Ahmadiyya Priangan Timur

.

Sunday, 22 February 2015

HUBUNGAN RUH DENGAN KUBUR

Pada tanggal 15 Januari 1899, Maulvi Quthbuddin Sahib bertanya: “Dikatakan bahwa ruh mempunyai hubungan dengan kubur. Bagaimana sebenarnya hal itu?” Hadhrat Masih Mau’ud a.s. menjelaskan:

Sebenarnya yang dipaparkan dalam hadits-hadits Rasulullah saw. mengenai hubungan ruh dengan kubur, sungguh benar dan tepat. Ya, ini memang suatu perkara lain lagi, yakni apa hakikat dan makna hubungan itu? Yaitu perkara yang tidak perlu bagi kita untuk mengetahuinya. Namun demikian bisa saja merupakan kewajiban kita untuk membuktikannya, bahwa memang ada hubungan semacam itu antara kubur dan arwah (ruh-ruh), serta tidak mutlak di situ timbul ketidakmungkinan secara akal. Dan untuk itu kita mendapatkan sebuah contoh di dalam hukum kudrat Allah Ta’ala.

Pada hakikatnya perkara ini adalah semacam berikut ini, yakni sebagaimana kita menyaksikan bahwa kebenaran dan hakikat beberapa perkara hanya dapat diketahui melalui lidah saja. Dengan lebih memperluasnya aku mengatakan bahwa Allah Ta’ala telah menyediakan berbagai cara untuk mengetahui hakikat benda-benda.

Beberapa sifat (khasiat) benda dapat diketahui melalui mata, dan beberapa kebenaran hanya dapat diketahui melalui telinga, dan beberapa lainnya ada yang diketahui melalui beberapa indera lainnya. Dan banyak sekali kebenaran yang diketahui melalui potensi (kemampuan) pusat yakni kalbu (hati).

Ringkasnya, untuk mengetahui kebenaran, Allah Ta’ala telah menetapkan berbagai cara dan sarana. Misalnya, jika gula-gula (permen) diletakkan di depan telinga maka telinga tidak dapat mengetahui rasanya dan tidak dapat pula memberitahukan warnanya. Demikian pula jika diletakkan di depan mata maka mata sedikit pun tidak dapat memberitahukan tentang rasanya. Dari kenyataan tersebut diketahui dengan jelas, bahwa untuk mengetahui hakikat-hakikat benda (obyek) terdapat berbagai potensi (kemampuan) dan kekuatan.

Sekarang mengenai mata, jika ingin mengetahui bagaimana rasa suatu benda, lalu benda tersebut diletakkan di depan mata, maka apakah kita dapat mengatakan bahwa tidak ada rasa apa-apa pada benda tersebut? Atau, ada suara, lalu telinga ditutup dan lidah digunakan untuk mengetahuinya, maka sampai kapan pun hal itu tidaklah mungkin.

Orang-orang yang menjunjung filsafat pada masa sekarang mereka sangat terkecoh, yakni mereka mengingkari suatu kebenaran karena ketidaktahuan mereka. Dalam pekerjaan sehari-hari kita menyaksikan bahwa semua pekerjaan tidak dillakukan oleh satu orang, melainkan pekerjaan-pekerjaan itu telah ditetapkan secara terpisah. Tukang air bekerja membawa air, tukang cuci bertugar mencuci pakaian, tukang masak bertugas memasak makanan.

Ringkasnya, pembagian tugas pekerjaan ditemukan juga dalam sistim yang dibentuk sendiri oleh manusia. Jadi ingatlah hal mendasar ini, yakni berbagai potensi (kemampuan) memiliki berbagai macam tugas. Manusia lahir membawa banyak macam potensi (kemampuan), dan untuk kesempurnaannya berbagai macam tugas telah diserahkan kepada masing-masing potensi.

