Ahmadiyya Priangan Timur

.

Tuesday 20 May 2014

Tantangan Mubahalah Kepada Maulvi Sanaullah

Salah satu keberatan yang dialamatkan kepada Pendiri Jemaat Ahmadiyah adalah, bahwa beliau telah mengajukan sebuah doa untuk menantang (mubahalah) Maulvi Sanaullah yaitu, jika di antara mereka berdua salah satunya adalah orang yang sesat dan palsu, maka ia akan menemui ajalnya di masa hidup orang yang benar. Para penentang Ahmadiyah beranggapan karena Hz. Masih Mau’ud a.s. wafat lebih dulu dari Maulvi Sanaullah, maka beliau terbukti sebagai seorang pendusta dan sesat. Anggapan itu keliru dan tidak pada tempatnya. Sebelum memasuki pembahasan yang sesungguhnya, lebih dulu disampaikan beberapa aspek mengenai mubahalah
(pertandingan doa) sebagai berikut:
(i) Apakah latar belakang adanya mubahalah antara Hz. Mirza Ghulam Ahmad a.s. dengan Maulvi Sanaullah?
(ii) Siapakah yang pertama kali mengundang mubahalah dan siapakah yang menerima atau menolak mubahalah itu?
(iii) Syarat-syarat mubahalah apa yang disetujui oleh kedua belah pihak?
(iv) Keputusan Tuhan seperti apa yang ditampilkan-Nya terhadap proses mubahalah itu?

