Ahmadiyya Priangan Timur

.

Sunday 19 July 2015

Khutbah Jumat: HAKIKAT DARI BERIBADAH KEPADA ALLAH

Ringkasan Khotbah Jumat
Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad
Khalifatul Masih al-Khaamis ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz
tanggal 10 April 2015 di Masjid Baitul Futuh, Morden, London, UK.

أشْهَدُ أنْ لا إله إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيك لَهُ ، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
أما بعد فأعوذ بالله من الشيطان الرجيم.

بسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحيم * الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمينَ * الرَّحْمَن الرَّحيم * مَالك يَوْم الدِّين * إيَّاكَ نَعْبُدُ وَإيَّاكَ نَسْتَعينُ * اهْدنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقيمَ * صِرَاط الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْر الْمَغْضُوب عَلَيْهمْ وَلا الضَّالِّينَ. (آمين)
 ‘Sesungguhnya, telah berhasil orang-orang yang beriman, 
orang-orang yang khusyu dalam shalatnya.’ (Al Mu’minun 23: 2-3)
 
Mula-mula ayat tersebut memberikan khabar gembira mengenai keberhasilan orang-orang yang beriman. Akan tetapi, morang-orang yang beriman jenis apa yang dimaksud? Ayat berikutnya memberikan banyak persyaratan dan ketentuan bagi orang yang beriman. Pertama, persyaratan atau kualitas yang harus dimiliki orang mukmin adalah bahwa mereka harus khusyu dalam Shalatnya. Khusyu dalam konteks ini umumnya mengandung arti menangis saat shalat, namun, ternyata ada banyak makna dan pengertian lainnya dan jika semua itu tidak terpenuhi, maka kondisi sejati sebagai orang yang beriman tidak akan tercapai. Khusyu artinya menunjukkan dengan penuh kerendahan hati, merendahkan diri dengan sebenar-benarnya, menafikan (melenyapkan) diri sendiri, bersimpuh, berusaha membuat diri sendiri hina, menundukan pandangan dan berbicara dengan lemah lembut. Dengan demikian satu kata mencakup sebuah kerangka yang amat luas yang diperuntukan bagi orang beriman. Seseorang yang kembali kepada Tuhan dengan kekhusyuan (kerendahan hati) yang tinggi serta menerapkan kualitas yang lainnya, maka dijanjikan akan memperoleh qurub ilahi (kedekatan dengan Tuhan). Hal ini pada gilirannya akan menarik perhatiannya bahwa selain memenuhi hak-hak Tuhan, ia juga harus memenuhi hak-hak ciptaan Tuhan. Hal ini akan membimbingnya untuk berusaha menjadi perwujudan dari apa yang Hadhrat Masih Mau’ud (as) ungkapkan dalam bait syair Urdu beliau ini:

“Bayangkanlah dirimu lebih rendah daripada orang lain”
“Bisa jadi itu akan mengantarkanmu ke kediaman Tuhan yang Esa”

Disamping khusyu dalam Shalat, orang tersebut pun harus berusaha mengamalkan kekhusyuan (kerendahan hati) tersebut dalam kehidupannya sehari-hari serta berusaha menghindarkan diri dari semua keburukan sosial. Serta Ia harus berusaha bertutur kata lembut dan menghindar dari segala bentuk konfrontasi dan argumentasi (perdebatan). Tentunya banyak sekali penyakit yang menghalangi orang beriman jauh dari jalan yang benar. Hanya orang-orang yang memelihara dan menjunjung tinggi hal tersebutlah yang akan meraih kesuksesan. Kata bahasa Arab “فلاح” yang digunakan pada ayat diatas memiliki konotasi yang sangat luas. Kata itu berarti situasi yang tentram, kemakmuran, kesejahteraan, terkabulnya segala keinginan, keamanan, ketentraman, kebahagiaan serta karunia hidup yang terus menerus. Ini adalah faedah yang beraneka ragam yang dinikmati oleh mereka yang berbuat baik yang dianugerahkan Tuhan kepada mereka. Langkah pertama dan penting untuk meraih karunia tersebut adalah khusyu-lah dalam Shalat. Tentu saja orang-orang dunia pun khusyu dalam shalatnya, namun tidak hanya sekedar menangis. Orang-orang duniawi akan menangis dan merendahkan diri mereka ketika hal itu mereka anggap layak untuk dikerjakan. Mereka melakukannya karena mereka memiliki kepentingan pribadi atau mereka melakukan hal tersebut sekedar untuk berpura-pura atau karena emosi sesaat saja. Akan tetapi Orang-orang yang khusyu untuk mencari ridho Tuhan sangat jauh dari hal-hal semacam itu.

