Penulis : Muhammad Nurdin
Sebagian orang mungkin tahu kata-kata “Somahna Bagja di Buana”. Tapi, kebanyakan kita pasti baru mendengar kata-kata itu. Itu adalah motto sebuah kota yang masih terbilang muda, yah baru berusia dua belas tahun. Di usia yang semuda itu, ibarat seorang anak yang memasuki masa pubernya, meranjak menjadi seorang remaja. Kota itu bernama Kota Banjar.
Anda pasti bertanya-tanya, sekalipun anda orang Sunda, tentang makna dari motto Kota Banjar, “Somahna Bagja di Buana”. Motto Kota Banjar mempunyai makna yang dalam sebagai tujuan dan harapan yang ingin dicapai masyarakat Kota Banjar. Somahna Bagja di Buana secara tekstual berarti “orang-orangnya (masyarakat Kota Banjar) bahagia di dunia (Kota Banjar).
Somahna Bagja di Buana adalah cita-cita luhur yang patut kita apresiasi dan amalkan, khususnya bagi masyarakat Kota Banjar sendiri. Prinsip dasar yang tertuang dari motto tersebut adalah “Bagja di Buana”, bahagia di tanah sendiri. Karena setiap orang membutuhkan kebahagian dalam hidupnya, oleh karena itu, sebagai seorang manusia bukan hanya siap menerima kebahagiaan dari orang lain tapi mampu juga memberikan kebahagian kepada orang lain. Sekiranya, setiap orang hanya siap menerima kebahagian, tunggu saja hingga mereka yang biasa berbagi kebahagian itu punah tergantikan oleh manusia-manusia yang serakah.
Di usianya yang masih terlalu muda, Kota Banjar tentunya masih perlu banyak belajar tentang berbagai hal, misalnya membangun semangat “Bagja di Buana”. Sekiranya setiap orang masih belum bisa untuk membuat orang lain bahagia, minimal tak membuat orang lain susah. Itulah yang terjadi baru-baru ini, yang menimpa warga Jemaat Ahmadiyah di Kota Banjar.
Apa yang menimpa warga Ahmadiyah Kota Banjar? Yah, Masjid mereka disegel. Malahan, disegel sejak tahun 2011 silam. Tapi mengapa kasus Ahmadiyah mencuat lagi di tahun 2015? Padahal, masjidnya sudah disegel sejak lama. Oleh siapa? Oleh Pemerintah Kota Banjar sendiri, berdasarkan SK Walikota Banjar Nomor 450/Kpts. 115. Huk/2011 tentang pembekuan Jemaat Ahmadiyah Banjar. Sulit untuk dipercaya.
Turunnya SK Walikota ini melegalkan upaya penyegelan atas masjid milik warga Ahmadiyah. Bagi warga Ahmadiyah, ibadah adalah sumber kebahagiaan yang takkan bisa diwakili dengan melimpahnya harta, meningkatnya strata ataupun indahnya rumah tangga. Sumber “Bagja” yang nyata ada pada ibadah. Mungkin, anda pun berpikiran demikian. Oleh karena itu, meskipun masjid milik warga Ahmadiyah disegel, mereka tetap akan beribadah di tempat itu. Bahkan, balok-balok kayu yang melintang menghalangi pintu dan jendela masjid tak mampu mengurungkan niat mereka itu.
Tak senang dengan sikap “tak kenal menyerah”-nya warga Ahmadiyah, sekelompok massa merusak masjid. Tepatnya pada selasa malam, 29 Desember 2014 massa menurunkan genting-genting masjid, merusak plafon juga memecah kaca jendela yang balok-balok tanda penyegelan masih kokoh tertancap. Sesuai dengan nama masjidnya “Istiqamah”, warga Ahmadiyah rupanya tak pernah kenal menyerah untuk mendapatkan “Bagja” hakiki mereka. Pada Jumat 13 Maret 2015, warga Ahmadiyah gotong royong membersihkan masjid. Tidak muluk-muluk niat mereka, cuma hendak melaksanakan sholat Jumat di masjid.
