Baru saja minggu lalu tanggal 16 Nopember 2014 diperingati Hari Toleransi Internasional. Beberapa
elemen masyarakat yang tergabung dalam beberapa aliansi di berbagai daerah di
Indonesia merayakannya beberapa diantaranya di Bandung, Jakarta, Tasikmalaya. Mereka
berharap makna dari Hari Toleransi ini adalah berbeda untuk saling menghargai
tentunya.
Pilu
rasanya hati ini ketika dua hari kemudian setelah peringatan Hari Toleransi
Internasional tersebut diperingati masyarakat, tiba-tiba membaca Kabar Priangan
Edisi Selasa tanggal 18 Nopember 2014 Halaman 5 yang memuat berita tentang Pengurus
Ahmadiyah Banjar yang menuntut haknya untuk memakai masjid yang milik mereka
sendiri. Yang lebih sedih lagi ini sudah 3 tahun lamanya masjid tersebut tidak
bisa dipakai sejak adanya Surat Keputusan Peraturan Walikota Banjar Nomor: 450/Kpts. 115-Huk/2011 tertanggal 21
september 2011 yang menetapkan keputusan Walikota Banjar tentang Pembekuan
aktifitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kota Banjar. Peraturan Walikota Banjar
tersebut diantaranya, Kesatu; Anggota jemaat Ahmadiyah Indonesia dilarang
melakukan aktifitas pada Masjid Al-Istiqamah Jalan Raya Pangandaran Dusun
Tanjungsukur Kelurahan Hegarsari Kecamatan Pataruman Kota Banjar. Kedua;
Melarang Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kota Banjar melakukan aktifitas yang
meliputi : a. Penyebaran ajaran Ahmadiyah secara lisan, tulisan, ataupun
melalui media elektronik; b. Pemasangan papan nama organisasi Jemaat Ahmadiyah
Indonesia di tempat umum; c. Pemasangan papan nama pada rumah peribadatan,
lembaga pendidikan dan lain sebagainya dengan identitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia;
d. Penggunaan atribut Jemaat Ahmadiyah Indonesia dalam bentuk apapun; e.
Pertemuan pertemuan yang mengatasnamakan Ahmadiyah. Ketiga; menetapkan Masjid Al-Istiqomah
Jalan Raya Pangandaran Dusun Tanjungsukur Kelurahan Hegarsari Kecamatan
Pataruman Kota Banjar status quo. Keempat : aparat penegak hukum dalam hal ini Kepolisian
Resort Kota Banjar, Kejaksaan Negeri Banjar, dan aparatur lainnya untuk berperan serta dalam pelaksanaan
pembekuan aktifitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kota Banjar. Kelima; semua elemen
masyarakat Kota Banjar untuk menjaga kondusifitas wilayah pemerintahan Kota Banjar.
Keenam : keputusan walikota ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Itulah
isi dari Surat Keputusan Peraturan Walikota Banjar Nomor: 450/Kpts. 115-Huk/2011 tertanggal 21
september 2011 yang dijadikan landasan untuk melakukan pembekuan segala
aktifitas peribadatan warga ahmadiyah kota banjar diantaranya termasuk
pengelasan dan pemasangan palang kayu di pintu Masjid Al- Istiqomah dan di rumah
tempat tinggal mubaligh Ahmadiyah di sekitar Masjid tersebut.
Sebelumnya penulis mengingatkan bahwa menurut peraturan perundang- undangan pasal 7 ayat (1) Undang- Undang No 10 tahun 2004, jika pemerintah membuat undang-undang/perpu, tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Menurut Undang-Undang No 10 tersebut tata urutan pembentukan peraturan perundang-undangan secara hirarkhinya adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Dasar 1945, 2. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), 3. Peraturan Pemerintah (PP), 4. Peraturan Presiden (Perpes), 5. Peraturan Daerah (Perda). Jadi menurut Undang-Undang tersebut baik Pemerintah, Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota dalam membuat undang undang atau peraturan tidak boleh bertentangan dengan undang undang atau peraturan yang lebih tinggi di atasnya.
