Puing-puing Masjid Basyarat, Masjid Ahmadiyah Sukapura Tasikmalaya Jawa Bara foto by Nurul Hasanah |
Penulis : Winnie Wilianurunnisa
Tidak terasa 70 tahun sudah Indonesia menikmati kemerdekaannya dari para penjajah, salah satunya Jepang. Setelah dijatuhkannya bom atom di atas Kota Hirosima Jepang oleh Amerika Serikat, saat itulah mulai melemahnya kekuatan Jepang. Sehingga BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau yang namanya dirubah menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) mulai menguatkan tujuan mereka untuk memerdekakan Indonesia. Ditambah lagi dengan jatuhnya bom atom kedua di atas Nagasaki yang membuat Jepang menyerah kepada Amerika Serikat. Hal ini membuat Indonesia semakin memantapkan keinginan dan tujuannya untuk memproklamasikan kemerdekaannya.
Setelah melalui perdebatan yang cukup panjang antara golongan muda dan golongan tua mengenai kemerdekaan Indonesia, akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1945, pukul 10:00 bertempat di kediaman Ir. Soekarno, jalan Pegangsaan Timur 56 dibacakanlah teks proklamasi oleh Ir. Soekarno sebagai tanda merdekanya Bangsa Indonesia.
Namun tahukah kamu arti dari kata ‘merdeka’? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata ‘Merdeka’ adalah :
(1) Bebas (dari perhambaan, penjajahan, dsb)
(2) Tidak terkena atau lepas dari tuntutan
(3) Tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu
Dengan mengetahui arti kata ‘merdeka’, apakah kita sudah merasakan kemerdekaan Indonesia? Ya, jika hanya tentang kemerdekaan –dari jajahan Negara-negara lain seperti 70 tahun yang lalu. Akan tetapi bila dilihat secara keseluruhan, kemerdekaan itu ternyata bukan hanya terpaku kepada -bebasnya bangsa kita dari jajahan bangsa lain- dan dari lahirnya teks proklamasi saja. Melainkan juga dilihat dari ideologi dan dasar Negara Indonesia. Seperti yang terdapat dalam UUD 45, yaitu pancasila.
Seperti kita semua tahu, bahwa dalam pancasila terdapat hal-hal yang menjadi factor sejahteranya Indonesia jika dilaksanakan secara benar dan menyeluruh. Karena, dalam isinya sebagai berikut;
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawarata/ perwakilan
5. Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia
Lima point tersebut adalah dasar bagi Indonesia untuk menjadi Negara yang sepenuhnya merdeka. Kemerdekaan harus dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya merdeka dari jajahan Negara lain saja, tetapi juga merdeka dari jajahan orang-orang Indonesia sendiri. Rakyat Indonesia harus merdeka, bebas menjalankan pilihannya sendiri asal sesuai dengan Undang-undang dan peraturan yang berlaku.
Selain itu, untuk menikmati kemerdekaan yang hakiki kita juga perlu meninjau kembali semboyan yang telah Negara kita miliki; Bhineka Tunggal Ika, yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Melihat dari artinya, berarti kita harus mengakui bahwa Indonesia tidak hanya dibentuk dari satu hal saja, melainkan dibentuk dari banyak hal. Keberagaman budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan. Maka dari itu, agar terbentuknya Indonesia yang sejahtera, Indonesia yang damai, Indonesia yang merdeka, setiap rakyat Indonesia harus menghargai keberagaman itu.
Namun pada kenyataannya,sebagian besar rakyat Indonesia belum merasakan kemerdekaan. Masih banyak rakyat yang kelaparan karena miskin, anak-anak yang seharusnya setiap hari belajar di sekolah malah berkeliaran di jalanan untuk mencari uang, para penganut aliran kepercayaan yang seyogyanya diberi kebebasan dalam memilih jalan hidupnya malah terkungkung dalam kejamnya tekanan pihak luar. Salah satunya adalah para anggota Jema’at Ahmadiyah. Hak-hak mereka yang seharusnya diberikan malah dirampas dengan tidak manusiawi. Tempat ibadah mereka dirusak, fasilitas-fasilitas milik mereka dihancurkan, dan ironisnya untuk beribadah pun mereka dilarang.
