Ahmadiyya Priangan Timur

.

Sunday, 23 November 2014

MASALAH PALESTINA

Masalah Palestina dan ketegangan di antara Yahudi dan negara-negara Arab tetangganya selalu menjadi topik berita dunia. Dalam artikel ini kami akan kembali ke perdebatan Perserikatan Bangsa-bangsa tanggal 28 November 1947 saat masalah tersebut sedang dibicarakan dan setelah itu terbentuklah negara Israel. Sisanya adalah sejarah.

Disini direproduksi pidato duta Pakistan ke PBB yaitu Chaudry Zafrullah Khan, seorang Ahmadi terkemuka  yang dihormati banyak orang yang mencoba mengusulkan keadaan berimbang. Kalau saja PBB waktu itu mengikuti nasihatnya, kelompok Arab tidak walk-out dan lobby-lobby rahasia guna menggiring suara tidak diizinkan, maka hasilnya akan jauh lebih damai bagi semua pihak yang berkepentingan. Pidato itu diakui banyak orang sebagai kontribusi terbesar bagi kausa bangsa Arab.

RAPAT PLENO KE DUAPULUHENAM - Diadakan di GeneralAssembly Hall di Flushing Meadow,New York, pada hari Jumat tanggal 28 November 1947, jam 11:00. Ketua: Mr. O. Aranha, Brasilia. Lanjutan bahasan tentang masalah Palestina. Ketua Sidang: Setiap perwakilan diharapkan  menguasai kondisi permasalahannya sebaik mungkin agar bisa mengajukan pertimbangan yang tepat kepada Rapat Sidang Umum. Sebagai Ketua, kami harus mengingatkan agar  peserta tidak bertepuk tangan atau mengganggu  dengan  cara  apa pun perdebatan dalam Sidang Umum ini. Ada sepuluh pembicara yang tercatat dalam daftar kami. Saya mohon agar duta dari Pakistan maju ke mimbar.

Sir  Muhammad ZafrullahKhan (Pakistan): Kami berterima kasih bahwa anda sebagai Ketua Sidang yang telah berharap dan menginginkan adanya diskusi tentang masalah ini berlangsung secara tertib dan tidak terganggu. Apakah nantinya hasil pemungutan suara  akan  sama  bebas  dan tidak terpengaruh adalah suatu hal yang tidak lagi menyangkut masalah kepuasan, namun saya tidak akan mempermasalahkan hal itu disini. Mereka yang tidak memiliki akses info tentang apa yang sebenarnya terjadi di belakang layar, sekurang-kurangnya mengetahui dari pers sehingga mereka khawatir, tidak saja karena masalah khusus ini tetapi juga tentang pertimbangan yang dilakukan atas masalah-masalah krusial dari dewan akbar ini dimana kepadanya masa depan dunia disandarkan, apakah juga akan bisa selalu bebas.

Sekarang ini  adalah saat yang khidmat, khidmat dalam sejarah dunia dan khidmat dalam sejarah dari organisasi akbar  ini. Perserikatan Bangsa-bangsa saat ini sedang diadili.  Seluruh dunia sedang menonton dan memperhatikan bagaimana dewan ini bisa melepaskan dirinya, bukan hanya tentang disetujui tidaknya partisi (pemisahan) tetapi terutama tentang apakah masih ada ruang tersisa bagi penerapan penilaian dan nurani yang jujur dalam setiap pengambilan keputusan. Kita biasa membaca  sejarah menyusur ke belakang, yang menurut saya adalah cara yang amat salah dalam membaca  sejarah. Untuk bisa menghargai sepenuhnya, sejarah sepatutnya dibaca ke masa depan. Kita sepatutnya menempatkan diri dalam situasi yang akan dievaluasi untuk dari sana melakukan appraisal dan penilaian terhadapnya.




Dengan perkenan anda Sdr. Ketua, izinkan untuk beberapa saat saya membaca sejarah dengan cara itu, sekurang-kurangnya bagian yang berkenaan dengan Sidang Umum. Tigapuluh dua tahun yang lalu, belum terlalu lama rasanya, Sekutu Barat sedang dalam pergulatan mati-hidup dengan kekuatan-kekuatan Eropah Tengah. Turki baru saja ikut perang dengan mengambil  Jerman  sebagai sekutunya. Nasib Sekutu sudah di ujung tanduk. Bangsa Arab sebagai kekuatan satu-satunya untuk penyeimbang  di Timur Tengah telah diminta untuk melepaskan ikatan dengan Turki dan bergabung dengan Sekutu. Dengan imbalan apa? Dengan imbalan  ikrar dari Inggris yang kemudian dikuatkan oleh  Perancis bahwa setelah perjuangan itu, bangsa Arab akan merdeka. Mereka akhirnya setuju dan lalu melaksanakan peran yang diberikan kepada mereka.

Lalu bagaimana ikrar-ikrar tersebut dipenuhi? Kita mengetahui bahwa ikrar-ikrar tersebut telah dipenuhi sembilan per sepuluh bagiannya dan dianggap hal itu sudah cukup adanya. Apakah hal itu menjadi standar yang akan kita tegakkan dan dipatuhi secara internasional, nasional atau perorangan? Kita telah memenuhi janji tersebut sembilan per sepuluh bagian dan hal itu dianggap sudah cukup. Jika demikian adanya, renungkanlah apakah orang masih akan percaya pada janji-janji, khususnya ikrar dari pihak Barat. Ingatlah, bangsa-bangsa di Barat,  kalian akan membutuhkan kawan di masa depan dan sekutu di Timur Tengah. Saya  mohon  janganlah kalian menghancurkan kredibilitas kalian di kawasan ini.

