra-putri ruhaninya. Apa yang dibacakan tak benar-benar kupahami kala itu.

Setahun sekali bapakku turut pula mengajak ke kota yang sangat jauh dan membosankan dalam perjalanan yang harus ditempuh. Satu jam tak cukup mengantarkan kami sampai tujuan. Pagi hari kami bergegas membawa bekal pakaian cukup untuk 3 hari dan sedikit makanan untuk bekal selama perjalanan. Jumat pagi saat sampai tujuan yang ada adalah rasa lelah teramat sangat. Sekedar melepas lelah rebahan di lantai masjid tingkat dua rasanya kurang untuk menunggu waktu saat orang-orang lain mulai berdatangan dari berbagai daerah.
Kebanyakan mereka berbahasa sama dengan bahasa ibuku sebagian laginya berbahasa daerah yang tak dapat kupahami, mereka datang dalam kelompok kecil satu atau beberapa keluarga berkumpul di lantai yang sama. Masjid sendiri bertingkat tiga lantai pertama berupa kantor-kantor dan di lantai yang kami tempati pada hari biasa digunakan untuk shalat.
Tenda-tenda berdiri di samping masjid diseberang lainnya bangunan besar berdiri megah digunakan kaum ibu-ibu, selepas shalat jumat dan santap siang perhelatan dimulai. Selalu dengan pembacaan ayat suci Al Quran disusul syair-syair berbahasa urdu. Lantunan keduanya senantiasa terdengar syahdu.
Panggung kecil berdiri di depan dekorasi dengan seni Islam senantiasa menghiasi disamping tulisan dengan tema bernafaskan Islam, sementara kami duduk di terpal beratap tenda. Saat itu 1000-2000 orang berkumpul, ditempat itu pula shalat didirikan selama tiga hari, terasa panas saat siang hari dan dingin meski tak sedingin di kampungku kala shalat didirkan dini hari.
Aku duduk disamping bapakku mendengarkan wejangan-wejangan beberapa orang yang berdiri di mimbar, pembawaan mereka yang berbicara kebanyakan begitu berwibawa meski apa yang disampaikan tak kupahami semua namun kenangan itu tetap membekas hingga kini. Ada jeda antara satu sesi acara ke sesi lainnya menjadi waktu senggang, saat itulah kulihat suasana silaturahmi begitu terasa sekedar berkenalan dan tukar cerita. Ada pula pertemuan dengan mereka yang mungkin sudah lama tak bertemu, bercerita tentang kenangan atau berbagi pengalaman.
Ada keakraban lebih dari sekedar keluarga meski kulihat tidak semua terikat dalam pertalian keluarga namun suasana kekerabatan melebihi perhubungan keluarga yang biasa kutemui di hari fitri.
Saat makan tiba adalah yang paling menyenangkan meja panjang berdiri beberapa. Hidangan nasi dan lauk pauk sederhana terpajang khusus bagi kami. Panitia khusus dengan tanda tertentu di bajunya melayani makan kami, sementara meja khusus tersusun gelas plastik warna-warni berisi air putih panas. Hidangannya tidaklah mewah namun nikmat terasa saat santapan itu kuhabiskan, makan ditempat duduk ataupun di tempat kosong yang bisa untuk diduduki tidak menjadi halangan. Tidak ada kegaduhan atau keributan semua berjajar rapi saat mengambil hidangan, semua terlayani bagi tamu yang datang seperti kami, sementara panitia adalah tuan rumah selalu tampak ramah saat melayani kami meski raut kelelahan selalu ada tak dapat disembunyikan.
Itulah Jalsah yang setiap setahun sekali kuhadiri. Bapakku senantiasa membawaku ia tak pernah bercerita apa maksud itu semua hingga kupahmi maknanya kemudian hari.
Dua puluh ribu orang dari pelosok negeriku datang menjadi tamu beberapa orang diantaranya datang dari luar negeri, Jalsah Salanah tahun 2000 begitu istimewa tamu agung Imam kami tercinta datang ke Jalsah negeri ini. Suatu keberkatan yang entah kapan lagi bisa dirasakan, bertemu dengan sosok yang biasanya kulihat dari foto di majalah atau lembaran edaran.
Tahun 2005 adalah terakhir kali perhelatan itu diadakan, sekelompok orang datang berbondong-bondong dengan kedegilan. Mereka hendak menerobos masuk membubarkan kami punya acara, sejak itu Jalsah tidak lagi diadakan disatu tempat, tidak lagi dapat kutemui karib-kerabat dari berbagai daerah. Dari tahun itu pula awal cerita kegaduhan dan perdebatan baik di media maupun di lingkungan sehari-hari.
