“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya) – Al-Baqarah, 256
Dengan menelaah ayat ini juga diketahui, bahwa golongan Wujudi sudah jauh menyimpang dari kebenaran, dan mereka telah keliru dalam memahami Sifat-sifat Ilahi. Mereka tidak dapat mengetahui bahwa mereka itu keliru mengenaijalinan hubungan antara manusia dengan Tuhan.
Hal yang sebenarnya adalah, tokoh-tokoh ahli kasyaf yang telah berlalu dari antara mereka, ada yang melakukan mujahadah (upaya gigih) sedemikian rupa untuk mengetahui [rahasia-rahasia Ilahi], namun mereka tidak dapat membedakan hubungan antara hamba dengan Tuhan, dan mereka pun menganut paham bahwa semua benda yang ada ini merupakan Tuhan.
Quran Syarif turun ke dalam kalbu lalu tampil melalui lidah, dan begitu hebatnya hubuungannya dengan kalbu sehingga kalbu itu mengikuti Kalam Ilahi. Mereka dapat tergelincir dalam pembahasan yang sangat halus ini, namun tatkala manusia melangkahkan kaki berdasarkan suatu kesalahpahaman maka ia akan terperangkap dalam jeran-jeratan kesulitan.
Sebagaimana baru saja aku terangkan, kekuasaan Allah Ta’ala tas manusia demikian halusnya (rincinya), sehingga tidak ada satu kekuatan pun yang dapat menjelaskannya. Dan kalau memang demikian maka tentu ke-Tuhan-annya dan sifat-sifat sempurna-Nya tidak tertera di dalam Al-Quran. Kondisi kita yang tidak ada (non eksis) ini membuat keberadaan Wujud-Nya. Dan ini memang benar, tatkala dari segala aspek manusia itu tidak mempunyai ikhtiar (kuasa) berarti manusia tidak ada (non eksis). Sebagian orang tidak memahami rahasia yang mendalam ini lalu mulai mengatakan bahwa semua benda yang ada inilah merupakan ‘aīn/(inti [Tuhan].
Dari antara golongan Wujudi dan Syuhidi, golongan pertama inilah yang mengatakan dan percaya bahwa semua benda merupakan tuhan, sedangka golongan yan kedua adalah mereka yang mengakui fana nazhiri (larut dalam Sifat-sifat Tuhan - ?), dan mereka mengatakan bahw manusia dapat tenggelam (larut) dalam kecintaan sedemikian rupa, sehingga manusia dapat mencapai tahap fana fillah (melebur di dalam Allah secararuhani)….
Walaupun demikian mereka memang harus mengakui kekuasaan Ilahi. Tidak peduli apakah itu golongan Wujudi maupun Syuhudi. Beberapa tokoh utama mereka darai Bayazid Bustami sampai Syibli, dan dari Dzun Nun hingga Muhyiddin Ibnu Arabi, umumnya ucapan-ucapan mereka adalah demikian, yakni ada sebagian yang secara zahir mengarah pada hal itu dan ada pula yang secara terselubung.
Aku secara terbuka ingin mengatakan, bahwa kita tidak berhak untuk memandang mereka dengan cemoohan. Tidak, tidak. Mereka adalah orang-orang berakal, masalahnya adalah ini merupakan suatu rahasia makrifat yang sangat halus dan mendalam, hubungannya telah terlepas dari sentuhan [mereka]. Hanya demikian masalahnya, tidak lebih dari itu.
Di atas kekuasaan tertinggi Allah Ta’ala, manusia tampak sebagai zat-zat yang fana (binasa/tidak kekal). Nah, mereka memandang (menganggap) manusia seperti itu, dan dari mulut mereka keluar ucapan-ucapan demikian, sedangkan pikiran berpaling ke tempat lain. Jadi, camkanlah hal ini baik-baik di dalam hati, bahwa dengan batin yang bersih manusia dapat mencapai maqam (derajat) tersebut -- (sebagaimana Nabi Karim saw. telah mencapai derajat yang paling tinggi dalam hal itu) – yaitu suatu derajat dimana manusia memperoleh kemampuan-kemampuan Ilahi. Namun demikian tetap terdapat suatu perbedaan antara Khāliq (Pencipta) dengan makhluq (yang diciptakan), dan itu suatu perbedaan yang besar, hendaknya [perbedaan] itu jangan pernah 'dihapuskan dari kalbu.
Manusia tidak terlepas darikebutuhan-kebutuhan wujudnya. Tidak di dunia ini, dan tidak pula di akhirat sana, makan dan minum. Ada kebutuhan-kebutuhan hidup. Ada yang besar-besar, dan ada yang kecil . Dan seperti itu pula di alam mendatang, sebagian akan berada di neraka dan sebagian di surga abadi. Ringkasnya, manusia kapan pun tidak dapat keluar dari kondisi makhluk. Oleh karena itu aku jadi tidak mengerti ada tabir apa yang dengan terhapusnya tabir itu tiba-tiba manusia dapat menjadi tuhan? Para tokoh zahid dan mujahid besar, mereka tetap saja berada dalam kondisi sebagai makhluk (hamba).
(Malfuzhat, jld. I, hlm. 116-117).
0 komentar:
Post a Comment