Dikatakan bahwa orang meragukan apakah masalah Palestina ada termasuk dalam janji-janji yang diberikan kepada bangsa Arab. Sepanjang  perdebatan panjang dalam komite, dalam sub-komite dan kembali lagi ke komite, lalu ke Sidang Umum, tidak ada satu pun yang mempermasalahkan apakah Palestina  termasuk  atau tidak dalam  janji atau ikrar itu. Walau ada yang menyarankan bahwa jika ada keraguan mengenai hal itu, agar diajukan kepada Mahkamah Internasional guna mendapatkan keputusan yang mengikat karena sampai saat ini  belum ada tribunal yang tidak memihak yang diminta pandangannya  atas masalah itu. Ternyata saran itu tidak diikuti.

Apa konklusi dari keadaan demikian? Mereka yang meragukan masalah ini menjadi yakin tentang apa nantinya keputusan Mahkamah Peradilan. Dinyatakan, khususnya oleh perwakilan dari Cekoslovakia bahwa ikrar-ikrar itu hanyalah janji belaka dan bukan merupakan suatu persetujuan internasional. Artinya kalau hanya janji tidak perlu dipenuhi, sedangkan perjanjian internasional bersifat lebih mengikat. Hanya saja sebelum ada suatu persetujuan internasional, apalagi dalam keadaan darurat peperangan dunia, kita sepatutnya mempercayai janji, jika tidak maka kita tidak akan pernah mendapatkan janji atau ikrar dari siapa pun. Lalu ada yang menyatakan, bukankah Deklarasi Balfour juga suatu ikrar? Memang benar deklarasi itu adalah suatu ikrar, tetapi apakah isinya konsisten dengan janji-janji yang diberikan sebelumnya. Jika nyatanya tidak konsisten dengan janji terdahulu sedangkan janji itu yang berlaku di  lapangan, sepatutnya tidak ada tempat bagi suatu ikrar yang tidak konsisten. Dengan kata lain, Deklarasi Balfour seharusnya mengandung makna pembentukan negara Yahudi di tanah Palestina yang bebas dan merdeka. Kedua ikrar itu bisa  ditegakkan bersama dan sepatutnya dipenuhi bersama.

Sepanjang menyangkut masalah kekuasaan mandat, satu ikrar telah dipenuhi yaitu terbentuknya Negara Yahudi. Sekarang sepatutnya ditegakkan juga independensi Palestina secara utuh. Lalu ada yang menukas, bukan, Deklarasi itu mengandung makna lain lagi. Baiklah. Sekarang jika ada yang mempermasalahkan legalitas ruang lingkup Deklarasi, serahkan saja kepada Mahkamah Internasional. Subkomite 2 juga sudah mengusulkan hal ini, tetapi ternyata ditolak.
Banyak sudah yang menekankan aspek kemanusiaan dari masalah itu, suatu aspek yang tidak bisa disangkal. Namun dari sudut pandang kemanusiaan, mestinya tidak hanya terbatas pada masalah pengungsi Yahudi saja. Setiap orang yang teraniaya atau mengalami diskriminasi secara tidak adil juga memiliki hak untuk mendapatkan keadilan. Apa yang sudah dilakukan bangsa Palestina? Apa kontribusi mereka terhadap solusi masalah kemanusiaan berkaitan dengan para pengungsi Yahudi dan mereka yang terlunta-lunta itu? Sejak akhir Perang Dunia Pertama, Palestina telah menampung empat ratus ribu imigran Yahudi. Sejak mulainya penganiayaan Yahudi oleh Nazi Jerman, Palestina telah menam pung lagi tiga ratus ribu pengungsi Yahudi.  Belum  lagi dihitung imigran gelap yang tidak bisa dibilang banyaknya.

Kita bisa melihat pihak-pihak yang berbicara  tentang prinsip kemanusiaan dan sebenarnya bisa melakukan banyak, tetapi Kenyataannya tidak banyak membantu guna mengatasi masalah  ini. Yang pasti mereka sigap berbaik hati asa atas beban bangsa Arab. Hanya sedikit sekali periode masa dimana bangsa Yahudi tidak dianaya di satu atau lain bagian Eropah. Ketika raja-raja  dan  para  baron Inggris sedang suka-sukanya berkelakar dengan cara mencabuti gigi para pedagang dan bankir Yahudi sebagai cara “halus” untuk mendorong bangsa Yahudi membantu perekonomian feodal mereka, di saat itu Arab  Spanyol  menjadi tempat perlindungan bagi bangsa Yahudi. Sekarang ini  dikatakan ‘hanya orang-orang Yahudi Eropah yang malang itu yang tidak tidak punya rumah.’ Memang  benar  demikian adanya. Tetapi mereka lalu menambahkan ‘biarlah Arab Palestina yang memberi mereka tempat bernaung seperti  yang  dilakukan Arab Spanyol dulu, tidak saja dengan tempat perlindungan tetapi juga dengan sebuah negara agar mereka bisa menguasai seluruh bangsa Arab.’ Betapa baik hatinya mereka itu! Betapa manusiawinya!

