Pada hari Rabu 8 Oktober 2014 telah diselenggarakan Simposium Perdamaian yang bertempat di University Club Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Acara ini terselenggara berkat kerja sama Humanity First Indonesia (HFI) dengan Sociology Research (Sorec) FISIPOL UGM. Pembicara dalam kesempatan simposium ini pada sesi pertama adalah Dr. Iftikhar Ahmad Ayaz MA. PhD, Dra. Khofifah Indar Parawansa, Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin dan Romo Patrick Edward Charlie.
Dr. Iftikhar Ahmad Ayaz sebagai pembicara utama dalam Simposium ini merupakan seorang tokoh tekemuka Jemaat Ahmadiyah, beliau merupakan praktisi yang bekerja dalam memperjuangkan hak-hak minoritas dan intensif dalam resolusi konflik. Bekerja dalam berbagai organisasi PBB seperti FAO, UNESCO, UNDP dan Komisi Perdamaian Internasional. Beilau juga menjabat posisi tinggi dalam Commonwealth Network dan telah meraih berbagai macam penghargaan diantaranya ‘Man Of The Year 2010’ dalam Hak Azasi Manusia, World Freedom Medal 2005, juga mendapat gelar kehormatan OBE dari ratu Inggris Raya pada tahun 1998.
Dalam pembukaan pemaparannya beliau menyampaikan merasa terhormat dapat hadir diundang sebagai pembicara, beliu menyampaikan ucapan selamat kepada presiden terpilih Joko Widodo dan mendoakan untuk kesuksesan dalam masa kepemimpinannya yang akan datang.
Secara garis besar isi dari pemaparan Dr. Iftikhar Ahmad Ayaz membahas mengenai bangsa Indonesia dan tantangannya sebagai negara multikultural yang di masa depan memiliki potensi untuk menjadi model bagi negara lain sebagai negara bependuduk muslim terbesar yang menganut sistem demokrasi.
Dr. Iftikhar Ahmad Ayaz juga memberi apresiasi kepada Bapak pendiri bangsa Presiden Ir. Soekarno atas gagasanya 5 prinsip yang menjadi dasar negara yaitu pancasila. Beliau juga menyinggung falsapah “Bhineka Tunggal Ika” sebagai modal berharga bangsa Indonesia mempertahankan persatuan dan kesatuan dalam bingkai negara yang terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, ras dan kebudayaan.
Di akhir pemaparannya Dr. Iftikhar Ahmad Ayaz mengutip ayat Al Quran 59;24 sebagai pedoman kaum muslim bahwa menurut Al Quran sumber sejati dari perdamaian adalah Allah SWT dan hanya dengan berusaha membangun hubungan sejati semata dengan Allah SWT maka akan terwujud perdamaian sesungguhnya. Beliau menasehatkan bahwa kita harus mengikuti jalan ketaqwaan bukan hanya mengikuti pemimpin politik semata, sebagai penutup pemaparannya beliau mendoakan semoga bangsa Indonesia dilimpahkan karunia kekayaan rohani bukan semata kekayaan duniawi.
Pembicara kedua Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin Dosen fakultas Hukum dan Syariah UIN Sunan Kalijaga yang juga sebagai anggota komisi Hak Azasi Manusia OKI (Organization of Islamic Cooperation) menyampaikan tentang bagaimana Indonesia dapat bertahan dari tantangan disintegrasi dengan tiga modalitas, yaitu pertama bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa mayoritas penduduknya adalah moderat, kedua bangsa Indonesia menganut paham modernitas dan rasionalitas dalam hal keagamaan tidak menganut paham kefanatikan seorang tokoh (Mulahisme) dan modalitas yang ketiga adalah warga negara Indonesia memiliki komitmen yang besar pada Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menyinggung soal MUI Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin menyatakan bahwa fatwa MUI tidak mengikat dan tidak memiliki kekuatan hukum, MUI adalah organisasi massa sama halnya dengan organisasi Islam lainnya. Aparat negara harus diingatkan kedudukan MUI dalam kehidupan beragama, negara tidak memiliki hak dalam pembinaan agama karena hal itu merupakan domain dari organisasi keagamaan bagi pemeluknya.
