Ahmadiyya Priangan Timur

.

Sunday 2 June 2013

Arti Khaataman-Nabiyyiin

Firman Allah Ta’ala: “Muhammad bukanlah bapak salah seorang dari antara kaum laki-lakimu, akan tetapi ia adalah Rasulullah dan Khaataman Nabiyyiin [Meterai sekalian nabi].” (33:41)1
Bagaimana sesungguhnya hubungan antara khaataman-nabiyyiin dengan kalimat “Muhammad bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu?”2 Perlu diperhatikan adanya kata laakin (melainkan) yang disisipkan sebelum kata rasulullah dan khaataman-nabiyyiin. Kata melainkan biasanya digunakan untuk menghilangkan keraguan. Setiap orang Islam jika membaca kalimat pertama tersebut juga timbul pertanyaan dan keraguan mengapa Muhammad bukan bapak dari seorang laki-laki di antara kamu? Firman Allah dalam Surah al-Kautsar ayat 4 menyatakan: “Sesungguhnya, musuh engkaulah yang akan tanpa keturunan.”
Sejarah Islam mencatat bahwa empat putra kandung Hz. Rasulullah s.a.w. (Qasim, Thayib, Thaher dan Ibrahim3) semuanya wafat dalam masa kanak-kanak. Tidak ada keturunan langsung Hz. Rasulullah s.a.w. sampai dengan hari ini yang berasal dari putra kandungnya.4 Hal ini dibuktikan dan diakui oleh Allah S.w.t. dalam Surah al-Kautsar ayat 4 bahwa beliau s.a.w. tidak akan memiliki anak laki-laki. Jadi, untuk menghilangkan keraguan itu, Dia menampilkan kata laakin dan menerangkan bahwa dengan pernyataan itu Allah Ta’ala menghilangkan keraguan dengan cara demikian, yaitu walaupun Hz. Rasulullah s.a.w. bukan bapak dari seorang lakilaki, namun demikian tidak dapat beliau disebut abtar (terputus atau tidak berketurunan), sesungguhnya musuhnyalah yang terputus atau tidak berketurunan. Sebab beliau adalah seorangRasul Allah. Jadi, silsilah keturunan ruhani seorang Rasul Allah dapat menjadi amat banyak dan luas jangkauannya tak terhingga.5 Selanjutnya diteruskan dengan kalimat wa khaataman-nabiyyiin, penekanan pokok masalah pertama lebih terfokus yaitu tidak hanya orang mukmin sebagai keturunan beliau, bahkan beliau s.a.w. merupakan stempel para nabi.

Dengan stempel atau cap beliau s.a.w. seorang insan akan dapat mencapai ketinggian martabat ruhani bahkan kenabian. Jadi beliau s.a.w. bukan saja bapak ruhani bagi orang biasa tetapi juga menjadi bapak ruhani bagi para nabi. Jadi, pengertian khaatam dengan arti seal, segel, stempel, cap, meterai atau cincin (perhiasan) tidaklah merendahkan martabat Hz. Rasulullah s.a.w., bahkan lebih menguatkan kesempurnaan beliau s.a.w., bahwa segala sifat-sifat yang utama yang terdapat dalam pribadi para nabi terdahulu maupun yang akan datang terkumpul dalam diri Hz. Rasulullah Muhammad s.a.w. Hanya
beliau s.a.w. seorang yang pantas menyandang gelar khaatamulanbiya’, insan kamil, dan rahmatan lil alamin sehingga menjadi teladan bagi seluruh umat manusia untuk selama-lamanya.