Komite khusus soal Palestina dari PBB sebagaimana diketahui dalam rekomendasi VI1  yang diputus secara aklamasi, mendesak Sidang Umum untuk segera menangani masalah pengungsian dan orang-orang yang  terlantar itu, terlepas dari masalah Palestina, agar bisa segera menolong umat Yahudi yang teraniaya sehingga masalah kemanusiaan dan Palestina ini bisa juga segera teratasi. Apa yang telah dilakukan oleh Dewan yang terhormat ini? Sub-komite 2 telah membuat rekomendasi dan rancangan resolusi (resolusi II, dokumen A/Ac.14/32). Pertama, melakukan segera repatriasi pengungsi Yahudi dan yang terlantar itu kembali ke negerinya, dan kedua, mereka yang tidak bisa direpatriasi agar ditampung oleh negara-negara anggota PBB setara dengan kapasitas daya tampung mereka, dan ketiga, menetapkan komite  yang akan menentukan kuota dari tujuan tersebut.

Resolusi itu diajukan untuk dipertimbangkan. Apakah mereka harus direpatriasi kembali ke negaranya masing-masing? Australia mengatakan tidak, Kanada mengatakan tidak, Amerika Serikat menyatakan tidak. Dari satu sudut hal demikian adalah  suatu yang menggembirakan. Janganlah bangsa ini setelah mengalami derita demikian teruk, meski mereka berkehendak, janganlah mereka diminta kembali ke negaranya semula. Dengan cara ini mestinya proposal kedua bisa dipilih dimana kita akan memberikan tempat berlindung bagi bangsa ini. Apakah mereka itu sebaiknya didistribusikan di antara negara-negara anggota PBB setara dengan kapasitas daya tampung mereka? Australia yang katanya negerinya  amat ‘kecil’ dan ‘kebanyakan  penduduk’ menyatakan tidak, tidak, tidak. Kanada merasa sama ‘kesempitan’ dan ‘kelebihan penduduk’ juga mengatakan tidak. Amerika Serikat, sebuah negeri yang paling ‘berperikemanusiaan’ dengan  ‘lahan  dan  sumber daya yang amat sempit’ juga mengatakan tidak. Itulah kontribusi mereka bagi prinsip  kemanusiaan. Namun mereka juga yang menyatakan ‘untuk mudahnya biarlah bangsa Yahudi ini dimasukkan ke Palestina dimana tersedia  lahan yang luas dan perekonomian yang makmur.’ Itulah  kontribusi  yang dilakukan oleh Dewan yang agung ini dalam hal menyelesaikan suatu prinsip kemanusiaan.

Bagaimana posisinya  hari ini, terlepas  dari  segala pertimbangan tersebut? Segera setelah Mandat ditetapkan,  muncullah situasi berikut. Saya harapkan perhatian anda kepada paragraf 4 dari Artikel 22 tentang Perjanjian Perserikatan Bangsa-bangsa yang menjadi dasar daripada Mandat tersebut. Saya kutipkan: “Beberapa komunitas yang  tadinya termasuk dalam Kerajaan Turki sekarang telah mencapai suatu tingkat perkembangan dimana eksistensi mereka sebagai negara berdaulat sudah bisa diakui, dengan bantuan dan nasihat administratif oleh suatu lembaga mandat  sehingga mereka bisa berdiri sendiri.”  Itulah paragraph yang berkaitan dengan Palestina.

Kekuatan  yang  memiliki hak mandat menyatakan bahwa mereka yang akan menetapkan mandat itu. Komite Khusus PBB tentang Palestina menyatakan bahwa Mandat itu sudah harus ditetapkan. Semua orang sependapat kalau dalam satu dan lain bentuk, Palestina haruslah sudah merdeka. Tahapan bantuan dan nasihat administratif setelah selesai dijalani maka posisi legal Palestina yang kemerdekaan provisionalnya sudah diakui secara yuridis,  mestinya  sejak  saat itu sudah dianggap merdeka. Itulah masalah yang harus dihadapi oleh PBB.

Bagaimana caranya Palestina akan merdeka? Bagaimana bentuk dari kemerdekaannya? Solusi apa yang harus kita tempuh guna pelak-sanaannya? Nyatanya, proposal yang  diajukan kepada Sidang Umum PBB menyatakan bahwa kita inilah yang akan menentukan, dan bukan  rakyat  Palestina karena mereka tidak memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan tidak perlu ada perkenan dari mereka yang diperintah. Kita akan menyebut  Palestina sebagai merdeka dan berdaulat, tetapi Palestina menjadi milik kita semua dan alih-alih bukannya menjadi buah apel milik bersama, malah akan menjadi bibit perpecahan diantara Timur dan Barat,  kecuali siapa tahu fitrat perserikatan yang menjadi ciri dewan ini memang bisa ditegakkan. Mula-mula kita akan membagi tubuh Palestina menjadi tiga bagian negara Yahudi dan tiga bagian  negara  Arab.  Kita lalu memiliki enklaf Jaffa, sedangkan jantungnya Palestina yaitu Yerusalem akan selamanya menjadi kota internasional. Itulah awal mula bentuk yang akan dimiliki Palestina. Setelah memotong-motong Palestina dengan cara demikian, lalu kita meletakkan dan merentang tubuh berdarah-darah itu di atas kayu salib untuk selamanya. Hal itu tidak bersifat sementara, melainkan suatu hal yang menjadi permanen. Palestina tidak  akan pernah menjadi milik bangsanya sendiri, ia akan selalu terentang di atas salib.