Sebelumnya penulis mengingatkan bahwa menurut peraturan perundang- undangan pasal 7 ayat (1) Undang- Undang No 10 tahun 2004, jika pemerintah membuat undang-undang/perpu, tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Menurut Undang-Undang No 10 tersebut tata urutan pembentukan peraturan perundang-undangan secara hirarkhinya adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Dasar 1945, 2. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), 3. Peraturan Pemerintah (PP), 4. Peraturan Presiden (Perpes), 5. Peraturan Daerah (Perda). Jadi menurut Undang-Undang tersebut baik Pemerintah, Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota dalam membuat undang undang atau peraturan tidak boleh bertentangan dengan undang undang atau peraturan yang lebih tinggi di atasnya.
Berdasarkan
hal tersebut terkait dengan Surat Keputusan Peraturan Walikota Banjar Nomor: 450/Kpts. 115-Huk/2011 tertanggal 21
september 2011 tentang pembekuan aktifitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kota Banjar,
penulis ingin membandingkan antara surat Keputusan Walikota Banjar tersebut
dengan Pergub Jabar no 12 tahun 2011 tentang larangan kegiatan Jemaat Ahmadiyah
Indonesia di Jawa Barat dengan SKB 3 menteri nomor 3 tahun 2008 tentang
peringatan dan perintah kepada penganut, anggota, dan / atau anggota pengurus
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan warga masyarakat. Hal ini dimaksudkan
untuk mencari benang merah dalam permasalahan yang terjadi antara pemahaman
pemerintah Kota Banjar dengan Jemaat Ahmadiyah Kota Banjar terkait dengan
masalah eksistensi Ahmadiyah di Kota Banjar.
Di
dalam SKB 3 menteri nomor 3 tahun 2008 tertulis poin poin sebagai berikut: Kesatu
: memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk tidak
menceritakan, menganjurkan, dan mengusahakan dukungan umum melakukan penafsiran
tentang suatu agamayang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan
yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu yang menyimpang dari pokok
pokok ajaran agama itu. Kedua; memberi peringatan dan memerintahkan kepada
penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI),
sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan
kegiatan yang menyimpang dari pokok pokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran
paham yang mengakui bahwa adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad
saw. Ketiga; penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia
(JAI) yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sbagaimana dimaksud pada
diktum kesatu dan diktum kedua dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang undangan termasuk organisasi dan badan hukumnya. Keempat ;
memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk menjaga dan
memelihara kerukunan umat beragama serta ketentraman dan ketertiban kehidupan
bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan/atau tindkan melawan hukum
terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia
(JAI). Kelima; warga masyarakat yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah
sebagaimana dimaksud pada diktum kesatu dan diktum ke empat dapat dikenai
sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang undangan.
Sementara
itu dalam Peraturan Gubernur Jawa Barat nomor 12 tahun 2011 tentang larangan
kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Jawa Barat yang tercantum pada Bab III pasal (3) bagian ke satu tentang larangan
aktifitas Jemaat Ahmadiyah yang terdiri dari: 1. Penganut, anggota dan/atau
anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah dilarang melakukan aktifitas dan/atau
kegiatan dalam bentuk apapun sepanjang berkaitan dengan kegiatan penyebaran
penafsiran dan aktifitas yang menyimpang dari pokok pokok ajaran Agama Islam.