Hadhrat Masih Mau’ud (as) bersabda mengenai orang-orang semacam itu: ‘Saya secara pribadi melihat banyak sekali pertapa dan orang-orang lainnya yang seperti itu yang langsung mencucurkan air mata dengan derasnya saat mendengarkan syair yang menyayat hati, atau melihat sebuah pemandangan yang menyakitkan atau mendengarkan kisah-kisah yang memilukan, seperti halnya saat hujan deras mulai turun di malam hari, tidak mungkin seseorang yang sedang merapihkan tempat tidurnya dan membawanya ke dalam ruangan tidak akan basah kuyup terguyur hujan. [Hal ini merujuk kepada orang-orang yang berada di sub-benua yang biasa tidur diluar selama bulan-bulan yang ada di musim panas] Namun saya bersaksi atas ucapan saya ini bahwa kebanyakan orang-orang yang seperti itu lebih licik dan jahat daripada orang-orang dunia. Saya menemukan beberapa dari mereka berwatak jahat, tidak jujur dan tak bermoral dalam segala aspeknya. Melihat mereka menangis dan menunjukan kerendahan hati membuat saya jijik untuk menangis ataupun terharu dalam setiap pertemuan.’

Hadhrat Khalifatul Masih II (ra) menceritakan bahwa Hadhrat Khalifatul Masih I (ra) pernah menyampakan sebuah kisah tentang seseorang yang sudah tua. Orang tua tersebut melaksanakan Shalat di masjid selama bertahun-tahun lamanya dengan pikiran bahwa orang-orang akan memujinya. Namun karena beberapa amalan baiknya di masa lalu, Tuhan menyusupkan ke dalam hati setiap orang supaya mereka menyebutnya orang munafik. Suatu hari ia sadar bahwa ia telah menghabiskan masa hidupnya dengan beribadah di Masjid namun tidak pernah ada seorang pun yang memanggilnya orang saleh, ia pun berpikir jika shalatnya itu dikerjakan semata-mata demi untuk Tuhan, Tuhan pasti akan ridho dengannya. Pikiran tersebut menusuknya begitu kuat sehingga ia pergi ke hutan belantara dan mengerjakan Shalat dengan begitu khusyu dan menyayat hati, serta memohon bahwa kini ia shalat semata-mata hanya untuk Tuhan. Setelah itu Tuhan menyusupkan ke dalam hati orang-orang bahwa orang tua ini adalah orang saleh yang terhina dan tersia-sia. Orang tua tersebut amat bersyukur kepada Tuhan. Shalat yang dikerjakannya dengan ketulusan demi untuk Tuhan semata telah mengubah hati orang-orang itu dan mereka mulai memuliakannya. Kisah ini pun menunjukan bahwa dengan nilai dari beberapa kebaikan yang mungkin dilakukan seseorang pada masa lampau, Tuhan akan dapat mempermudah dalam mereformasi dirinya. Oleh karena itu orang tua tersebut termasuk diantara orang-orang yang memperoleh “فلاح” (keberhasilan). Amal baik seseorang di masa lampau meski dikemudian hari melakukan dosa dapat menyelamatkannya dari akhir yang buruk dan menjadikannya dari antara orang-orang yang dianugerahi “فلاح”. Hal tersebut tergantung sifat Rahmaniyat Ilahiah. Namun, sebenarnya “فلاح” diberikan kepada mereka yang berusaha meraih kebaikan dari sifar Rahimiyat Ilahi dan inilah syarat pertama dari hal tersebut yaitu melaksanakan shalat dengan penuh kerendahan hati.

Hadhrat Masih Mau’ud (as) menulis: Tahap awal dari kondisi keruhanian orang yang beriman ialah kerendahan hati, meratap (mencucurkan air mata) dan kelemah lembutan (melas diri) dimana orang beriman tersebut alami saat Shalat dan berzikir kepada Allah. Artinya bahwa hal tersebut untuk menghasilkan di dalam dirinya gairat berdoa, kepedihan, kerendahan hati, kekhusyuan yang tinggi, kesabaran, dan hasrat yang membara. Juga untuk menarik perasaan takut saat kembali kepada Tuhan sebagaimana yang ayat ini nyatakan: ‘Sesungguhnya, telah berhasil orang-orang yang beriman, orang-orang yang khusyu dalam shalatnya.’ (Al Mu’minun 23: 2-3). yaitu bahwa, keberhasilan disini adalah keberhasilan bagi orang-orang beriman yang khusyu dalam shalat mereka dan berzikir kepada Allah serta yang sibuk mengingat Tuhan mereka dengan kepedian, kelemah lembutan, hasrat dan gairat yang tulus.’ 