Ketiga model yang telah disebutkan diatas saat ini tengah diperjuangkan oleh Dr.Siti Ruhaini Dzuhayatin kepada negara muslim lainya sebagai model negara muslim demokratis. "Indonesia merupakan negara demokrasi yang unik dimana meskipun sebagai negara dengan jumah populasi muslim terbesar namun tidak menganut paham negara Islam. Meskipun terdapat dominasi satu suku bangsa namun tidak menjadi identitas tunggal negara Indonesia, keragaman dipersatukan sebagai kekuatan dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika" Dra. Siti Ruhaini menambahkan.
Dr. Iftikhar Ahmad Ayaz sebagai pembicara utama dalam Simposium ini merupakan seorang tokoh tekemuka Jemaat Ahmadiyah, beliau merupakan praktisi yang bekerja dalam memperjuangkan hak-hak minoritas dan intensif dalam resolusi konflik. Bekerja dalam berbagai organisasi PBB seperti FAO, UNESCO, UNDP dan Komisi Perdamaian Internasional. Beilau juga menjabat posisi tinggi dalam Commonwealth Network dan telah meraih berbagai macam penghargaan diantaranya ‘Man Of The Year 2010’ dalam Hak Azasi Manusia, World Freedom Medal 2005, juga mendapat gelar kehormatan OBE dari ratu Inggris Raya pada tahun 1998.
Dalam pembukaan pemaparannya beliau menyampaikan merasa terhormat dapat hadir diundang sebagai pembicara, beliu menyampaikan ucapan selamat kepada presiden terpilih Joko Widodo dan mendoakan untuk kesuksesan dalam masa kepemimpinannya yang akan datang.
Secara garis besar isi dari pemaparan Dr. Iftikhar Ahmad Ayaz membahas mengenai bangsa Indonesia dan tantangannya sebagai negara multikultural yang di masa depan memiliki potensi untuk menjadi model bagi negara lain sebagai negara bependuduk muslim terbesar yang menganut sistem demokrasi.
Dr. Iftikhar Ahmad Ayaz juga memberi apresiasi kepada Bapak pendiri bangsa Presiden Ir. Soekarno atas gagasanya 5 prinsip yang menjadi dasar negara yaitu pancasila. Beliau juga menyinggung falsapah “Bhineka Tunggal Ika” sebagai modal berharga bangsa Indonesia mempertahankan persatuan dan kesatuan dalam bingkai negara yang terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, ras dan kebudayaan.
Di akhir pemaparannya Dr. Iftikhar Ahmad Ayaz mengutip ayat Al Quran 59;24 sebagai pedoman kaum muslim bahwa menurut Al Quran sumber sejati dari perdamaian adalah Allah SWT dan hanya dengan berusaha membangun hubungan sejati semata dengan Allah SWT maka akan terwujud perdamaian sesungguhnya. Beliau menasehatkan bahwa kita harus mengikuti jalan ketaqwaan bukan hanya mengikuti pemimpin politik semata, sebagai penutup pemaparannya beliau mendoakan semoga bangsa Indonesia dilimpahkan karunia kekayaan rohani bukan semata kekayaan duniawi.
Pembicara kedua Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin Dosen fakultas Hukum dan Syariah UIN Sunan Kalijaga yang juga sebagai anggota komisi Hak Azasi Manusia OKI (Organization of Islamic Cooperation) menyampaikan tentang bagaimana Indonesia dapat bertahan dari tantangan disintegrasi dengan tiga modalitas, yaitu pertama bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa mayoritas penduduknya adalah moderat, kedua bangsa Indonesia menganut paham modernitas dan rasionalitas dalam hal keagamaan tidak menganut paham kefanatikan seorang tokoh (Mulahisme) dan modalitas yang ketiga adalah warga negara Indonesia memiliki komitmen yang besar pada Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menyinggung soal MUI Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin menyatakan bahwa fatwa MUI tidak mengikat dan tidak memiliki kekuatan hukum, MUI adalah organisasi massa sama halnya dengan organisasi Islam lainnya. Aparat negara harus diingatkan kedudukan MUI dalam kehidupan beragama, negara tidak memiliki hak dalam pembinaan agama karena hal itu merupakan domain dari organisasi keagamaan bagi pemeluknya.