2. Aktifitas/kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: A. Penyebaran
ajaran Ahmdiyah secara lisan , tulisan, ataupun melalui media elektronik. B. Pemasangan
papan nama organisasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia di tempat umum. C . Pemasangan
papan nama pada rumah peribadatan, lembaga pendidikan dan lain sebagainya
dengan identitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia. D . Penggunaan atribut Jemaat
Ahmadiyah Indonesia dalam bentuk apapun. 3. Pemerintah daerah menghentikan
aktifitas/kegiatan penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus jemaat
ahmadiyah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) sesuai ketentuan peraturan
perundang undangan . sementara itu pada bab III bagian kedua pasal (4) dari Peraturan Gubernur Jawa Barat nomor 12 tahun
2011 tercantum larangan kepada masyarakat antara lain: 1. Masyarakat dilarang
melakukan tindakan anarkis dan/atau perbuatan melawan hukum berkaitan dengan
aktifitas penganut, anggota dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah yang
menyimpang dari pokok pokok ajaran Agama Islam. 2. Tindakan terhadap aktifitas
penganut, anggota dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah yang menyimpang
dari pokok pokok ajaran Agama Islam sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan aparat yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Setelah membandingkan
dan menelaah dengan seksama antara SKB 3 menteri dan Pergub Jabar tersebut,
tidak ada klausul yang melarang segala aktifitas ibadah yang dilakukan oleh dan
dilingkungan Jemaat Ahmadiyah sendiri. Di dalam aturan tersebut hanya dilarang
untuk melakukan aktifitas/kegiatan penyebaran dan penafsiran dan kegiatan yang
menyimpang dari pokok pokok ajaran Islam. Dari kalimat tersebut di atas disini
jelas bahwa Jemaat Ahmadiyah boleh melakukan aktifitas kegiatan peribadahan
untuk kalangan sendiri sedangkan yang dilarang itu adalah kegiatan/aktifitas
penyebaran paham yang diluar pokok pokok ajaran Islam kepada pihak di luar Ahmadiyah.
Karena sudah sangat jelas di dalam Undang Undang Dasar 1945 Pasal
28 mengatur soal warga negara dan penduduk, Dalam pasal 28 E butir pertama
dinyatakan, “Setiap orang bebas memeluk
agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran,
memilih pekerjaan, memilih kewarnegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah
negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. Butir kedua menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini
kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.”Adapun
pasal 29 mengatur soal agama yang berbunyi “Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan beribadat menurut agama dan kepercayaan itu”. Oleh karena itu
berdasarkan kedua pasal tersebut negara melalui undang undang menjamin warganya
untuk beribadah sesuai dengan Agama dan Keyakinannya karena itu merupakan hak
asasi manusia yang paling dasar.
Selanjutnya dalam menjelaskan SKB 3 Menteri berikut ini kami sampaikan kutipan beberapa pejabat pemerintah pusat terkait penjelasan SKB Tiga menteri tersebut supaya tidak ada kesalahan dalam menafsirkannya.
Menteri Agama pada waktu itu H. Muhammad Maftuh Basyuni meminta jika ada sekolah dan Mesjid Ahmadiyah diberbagai daerah tidak disegel karena kedua tempat tersebut merupakan hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan kebebasan menjalankan Ibadah. (www.kemenag.go.id 07-08-2008). Lebih jelasnya lagi Nazarudin Umar yang pada saat itu menjabat Dirjen Bimas Islam, seperti dikutip Harian Umum Sore Sinar Harapan, Kamis 12 Juni 2008 (http://www.sinarharapan.co.id/berita/0806/12/sh04) beliau mengatakan Aparat Keamanan dihimbau untuk bertindak tegas terhadap para pelaku yang menebarkan ancaman dan tekanan kepada Jemaat Ahmadiyah setelah terbitnya SKB tentang Ahmadiyah, sebab tindakan tersebut telah melanggar SKB. Nazarudin juga mengatakan “Kami sudah koordinasi dengan kepolisian agar hukum ditegakan dan tidak membiarkan kekerasan berlangsung. Ahmadiyah adalah warga negara yang dilindungi oleh SKB. Jemaat Ahmadiyah bisa lapor kepolisian jika mengalami kekerasan”. Menurut Nazarudin “Mereka (JAI) tetap boleh mengaji, melakukan shalat ke mesjid dan naik haji. Ini bagian dari ibadah mereka isi SKB intinya hanya mengatur masalah kenabian yang dianut oleh Ahmadiyah, bukan soal Ibadah. SKB juga mengatur Jemaat Ahmadiyah agar tidak mengumpulkan dukungan publik diluar jemaat mereka dan melakukan Syiar tentang keyakinan mereka. Namun jemaat tetap diizinkan berkumpul dengan sesama mereka secara internal, seperti Shalat di Mesjid dan pengajian”.