2013 peristiwa getir kembali terjadi, Jalsah kecil yang hanya mencakup satu wilayah menjadi sorotan besar media akan peristiwa di tengah malam menjelang dini hari di awal bulan mei. 3600 orang hadir di kaki gunung Cikurai berkumpul menghadiri Jalsah kecil, mereka yang hadir jumlahnya kurang lebih sama saat jalsah nasional saat usiaku masih kecil. Bagi kami itu menandakan jumlah kami selalu meningkat tiap tahunnya, selalu ada anggota baru yang menggabungkan diri dalam jemaat kami ditengah tekanan dan penganiayaan sekalipun.
Di malam itu saat beranjak tidur dan aku masih terjaga dalam kesadaran kegaduhan terdengar dari kejauhan di batas desa. Lemparan batu terdengar kencang memecahkan kesepian malam di kampung terpencil di perbatasan dua kota, teriakan orang begitu gaduh seperti memburu hendak menghabisi kami. Meski sebentar namun suasana mencekam begitu kental terasa setelahnya. Polisi ada disana namun banyaknya massa yang datang tak cukup untuk aparat berseragam bertindak lebih melindungi kami. Karunia Tuhan atas doa kami yang melindungi kami saat itu, tak ada korban jiwa dari kedua pihak baik yang menyerang maupun yang diserang. Massa berlalu sambil merusak bangunan dan kendaraan yang ada di kanan kiri jalan kecil menanjak menuju lokasi kami berkumpul.
Masjid kami di kampung lain rusak di bagian kaca, ada bercak darah yang berasal dari mereka yang melakukan pengrusakan siapa mereka kami tak tahu. Mereka datang dari luar kota kebanyakan datang berkonvoi kendaraan roda dua. Sebagian dari mereka menggunakan tutup muka, membawa pemukul seperti hendak ke medan perang laga.
Ada beberapa opini yang menyeruak alasan akan peristiwa itu, perdebatan di media selalu saja terjadi tak sedikit yang menyalahkan namun ada pula yang membela hak-hak kami sebagai warga negara.
Itulah sekelumit kenanganku akan jalsah salanah, mata ini menjadi saksi akan semuanya. Hati ini merasakan pergolakan yang timbul namun kebijakanku mengajarkan akan arti ketawakalan yang harus diperagakan.
Ada pepatah tak mengenal maka tak sayang mungkin tepat kiranya bila hal itu ditujukan bagi mereka yang datang pada malam itu atau tahun 2005 saat tragedi pertama itu terjadi. Ada banyak desas-desus dan isu tak benar tentang kami dan apa yang kami adakan.
Bagi kami Jalsah adalah pertemuan silaturahmi tahunan biasa yang tak lebih dari itu, fondasinya telah diajarkan pendiri Jemaat kami untuk memupuk dan meningkatkan keruhanian kami. Di masa awal kehidupan Imam Mahdi pendiri Jemaat Jalsah diadakan pertama kali dihadiri 75 orang sahabat di Qadian India, kini kegiatan itu rutin diadakan. Puluhan ribu kini datang sebagai tamunya menghadiri pertemuan ruhani selama 3 hari untuk mendapatkan bukan hanya khazanah pengetahuan ruhani namun juga pengetahuan duniawi yang tak jauh dari ruang lingkup nilai Islami. Pertemuan yang dimana pendiri Jemaat kami memerintahkan agar mempergunakannya untuk saling mengenal dengan sesama anggota lainnya, serta memperbanyak menyebut nama Allah larut dalam zikir Illahi.
Pertemuan itu tak lain dan tak bukan hanya diperuntukan untuk menyanjung kebesaran Tuhan dan memuji kemulian Rasul-Nya, Nabi besar Muhammad SAW. Untuk menjadi salah satu sarana kami menyebarkan Islam ke pelosok dunia, untuk menegakan panji dan ajaran Rasul kami tercinta Rasulullah SAW.
Jalsah bagiku menguatkan keberadaanku dalam Jemaat-Nya meneguhkan jalanku untuk mengkhidmati Islam melalui Jemaat-Nya yang ditanam oleh utusan-Nya di akhir zaman, yang benihnya berasal dari Tuhan sendiri.
Jalsah bagiku telah menyelamatkanku dari kehidupan duniawi memperkenalkanku pada khazanah samawi, inilah yang diajarkanku oleh bapakku tanpa ia berkata-kata atau menggurui. Hanya satu dapat kuberkata; Terima kasih teruntuk bapakku semoga Allah memberi ganjaran akan segala kebaikanmu pada anakmu ini, semoga Allah melimpahkan karunia kepada kita senantiasa dan selalu menempatkan kita di dalam Jemaat-Nya ini, Aamiin.

0 komentar:

Post a Comment