Ringkasan Khotbah Jumat
Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad
Khalifatul Masih al-Khaamis ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz
tanggal 10 April 2015 di Masjid Baitul Futuh, Morden, London, UK.
Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad
Khalifatul Masih al-Khaamis ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz
tanggal 10 April 2015 di Masjid Baitul Futuh, Morden, London, UK.
أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضَّالِّينَ. (آمين)
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.
بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضَّالِّينَ. (آمين)
‘Sesungguhnya, telah berhasil orang-orang yang beriman,
orang-orang yang khusyu dalam shalatnya.’ (Al Mu’minun 23: 2-3)
Mula-mula ayat tersebut memberikan khabar gembira mengenai keberhasilan
orang-orang yang beriman. Akan tetapi, morang-orang yang beriman jenis
apa yang dimaksud? Ayat berikutnya memberikan banyak persyaratan dan
ketentuan bagi orang yang beriman. Pertama, persyaratan atau kualitas
yang harus dimiliki orang mukmin adalah bahwa mereka harus khusyu dalam
Shalatnya. Khusyu dalam konteks ini umumnya mengandung arti menangis
saat shalat, namun, ternyata ada banyak makna dan pengertian lainnya dan
jika semua itu tidak terpenuhi, maka kondisi sejati sebagai orang yang
beriman tidak akan tercapai. Khusyu artinya menunjukkan dengan penuh
kerendahan hati, merendahkan diri dengan sebenar-benarnya, menafikan
(melenyapkan) diri sendiri, bersimpuh, berusaha membuat diri sendiri
hina, menundukan pandangan dan berbicara dengan lemah lembut. Dengan
demikian satu kata mencakup sebuah kerangka yang amat luas yang
diperuntukan bagi orang beriman. Seseorang yang kembali kepada Tuhan
dengan kekhusyuan (kerendahan hati) yang tinggi serta menerapkan
kualitas yang lainnya, maka dijanjikan akan memperoleh qurub ilahi
(kedekatan dengan Tuhan). Hal ini pada gilirannya akan menarik
perhatiannya bahwa selain memenuhi hak-hak Tuhan, ia juga harus memenuhi
hak-hak ciptaan Tuhan. Hal ini akan membimbingnya untuk berusaha
menjadi perwujudan dari apa yang Hadhrat Masih Mau’ud (as) ungkapkan
dalam bait syair Urdu beliau ini:
“Bayangkanlah dirimu lebih rendah daripada orang lain”
“Bisa jadi itu akan mengantarkanmu ke kediaman Tuhan yang Esa”
“Bisa jadi itu akan mengantarkanmu ke kediaman Tuhan yang Esa”
Disamping khusyu dalam Shalat, orang tersebut pun harus
berusaha mengamalkan kekhusyuan (kerendahan hati) tersebut dalam
kehidupannya sehari-hari serta berusaha menghindarkan diri dari semua
keburukan sosial. Serta Ia harus berusaha bertutur kata lembut dan
menghindar dari segala bentuk konfrontasi dan argumentasi (perdebatan).
Tentunya banyak sekali penyakit yang menghalangi orang beriman jauh dari
jalan yang benar. Hanya orang-orang yang memelihara dan menjunjung
tinggi hal tersebutlah yang akan meraih kesuksesan. Kata bahasa Arab
“فلاح” yang digunakan pada ayat diatas memiliki konotasi yang sangat
luas. Kata itu berarti situasi yang tentram, kemakmuran, kesejahteraan,
terkabulnya segala keinginan, keamanan, ketentraman, kebahagiaan serta
karunia hidup yang terus menerus. Ini adalah faedah yang beraneka ragam
yang dinikmati oleh mereka yang berbuat baik yang dianugerahkan Tuhan
kepada mereka. Langkah pertama dan penting untuk meraih karunia tersebut
adalah khusyu-lah dalam Shalat. Tentu saja orang-orang dunia pun khusyu
dalam shalatnya, namun tidak hanya sekedar menangis. Orang-orang
duniawi akan menangis dan merendahkan diri mereka ketika hal itu mereka
anggap layak untuk dikerjakan. Mereka melakukannya karena mereka
memiliki kepentingan pribadi atau mereka melakukan hal tersebut sekedar
untuk berpura-pura atau karena emosi sesaat saja. Akan tetapi
Orang-orang yang khusyu untuk mencari ridho Tuhan sangat jauh dari
hal-hal semacam itu.
Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda mengenai orang-orang
semacam itu: ‘Saya secara pribadi melihat banyak sekali pertapa dan
orang-orang lainnya yang seperti itu yang langsung mencucurkan air mata
dengan derasnya saat mendengarkan syair yang menyayat hati, atau melihat
sebuah pemandangan yang menyakitkan atau mendengarkan kisah-kisah yang
memilukan, seperti halnya saat hujan deras mulai turun di malam hari,
tidak mungkin seseorang yang sedang merapihkan tempat tidurnya dan
membawanya ke dalam ruangan tidak akan basah kuyup terguyur hujan. [Hal
ini merujuk kepada orang-orang yang berada di sub-benua yang biasa tidur
diluar selama bulan-bulan yang ada di musim panas] Namun saya bersaksi
atas ucapan saya ini bahwa kebanyakan orang-orang yang seperti itu lebih
licik dan jahat daripada orang-orang dunia. Saya menemukan beberapa
dari mereka berwatak jahat, tidak jujur dan tak bermoral dalam segala
aspeknya. Melihat mereka menangis dan menunjukan kerendahan hati membuat
saya jijik untuk menangis ataupun terharu dalam setiap pertemuan.’
Hadhrat Khalifatul Masih II (ra) menceritakan bahwa Hadhrat
Khalifatul Masih I (ra) pernah menyampakan sebuah kisah tentang
seseorang yang sudah tua. Orang tua tersebut melaksanakan Shalat di
masjid selama bertahun-tahun lamanya dengan pikiran bahwa orang-orang
akan memujinya. Namun karena beberapa amalan baiknya di masa lalu, Tuhan
menyusupkan ke dalam hati setiap orang supaya mereka menyebutnya orang
munafik. Suatu hari ia sadar bahwa ia telah menghabiskan masa hidupnya
dengan beribadah di Masjid namun tidak pernah ada seorang pun yang
memanggilnya orang saleh, ia pun berpikir jika shalatnya itu dikerjakan
semata-mata demi untuk Tuhan, Tuhan pasti akan ridho dengannya. Pikiran
tersebut menusuknya begitu kuat sehingga ia pergi ke hutan belantara dan
mengerjakan Shalat dengan begitu khusyu dan menyayat hati, serta
memohon bahwa kini ia shalat semata-mata hanya untuk Tuhan. Setelah itu
Tuhan menyusupkan ke dalam hati orang-orang bahwa orang tua ini adalah
orang saleh yang terhina dan tersia-sia. Orang tua tersebut amat
bersyukur kepada Tuhan. Shalat yang dikerjakannya dengan ketulusan demi
untuk Tuhan semata telah mengubah hati orang-orang itu dan mereka mulai
memuliakannya. Kisah ini pun menunjukan bahwa dengan nilai dari beberapa
kebaikan yang mungkin dilakukan seseorang pada masa lampau, Tuhan akan
dapat mempermudah dalam mereformasi dirinya. Oleh karena itu orang tua
tersebut termasuk diantara orang-orang yang memperoleh “فلاح”
(keberhasilan). Amal baik seseorang di masa lampau meski dikemudian hari
melakukan dosa dapat menyelamatkannya dari akhir yang buruk dan
menjadikannya dari antara orang-orang yang dianugerahi “فلاح”. Hal
tersebut tergantung sifat Rahmaniyat Ilahiah. Namun, sebenarnya “فلاح”
diberikan kepada mereka yang berusaha meraih kebaikan dari sifar
Rahimiyat Ilahi dan inilah syarat pertama dari hal tersebut yaitu
melaksanakan shalat dengan penuh kerendahan hati.
