Ahmadiyya Priangan Timur

.

Wednesday 18 February 2015

MASALAH WIHDATUL WUJUD

Ini adalah kondisi dimana orang-orang tidak sepenuhnya menempuh jenjang-jengajang suluk dalama meraih qurub Ilahi (kedekatan dengan Tuhan), yakni kemungkinan mereka tergelincir, atau mereka tidk mengenal [hakikat] Ilahi serta tidak memahami qurub Ilahi (kedekatan dengan Tuhan), sehingga timbul kesalahpahaman, lalu mereka membentuk [paham kepercayaan] Wihdatul Wujud (kesatuan dalam Zat).

Hal ini pun hendaknya jangan sekali-kali dilupakan, bahwa dimana saja manusia terpuruk dalam kesalahan, perbuatan itu tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Keridhaan Allah Ta’ala bertentangan dengan hal itu. Orang yang demikian berada di bawah dorongan-dorongan kehendak-kehendaknya sendiri, bukan di bawah kehendak Ilahi. 

Namun manusia yang dinamakan (sahabat Allah) – dan Tuhan menjadi penanggungjawab hidupnya -- dia itulah yang setiap gerakan dan diamnya tidak pernah bertentangan dengan Kitab Ilahi. Setiap hal dan kehendaknya dia sesuaikan dengan Kitab Ilahi, dan dia meminta pendapat dari Kitab Ilahi. Kemudian dikatakan [mengenai orang itu] bahwa Allah Ta’ala sangat bimbang untuk mencabut nyawa orang tersebut. 

Allah Ta’ala suci dari kebimbangan, artinya di sini adalah bahwa untuk suatu hikmah tertentu kepada orang seperti itu diberikan maut (kematian), dan untuk suatu hikmah agung sanga wali itu di bawah kea lam berikutnya. Jika tidak, sebenarnya Allah Ta’ala Allah sangat senang terhadap kelanggengan (keabadian) orang itu [di dunia]. 

Jadi, jika manusia tidak memiliki kehidupan sedemikian rupa -- yang Allah Ta’ala “merasa ragu” untuk mencabut nyawanya -- berarti ia lebih buruk daripada hewan-hewan. Sebab dari seekor kambing banyak orang yang dapat hidup. Kulitnya pun berguna. Manusia [bejad] dalam kondisi apa pun -- apalagi kalau mati -- tidak berguna untuk apa pun. Namun seorang manusia salih pengaruhnya mengena sampai kepada anak-anak keturunannya dan mereka mengambil manfaat dari itu.

Sebenarnya, padahakikatnya [orang salih] itu tidak mati. Kalau pun mati kepadanya diberikan suatu kehidupan baru. Hadhrat Daud a.s. mengatakan:

“Aku dahulu anak kecil, lalu kini sudah tua. Aku tidak pernah melihat seorang penyembah Tuhan berada dalam kondisi hina, dan tidak pula aku melihat anak-anaknya mengemis meminta makanan.”

Tampak bahwa Allah Ta’ala juha bertanggungjawab terhadap anak-anak keturunan orang mutaki (bertakwa). Namun di dalam hadits disebutkan, bahwa seorang yang zalim (anaiaya) ia telah berbuat zalim terhadap anak-istrinya, sebab pengaruh buruknya juga mengena kepada diri mereka” 

(Malfuzhat, jld. I, hlm. 182-183). 

0 komentar:

Post a Comment