Berikut ini juga saya kutip pernyataan Menteri Koodinator Politik, Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto pada saat itu seperti diberitakan Majalah Tempo halaman 6, Minggu 06 Maret 2011 diantaranya menanggapi munculnya peraturan-peraturan daerah soal pelarangan aktivitas Ahmadiyah, menurutnya aturan-aturan tersebut harus mengacu pada dua landasan, yakni Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 dan pasal 29 serta Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri soal Ahmadiyah. Dua aturan itu harus menjadi dasar peraturan daerah. Pasal 28 UUD 1945 mengatur soal warga negara dan penduduk, Dalam pasal 28 E butir pertama dinyatakan, “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarnegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. Butir kedua menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.”
Adapun pasal 29 mengatur soal agama yang berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaan itu. Karena itu, Djoko saat itu telah menginstruksikan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi untuk mengevaluasi peraturan-peraturan Daerah yang dinilai tidak sesuai dengan dua landasan tersebut. Mendagri, kata Djoko, sudah tentu akan memperhatikan aturan-aturan di daerah yang melarang aktivitas Ahmadiyah. “Karena daerah tidak bisa bikin aturan sendiri tanpa memperhatika acuan itu.”
Dari uraian kutipan para pejabat yang terlibat langsung dalam keputusan dan perumusan SKB 3 Menteri diatas dapat disimpulkan bahwa, terkait Surat Keputusan Peraturan Walikota Banjar Nomor: 450/Kpts. 115-Huk/2011 tertanggal 21 september 2011 tentang pembekuan aktifitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kota Banjar sangat kontradiksi dan diantaranya ada beberapa yang keluar dari esensi dengan aturan yang ada di atasnya baik Pergub Jabar, SKB 3 menteri terutama Undang Undang Dasar pasal 28 dan 29. Dan tentunya Surat Keputusan Peraturan Walikota Banjar tersebut harus ditinjau kembali dan perlu dicabut. Dan ini juga menjadi patokan bagi pemerintahan daerah lain yang membuat keputusan terkait dengan penanganan Ahmadiyah yang diamanatkan oleh SKB 3 menteri, supaya berhati hati dalam membuat keputusan di daerahnya jangan sampai keputusan tersebut bertolak belakang dengan peraturan perundangan dan aturan yang lain di atasnya dan jangan sampai salah tafsir seperti halnya yang terjadi selama ini.
Semoga tulisan ini bisa menambah wawasan dan membuka paradigma baru terkait penafsiran pemahaman SKB 3 Menteri, dan Pergub Jabar yang sering dijadikan sandaran untuk pembekuan, penyegelan, pelarangan dan faktanya dilapangan tidak jarang berkembang dan dimanfaatkan oleh ormas-ormas yang tidak bertanggungjawab untuk melakukan perbuatan intoleransi dan melakukan kekerasan. Semoga itu semua tidak terjadi lagi kedepan di negara yang menjunjung Hukum dan HAM dan bersemboyan Bhineka Tunggal Ika ini. Wallahu Alam Bishowab.
Selanjutnya dalam menjelaskan SKB 3 Menteri berikut ini kami sampaikan kutipan beberapa pejabat pemerintah pusat terkait penjelasan SKB Tiga menteri tersebut supaya tidak ada kesalahan dalam menafsirkannya.