Apa kewenangan PBB melakukan hal seperti ini? Kewenangan legal apa, kewenangan yudisial apa yang dimilikinya sehingga bisa menjadikan suatu negara merdeka untuk selama-lamanya berada di bawah administrasi PBB? Perwakilan dari Amerika Serikat menyatakan kalau masalah ini tidak ada presedennya di masa  lalu, karena itu tidak ada yang memvisualisasikannya untuk kemudian dijadikan bagian dari Piagam PBB. Namun yang bersangkutan beranggapan jika tiga puluh delapan negara menerima skema partisi demikian maka hal itu sama saja dengan hukum. Apa signifikasi dari observasi yang dilakukan wakil Amerika Serikat itu yang disampaikan kepada Komite dan kemudian kepada pers? Apakah hal itu bukan merupakan suatu pengakuan kalau skema  tersebut tidak memiliki kewenangan legal, yudisial dan konstitusional? Bahwa kita diminta untuk tidak saja menerima begitu saja skema tersebut sebagai sebuah skema, tetapi dengan hak suara anda sekalian telah memberikan kepadanya kewenangan yudisial yang sebenarnya tidak ada dimilikinya. Dengan kata lain, anda sekalian telah diminta untuk mengamendir Piagam PBB dengan hak suara anda dan menambahkan kepadanya suatu Bab yang baru dan bersifat kontroversial. Bersediakah anda sekalian memikul tanggung-jawabnya? Dimana dalam Piagam itu yang menjelaskan bahwa kita memiliki kewenangan melakukan hal tersebut? Apakah Sidang Umum memiliki kewenangan untuk itu? Apakah Dewan Keamanan punya kewenangan tersebut? Apakah keduanya digabungkan pun punya kewenangan untuk itu?

Apa yang telah  diminta dari anda sekalian? Mula-mula anda diminta untuk membentuk suatu komisi yang melaksanakan kewenangan kedaulatan di atas dua Negara merdeka. Anda diminta menahbiskan kedua  negara itu dan melaksanakan  kewenangan di atas keduanya selama masa transisi, mencakup semua fungsi pemerintahan seperti legislatif, eksekutif dan administratif. Menjadi milik siapakah kedaulatan permanen dari kedua negara ini? Apakah kepada rakyat  dari  kedua  negara itu? Nyatanya  tidak. Kedaulatan permanen berada di tangan dewan ekonomi bersama. Apakah dewan itu menjadi penghubung di antara kedua negara tersebut, dengan pengertian tidak ada lagi pihak lain yang dilibatkan? Kembali, nyatanya tidak. Dewan  itu  terdiri dari konsulen sembilan yang memerintah Palestina, tiga anggota dari negara Arab, tiga dari Negara Yahudi dan tiga dari PBB. Dalam segala  hal mereka  yang mengatur hal duane, mata uang, perkeretaapian, pengembangan sumber air dan tenaga air, pengembangan pertanian dan sebagainya. Tanpa kontribusi mereka, tidak ada dari kedua negara itu yang bisa melaksanakan jasa administratif atau pun sosial atau pun melakukan apa saja, termasuk untuk membela diri. Jadi, siapa sebenarnya yang memegang kedaulatan? Kedaulatan itu ada pada tangan Joint Economic Board. Joint Economic Board beranggotakan tiga Arab, tiga Yahudi dan tiga wakil  PBB.  PBB  secara permanent memiliki kedaulatan di Palestina. Dari mana kewenangan itu diperoleh?

Lagi pula, sepanjang menyangkut Yerusalem, diciptakanlah suatu kota internasional yang diadminis-trasikan secara internasional pula dan ini pun berlaku untuk selamanya. Ada persyaratan dalam laporan dari Sub-Komite 1 bahwa setelah sepuluh tahun, sistem ini bisa direvisi, bahwa jika dua pertiga dari penduduk Yerusalem mengemukakan pandangan, apapun putusannya, pendapat mereka akan  dipertimbangkan. Namun persyaratan  itu  ternyata telah dihapus  melalui amandemen. Dinyatakan bahwa kita harus menjadikan Yerusalem sebagai kota internasional untuk selamanya, diperintah oleh seorang gubernur yang ditunjuk oleh PBB.

Apakah ada yang berpretensi bahwa kota  ini satu waktu akan menjadi kota yang  independen? Tidak! Dimana kewenangan untuk itu? Sepanjang berkaitan dengan Sidang Umum, hal itu katanya dinyatakan dalam Artikel 11 dan 14 dari Piagam. Artikel  11  menyatakan bahwa Sidang Umum bisa membahas dan memberikan rekomendasi. Artikel 14  mengatakan bahwa Sidang Umum boleh mengambil langkah-langkah  untuk penyelesaian perselisihan secara damai, jelas di antara negara-negara anggota tentunya. Dari mana kewenangan mengenai apa yang diminta dilakukan oleh Sidang Umum tersebut? Sepanjang berkaitan dengan Dewan Keamanan, bisa digunakan Artikel 34, 39 dan 41 dari Piagam. Apa lagi sebagai akibat dari apa yang disebut sebagai  amandemen Denmark (dokumen A/AC.14/43/Rev.1) maka Artikel 39 dan 41 tidak ada dibakukan dalam resolusi akhir. Tetapi, apakah hal itu berlaku? Preambul dari resolusi yang terdapat dalam dokumen A/516 menyatakan bahwa jika situasi mengharuskan maka Dewan Keamanan berdasar Artikel 39 dan 41 dari Piagam bisa memberikan kewenangan kepada Komisi PBB  untuk melakukan apa yang diperintahkan dalam skema tersebut. Saya sepenuhnya tidak mampu  memaknai pernyataan bahwa berdasar Artikel 39 dan 41 bisa memberi kewenangan kepada Komisi  PBB melakukan apa yang diperintahkan  kepadanya. Darimana masuknya Artikel 39 dan 41 dalam permasalahan ini? Artikel 39 dan 41 hanya berlaku di antara negara-negara anggota PBB saja.


