Aktivisme Islam pasca refomasi di Indonesia dan kelompok garis keras menarik perhatian Alexandre Pelletier kandidat Phd Ilmu Politik University of Toronto Canada, topik tersebut menjadi objek penelitiannya dan salah satu objek yang ia amati adalah kelompok garis keras dan kelompok yang menjadi korban di daerah priangan timur. Setelah berada di Indonesia selama 8 bulan dan melakukan wawancara kepada beberapa narasumber alex melalui kontaknya dengan Asep Rizal dari ketua GP Ansor kota Tasikmalaya ditemani oleh Hunaifi dari Abdurahman Wahid Center Universitas Indonesia mendatangi Jemaat Ahmadiyah yang ada di daerah Priangan Timur.
Diterima oleh Qaid Wilayah Jabar III Budi Badrussalam rombongan mendatangi Jemaat Ahmadiyah Cabang Singaparna yang pernah beberapa kali mengalami kekerasan berupa perusakan 2 buah masjidnya sebanyak 6 kali pasca tahun 2005 setelah terjadi penyerangan Markaz Jemaat Ahmadiyah di Parung Bogor yang menjadi titik tolak meningkatknya eskalasi kekerasan terahadap Jemaat Ahmadiyah secara nasional di Indonesia.
Awal kedatangan di lokasi masjid Jemaat Ahmadiyah yang terletak di Babakan Sindang Singaparna Alex terkesan dengan ornamen bangunan masjid yang tampak dari luar, gapura gerbang masuk masjid yang masih utuh belum mengalami perombokan sejak pertama didirikan tahun 1925 menjadi kesan tersendiri. Bangunan tersebut tercatat sebagai cagar budaya yang dilindungi oleh pemerintah dan pihak Jemaat Ahmadiyah sendiri tidak berniat untuk merombak bangunan yang menjadi cagar budaya tesebut.
Di Singaparna rombongan diterima oleh salah seorang tokoh Jemaat Ahmadiyah Singaparna Ir. H. Ii Argadiraksa, dari beliau Alex mendapat banyak keterangan mengenai peristiwa kekerasan yang menimpa Jemaat Singaparna. Dalam keterangan yang disampaikan H. Ii Argadiraksa bahwa awal mulanya tidak ada masalah dengan keberadaan Jemaat Ahmadiyah di Singaparna, kelompok yang mencoba mengusik datang dari luar daerah Tasikmalaya. H. Ii Argadiraksa yang berusia 79 tahun menuturkan bahwa beliau adalah keturunan dari keluarga yang mengelola masjid Jemaat Ahmadiyah Singaparna dan masih memiliki pertalian saudara dengan keluarga pemilik Pesantren Cipasung, sebuah pesantren NU terbesar di Tasikmalaya yang pada tahun 1992 pernah menjadi tuan rumah Mukhtamar NU. Masjid Jemaat Ahmadiyah Singaparna di Babakan Sindang yang awal mulanya milik keluarga pada perjalanannya kemudian diserahkan kepada Jemaat Ahmadiyah setelah keluarga besar Argadiraksa menerima Jemaat Ahmadiyah. Pusat kegiatan Jemaat Ahmadiyah Singaparna sendiri pernah berpusat di masjid yang ada di Jl Badakpaeh namun setelah diserang massa tahun 2008 pusat kegiatan Jemaat Ahmadiyah Singaparna berpindah kembali ke masjid yang ada di Babakan Sindang, di Babakan Sindang sendiri Jemaat Ahmadiyah Singaparna tak luput jadi sasaran penyerangan.
Ketabahan dan kegigihan dari anggota Jemaat Ahmadiyah Singaparna untuk mempertahankan dan tetap menggunakan masjid untuk ibadah saat ini kini berbuah manis bagi Jemaat Ahmadiyah Singaparna, saat perusakan menimpa masjid anggota segera membangun kembali masjid dan menggunakannya untuk beribadah tanpa menghiraukan pihak penentang yang tidak menginginkan masjid digunakan, hingga saat ini warga Jemaat Ahmadiyah masih dapat beraktifitas normal dilokasi tersebut.
Tahun 1947 pernah terjadi kekerasan yang menimbulkan korban jiwa yang menimpa anggota Jemaat Ahmadiyah di Singaparna, 11 anggota Jemaat Ahmadiyah meninggal dunia di tangan gerombolan DI/TII. Kuburan dari ke-11 anggota Jemaat Ahmadiyah tersebut berada dibelakang komplek masjid bersama dengan kuburan anggota Jemaat Ahmadiyah lainnya. Setelah ditelusuri apa motif yang melatarbelakangi pensyahidan ke-11 anggota Jemaat Ahmadiyah tersebut, bahwa besar kemungkinan karena prinsip Jemaat Ahmadiyah yang setia kepada negara tidak disukai oleh DI/TII yang ingin mendirikan negara Islam. Sebagai upaya untuk meraih simpati warga saat itu DI/TII berkonfrontasi dengan Jemaat Ahmadiyah dengan menghembuskan isu Ahmadiyah di luar Islam.