Ketiga model yang telah disebutkan diatas saat ini tengah diperjuangkan oleh Dr.Siti Ruhaini Dzuhayatin kepada negara muslim lainya sebagai model negara muslim demokratis. "Indonesia merupakan negara demokrasi yang unik dimana meskipun sebagai negara dengan jumah populasi muslim terbesar namun tidak menganut paham negara Islam. Meskipun terdapat dominasi satu suku bangsa namun tidak menjadi identitas tunggal negara Indonesia, keragaman dipersatukan sebagai kekuatan dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika" Dra. Siti Ruhaini menambahkan.
Pembicara ketiga adalah Romo Patrick Edward Charlie kelahiran Irlandia tinggal diperkampungan pesisir pantai Cilacap, dalam pemaparannya beliau lebih banyak menceritakan pengalaman hidupnya bagaimana yang dari awalnya ia ditentang oleh warga karena keyakinannya kini berubah setelah melakukan pendekatan kepada warga masyarakat melalui pembangunan infrastruktur umum yang bermanfaat bagi warga dan melibatkan warga masyarakat dalam pengerjaannya. Melalui proyek padat karya pembangunan infrastruktur inilah menurut Romo dapat menciptakan suasana damai dalam lingkungannya.
Pembicara penutup di sesi pertama adalah Dra. Khofifah Indar Parawansa pernah menjabat sebagai Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan pada kabinet Persatuan Nasional (1999-2001). Dalam pemaparannya beliau menyampaikan bahwa melihat gejala konfik di timur tengah ukhuwah islamiyah semata tidaklah cukup, ukhuwah watoniyah atau persaudaraan kebangsaan merupakan perekat kehidupan bangsa Indonesia.
Setelah istirahat shalat dan makan siang sesi kedua dilanjutkan dengan menghadirkan empat orang pembicara yaitu Drs Udin M.Pd, AllisaWahid, Lambang Triyono dan Prof Dr Sunyoto Usman. Pada sesi kedua ini pembicara merupakan praktisi atau mereka yang memiliki pengalaman langsun dalam hal konflik keberagaman.
Drs. Udin M.Pd merupakan salah satu korban konflik Jemaat Ahmadiyah di Lombok, rumah beliau turut megalami perusakan dan kini beliau menjabat sebagai Ketua Jemaat Ahmadiyah Mataram. Selama 7 tahun terakhir anggota Jemaat Ahmadiyah telah tinggal di pengungsian asrama Transito, melalui upaya berbagai kegiatan sosial kemanusiaan yang dilakukan oleh Jemaat Ahmadiyah di Lombok kini hubungan anggota Jemaat Ahmadiyah Lombok dengan warga sekitar asrama Transito mulai berubah. Jemaat Ahmadiyah mulai diterima warga masyarakat salah satunya adalah melalui kegiatan bersama donor darah.
Allisa Wahid salah seorang putri dari mantan presiden Almarhum Abdurahman Wahid menjadi pembicara berikutnya, beliau merupakan salah seorang aktivis kemanusian. Jaringan GusDurian yang dikembangkannya kini telah menjangkau jaringan luas bahkan sampai luar negeri. Pemikiran warisan Bapak bangsa Gus Dur menjadi ciri dari pergerakan jaringan Gus Durian dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan berbangsa dan bernegara terutama dalam hal kebebasan beragama dan berkeyakinan, 4 platform perjuangan Gus Durian disampaikan dalam pemaparan yaitu basis teologis, resiliensi masyarakat, poros membangun kultur inklusif damai dan memperjuangan hak asasi.
Acara simposium yang dimulai pada pukul 9.00 WIB berakhir pada pukul 15.30 dengan pembacaan rangkuman oleh Nazib Azca koordinator acara. Dari sekitar 150 tempat duduk yang disediakan oleh panitia semua terisi penuh dan panitia mendatangkan kursi tambahan untuk memfasilitasi peserta yang hadir belakangan.