Adalah Jema’at Cabang Sukapura yang berada di Kampung Sukajaya, Desa Sukapura, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Tasikmalaya ini sudah hampir 9 tahun tidak bisa mendapatkan haknya sebagai warga Negara yang sejahtera. Setelah pengrusakan hebat tempat ibadah (masjid) milik mereka pada tanggal 29 nopember 2007 oleh masyarakat sekitar, mereka tidak bisa lagi melaksanakan peribadatan dan kegiatan kerohanian lainnya di masjid tersebut. Bahkan untuk melaksanakan ibadah dan kegiatan-kegiatan rohani lainnya di rumah-rumah pun tidak diperbolehkan. Berbagai tekanan dari masyarakat sekitar pun semakin meningkat, para anggota Jema’at Ahmadiyah di cabang Sukapura yang hendak menikah tidak diperbolehkan oleh para oknum-oknum pemerintahan setempat, sebelum menyatakan diri keluar dari Ahmadiyah. Anak-anak dari keluarga Ahmadiyah pun harus menandatangani surat keluar dari Ahmadiyah agar bisa mengikuti madrasah atau sekolah agama di tempatnya. Dan banyak lagi tekanan-tekanan yang dilakukan kepada para anggota Jema’at Ahmadiyah dewasa maupun anak-anak.
Namun, ditengah gejolak tekanan dari pihak-pihak yang tak bertanggung-jawab itu, para anggota Jema’at Ahmadiyah tetap berprilaku baik di tempat mereka tinggal. Kewajiban-kewajiban mereka terhadap bangsa dan Negara selalu dipenuhi. Tak ada perlawanan sedikitpun dari anggota Jema’at Ahmadiyah kepada masyarakat yang kontra terhadap mereka. Sesuai dengan motto mereka;” Love For All Hatred For None”, yang berarti “Cinta untuk semua, tiada kebencian bagi siapapun.” Ini seharusnya menjadi pertimbangan bagi pemerintah untuk memilih siapa yang seharusnya dibiarkan berkembang di Negara ini. Apakah Ahmadiyah yang selama ini bersikap baik atau mereka yang selama ini melakukan pengrusakan-pengrusakan?
Padahal ada sebagian masyarakat non-Ahmadiyah di kampung Sukajaya yang justru menginginkan perdamaian di antara mereka (Ahmadiyah dan non-Ahmadiyah)
“Menurut saya, kemerdekaan Ahmadiyah belum terpenuhi. Saya ingin Ahmadiyah terus aktif dan semakin maju. Bagi non-Ahmadiyah jangan mengganggu. Harmonis seperti dulu.” Jelas Ibu Apat Fatimah salah satu warga kampung Sukajaya non-Ahmadiyah.
Begitupun dengan ibu Tuti Suciati yang merupakan salah satu pengurus badan Jema’at Ahmadiyah Cabang Sukapura, tentu saja beliau ingin di kemerdekaan Indonesia yang ke 70 tahun, Ahmadiyah pun merasakan kemerdekaannya dari berbagai tekanan.
“Kami merasa belum merdeka.” Tegas ibu dari tiga orang anak itu.
Rupanya 5 butir pancasila itu belum sepenuhnya diaplikasikan dalam kehidupan berwarga-negara sehari-hari. Masih saja para minoritas merasa tertekan dalam kemerdekaannya. Masih saja orang-orang yang sepatutnya sejahtera, merasa menderita dalam kemerdekaannya. Atau mungkin bisa jadi kita hanya merdeka lahirnya saja sedang bathinnya sama sekali tidak?
Namun kendati demikian, kita semua jangan terpaku dalam ‘sulitnya mewujudkan kemerdekaan Indonesia yang hakiki’ saja. Seyogyanya semangat kita semua setara dengan tindakan nyata kita untuk memerdekakan Indonesia serta rakyatnya, baik lahiriah maupun bathiniah.
0 komentar:
Post a Comment