Adapun masalahnya adalah sebagai berikut. Pertama,  dari mana datangnya kewenangan PBB untuk memerintah ssuatu negara yang berdaulat? Kedua, anggota dewan ini tentunya menyadari bahwa bangsa Arab di Palestina tidak akan mau bekerja sama mendirikan suatu negara Arab. Saya bukan ber- bicara tentang pertumpahan darah, saya  tidak  berbicara  tentang kekerasan. Mereka itu tidak akan mau bekerja sama. Lalu bagaimana Sidang  Umum  akan menegakkan negara Arab itu? Bagaimana lembaga itu akan menegakkan pelayanan administratif di suatu negara Arab? Bagaimana lembaga itu akan memberikan sarana pertahanan bagi suatu negara Arab? Bagaimana lembaga itu akan bisa memberikan semua fungsi berjalan dari suatu pemerintahan? Dari mana Sidang Umum bisa memberikan  kewenangan  untuk itu? Pertanyaan ini sudah berulangkali dikemukakan tetapi tidak pernah ditanggapi. Apa yang diperhatikan hanyalah apa yang harus dilakukan jika negara-negara Arab di sekitarnya akan menimbulkan keributan.

Bukan itu masalah yang saya risaukan. Saya berharap dan saya yakin bahwa negara-negara Arab yang menjadi anggota  PBB tidak akan melakukan apa pun yang akan bertentangan dengan kewajiban sebagaimana kita ikrarkan sebagai anggota dari organisasi ini. Namun apa  yang  akan  dilakukan oleh Sidang Umum jika bangsa itu menyatakan: ‘Tidak, kami tidak akan bekerja sama.’ Dari mana anda akan memperoleh pelayanan jasa- jasa tersebut? Siapa yang akan maju untuk menertibkan keadaan? Masalah-masalah ini diketahui tetapi tidak ada persiapan untuk mengatasinya.

Jika diperlukan kekerasan guna menegakkan negara Arab tersebut, dari mana diperolehnya? Siapa yang akan memberikan kontribusi untuk itu? Siapa yang akan menyediakan? Dari mana penataannya didapat? Dari mana pembiayaan diperoleh? Semua itu akan menjadi situasi berkelanjutan yang akan menjadi borok meruam di tubuh internasional. Kekuatan senjata dan pembiayaan akan dibutuhkan dalam  volume  yang  akan terus meningkat, sebagaimana juga bisa dilihat dari pengalaman kekuatan Mandatori selama ini. Mengapa Inggris sekarang ini sudah muak dengan Mandat atas Palestina?

Muncul  pertanyaan tentang kewenangan legal dan yudisial dari PBB untuk melakukan semua hal itu dan ada yang mengusulkan agar masalah itu dirujukkan kepada Mahkamah Internasional. Apakah Piagam memang memberikan hak untuk melakukan apa yang dikerjakannya? Masalah itu diajukan untuk voting di Komite Ad Hoc dimana usul penyerahan ke Mahkamah Internasional telah ditolak dengan perbandingan dua puluh
yang  mendukung  dan  dua puluh satu yang menolak. Hanya ada dua puluh satu anggota  yang puas secara nominal atau mengaku cukup puas. Hanya dua puluh satu! Lagi pula mayoritas dari mereka itu memutus demikian bukan karena mereka memang telah puas dengan masalah legalitas itu, tetapi hanya agar ada skema lainnya bagi Palestina sudah mendapat keputusan sebelum masa reses Sidang Umum. Bahkan yang lainnya itu pun telah dikesampingkan begitu saja.

Mari kita lihat sekarang dari sisi praktisnya.  Bagaimana situasi berkenaan dengan kelangsungan hidup kedua negara itu? Ambillah negara Arab. Komite Khusus PBB untuk Palestina sendiri mengakui bahwa negara Arab di atas kakinya sendiri  tidak  akan  bisa hidup sehingga  harus ditopang oleh dewan ekonomi bersama. Saya meminta perhatian dari Komite Ad Hoc terhadap pandangan seorang intelektual Yahudi terpandang yaitu Dr. Judah Magnes, Rektor dari Hebrew University, orang yang saya hormati,  dimana ia menyatakan: “Kesatuan ekonomi anda tanpa adanya kesatuan politis adalah suatu kegagalan sejak awal dan tidak akan pernah bisa jalan. Mimpi saja kalau membayangkan kesatuan ekonomi bisa diwujudkan tanpa kesatuan politis!” Bila bangsa Arab tidak mau bekerja sama, seperti kenyataannya yang ada, bahkan negara Yahudi pun tidak akan hidup. Negara itu akan berada di bawah tekanan berat yang berkelanjutan,  baik finansial mau pun ekonomis yang selanjutnya akan merembet ke masalah personil. Bagaimana kita bisa menjadikannya hidup? Begitu pula, siapa yang akan menopang dan terus menerus memasok permbiayaannya?