Peserta yang hadir baik undangan maupun yang mendaftarkan diri berasal dari berbagai latar belakang, mulai dari akaemisi, aktivis sosial, aliansi kebebasan beragama dan berkeyakinan, professional sampai pelajar. Beberapa media massa lokal maupun media kampus turut hadir melakukan liputan, tidak ketinggalan MTA Internasional Studio Indonesia milik Jemaat Ahmadiyah meliput acara secara keseluruhan dan berencana untuk sesegera mungkin menyiarkannya melalui MTA Internasional yang berpusat di London Inggris.
Doni Sutriana
Pembicara penutup di sesi pertama adalah Dra. Khofifah Indar Parawansa pernah menjabat sebagai Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan pada kabinet Persatuan Nasional (1999-2001). Dalam pemaparannya beliau menyampaikan bahwa melihat gejala konfik di timur tengah ukhuwah islamiyah semata tidaklah cukup, ukhuwah watoniyah atau persaudaraan kebangsaan merupakan perekat kehidupan bangsa Indonesia.
Setelah istirahat shalat dan makan siang sesi kedua dilanjutkan dengan menghadirkan empat orang pembicara yaitu Drs Udin M.Pd, AllisaWahid, Lambang Triyono dan Prof Dr Sunyoto Usman. Pada sesi kedua ini pembicara merupakan praktisi atau mereka yang memiliki pengalaman langsun dalam hal konflik keberagaman.
Drs. Udin M.Pd merupakan salah satu korban konflik Jemaat Ahmadiyah di Lombok, rumah beliau turut megalami perusakan dan kini beliau menjabat sebagai Ketua Jemaat Ahmadiyah Mataram. Selama 7 tahun terakhir anggota Jemaat Ahmadiyah telah tinggal di pengungsian asrama Transito, melalui upaya berbagai kegiatan sosial kemanusiaan yang dilakukan oleh Jemaat Ahmadiyah di Lombok kini hubungan anggota Jemaat Ahmadiyah Lombok dengan warga sekitar asrama Transito mulai berubah. Jemaat Ahmadiyah mulai diterima warga masyarakat salah satunya adalah melalui kegiatan bersama donor darah.
Allisa Wahid salah seorang putri dari mantan presiden Almarhum Abdurahman Wahid menjadi pembicara berikutnya, beliau merupakan salah seorang aktivis kemanusian. Jaringan GusDurian yang dikembangkannya kini telah menjangkau jaringan luas bahkan sampai luar negeri. Pemikiran warisan Bapak bangsa Gus Dur menjadi ciri dari pergerakan jaringan Gus Durian dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan berbangsa dan bernegara terutama dalam hal kebebasan beragama dan berkeyakinan, 4 platform perjuangan Gus Durian disampaikan dalam pemaparan yaitu basis teologis, resiliensi masyarakat, poros membangun kultur inklusif damai dan memperjuangan hak asasi.
Acara simposium yang dimulai pada pukul 9.00 WIB berakhir pada pukul 15.30 dengan pembacaan rangkuman oleh Nazib Azca koordinator acara. Dari sekitar 150 tempat duduk yang disediakan oleh panitia semua terisi penuh dan panitia mendatangkan kursi tambahan untuk memfasilitasi peserta yang hadir belakangan.
Peserta yang hadir baik undangan maupun yang mendaftarkan diri berasal dari berbagai latar belakang, mulai dari akaemisi, aktivis sosial, aliansi kebebasan beragama dan berkeyakinan, professional sampai pelajar. Beberapa media massa lokal maupun media kampus turut hadir melakukan liputan, tidak ketinggalan MTA Internasional Studio Indonesia milik Jemaat Ahmadiyah meliput acara secara keseluruhan dan berencana untuk sesegera mungkin menyiarkannya melalui MTA Internasional yang berpusat di London Inggris.
Doni Sutriana
0 komentar:
Post a Comment