Hadhrat Masih Mau’ud (as) menulis: Tahap awal dari kondisi
keruhanian orang yang beriman ialah kerendahan hati, meratap
(mencucurkan air mata) dan kelemah lembutan (melas diri) dimana orang
beriman tersebut alami saat Shalat dan berzikir kepada Allah. Artinya
bahwa hal tersebut untuk menghasilkan di dalam dirinya gairat berdoa,
kepedihan, kerendahan hati, kekhusyuan yang tinggi, kesabaran, dan
hasrat yang membara. Juga untuk menarik perasaan takut saat kembali
kepada Tuhan sebagaimana yang ayat ini nyatakan: ‘Sesungguhnya, telah
berhasil orang-orang yang beriman, orang-orang yang khusyu dalam
shalatnya.’ (Al Mu’minun 23: 2-3). yaitu bahwa, keberhasilan disini
adalah keberhasilan bagi orang-orang beriman yang khusyu dalam shalat
mereka dan berzikir kepada Allah serta yang sibuk mengingat Tuhan mereka
dengan kepedian, kelemah lembutan, hasrat dan gairat yang tulus.’
Hadhrat Masih Mau’ud (as) juga menulis: ‘Orang-orang yang
merenungkan al-Quran akan memahami bahwa keadaan khusyu dalam Shalat
seperti cairan nutfah bagi keadaan ruhani kita. Dan sama seperti cairan
nutfah, namun dalam arti keruhanian, ia menyembunyikan segala kekuatan,
kualitas dan kemampuan untuk membentuk manusia yang sempurna. Seperti
cairan nutfah yang berada dalam keadaan berbahaya hingga ia mencapai
rahim, begitupun keadaan ruhani yang belum sempurna ini, dengan kata
lain bahwa kerendahan hati (khusyu), tidak berada dalam bahaya selama ia
berhubungan dengan Tuhan yang Maha Rahim. Haruslah diingat bahwa ketika
karunia Allah Ta’ala dianugerahkan tanpa ada usaha sama sekali, hal itu
didasarkan atas sifat Rahmaniyat Ilahi. Misalnya, Tuhan menciptakan
langit dan bumi bagi manusia atau DIa menciptakan manusia, semua ini
terwujud atas dasar karuna dari sifat Rahmaniyat-Nya. Namun, ketika
sebuah karunia dianugerahkan karena beberapa amalan, ibadah, dan usaha
keras dalam melatih kerohanian, itu adalah karunia dari sifat
Rahimiyat-Nya. Inilah cara yang senantiasa dilakukan Allah bagi manusia.
Sepanjang manusia menerapkan keadaan rendah hati (khusyu) dalam shalat
serta saat berzikir kepada Allah, maka ia telah mempersiapkan dirinya
untuk karunia Rahimiyat Allah Ta’la. Perbedaan antara cairan nutfah dan
tahap awal kondisi kerohanian adalah bahwa jika cairan nutfah tergantung
pada tarikan rahim (kandungan), maka kondisi kerohanian tergantung pada
tarikan Rahimiyat Tuhan. Sama seperti itu mungkin bagi cairan nutfah
akan terbuang sebelum ditarik ke rahim (kandungan), begitu juga mungkin
bagi tahap awal keadaan rohani orang beriman, yaitu kerendahan hati,
akan musnah sebelum terhubung kepada Rahimiyat Tuhan.
Banyak orang-orang yang mencucurkan air mata dan menangis
dalam shalat saat mereka berada dalam tahap awal kerohaniaan. Mereka
memperlihatkan perangai dan gairat yang luar biasa dalam kecintaan
mereka kepada Tuhan, tapi karena mereka tidak menempa sebuah hubungan
dengan Dia, pemilik Sumber Karunia, yaitu Rahimiyat Tuhan, dan mereka
tidak ditarik kearah-Nya disebabkan perwujudan-Nya yang special, maka
segala kepedihan dan kondisi kekhusyuaannya tidak berdasar (beralasan)
dan kadang mereka begitu banyak tergelincir dan tersandung sehingga
mereka mundur melewati tahap awal kerohanian mereka. Ini adalah sebuah
hal yang menakjubkan, ada kesamaan yang menarik bahwa seperti halnya
cairan nutfah yang merupakan tahap awal bagi terbentuknya kondisi fisik,
jika tidak ditarik ke rahim maka ia tidak ada artinya sama sekali,
demikian pula kerendahan hati (khusyu) yang merupakan tahap awal dari
kondisi kerohanian jika tidak dibantu Rahimiyat Tuhan serta ditarik
kearah-Nya, kerendahan hati tidak akan ada artinya sama sekali.