Mari kita lihat juga  sisi keadilan dari solusi yang diambil karena semua orang merasa bahwa solusi itu cukup adil sepanjang negara-negara Arab mau bekerja sama dan rakyat Palestina, baik Arab mau pun Yahudinya, juga mau bekerja sama. Mari kita lihat ketiga pertimbangan yang dijadikan dasar untuk mengatakan bahwa solusi itu adalah adil.  Anggapan pertama ialah  ada  1.300.000 Arab di Palestina dan 650.000 Yahudi dengan kebutuhan ruang hidup lebih besar, sehingga problemanya menjadi tidak terpecahkan. Lalu dikatakan: “Mari kita bagi karena tidak adil kalau tiga puluh tiga persen  populasi  (yang adalah Yahudi) harus menyandang status minoritas dalam  satu Negara kesatuan. Karena itu solusi yang adil adalah buat orang Arab punya negara  sendiri dan orang Yahudi suatu negara terpisah.” Langsung mereka menggambar garis perbatasan. Negara Arab dengan  1.000.000 penduduk bangsa Arab dan sekitar 10.000 Yahudi. Baiklah, lalu bagaimana dengan negara Yahudi? Dalam negara Yahudi ada 480.000 Yahudi dan 435.000 Arab. Apakah kita telah memecahkan problema ini? Bangsa Yahudi tidak akan menjadi golongan minoritas di negara Arab, tetapi bangsa Arab akan menjadi golongan  minoritas di Negara Yahudi. Kalau yang satu sudah tidak adil, dengan sendirinya yang lainnya juga tidak adil dan kalau yang satu tidak menjadi solusi, tidak juga yang lainnya.

Sekarang mari kita perhatikan tapal batas yang ditetapkan. Bagaimana tentang  luas  areanya? Bangsa Yahudi hanya 33 persen dari populasi keseluruhan dan bangsa Arab 67  persen, tetapi 60 persen dari wilayah Paestina diberikan kepada negara Yahudi. Perhatikan juga karakteristik dari wilayah yang dibagi itu. Dari wilayah Palestina berupa padang dan lembah yang bisa  digarap, sebagian besar diberikan kepada negara Yahudi, sedangkan perbukitan diberikan kepada bangsa Arab. Ada sebuah dokumen yang diedarkan di antara anggota Komite oleh wakil dari Inggris yang menunjukkan bahwa dari daerah pertanian beririgasi, sekitar  84 persen ada di Negara Yahudi dan hanya 16 persen yang berada  di  negara  Arab. Apakah benar adil bagi sepertiga populasi menerima 84 persen sedangkan dua pertiga lainnya hanya menerima 16 persen!

Komite Khusus PBB sendiri menyadari bahwa ekspor terbesar dari Palestina adalah jeruk citrus dan ladangnya dimiliki separuh oleh bangsa Arab dan separuhnya lagi oleh bangsa Yahudi, tetapi area citrus ini hampir semuanya berada di wilayah negara Yahudi. Apanya
yang adil dari keadaan ini? Pales- tina hanya memproduksi 50 persen dari biji-bijian yang dibutuhkan dan sisanya harus diimpor. Delapan puluh persen area yang menghasilkan gandum berada di wilayah negara Yahudi dan hanya 20 persen yang ada di negara Arab. Lihat juga masalah ruang lingkup pembangunan. Lihatlah dalam peta bumi. Di mana yang ada menunjukkan terdapat pembangunan di Negara Arab?  Kita diberitahu oleh salah seorang wakil: “Oh, di bukit-bukit kalian bisa menanam zaitun dalam jumlah yang banyak.” Memang benar kita bisa memproduksi zaitun di perbukitan namun harus diingat
bahwa zaitun baru menghasilkan setelah berumur dua puluh lima tahun.

Bagaimana dengan pertanian biasa? Di daerah Negev sebagaimana dikemukakan oleh Komite, ada dua juta dunam tanah yang dikultivasi oleh Badui Arab yang amat bergantung pada hujan yang amat sedikit. Sembilan puluh sembilan persen dari area itu dimasukkan dalam negara Yahudi. Di  wilayah itu 15 persen lahan dimiliki perorangan. Dari 15 persen itu, 14 persen dimiliki bangsa Arab dan 1 persen oleh bangsa Yahudi. Semuanya itu dimasukkan  ke wilayah Negara Yahudi. Populasi bangsa Arab ada sekitar 100.000 orang  sedangkan bangsa Yahudi 2.000 orang. Semua itu dimasukkan ke wilayah Negara Yahudi.

Lihat sekarang daerah di sebelah selatan. Memang diakui bahwa dari semua sisi tanah segitiga tersebut merupakan padang pasir panas yang tidak bisa ditanami. Saya mengetahui juga, meski informasi yang saya miliki belum tentu tepat, bahwa wakil dari Amerika Serikat di Sub-komite 1 mempertanyakan kenapa tanah itu diberikan kepada negara Yahudi. Tidak ada yang memberikan  alasan. Padahal sebenarnya ada satu alasan, kalau kita mau melihat ke peta bumi. Lahan  tersebut memungkinkan negara Yahudi mencapai teluk Aqaba dan dengan itu akses ke Laut Merah. Pada awalnya kekuasaan Mandat  ingin  tetap menguasai daerah itu. Namun lembaga ini berterus terang  bahwa alas an menguasai daerah itu untuk mempermudah  akses  ke  teluk Aqaba yang  penting secara strategis. Apakah area itu secara strategis penting bagi negara Yahudi? Jelas tidak. Sepanjang menyangkut akses ke pantai laut, negara Yahudi itu sendiri sudah terletak di pantai Laut Tengah. Mengapa harus repot menempuh padang pasir ke teluk Aqaba? Bagi siapa sebenarnya tanah itu secara strategis dianggap penting? Area itu dimasukkan ke dalam negara Yahudi untuk suatu tujuan, karena belum ada alas an yang dikemukakan untuk menyertakannya dalam negara Yahudi.


