Penulis : Riyanti
Tik.. tok.. tik.. tok.. tik.. tok.. Detik-detik arloji menempel disebuah ingatan ruam yang tertinggal di beberapa tahun silam. Dikala sebuah rumah ibadah milik Ahmadiyah di Kota Banjar begitu ramai dikunjungi orang-orang yang gemar memanjatkan bebulir doa kepada Yang Maha Kuasa. Berbondong-bondong mengharap belas akan kasih pahala-Nya. Dimasjid inilah mereka saling untai-menguntai rawian doa dan mengaminkannya dengan penuh getaran. Ditempat ini jua-lah Al-Qur’an Suci selalu melantun syahdu memecah gendang telinga.
Namun di tahun 2011, sepetak tanah ini tetiba dikebiri, ditutup oleh tuan-tuan yang tak bertanggung jawab. Silang-silang, kayu saling berpaku mengepung jendela. Dinding dan ubin melempar bincang memecah gema. Hanya debu-debu tebal dan sarang laba-laba yang menggelayut di sudut ruang. Kosong! Sunyi termakan waktu.
Hari, bulan dan tahun saling merotasi, hingga empat Agustus pun berlalu, berangkat dengan musim yang begitu cepat. Namun, masih alangkah sunyinya masjid ini. Sayup-sayup angin membawa kabar dari dalam memekik kesakitan sebab terbelenggu kayu & paku karat. Mungkin, hanya dua buah menara bertuliskan lafadz Allah & Muhammad sajalah yang setia menjulai memandangi sepotong awan. Keseolah menjadi saksi akan rintihan masjid ini, tuk menyimpan asa yang terbenam pada sebuah genangan mimpi untuk dapat merdeka.
Untaian deskripsi ini, mungkin takkan mampu menyihir siapapun di negeri pertiwi untuk sekedar menabur belas kasihan. Namun, di hari ketujuh belas di bulan kemerdekaan dan tahun yang begitu bergairah ini, bolehkah sekedar mengais harap akan sejumput keadilan? jangan biarkan ia terkunci. Jangan biarkan masjid ini cemas. Cemas sebab haus akan gema kalam ilahi. Tak terhingga banyak jiwa yang merindukan rukuk & sujud disni. Menikmati berjamaah dalam subuh dan memintal doa dengan teduh. Jangan biarkan palang kayu menyeka, jangan. Sebab tanah ini ingin merdeka dan memekarkan cinta.
0 komentar:
Post a Comment