Filsuf bodoh ingin mengambil keputusan tentang segala hal melalui akalnya yang tidak sempurna, padahal ini sungguh keliru. Hal-hal yang berhubungan dengan sejarah hanya dapat dibuktikan melalui sejarah, dan sifat-sifat segenap benda hanya dapat diketahui melalui pengalaman (percobaan) yang benar. Hal-hal yang bersifat pemikiran dapat diketahui melalui akal.

Demikianlah terdapat sarana-sarana yang berbeda untuk berbagai macam hal. Manusia akan terperangkap dalam kekeliruan memahami hakikat-hakikat berbagai hal apabila hanya satu benda saja yang ia tetapkan sebagai sarana untuk kesempurnaan hal-hal tersebut. Aku rasa tidak perlu berbicara banyak mengenai kebenaran asas ini, sebab dengan berpikir sedikit saja pun hal ini langsung dapat dimengerti. Dan dalam kehidupan sehari-hari kita menyaksikan kebenaran hal-hal tersebut.

Jadi, tatkala ruh itu terpisah atau pun memiliki hubungan dengan tubuh, maka hal- hal-hal itu tidak dapat diputuskan melalui akal, sebab jika memang dapat diputuskan melalui akal, tentu para filsuf dan orang-orang bijak tidak akan terjerumus ke dalam kesesatan. Demikian pula halnya hubungan ruh-ruh dengan kubur. Itu merupakan suatu kebenaran, tetapi bukanlah pekerjaan mata [jasmani] ini untuk mengetahuinya, melainkan tugas mata kasyafiah itulah untuk memperlihatkannya.

Jika kalian ingin mengetahuinya hanya melalui akal saja, maka orang yang paling tajam akalnya sekali pun tidak akan mampu menjelaskan apakah ada atau tidak wujud ruh itu. Terdapat ribuan pertentangan mengenai masalah ini, dan terdapat ribuan filsul atheis yang mengingkari hal itu.

Jika memang akal semata berfungsi untuk [memahami ruh] ini maka mengapa harus terjadi pertentangan? Sebab ketika tugas mata adalah melihat maka aku tidak dapat mengatakan bahwa mata Zaid melihat sebuah benda berwarna putih, sedangkan mata Bakar dapat memberitahukan rasa benda yang putih itu.

Maksudku adalah, akal semata tidak dapat memaparkan secara pasti mengenai keberadaan wujud ruh, maka bagaimana mungkin akal dapat menciptakan pengetahuan tentang kondisi dan hubungan-hubungan ruh itu? Para filsuf mempercayai ruh seperti sebilah kayu hijau, dan menurut mereka ruh secara terpisah tidak bermakna apa-apa. Tafsir-tafsir mengenai wujud ruh serta hubungannya dan sebagainya ini diperoleh melalui mata air nubuwat (informasi gaib), hdan orang yang hanya mengandalkan akal tidak dapat menyatakan apa-apa.

Jika kalian mengatakan bahwa beberapa filsuf telah menuliskan beberapa hal [mengenai ruh], maka ingatlah, bahwa mereka secara logika (akal) telah mengambilnya dari mata air nubuwat, lalu itulah yang mereka kemukakan. Jadi, tatkala telah terbukti bahwa hal-hal yang berkaitan dengan ruh dapat diraih melalui mata-air nubuwwat, maka masalah hubungan ruh-ruh dengan kubur hendaknya disimak dengan kaca-mata itu juga, dan mata kasyafiah telah memberitahukan bahwa ruh memiliki hubungan dengan gundukan tanah ini. Dengan mengatakan: Assalāmu’alaykum yā ahlal qubur” akan diperoleh jawaban. Jadi, seseorang yang menggunakan potensi (kemampuan) yang dapat memperlihatkan kasyaf kubur, dia mampu melihat hubungan-hubungan tersebut.

Satu hal aku kemukakan sebagai contoh. Letakkan seonggok serbuk garam di satu sisdan seonggok serbuk gula di sisi lain. Nah, apa yang dapat difatwakan oleh akal mengenai itu? Ya, jika kedua serbuk tersebut dicicipi barulah akan diketahui rasanya yang berbeda, sebab yang satu adalah garam dan yang satu lagi gula. Namun jika tidak ada indera lidah perasa maka apa yang dapat membedakan antara yang asin dengan yang manis?