Hadhrat Masih Mau’ud (as) juga menulis: ‘Orang-orang yang merenungkan al-Quran akan memahami bahwa keadaan khusyu dalam Shalat seperti cairan nutfah bagi keadaan ruhani kita. Dan sama seperti cairan nutfah, namun dalam arti keruhanian, ia menyembunyikan segala kekuatan, kualitas dan kemampuan untuk membentuk manusia yang sempurna. Seperti cairan nutfah yang berada dalam keadaan berbahaya hingga ia mencapai rahim, begitupun keadaan ruhani yang belum sempurna ini, dengan kata lain bahwa kerendahan hati (khusyu), tidak berada dalam bahaya selama ia berhubungan dengan Tuhan yang Maha Rahim. Haruslah diingat bahwa ketika karunia Allah Ta’ala dianugerahkan tanpa ada usaha sama sekali, hal itu didasarkan atas sifat Rahmaniyat Ilahi. Misalnya, Tuhan menciptakan langit dan bumi bagi manusia atau DIa menciptakan manusia, semua ini terwujud atas dasar karuna dari sifat Rahmaniyat-Nya. Namun, ketika sebuah karunia dianugerahkan karena beberapa amalan, ibadah, dan usaha keras dalam melatih kerohanian, itu adalah karunia dari sifat Rahimiyat-Nya. Inilah cara yang senantiasa dilakukan Allah bagi manusia. Sepanjang manusia menerapkan keadaan rendah hati (khusyu) dalam shalat serta saat berzikir kepada Allah, maka ia telah mempersiapkan dirinya untuk karunia Rahimiyat Allah Ta’la. Perbedaan antara cairan nutfah dan tahap awal kondisi kerohanian adalah bahwa jika cairan nutfah tergantung pada tarikan rahim (kandungan), maka kondisi kerohanian tergantung pada tarikan Rahimiyat Tuhan. Sama seperti itu mungkin bagi cairan nutfah akan terbuang sebelum ditarik ke rahim (kandungan), begitu juga mungkin bagi tahap awal keadaan rohani orang beriman, yaitu kerendahan hati, akan musnah sebelum terhubung kepada Rahimiyat Tuhan.

Banyak orang-orang yang mencucurkan air mata dan menangis dalam shalat saat mereka berada dalam tahap awal kerohaniaan. Mereka memperlihatkan perangai dan gairat yang luar biasa dalam kecintaan mereka kepada Tuhan, tapi karena mereka tidak menempa sebuah hubungan dengan Dia, pemilik Sumber Karunia, yaitu Rahimiyat Tuhan, dan mereka tidak ditarik kearah-Nya disebabkan perwujudan-Nya yang special, maka segala kepedihan dan kondisi kekhusyuaannya tidak berdasar (beralasan) dan kadang mereka begitu banyak tergelincir dan tersandung sehingga mereka mundur melewati tahap awal kerohanian mereka. Ini adalah sebuah hal yang menakjubkan, ada kesamaan yang menarik bahwa seperti halnya cairan nutfah yang merupakan tahap awal bagi terbentuknya kondisi fisik, jika tidak ditarik ke rahim maka ia tidak ada artinya sama sekali, demikian pula kerendahan hati (khusyu) yang merupakan tahap awal dari kondisi kerohanian jika tidak dibantu Rahimiyat Tuhan serta ditarik kearah-Nya, kerendahan hati tidak akan ada artinya sama sekali.

Inilah sebabnya mengapa kalian akan mendapati ribuan orang yang setelah memperoleh kenikmatan di separuh kehidupan mereka saat berzikir dan shalat, mereka mengalami keadaan seperti tak sadarkan diri dan menangis, namun kemudian beberapa keburukan berhasil menguasainya sehingga setelah mereka ditarik kepada hal-hal yang mementingkan diri sendiri mereka kehilangan semua kerohaniannya disebabkan nafsu mereka terhadap hasrat-hasrat duniawi. Inilah penyebab dari keprihatinan yang besar bahwa kondisi kerendahan hati (khusyu) sering hilang sebelum terhubung dengan Rahimiyat dan musnah sebelum daya tarik Rahimiyat Tuhan dapat bekerja atasnya.’ (Baraheen e Ahmadiyya, Part V. pp. 188 – 190)