Latar Belakang Mubahalah
Pada awalnya, tantangan mubahalah diajukan oleh Hz. Masih Mau’ud a.s. seperti ditemukan dalam buku beliau Anjam-e- Aatham yang diterbitkan pada tahun 1897 (Anjam-e-Aatham, Ruhani Khazain, Vol. 11, hlm. 45-72).
Saat itu Hz. Masih Mau’ud a.s. berumur 62 tahun dan Maulvi Sanaullah yang berasal dari Amritsar adalah seorang muda berusia 29 tahun. Daftar nama para ulama yang diajak bermubahalah oleh Hz. Masih Mau’ud a.s. telah dilampirkannya dalam buku Anjam-e-Aatham, dan dalam daftar itu terdapat nama Maulvi Sanaullah pada urutan nomor 11.
Maulvi Sanaullah diam beberapa tahun lamanya tidak menanggapi tantangan tersebut. Setelah sekitar lima tahun lamanya, para pendukungnya mulai menekan dia untuk menanggapi mubahalah itu. Untuk pertama kalinya setelah lima tahun diam seribu bahasa, akhirnya ia menerima tantangan Hz. Masih Mau’ud a.s. yang ditulisnya dalam salah satu karangannya. Menanggapi hal itu, Hz. Masih Mau’ud a.s. kemudian menulis dalam buku Ijaz Ahmadi yang diterbitkan pada tahun 1902, sebagai berikut:
“Saya telah melihat pemberitahuan Maulvi Sanaullah dari Amritsar yang menyatakan ia memiliki keinginan yang tulus untuk suatu keputusan, bahwa ia dan saya seyogyanya berdoa sehingga salah seorang di antara kita yang berdusta akan menemui ajal semasa hidup orang yang benar.” (Ijaz Ahmadi, Ruhani Khazain, Vol. 19, hlm. 121)
Meskipun saat itu Maulvi Sanaullah berumur 34 tahun dan Hz. Masih Mau’ud a.s. berumur 67 tahun, beliau a.s. tanpa raguragu, dengan bersandarkan kepada Tuhan Yang Maha Perkasa, menyatakan menerima tantangan Maulvi Sanaullah. Beliau menyatakan:
“Jika ia terus mengejar dan bersikukuh pada tantangannya dan si pendusta akan menemui ajalnya lebih dahulu dari yang benar, maka pastilah ia yang pertama akan menemui ajalnya.”
(Ijaz Ahmadi, Ruhani Khazain, Vol. 19, hlm. 148)
Ada suatu indikasi yang jelas dalam kalimat di atas bahwa Maulvi Sanaullah diharapkan menanggapi secara terbuka mubahalah itu, yang mana kondisinya ditetapkan sesuai dengan doanya sendiri. Terlihat dugaan Hz. Masih Mau’ud a.s., seandainya Maulvi Sanaullah menetapkan kondisinya, ia akan mangkir dari apa yang akan ditetapkannya, dan untuk mempersiapkan hal tersebut kemudian beliau menulis sebagai berikut:
“Ia telah datang dengan usulan yang baik, sekarang lihatlah apakah ia tetap berpegang pada hal itu.” (Ijaz Ahmadi, Ruhani Khazain, Vol. 19, hlm. 122)
Maulvi Sanaullah Membisu
Hendaknya perlu diingat bahwa kejadian tersebut terjadi pada tahun 1902, dan buku Ijaz Ahmadi diterbitkan pada bulan November di tahun yang sama. Menanggapi hal itu, Maulvi Sanaullah menerbitkan sebuah buku berjudul Ilhamat Mirza (Wahyu-Wahyu Mirza), ia menulis:
“Saya tidak pernah mendakwakan diri seperti Anda bahwa saya adalah seorang nabi, atau seorang rasul, atau seorang anak Tuhan, atau seorang penerima wahyu. Saya tidak dapat, oleh karena itu tidak berani untuk ikut dalam pertandingan semacam itu. Perkataan Anda jika saya mati sebelum Anda, Anda akan menyatakan bahwa [itu] adalah sebagai bukti kebenaran Anda dan jika Anda mati sebelum saya, maka siapakah yang akan pergi ke kuburan Anda untuk diminta pertanggungjawabannya? Itulah sebabnya mengapa Anda mengemukakan tantangan yang konyol itu. Saya menyesal, bagaimanapun juga, saya tidak berani ikut dalam kontroversi seperti itu dan kurangnya keberanian saya ini bukanlah sumber kehinaan, namun merupakan sumber kehormatan bagi saya.” (Ilhamat Mirza, hlm. 116)
Tulisan ini mencerminkan alasan mangkirnya Maulvi Sanaullah untuk menghadapi tantangan Hz. Mirza Ghulam Ahmad a.s., yang mana ia seharusnya menampilkan doa sesuai yang ditentukan, sehingga akhirnya dugaan beliau sebelumnya terbukti benar, yaitu: “…sekarang lihatlah apakah ia tetap berpegang pada hal itu.” Perlu diingat bahwa Hz. Masih Mau’ud a.s. saat itu berumur 67 tahun dan Maulvi Sanaullah berumur 34, dan ternyata terbukti Maulvi Sanaullah tidak berpegang pada ketentuan yang seharusnya ada dalam pertandingan doa (mubahalah).