Catatan:
1. Malik Ghulam Farid, Al Qur’an dengan Terjemahan dan Tafsir Singkat, (Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1997).
2. Jika dibaca ayat-ayat sebelumnya dalam Surah al-Ahzab ini, dapat diketahui bahwa diberikannya gelar khaataman-nabiyyiin kepada Nabi Muhammad s.a.w. adalah dalam konteks pembelaan Allah Ta’ala terhadap Rasulullah s.a.w. berkaitan dengan pernikahan beliau dengan Siti Zainab r.a., seorang bekas menantu dan janda dari Zaid ibn Harits r.a. (Zaid adalah anak angkat Nabi s.a.w.).
Pada waktu itu orang-orang Arab mencerca habis-habisan karena beliau s.a.w. dianggap telah melanggar tradisi dengan menikahi bekas menantunya sendiri, dan para kritikus serta ulama yang punya pikiran kotor mengatakan bahwa Nabi s.a.w. telah memerintahkan menceraikan perkawinan Zaid dan Zainab karena secara diam-diam Nabi s.a.w. memang telah jatuh cinta kepada menantunya. Dengan adanya ayat tersebut, Allah Ta’ala menegaskan bahwa Rasul Allah ini adalah khaataman-nabiyyiin, yang mempunyai ahlak yang setinggi-tingginya di antara semua manusia dan para nabi, beliau adalah Nabi yang paling afdhal, paling mulia, paling sempurna, nabi yang khaatam dalam segala kebaikan sebagai manusia dan nabi Allah. Hz. Zaid r.a. statusnya hanyalah sebagai anak angkat dan dipelihara oleh Nabi s.a.w. Dahulu ia adalah seorang budak belian yang telah dibebaskan, tetapi tidak mau pulang kembali kepada orang tuanya. Untuk meningkatkan derajat dari budak belian yang tadinya tidak merdeka, maka Hz. Sayyidina Rasulullah s.a.w. meminta Hz. Siti Zainab r.a. (anak dari bibi Rasulullah s.a.w. yang seorang bangsawati Arab) agar mau menikah dengan Zaid.
Pernikahan ini dimaksudkan untuk meniadakan perbedaan dan pembagian kelas dalam masyarakat. Namun perkawinan dengan perbedaan bibit-bobot-bebet, tidak adanya persesuaian dalam pembawaan dan perangai mereka, dan juga oleh sebab perasaan rendah diri yang diderita Zaid, dan mungkin juga cara hidup yang menyolok itu nampaknya atau terbukti menimbulkan beberapa masalah, sehingga perkawinannya menjadi tidak harmonis. Allah Ta’ala dalam ayat 33:41 ini telah menerangkan dengan amat jelas bahwa: “Muhammad bukanlah bapak salah seorang dari antara kaum laki-lakimu” [artinya Nabi Muhammad s.a.w. bukanlah bapaknya Zaid, dan Nabi s.a.w. tidak mempunyai anak laki-laki, karena semua anak laki-lakinya telah meninggal pada masa kanak-kanak], akan tetapi beliau s.a.w. adalah Rasul Allah dan Khaataman-Nabiyyiin. Bagi Hz. Siti Zainab r.a. yang telah menjadi janda karena bercerai dari Hz. Zaid r.a., maka Hz. Rasulullah s.a.w. kembali ingin mengangkat derajat janda yang pernikahannya dahulu itu adalah atas dasar rekomendasi beliau s.a.w., dengan menjadikannya sebagai isteri Nabi, ummul mukminin. Dengan demikian, hikmah pernikahan Nabi s.a.w. dengan Hz. Zainab r.a. - yang sebelumnya telah mendapat kecaman dan cacian dari para penentangnya - memiliki makna: (i) Menggugurkan tradisi larangan menikahi janda (bekas istri) anak angkat, dan (ii) mengangkat derajat janda bekas budak belian menjadi ummul mukminin (Ibu orang-orang beriman). Jadi, selain ayat 33:41 di atas tentang Khaataman-Nabiyyiin, di dalam Kitab Suci Al-Qur’an tidak ada satu ayat pun yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad s.a.w. adalah nabi terakhir dan tidak ada nabi setelahnya, namun yang ada hanyalah gelar kata pujian khaatam.
3.  Peristiwa wafatnya Ibrahim tercatat sebagai berikut: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, berkatalah ia: “Ketika Ibrahim ibnu Rasulullah s.a.w. wafat, Rasulullah s.a.w. menshalatinya dan bersabda, “Sesungguhnya di sorga ada yang menyusukannya, dan kalau usianya panjang, ia akan menjadi nabi yang benar.” (H. R. Ibnu Majah). Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 9 Hijriah, sedangkan ayat khaataman-nabiyyiin diwahyukan pada tahun 5 Hijriah. Jadi, beliau s.a.w. mengucapkan kata-kata tersebut 4 tahun setelah menerima wahyu ayat khaataman-nabiyyiin. Jika ayat khaataman-nabiyyiin diartikan sebagai penutup atau kesudahan atau penghabisan atau akhir nabi-nabi, maka seharusnya beliau mengatakan jikalau usianya panjang, tentu ia (Ibrahim) tidak akan menjadi nabi karena akulah penutup nabi-nabi. Jadi amat jelas bahwa Nabi s.a.w. yang menerima wahyu, dan paling mengetahui arti serta makna dari wahyu yang diterimanya dan beliau s.a.w. tidak mengungkapkan pengertian khaatam sebagai penutup atau terakhir.
4. Pada masa jahiliyah, anak laki-laki merupakan kebanggaan dan penerus silsilah para raja, kepala suku atau kepala keluarga, sehingga anak perempuan tidak layak untuk dipelihara bahkan dibunuh dengan cara-cara biadab. 
5. Menurut data statistik populasi umat beragama untuk tahun 2000, populasi manusia di bumi adalah 19.6% beragama Islam. (Sumber: “Number of adherents of world religions,” http://www.religioustolerance.org/worldrel.htm, diakses 17 Oktober 2005). 

Sumber: "Bukan Sekedar Hitam Putih" hal 27-30

0 komentar:

Post a Comment