Diterima oleh Qaid Wilayah Jabar III Budi Badrussalam rombongan mendatangi Jemaat Ahmadiyah Cabang Singaparna yang pernah beberapa kali mengalami kekerasan berupa perusakan 2 buah masjidnya sebanyak 6 kali pasca tahun 2005 setelah terjadi penyerangan Markaz Jemaat Ahmadiyah di Parung Bogor yang menjadi titik tolak meningkatknya eskalasi kekerasan terahadap Jemaat Ahmadiyah secara nasional di Indonesia.
Awal kedatangan di lokasi masjid Jemaat Ahmadiyah yang terletak di Babakan Sindang Singaparna Alex terkesan dengan ornamen bangunan masjid yang tampak dari luar, gapura gerbang masuk masjid yang masih utuh belum mengalami perombokan sejak pertama didirikan tahun 1925 menjadi kesan tersendiri. Bangunan tersebut tercatat sebagai cagar budaya yang dilindungi oleh pemerintah dan pihak Jemaat Ahmadiyah sendiri tidak berniat untuk merombak bangunan yang menjadi cagar budaya tesebut.
Di Singaparna rombongan diterima oleh salah seorang tokoh Jemaat Ahmadiyah Singaparna Ir. H. Ii Argadiraksa, dari beliau Alex mendapat banyak keterangan mengenai peristiwa kekerasan yang menimpa Jemaat Singaparna. Dalam keterangan yang disampaikan H. Ii Argadiraksa bahwa awal mulanya tidak ada masalah dengan keberadaan Jemaat Ahmadiyah di Singaparna, kelompok yang mencoba mengusik datang dari luar daerah Tasikmalaya. H. Ii Argadiraksa yang berusia 79 tahun menuturkan bahwa beliau adalah keturunan dari keluarga yang mengelola masjid Jemaat Ahmadiyah Singaparna dan masih memiliki pertalian saudara dengan keluarga pemilik Pesantren Cipasung, sebuah pesantren NU terbesar di Tasikmalaya yang pada tahun 1992 pernah menjadi tuan rumah Mukhtamar NU. Masjid Jemaat Ahmadiyah Singaparna di Babakan Sindang yang awal mulanya milik keluarga pada perjalanannya kemudian diserahkan kepada Jemaat Ahmadiyah setelah keluarga besar Argadiraksa menerima Jemaat Ahmadiyah. Pusat kegiatan Jemaat Ahmadiyah Singaparna sendiri pernah berpusat di masjid yang ada di Jl Badakpaeh namun setelah diserang massa tahun 2008 pusat kegiatan Jemaat Ahmadiyah Singaparna berpindah kembali ke masjid yang ada di Babakan Sindang, di Babakan Sindang sendiri Jemaat Ahmadiyah Singaparna tak luput jadi sasaran penyerangan.
Ketabahan dan kegigihan dari anggota Jemaat Ahmadiyah Singaparna untuk mempertahankan dan tetap menggunakan masjid untuk ibadah saat ini kini berbuah manis bagi Jemaat Ahmadiyah Singaparna, saat perusakan menimpa masjid anggota segera membangun kembali masjid dan menggunakannya untuk beribadah tanpa menghiraukan pihak penentang yang tidak menginginkan masjid digunakan, hingga saat ini warga Jemaat Ahmadiyah masih dapat beraktifitas normal dilokasi tersebut.
Tahun 1947 pernah terjadi kekerasan yang menimbulkan korban jiwa yang menimpa anggota Jemaat Ahmadiyah di Singaparna, 11 anggota Jemaat Ahmadiyah meninggal dunia di tangan gerombolan DI/TII. Kuburan dari ke-11 anggota Jemaat Ahmadiyah tersebut berada dibelakang komplek masjid bersama dengan kuburan anggota Jemaat Ahmadiyah lainnya. Setelah ditelusuri apa motif yang melatarbelakangi pensyahidan ke-11 anggota Jemaat Ahmadiyah tersebut, bahwa besar kemungkinan karena prinsip Jemaat Ahmadiyah yang setia kepada negara tidak disukai oleh DI/TII yang ingin mendirikan negara Islam. Sebagai upaya untuk meraih simpati warga saat itu DI/TII berkonfrontasi dengan Jemaat Ahmadiyah dengan menghembuskan isu Ahmadiyah di luar Islam.
Dalam hubungannya selama ini Jemaat Ahmadiyah di Singaparna yang berada tidak jauh dari komplek Pesantren Cipasung hidup rukun dan damai, Alamarhum Kyai Ilyas Ruhiyat tokoh Pesantren Cipasung sendiri selalu menyampaikan amanat dalam pertemuan Bani Ghoffur bahwa keluarga keturunan Ghoffur harus hidup rukun, aman dan damai dengan tetangga siapapun mereka dan apapun status sosial, agama dan keyakinannya. Amanat tersebut yang menjadikan warga di sekitar komplek Cipasung dimana Jemaat Ahmadiyah berada didalamnya dapat hidup rukun dan damai tanpa ada perselisihan maupun ketegangan antar kelompok agama.