Tantangan Semu
Lima tahun telah berlalu setelah kejadian tahun 1902 seperti dijelaskan di atas, dan tidak ada pernyataan dari Maulvi Sanaullah apakah ia menerima atau menolak untuk tetap memanjatkan doanya. Namun, sekali lagi, pada tanggal 29 Maret 1907 di surat kabar Ahlul Hadits, Maulvi Sanaullah memunculkan lagi persoalan mubahalah dan kembali menantang Hz. Masih Mau’ud a.s. dan para pengikutnya. Perkataannya:
“Para pengikut Mirza, jika kalian benar, datang dan bawalah gurumu bersama kalian. Di tempat yang sama, ada yang dinamakan Idgah dari Amritsar, di mana kalian sebelumnya telah mengalami kehinaan dari langit dalam suatu mubahalah dengan Sufi Abdul Haq Ghaznawi yang masih ada di sana. Bawalah dia yang telah menantang kami ber-mubahalah di dalam bukunya Anjam-e-Aatham itu dan hadapkanlah dia dengan saya, sebagaimana tidak adanya keputusan akhir dari nabi, tak ada sesuatu pun yang dapat mengikat semua pengikutnya untuk waktu yang lama.” (Ahlul Hadits, 29 Maret 1907)5
Perlu untuk diingatkan kembali bahwa buku Anjam-e-Aatham diterbitkan tahun 1897, dan Maulvi Sanaullah kembali mengingatkan suatu tulisan yang dibuat 10 tahun yang lalu. Apa alasannya ia berbuat seperti itu? Mengapa ia mengabaikannya selama 10 tahun? Ketika dulu tantangan ditampilkan oleh Hz. Masih Mau’ud a.s., ia memilih diam. Lalu, mengapa baru sekarang ia menerima tantangan itu setelah 10 tahun lamanya dengan cara mengatakan kepada para pengikut Hz. Masih Mau’ud a.s.: “Bawalah dia yang telah menantang kami ber-mubahalah di dalam bukunya Anjam-e-Aatham itu dan hadapkanlah dia dengan saya?”
Hal itu membuktikan bahwa Maulvi Sanaullah mungkin berasumsi Masih Mau’ud a.s. tidak akan menaruh perhatian lagi pada tantangan yang sudah kadaluwarsa, dan beliau mungkin akan melepaskan dirinya dari situasi yang tidak menguntungkan itu karena masalah kesehatan serta umurnya yang sudah tua. Ketika Masih Mau’ud a.s. membaca pernyataan Maulvi Sanaullah, beliau meminta editor Al-Badar6 untuk mengumumkan:
“Untuk menjawab tantangannya, saya ingin menyampaikan kepada Maulvi Sanaullah berita gembira bahwa Hadhrat Mirza Sahib (Masih Mau’ud) telah menerima tantangannya.” (Badar, 4 April 1907)7 Selanjutnya Hz. Masih Mau’ud a.s. menerbitkan lagi suatu pengumuman pada tanggal 15 April 1907 dengan judul: Keputusan Akhir dengan Maulvi Sanaullah, di bawah judul itu disimpulkan dengan pernyataan sebagai berikut:
“Sekarang Maulvi Sanaullah boleh menulis apa pun tanggapannya yang ia suka. Dalam hal ia menerima tantangan untuk ber-mubahalah, ia seyogyanya menuliskannya dengan disertai tanda tangannya.”
Penolakan Maulvi Sanaullah
Pengumuman itu membuat gusar Maulvi Sanaullah dan dalam ketakutannya ia menyatakan:
“Saya tidak menantang Anda untuk ber-mubahalah, saya hanya menyatakan keinginan saya untuk bersumpah, namun Anda menyebutnya sebagai suatu mubahalah, di mana suatu mubahalah adalah melibatkan pihak-pihak yang bersumpah yang berhadapan antara satu dengan lainnya. Saya telah menyatakan kesediaan saya untuk bersumpah dan tidak membuat suatu tantangan untuk ber-mubahalah. Membuat suatu persumpahan secara sepihak adalah satu hal dan mubahalah adalah soal lain.” (Ahlul Hadits, 19 April 1907)
Selanjutnya, Maulvi Sanaullah menulis sebagai berikut: “Al-Qur’an menyatakan bahwa orang-orang yang berbuat kezaliman mendapat kelonggaran dari Tuhan. Sebagai contoh dikatakan:  
“Barangsiapa berada dalam kesesatan, maka biarlah Yang Maha Pemurah memperpanjang tempo baginya” (19:76), dan: “Kami memberikan kelonggaran bagi mereka sehingga mereka dapat memperbanyak dosanya” (3:179); “Tuhan akan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka” (2:16); dan: “Sebenarnya Kami telah memberi mereka dan bapak-bapak mereka kenikmatan hingga panjanglah umur mereka” (21:45).
Semua itu secara jelas berarti bahwa Tuhan Yang Maha Perkasa, memberikan kelonggaran dan menganugerahkan umur panjang bagi para pendusta, penipu, pembuat keonaran dan para pemberontak, sehingga selama masa kelonggarannya mereka menambah perbuatan zalim mereka.” (Ahlul Hadits, 26 April 1907)