Perhatikan pula situasi berkenaan dengan industri. Praktis semua industri Yahudi berada dalam negara  Yahudi. Setelah saya kemukakan hal ini dalam Komite, salah seorang wakil menyatakan: “Lho, kok  ada yang mempermasalahkan industri Yahudi berada di negara Yahudi. Apakah memang bukan sudah sepatutnya berada disana?” Tentu saja memang harus demikian,  saya tidak ada mengatakan bahwa tempatnya bukan di situ. Saya katakan itu memang adil dan  benar, namun bagaimana dengan industri bangsa Arab? Empat  puluh persen industri bangsa Arab berada di wilayah negara Yahudi. Apakah itu adil?

Ada  yang  mengatakan bahwa bangsa Arab telah memperoleh konsesi besar berkenaan dengan Jaffa. Apa konsesi itu? Bagian yang predominan Arab dari kota Jaffa telah dikerat sebagai suatu enklaf (daerah kantongan) yang akan dimasukkan negara Arab. Mengapa sebagai suatu enklaf? Peta yang disertakan dalam laporan minoritas dari Komite Khusus menunjukkan bahwa melalui daerah Arab, kota itu bisa berhubungan dengan bagian selatan dari negara Arab. Peta yang terdapat dalam laporan mayoritas menunjukkan bahwa meski predominan merupakan daerah Arab, bagian itu bisa menjadi bagian dari negara Arab di bagian timur. Mengapa harus berbentuk enklaf? Tanah yang terdapat di antara Jaffa dan  negara  Arab  di  timur dan selatan secara predominan adalah Arab. Mengapa Jaffa harus menjadi enklaf?

Ada sebuah amendemen diusulkan berkaitan dengan tapal batas. Disarankan bahwa jika memang harus ada partisi (pemisahan), sekurang-kurangnya  tapal batas harus digambar tegas. Amendemen itu mengusulkan agar tapal batas ditentukan oleh komisi yang terdiri dari tiga pakar tapal batas yang ditunjuk oleh Dewan Keamanan dengan juga memastikan bahwa di dalam negara Arab tidak terlalu banyak terdapat tanah yang dimiliki Yahudi  sampai  batas  10 persen tanah milik perorangan, sedangkan di negara Yahudi tidak ada daerah yang dikuasai Arab perorangan lebih dari 10 persen. Usulan itu sangat adil namun tidak didukung oleh negara-negara di luar Arab.

Sekarang  kita sampai pada pertanyaan apakah rencana ini secara umum bisa  diterapkan. Seperti telah saya kemukakan,  wakil dari Amerika  Serikat mengutarakan harapan bahwa dengan dukungan negara-negara Arab dan rakyat Palestina, rencana itu bisa diterapkan. Negara-negara Arab yang berada di sekitarnya  pasti tidak akan  mendukung  eksprimen ini, paling banyak yang bisa diharapkan dari mereka ialah mereka tidak akan melakukan apa pun, padahal hal  itu  bertentangan dengan kewajiban mereka menurut Piagam. Bangsa Arab di Palestina telah menyatakan kalau mereka tidak akan mau bekerja sama. Adapun anggota-anggota  Dewan perlu menyadari bahwa  rencana itu bukanlah suatu eksprimen. Halnya tidak sama dengan eksprimen dari Komite  Interim yang didirikan untuk satu tahun. Kalau yang seperti itu  gagal, rencananya bisa dibuang dan Sidang Umum bisa memilih skema  lain. Untuk diketahui, rencana ini diusulkan sebagai solusi permanen. Jika gagal berarti PBB juga telah gagal. Hal ini merupakan sistem permanen dan mempertaruhkan nama baik serta eksistensi PBB sendiri. Karena itu sewajarnya pada tahap ini kita berhati-hati tentang apa yang akan kita lakukan. Apakah Sidang Umum memang sudah siap bertaruh?

Marilah  kita berhenti sejenak dan berfikir sebelum membawa PBB kesuatu arah yang akan memaksa lembaga ini melaksanakan suatu skema  yang tidak mempunyai pembenaran akhlak, berada di luar kewenangan legal dan yudisial PBB, serta mustahil bisa dicapai. Dalam mencoba upaya sia-sia dan fatal ini, anda  sekalian telah menafikan keinginan 66 persen rakyat Palestina. Kalian telah menghancurkan kepercayaan dan amanah dari semua negara tetangga di sekitarnya terhadap keadilan dan ketidak berpihakan PBB, khususnya berkenaan dengan apa yang telah terjadi selama tiga atau empat hari belakangan, dimana semua manuver dan  bahkan juga pertemuan-pertemuan Sidang Umum dari negara-negara besar telah memperlihatkan belangnya.

Di hati berbagai rakyat dari semua negeri dari  pantai utara Afrika sampai ke stepa-stepa  di Asia Tengah telah  kalian semaikan keraguan dan rasa tidak percaya akan rencana dan motivasi dari negara-negara Barat. Kalian telah mengambil risiko yang amat besar dalam merusak kemungkinan kerja sama nyata di antara Timur dan Barat  dengan cara menyekat baji Barat di hati Timur Tengah. Bagaimana PBB melaksanakan tanggung-jawabnya  dalam menangani masalah yang amat hidup dan manusiawi ini?