Jadi, tugasku adalah hanyalah memberikan pemahaman melalui dalil-dalil. Sebagaimana pengingkaran yang dilakukan oleh seorang buta mengenai matahari yang terbit tidak menimbulkan perubahan apa-apa, dan sebagaimana dengan mengabaikan argumentasi seseorang yang tidak memiliki suatu indera (potensi) tidak dapat menggugurkan hal tersebut.

Demikian pula jika seseorang tidak memiliki mata kasyafiah maka bagaimana mungkin dia dapat melihat hubungan ruh [dengan kubur] tersebut? Jadi, pengingkaran yang dia lakukan karena dia tidak mampu melihat, berarti pengingkarannya itu tidaklah sah.

Hal-hal semacam ini tidak dapat diketahui hanya melalui akal dan pemikiran saja. Untuk itulah Allah Ta’ala telah menganugerahkan berbagai potensi (kemampuan) kepada manusia. Jika semua pekerjaan dapat dilakukan oleh satu potensi (kemampuan) saja maka apa perlunya Dia memberikan potensi-potensi sebanyak ini? Beberapa hal berkaitan dengan mata, dan beberapa hal lagi berkaitan dengan telinga. Beberapa hal berkaitan dengan lidah, dan sebagian lagi berkaitan dengan hidung. Manusia memiliki bermacam-macam indera. Untuk menyaksikan hubungan ruh dengan kubur diperlukan potensi dan indera kasyafiah.

Jika ada yang mengatakan bahwa hal itu tidak benar, dia mengatakan hal yang salah. Sebab di dunia ini telah berlalu sejumlah besar para nabi a.s. dan jutaan wali serta orang-orang salih. Dan tidak terhitung banyaknya telah berlalu para mujahadah, dan mereka semua merupakan saksi hidup akan hal itu. Walau keaslian dan faktor hubungan-hubungan tersebut secara logika (akal) dapat kita ketahui atau pun tidak, tetapi hubungan nafs (jiwa) tidak dapat diingkari.

Ringkasnya, segenap hal ini dapat diputuskan melalui dalil-dalil kasyfiah. Jika telinga tidak dapat melihat, itu bukan salah telinga, justru telinga memiliki tugas (fungsi) tersendiri. Aku merupakan saksi melalui pengalaman pribadiku, bahwa ruh secara pasti memiliki hubungan dengan kubur. Manusia dapat berkata-kata dengan jenazah. Ruh juga memiliki hubungan dengan langit, dan di sana ruh memperoleh sebuah tempat. Sekali lagi aku katakan bahwa ini merupakan suatu kebenaran yang telah terbukti.

Di dalam kitab-kitab orang Hindu juga terdapat kesaksian akan hal tersebut. Hal hal itu secara umum merupakan suatu masalah yang telah diakui oleh golongan yang mengingkari keabadian ruh. Dan dengan tempat apa ia (ruh) memiliki hubungan, potensi (kemampuan) kasyafiah itulah yang dengan sendirinya akan memberitahu.

Geologis (ahli geologi) dapat memberitahukan bahwa di tempat tertentu terdapat metal (logam), dan di tempat tertentu lainnya terdapat bahan tambang. Lihatlah pada diri mereka terdapat potensi (kemampuan) yang dengan tepat dapat memberitahukan hal tersebut.

Jadi, ini adalah suatu hal yang benar, bahwa ruh secara pasti memiliki hubungan dengan kubur. Bahkan para ahli kasyaf melalui konsentrasi (pemusatan pikiran) juga dapat bercakap-cakap dengan jenazah. Sedangkan untaian kebimbangan dan kecaman begitu panjangnya sehingga tidak habis-habisnya 
 
(Malfuzhat, jld. I, hlm. 287-291)

0 komentar:

Post a Comment