Adanya fatwa MUI yang keluar sejak tahun 1980 tidak berdampak pada peristiwa kekerasan, penyerangan yang menimpa Jemaat Ahmadiyah Singaparna baru terjadi pasca reformasi dimana munculnya kelompok-kelompok garis keras yang selama era orde baru mati suri, di Jawa Barat sendiri khususnya Singaparna kelompok massa yang melakukan penyerangan selalu menggunakan Fatwa MUI, SKB 3 Menteri dan Pergub untuk membenarkan tindakannya, meski pihak Jemaat Ahmadiyah sendiri tidak pernah melihat 3 pegangan kelompok penyerang tersebut sebagai dalih untuk tidak melakukan peribadatan di masjid Jemaat Ahmadiyah dimanapun di wilayah Indonesia khususnya di daerah Priangan Timur.
Respon aparat pemerintah sendiri terkesan membiarkan dan tidak memberi perhatian, dari beberapa kasus yang menimpa Jemaat Ahmadiyah Singaprna tidak ada sedikitpun kesan keprihatinan dan perhatian dari pihak aparat pemerintah bahkan proses penegakan hukum tidak serius dilakukan untuk menindak para pelaku.
Adanya fatwa MUI yang keluar sejak tahun 1980 tidak berdampak pada peristiwa kekerasan, penyerangan yang menimpa Jemaat Ahmadiyah Singaparna baru terjadi pasca reformasi dimana munculnya kelompok-kelompok garis keras yang selama era orde baru mati suri, di Jawa Barat sendiri khususnya Singaparna kelompok massa yang melakukan penyerangan selalu menggunakan Fatwa MUI, SKB 3 Menteri dan Pergub untuk membenarkan tindakannya, meski pihak Jemaat Ahmadiyah sendiri tidak pernah melihat 3 pegangan kelompok penyerang tersebut sebagai dalih untuk tidak melakukan peribadatan di masjid Jemaat Ahmadiyah dimanapun di wilayah Indonesia khususnya di daerah Priangan Timur.
Respon aparat pemerintah sendiri terkesan membiarkan dan tidak memberi perhatian, dari beberapa kasus yang menimpa Jemaat Ahmadiyah Singaprna tidak ada sedikitpun kesan keprihatinan dan perhatian dari pihak aparat pemerintah bahkan proses penegakan hukum tidak serius dilakukan untuk menindak para pelaku.
Setelah mendapat cukup keterangan dari anggota Jemaat Ahmadiyah Singaparna rombongan langsung menuju ke daerah Sukaraja untuk melihat masjid Ahmadiyah Cabang Sukapura, sejak tahun 2007 masjid Jemaat Ahmadiyah Sukapura hanya menyisakan bangunan dinding tanpa atap. Tidak cukup menyegal masjid saat itu sekelompok massa beberapa waktu setelah kejadian penyegelan merobohkan bangunan atap masjid. Pasca kejadian tersebut anggota Jemaat Sukapura tidak dapat menggunakan masjid untuk peribadatan bahkan shalat berjamaah di rumah anggota pun dilarang oleh anggota ormas garis keras yang tinggal didaerah itu. Untuk shalat Jumat warga Ahmadiyah Sukapura setiap minggunya harus menuju masjid Jemaat terdekat didaerah kota Tasikmalaya yang berjarak kurang lebih 30 km. Belum lagi tindakan diskriminasi lainnya dari mulai tidak diikutsertakannya anggota Jemaat Ahmadiyah dalam kegiatan kemasyarkatan, dipersulitnya pencatatan pernikahan dengan adanya syarat surat bukan anggota Jemaat Ahmadiyah, jika sebagai anggota Jemaat Ahmadiyah mereka harus menandatangani surat pernyataan keluar dari Ahmadiyah serta tindakan dirkriminasi yang menimpa anak-anak Ahmadiyah di sekolah.
Tujuan berikutnya yang hendak dikunjungi adalah Jemaat Ahmadiyah yang ada di daerah Salawu dan di wilayah Ciamis, di wilayah inipun tindakan penekanan banyak menimpa warga Jemaat Ahmadiyah baik oleh ormas garis keras maupun oleh aparat negara yang seharusnya melindungi namun seringnya warga Ahmadiyah tidak mendapat perlakuan yang semestinya sebagai warga negara.
Tujuan berikutnya yang hendak dikunjungi adalah Jemaat Ahmadiyah yang ada di daerah Salawu dan di wilayah Ciamis, di wilayah inipun tindakan penekanan banyak menimpa warga Jemaat Ahmadiyah baik oleh ormas garis keras maupun oleh aparat negara yang seharusnya melindungi namun seringnya warga Ahmadiyah tidak mendapat perlakuan yang semestinya sebagai warga negara.
0 komentar:
Post a Comment