Sayang sungguh disayang, niat suci itupun tak direstui oleh pihak-pihak yang meresa berwenang mengontrol ibadah suatu golongan. Tanpa restu mereka, warga Ahmadiyah tetap bersyukur dengan melaksanakan sholat jumat di rumah salah seorang warganya. Ternyata benar, untuk meraih “Bagja” hakiki yang takkan pernah terganti materi, seorang mukmin harus tetap “istiqamah” menyeru bahwa Tuhan kami Allah bukan siapun di dunia ini. Bukan pihak-pihak yang menawarkan segala kebebasan dan kemudahan dengan syarat harus mengingkari sebuah kebenaran.
Memang, ke-istiqamah-an seorang mukmin ini perlu diuji, hingga suatu batas dimana ia seakan-akan sudah tak mampu lagi menanggungnya. Itulah yang dialami oleh warga Ahmadiyah Kota Banjar. Mereka sudah mengalah dengan tidak sholat di masjid mereka yang tercinta, tapi ada sekelompok massa yang masih tidak mau kalah. Mereka mendatangi rumah tempat diadakannya sholat Jumat itu. Berteriak-teriak untuk membubarkannya, seakan-akan merekalah yang menciptakan dunia serta seisinya. Untungnya, pihak yang benar-benar berwenang berhasil menenangkan.
Tak puas dengan tak berhasilnya membubarkan jumatannya warga Ahmadiyah, sekelompok massa yang jumlahnya lebih banyak dari sebelumnya datang pasca jumatan yang sengaja dipersingkat. Rumah yang dijadikan tempat sholat Jumat tadi dipenuhi massa yang sedang kalap. Mereka datang dengan bermodalkan teriakan dan ancaman. Warga Ahmadiyah yang masih tersisa pun menjadi ketakutan. Bagaimana tidak, bisa anda bayangkan sekiranya ada sekolompok massa yang kalap, berteriak tak karuan mengatakan “Halal darahnya”, “Bakar rumahnya”, “Dobrak rumahnya” di hadapan anda.
Mungkin, semuanya takkan terlihat menakutkan seperti ini, sekiranya Pemerintah dalam hal Walikota Banjar tak mengeluarkan surat saktinya. Apakah umur sebuah kota mempengaruhi tingkat kelabilan kebijakan pemerintahnya? Untuk kasus Banjar silahkan anda nilai sendiri. Bukankah Peraturan Daerah ini bertentangan dengan peraturan di atasnya, misal dengan SKB 3 Menteri? Bukankah dalam SKB tidak ada larangan Jemaat Ahmadiyah beribadah di masjidnya? Bukankah ini indikasi kelabilan pemerintah Kota Banjar?
Melihat cita-cita yang luhur dari Kota Banjar, sungguh tak masuk akal keputusan Pemerintah Kota Banjar ini. Begitu banyakkah kesibukan para pejabat Pemerintah, hingga mereka lupa akan motto kota yang kaki mereka masih menapak di atasnya? Atau mungkin, mereka menganggap Warga Ahmadiyah bukanlah warganya, mereka ilegal. Oleh karenanya, mereka tak pantas mendapatkan “Bagja di Buana”. Mungkin lebih pantas warga Rohingya tinggal di Banjar ketimbang warga Ahmadiyah yang sudah turun-temurun, beranak-pinak di Kota ini.
Sudah 70 tahun Indonesia merdeka. Tapi, masih ada saja anak bangsa yang tak bisa mendapatkan kemerdekaannya, meski sekedar menikmati sholat berjamaah di masjid mereka. Di hari yang bersejarah ini, marilah kita membangun Indonesia, marilah kita membangun Kota Banjar ini dengan terus mengobarkan semangat “Somahna Bagja di Buana”. Marilah kita mulai menyingkirkan pemisahan yang akan membuat makna “Somahna” menjadi ekslusif. Siapapun dia, selama masih menginjakkan kakinya di Kota Banjar, berhak mendapatkan “Bagja”.
0 komentar:
Post a Comment