Sebelumnya ada dua proposal yang dikatakan sebagai ekstrim. Yang satu  adalah  dibentuknya satu negara kesatuan (unitarian), adapun yang lainnya mengusulkan partisi. Dibentuklah dua Sub-komite  untuk  itu. Yang satu mendukung skema Unitarian dengan tugas menyusun proposal atas dasar itu, sedangkan Sub-komite  satunya beranggotakan mereka yang mendukung partisi dengan tugas menyusun proposal atas  dasar  itu  juga.  Apakah PBB pernah mencoba mempertemukan bangsa Yahudi dan Arab duduk bersama guna mencari jalan tengah yang bisa menghasilkan solusi atas mana kedua bangsa itu bisa bekerja sama?

Ada pula laporan  minoritas. Ada usulan-usulan  lain  dan masih banyak usulan yang bisa diterima, kalau saja sifat kenegarawanan bukannya sudah pupus, yang sebe-narnya bisa dimintakan pertimbangan  kepada pihak ketiga. Banyak masih anggota  yang tidak mendukung konsep unitarian atau pun partisi.  Mengapa kebisaan mereka itu tidak dimanfaatkan guna mencari solusi jalan tengah? Sub-Komite 2 ketika mulai bekerja terdiri dari anggota-anggota yang telah memiliki  satu pandangan. Wakil dari Kolombia yang waktu itu terpilih sebagai Ketua Sub-komite sempat  merasa  tidak nyaman karena situasi demikian. Ia mengusulkan agar  kita menghubungi Ketua  Komite Ad Hoc Masalah Palestina dan meminta kepada yang bersangkutan beberapa negara lain ke Sub-komite 2 yang tidak terikat pada ide negara unitarian yang memiliki pandangan jalan tengah dan memberikan usulan solusi yang praktis.

Usulan  itu  disampaikan kepada Ketua Komite Ad Hoc dan diberitahukan bahwa ada dua Negara Arab yang mau membantu dengan cara keluar dari Sub-komite agar badan ini bisa disusun ulang berasaskan pandangan tersebut. Namun usulan itu ditolak, sang Ketua  tidak  merasa  punya kewenangan untuk memenuhi permintaan itu. Satu-satunya usaha ke arah  itu  ternyata  telah ditolak. Sekarang kita  dipaksa menerima: ‘kalian harus menerima  ide partisi atau tidak sama sekali.’ Tetapi apakah  keadaannya memang demikian? Apakah pilihannya hanya  itu  satu?  Berapa banyak dukungan atas  skema partisi itu? Dalam Komite Ad Hoc usulan itu didukung oleh 25 delegasi. Sebagian menyatakan bahwa mereka mendukung dengan hati berat, yang lainnya mendukung dengan keengganan. Mengapa? Karena tidak ada pilihan lain. Hal  ini menunjukkan kalau Sidang Umum sebenarnya tidak  sepenuh hati menangani solusi tersebut.

Ada yang mengatakan  jika konsep partisi  tidak  diterima  maka tidak ada ruang lagi untuk solusi. Padahal justru sebaliknya, jika dianut konsep partisi  maka langkah selanjutnya bersifat  fatal. Bangsa Arab dan Yahudi dipisahkan secara total dan dengan demikian maka habislah kesempatan untuk men- dudukkan mereka secara bersama lagi. Terlalu  banyak dendam di antara mereka yang akan menjadi penghalang. Kalau  saja anda sekalian mau menunda dan tidak langsung mengambil langkah fatal tersebut, anda masih menyisakan ruang konsiliasi bagi bangsa Arab dan Yahudi untuk bekerja sama. Kalau anda tidak memberi keputusan hari  ini, tidak berarti yurisdiksi  anda  sekalian akan dicabut selanjutnya. Berarti tidak ada dari kedua solusi itu yang bisa diterima dan harus dicari cara lain lagi. Tanggung-jawabnya ada pada anda sekalian. Janganlah kesempatan itu dibuang begitu saja. Jangan ditutup pintu yang mungkin tidak akan bisa dibuka lagi. Lembaga PBB harus bisa mencari solusi yang tidak saja bersifat adil dan tidak memihak, tetapi juga menjanjikan keberhasilan bagi sebagian besar Yahudi dan Arab di Palestina. Suara kita hari ini jika tidak mendukung partisi, tidak akan  lantas menafikan solusi lainnya. Adapun suara  kita jika mendukung partisi maka akan menutup semua solusi damai. Mereka yang mau silakan memikul tanggung-jawabnya. Permohonan saya ialah jangan menutup pintu kemungkinan tersebut. Lembaga PBB seharusnya berjuang untuk mempersatukan  dan bukannya memecah-belah.

Wakil dari  Amerika Serikat ada menyinggung tentang doa dan harapan yang saya kemukakan di akhir statemen saya kepada Komite Ad Hoc. Kembali saya akan mengulangnya lagi dengan tulus dan ikhlas: ‘Semoga Dia yang menguasai hati dan mengetahui niat dan rencana mereka yang paling dalam, Dia satu-satunya yang bisa menilai dan melihat akibat dari tindakan manusia, dalam berkat dan rahmatNya semoga membimbing pertimbangan kita sehingga apa yang kita putus hari ini disini akan membawa kedamaian, kemakmuran dan kesejahteraan bagi semua mahluk-Nya baik Yahudi, Arab dan yang lainnya yang akan mengagungkan NamaNya

0 komentar:

Post a Comment