Menteri Agama pada waktu itu H. Muhammad Maftuh Basyuni meminta jika ada sekolah dan Mesjid Ahmadiyah diberbagai daerah tidak disegel karena kedua tempat tersebut merupakan hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan kebebasan menjalankan Ibadah. (www.kemenag.go.id 07-08-2008). Lebih jelasnya lagi Nazarudin Umar yang pada saat itu menjabat Dirjen Bimas Islam, seperti dikutip Harian Umum Sore Sinar Harapan, Kamis 12 Juni 2008 (http://www.sinarharapan.co.id/berita/0806/12/sh04) beliau mengatakan Aparat Keamanan dihimbau untuk bertindak tegas terhadap para pelaku yang menebarkan ancaman dan tekanan kepada Jemaat Ahmadiyah setelah terbitnya SKB tentang Ahmadiyah, sebab tindakan tersebut telah melanggar SKB. Nazarudin juga mengatakan “Kami sudah koordinasi dengan kepolisian agar hukum ditegakan dan tidak membiarkan kekerasan berlangsung. Ahmadiyah adalah warga negara yang dilindungi oleh SKB. Jemaat Ahmadiyah bisa lapor kepolisian jika mengalami kekerasan”. Menurut Nazarudin “Mereka (JAI) tetap boleh mengaji, melakukan shalat ke mesjid dan naik haji. Ini bagian dari ibadah mereka isi SKB intinya hanya mengatur masalah kenabian yang dianut oleh Ahmadiyah, bukan soal Ibadah. SKB juga mengatur Jemaat Ahmadiyah agar tidak mengumpulkan dukungan publik diluar jemaat mereka dan melakukan Syiar tentang keyakinan mereka. Namun jemaat tetap diizinkan berkumpul dengan sesama mereka secara internal, seperti Shalat di Mesjid dan pengajian”.
Berikut ini juga saya kutip pernyataan Menteri Koodinator Politik, Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto pada saat itu seperti diberitakan Majalah Tempo halaman 6, Minggu 06 Maret 2011 diantaranya menanggapi munculnya peraturan-peraturan daerah soal pelarangan aktivitas Ahmadiyah, menurutnya aturan-aturan tersebut harus mengacu pada dua landasan, yakni Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 dan pasal 29 serta Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri soal Ahmadiyah. Dua aturan itu harus menjadi dasar peraturan daerah. Pasal 28 UUD 1945 mengatur soal warga negara dan penduduk, Dalam pasal 28 E butir pertama dinyatakan, “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarnegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. Butir kedua menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.”
Adapun pasal 29 mengatur soal agama yang berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaan itu. Karena itu, Djoko saat itu telah menginstruksikan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi untuk mengevaluasi peraturan-peraturan Daerah yang dinilai tidak sesuai dengan dua landasan tersebut. Mendagri, kata Djoko, sudah tentu akan memperhatikan aturan-aturan di daerah yang melarang aktivitas Ahmadiyah. “Karena daerah tidak bisa bikin aturan sendiri tanpa memperhatika acuan itu.”
Dari uraian kutipan para pejabat yang terlibat langsung dalam keputusan dan perumusan SKB 3 Menteri diatas dapat disimpulkan bahwa, terkait Surat Keputusan Peraturan Walikota Banjar Nomor: 450/Kpts. 115-Huk/2011 tertanggal 21 september 2011 tentang pembekuan aktifitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kota Banjar sangat kontradiksi dan diantaranya ada beberapa yang keluar dari esensi dengan aturan yang ada di atasnya baik Pergub Jabar, SKB 3 menteri terutama Undang Undang Dasar pasal 28 dan 29. Dan tentunya Surat Keputusan Peraturan Walikota Banjar tersebut harus ditinjau kembali dan perlu dicabut. Dan ini juga menjadi patokan bagi pemerintahan daerah lain yang membuat keputusan terkait dengan penanganan Ahmadiyah yang diamanatkan oleh SKB 3 menteri, supaya berhati hati dalam membuat keputusan di daerahnya jangan sampai keputusan tersebut bertolak belakang dengan peraturan perundangan dan aturan yang lain di atasnya dan jangan sampai salah tafsir seperti halnya yang terjadi selama ini.
Semoga tulisan ini bisa menambah wawasan dan membuka paradigma baru terkait penafsiran pemahaman SKB 3 Menteri, dan Pergub Jabar yang sering dijadikan sandaran untuk pembekuan, penyegelan, pelarangan dan faktanya dilapangan tidak jarang berkembang dan dimanfaatkan oleh ormas-ormas yang tidak bertanggungjawab untuk melakukan perbuatan intoleransi dan melakukan kekerasan. Semoga itu semua tidak terjadi lagi kedepan di negara yang menjunjung Hukum dan HAM dan bersemboyan Bhineka Tunggal Ika ini. Wallahu Alam Bishowab.
(Nanang AH)
0 komentar:
Post a Comment