Inilah sebabnya mengapa kalian akan mendapati ribuan orang
yang setelah memperoleh kenikmatan di separuh kehidupan mereka saat
berzikir dan shalat, mereka mengalami keadaan seperti tak sadarkan diri
dan menangis, namun kemudian beberapa keburukan berhasil menguasainya
sehingga setelah mereka ditarik kepada hal-hal yang mementingkan diri
sendiri mereka kehilangan semua kerohaniannya disebabkan nafsu mereka
terhadap hasrat-hasrat duniawi. Inilah penyebab dari keprihatinan yang
besar bahwa kondisi kerendahan hati (khusyu) sering hilang sebelum
terhubung dengan Rahimiyat dan musnah sebelum daya tarik Rahimiyat Tuhan
dapat bekerja atasnya.’ (Baraheen e Ahmadiyya, Part V. pp. 188 – 190)
Dengan demikian, tidak seorang pun dapat menegaskan bahwa
ibadah mereka kepada Tuhan telah mencapai sebuah tahapan kerendahan hati
(kekhusyuan) yang tinggi. Kerendahan hati meliputi semua elemen
sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya. Sebenarnya, kita perlu membuat
upaya secara dawam untuk menarik karunia Rahimiyat Allah Ta’ala. Sama
seperti seseorang yang tidak tahu kapan pembuahan akan terjadi dan janin
akan terbentuk serta kapan saatnya keguguran itu terjadi, begitu juga
sekali pun upaya seseorang berbuah kekhusyuan (kerendahan hati), kadang
ia menjadi takabur. Seperti orang-orang yang pertama kali menerima Nabi
Allah dan kemudian berpaling; Mereka terhubung dengan Tuhan sepanjang
bersentuhan dengan seseorang yang ditugaskan oleh-Nya. Jika tidak,
mereka akan jatuh dan hilang kedalam lubang kehinaan. Kita harus terus
menerus berusaha demi karunia Rahimiyat Allah Ta’ala. Amat sedikit upaya
yang dilakukan dalam hal ini, pengabulan doa yang menakjubkan atau
beberapa mimpi yang benar tidak harus membuat kita merasa bangga.
Meskipun telah mencapai qurub ilahi dan meraih ‘فلاح’ (keberhasilan),
walaupun telah menjadi begitu khusyu, sungguhpun telah menjauhkan segala
hal yang sia-sia, kendatipun telah berkorban di jalan Allah, meskipun
telah menjaga kesucian (Farji) mereka, sekalipun telah memenuhi
perjanjian mereka, sungguhpun telah memenuhi kewajiban Shalat dan ibadah
lainnya kepada Tuhan, orang-orang yang meraih ‘فلاح’ (keberhasilan)
memohon kepada Tuhan agar membungkus mereka dengan selimut rahmat dan
karunia-Nya, karena mereka tahu bahwa tanpanya mereka tidak ada artinya.
Karena karunia Tuhan sematalah, maka segala upaya yang terus menerus
kita lakukan guna menarik karunia Rahimiyat Allah Ta’ala diterima dan
dikabulkan.
Seorang mukmin sejati harus senantiasa berpandangan bahwa
tidak diragukan lagi Tuhan telah menyatakan bahwa orang-orang yang
beriman telah meraih ‘فلاح’ (keberhasilan), akan tetapi untuk membuat
‘فلاح’ (keberhasilan) ini bagian dari kehidupan kita yang terus
berkelanjutan, kita tidak boleh mengaitkan setiap pencapaian yang diraih
merupakan upaya kita sendiri. Karena setiap pencapaian yang diraih
harus dianggap bahwa hal itu bukan kita yang melakukannya, namun terjadi
dengan karunia Tuhan. Jika tidak, mungkin saja amalan baik kita akan
terbuang seperti cairan nutfah yang berakhir dengan keguguran. Kita
perlu fokus pada akhir kita sehingga karunia Rahimiyat Allah Ta’ala
dapat menerima upaya kita dan proses tersebut melahirkan sebuah wujud
yang lengkap segala-galanya. Dan kita mungkin termasuk diantara
orang-orang yang meningkat dalam kerendahan hati (khusyu) saat cairan
nutfah tersebut berkembang secara kerohanian.
0 komentar:
Post a Comment