Dengan demikian Maulvi Sanaullah tidak hanya menolak tantangan Hz. Masih Mau’ud a.s. untuk ber-mubahalah, melainkan ia telah mengemukakan suatu prinsip bahwa para pendusta, penipu, perusuh dan pemberontak diberikan umur yang panjang. Oleh sebab itu Tuhan Yang Maha Perkasa telah menetapkan dan memberikan umur panjang kepada Maulvi Sanaullah sesuai dengan prinsip yang ia kemukakan sendiri dan menurutnya telah membuahkan datangnya ajal Masih Mau’ud a.s. lebih dulu, dengan demikian memperkuat apa yang dikatakannya sendiri bahwa ia adalah seorang perusuh dan pemberontak serta ia adalah seorang pendusta dan penipu.
Dengan kata lain, karena Maulvi Sanaullah telah menolak secara tidak langsung ajakan Hz. Masih Mau’ud a.s. untuk bermubahalah, maka ia telah diberikan umur panjang oleh Allah Ta’ala untuk memperkuat dan membenarkan apa yang dikatakannya sendiri bahwa seorang pendusta, penipu, pembuat onar dan lain-lain akan diberikan oleh Tuhan kelonggaran waktu dan umur yang lebih panjang dari orang yang dituduhkannya.
Dalam sejarah Islam tercatat tentang Musailimah al-Kadzdzab yang semasa hidupnya mengatakan Hz. Rasulullah s.a.w. sebagai nabi palsu, juga diberikan umur yang lebih panjang dari Hz. Rasulullah s.a.w. dan ia diberikan kelonggaran waktu sampai tiba saatnya ia mendapatkan azab atas perbuatannya sendiri, yaitu berkoalisi dengan Banu Hanifah untuk mengadakan pemberontakan dengan kekuatan militer yang bertujuan untuk memusnahkan Jemaat Islam dan sendi-sendi masyarakat Islam yang baru tumbuh berkembang sepeninggal Nabi s.a.w. Musailimah dan sekutunya kemudian dihancurkan oleh pasukan Islam di bawah komando Hz. Khalid bin Walid r.a. atas perintah Khalifah Rasulullah, Hz. Abu Bakr Shiddiq r.a.
Kehidupan Maulvi Sanaullah
Pada akhirnya dapat kita temukan bagaimana kehidupan Maulvi Sanaullah sepeninggal Hz. Masih Mau’ud a.s. sebagai berikut: Surat kabar Al-Ihtesham tanggal 15 Juni 1962 memberitakan:
“Pada bulan Agustus 1947, di Amritsar terjadi suatu peristiwa kiamat kecil. Kematian, kerusuhan yang bagaikan badai menimpa dan melumatkan kediaman Maulana Sanaullah, meskipun ia berhasil menyelamatkan diri dan keluarganya, satu anaknya yang masih muda yaitu Ataullah dengan sadis dibantai di depan matanya dan ketakutan serta dukanya menyayat habis hidupnya…”
Selanjutnya kita temukan keterangan yang dibuat oleh Maulvi Abdul Majid Sohdarvi, penulis biografi Maulvi Sanaullah, dalam bukunya Sirat-e-Sanai sebagai berikut:
“Segera setelah ia keluar meninggalkan rumahnya, banyak gelandangan dan penjarah menunggu kesempatan untuk menyapu bersih rumahnya dan mereka mengambil semuanya, termasuk perabotan rumah, uang dan perhiasan. Setelah menjarah dan merampok, mereka membakar rumah itu. Itu belum selesai. Para penjarah kemudian mengambil api dan membakar ribuan koleksi buku-bukunya yang sangat berharga dan langka. Penderitaan yang sangat berat dan hilangnya buku-buku tersebut bagi Maulana sama menderitanya seperti kehilangan anak laki-laki satu-satunya. Beberapa bukunya merupakan buku yang sangat langka sehingga mustahil untuk mendapatkannya kembali.”
“Kedukaan yang hebat ini tetap bersama Maulana sampai nafas terakhir dalam hidupnya. Dua peristiwa tragis itu, terbakarnya koleksi buku-bukunya dan kematian anak laki-laki yang semata wayang, terbukti menjadi penyebab kematiannya yang mendadak.” (Sirat-e-Sanai, hlm. 389-390)
Itulah yang dikatakan oleh Maulvi Abdul Majid dalam buku Sirat-e-Sanai. Hal itu benar-benar merupakan suatu pemaparan yang penuh penderitaan dan pada akhirnya yang tersisa hanya kesedihan dan penyesalan atas takdir yang menimpa hidup Maulana. Namun faktanya, takdir itu memang sesuai dengan perkataannya sendiri dan takdir itu telah diputuskan oleh-Nya untuk digenapi, dengan demikian hal tersebut merupakan takdir dan kenyataan sejarah yang sesungguhnya dari peristiwa mubahalah tersebut.

0 komentar:

Post a Comment