Dengan demikian, tidak seorang pun dapat menegaskan bahwa ibadah mereka kepada Tuhan telah mencapai sebuah tahapan kerendahan hati (kekhusyuan) yang tinggi. Kerendahan hati meliputi semua elemen sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya. Sebenarnya, kita perlu membuat upaya secara dawam untuk menarik karunia Rahimiyat Allah Ta’ala. Sama seperti seseorang yang tidak tahu kapan pembuahan akan terjadi dan janin akan terbentuk serta kapan saatnya keguguran itu terjadi, begitu juga sekali pun upaya seseorang berbuah kekhusyuan (kerendahan hati), kadang ia menjadi takabur. Seperti orang-orang yang pertama kali menerima Nabi Allah dan kemudian berpaling; Mereka terhubung dengan Tuhan sepanjang bersentuhan dengan seseorang yang ditugaskan oleh-Nya. Jika tidak, mereka akan jatuh dan hilang kedalam lubang kehinaan. Kita harus terus menerus berusaha demi karunia Rahimiyat Allah Ta’ala. Amat sedikit upaya yang dilakukan dalam hal ini, pengabulan doa yang menakjubkan atau beberapa mimpi yang benar tidak harus membuat kita merasa bangga. Meskipun telah mencapai qurub ilahi dan meraih ‘فلاح’ (keberhasilan), walaupun telah menjadi begitu khusyu, sungguhpun telah menjauhkan segala hal yang sia-sia, kendatipun telah berkorban di jalan Allah, meskipun telah menjaga kesucian (Farji) mereka, sekalipun telah memenuhi perjanjian mereka, sungguhpun telah memenuhi kewajiban Shalat dan ibadah lainnya kepada Tuhan, orang-orang yang meraih ‘فلاح’ (keberhasilan) memohon kepada Tuhan agar membungkus mereka dengan selimut rahmat dan karunia-Nya, karena mereka tahu bahwa tanpanya mereka tidak ada artinya. Karena karunia Tuhan sematalah, maka segala upaya yang terus menerus kita lakukan guna menarik karunia Rahimiyat Allah Ta’ala diterima dan dikabulkan.

Seorang mukmin sejati harus senantiasa berpandangan bahwa tidak diragukan lagi Tuhan telah menyatakan bahwa orang-orang yang beriman telah meraih ‘فلاح’ (keberhasilan), akan tetapi untuk membuat ‘فلاح’ (keberhasilan) ini bagian dari kehidupan kita yang terus berkelanjutan, kita tidak boleh mengaitkan setiap pencapaian yang diraih merupakan upaya kita sendiri. Karena setiap pencapaian yang diraih harus dianggap bahwa hal itu bukan kita yang melakukannya, namun terjadi dengan karunia Tuhan. Jika tidak, mungkin saja amalan baik kita akan terbuang seperti cairan nutfah yang berakhir dengan keguguran. Kita perlu fokus pada akhir kita sehingga karunia Rahimiyat Allah Ta’ala dapat menerima upaya kita dan proses tersebut melahirkan sebuah wujud yang lengkap segala-galanya. Dan kita mungkin termasuk diantara orang-orang yang meningkat dalam kerendahan hati (khusyu) saat cairan nutfah tersebut berkembang secara kerohanian.

Sesungguhnya, Rasulullah (saw) yang standar dan level ibadah kepada Tuhannya berada diluar jangkauan kita bahkan mengatakan jika beliau nanti dianugerahi surga, itu semata-mata karena karunia Tuhan. Bagaimana bisa amalan orang-orang yang lainnya kemudian mengantarkan mereka ke surga! Kendati sudah diberikan jaminan oleh Tuhan, Rasulullah (saw) yang datang untuk mereformasi seluruh Dunia, begitu meningkat kekhusyuan dan ketaatan beliau saat shalat di malam hari dimana beliau berdiri dalam jangka waktu yang lama sehingga kaki beliau bengkak-bengkak. Hal ini penting bagi setiap orang mukmin bahwa keadaan qalbu sebelum dan sesudah melaksanakan Shalat harus nampak berbeda. Apabila ada tanda-tanda keegoisan atau yang seperti itu sebelum Shalat, maka setelah selesai Shalat qalbu harus bersih dari perasaan yang negatif. Di setiap akhir ibadah kita kepada Tuhan, kita harus menaklukan kearogansian (kesombongan) apapun dan menerapan kerendahan hati (kekhusyuan). Dalam kehidupan sehari-hari, kita harus sopan kepada setiap orang, kita harus menerapkan kerendahan hati demi mencari ridho Tuhan serta harus beribadah kepada Tuhan secara dawam demi memalingkan kita kepada Tuhan sehingga kita bisa menjadi penerima berkat yang lezat dari karunia Rahimiyat-Nya. Setiap hari kita harus mengidentifikasi kelemahan kita dan meningkatkan Rahmat Tuhan kepada kita. Semoga Allah Ta’ala selalu menjadikan kita orang-orang yang senantiasa beristigfar dan semoga setiap amal baik kita, apabila itu baik dalam pandangan Tuhan, menjadi sumber meraih keridhoan-Nya. Semoga kita semua termasuk dari antara orang-orang yang memperoleh ‘فلاح’ di mata Tuhan!

0 komentar:

Post a Comment