Ahmadiyya Priangan Timur

.

Friday 16 May 2014

KUNCI PERBUATAN BAIK SIMPATI MELALUI DOA

“Kalian harus ingat bahwa simpati itu ada tiga macam: satu fisik, dua keuangan, dan tiga dalam bentuk doa. Bentuk ketiga digunakan tanpa membutuhkan uang dan tenaga, tetapi manfaatnya sangat luas. Sehubungan dengan simpati dalam bentuk fisik hanya dapat digunakan jika seeorang memiliki kekuatan yang cukup. Sebagai contoh seorang lemah yang terluka tentu tidak dapat ditolong oleh orang yang fisiknya tidak kuat.

Demikian juga kecuali seseorang itu memiliki uang, dia tidak dapat menolong orang kelaparan yang miskin dan tak berdaya. Bagaimana mungkin orang macam itu memperlihatkan simpati. Tetapi sehubungan simpati dengan doa dia tidak membutuhkan uang ataupun tenaga. Sepanjang manusia itu adalah manusia, dia dapat berdoa untuk orang lain dan terbukti bermanfaat baginya. Jangkauan kebaikan yang dapat diperoleh dari jenis simpati ini sangat luas, dan jika seseorang tidak terbiasa dengan jenis simpati ini betul-betul malang dirinya.

Saya telah menyampaikan bahwa simpati berbentuk fisik dan uang adalah terbatas, tetapi tidak demikian dengan doa. Pandangan­ saya sehubungan dengan doa, bahkan musuh-­musuh pun tidak terkecuali darinya. Semakin luas doa tersebut, semakin besar manfaat yang diperoleh orang yang berdoa. Semakin kikir orang itu dalam berdoa semakin jauh dia dari Tuhan.

Sesungguhnya orang yang membatasi kemurahan Tuhan ­yang sangat luas adalah orang yang sangat lemah keimanannya. Satu keuntungan besar dalam berdoa bagi orang lain adalah hal itu memanjangkan hidup. Tuhan telah berjanji di dalam Al Quran, bahwa dia yang berbuat baik kepada orang lain akan hidup lebih lama. Dia berfirman: Ammā yanfa’unāsa fayamkutsu fil- ardi –“apa yang bermanfaat bagi manusia akan tinggal lama di bumi.” Jenis simpati yang lain adalah terbatas, doalah yang dapat dijadikan amal yang berkelanjutan.

Sebagian orang, begitu melihat seorang pengemis menjadi cepat marah, dan jika mereka memiliki sifat maulviyat (ilmu agama yang kering), mereka mengatakan kepada pengemis itu tentang ajaran agama mereka mengenai meminta-minta. Memanfaatkan maulviat mereka, mereka bahkan menggunakan kata-kata yang kasar. Alangkah menyedihkannya, orang-orang ini tidak mengerti, dan sesungguhnya mereka sepertinya sama sekali tidak dapat mengerti.

Pengertian ajaran itu diberikan kepada orang baik dan yang berhati bersih. Mereka tidak menyadari bahwa seorang pengemis – terlepas dari kenyataan bahwa diaadalah orang yang berkecukupan yang pergi untuk mengemis – dia berdosa kepada dirinya sendiri, tetapi tidak ada dosanya memberikan sesuatu kepadanya. Bahkan hadits banyak meriwayatkan kepada kita bahwa, “Jika seseorang datang meminta kepadamu dan ia menunggang kuda, kamu harus memberikan sesuatu kepadanya.” Al-Quran mengatakan: wa ammaas- saa-ila falaa tak-har – “janganlah kamu memaki pengemis”, di sini tidak disebutkan pengemis macam apa yang jangan dimaki, dan pengemis macam apa yang boleh dimaki.

Kalian harus ingat untuk tidak pernah memaki pengemis, karena dengan berbuat demikian menumbuhkan pohon keburukan moral, sebab moral yang baik menuntut seseorang untuk tidak tergesa-gesa merasa jengkel kepada pengemis. Setanlah yang ingin menjauhkan kalian dari kebajikan dengan membuat kalian jengkel kepada pengemis, dia ingin membuat kalian mewarisi keburukan.

Kalian perlu memperhatikan hal ini: berbuatlah satu kebaikan dan kalian akan akan mendapati bahwa kalian terdorong meneruskannya dengan amal baik yang lain. Demikian juga jika kalian melakukan satu perbuatan buruk, kalian akan melanjutkannya dengan perbuatan buruk lainnya. Hal itu seperti satu benda menyerap benda lain. Proses penyerapan satu benda oleh benda lainnya terjadi dalam seluruh perbuatan manusia, demikian Tuhan telah menakdirkan.

Jika manusia menunjukkan kebaikan kepada pengemis dan dengan demikian akan membuat kebaikan moral, dia akan mampu melakukan amal baik lainnya, dan itulah, dia akan mampu memberikan sesuatu kepada pengemis itu. Moral yang baik adalah kunci perbuatan-perbuatan baik, dan mereka yang tidak menjaga moral tetap baik akhirnya menjadi kosong sama sekali dari perbuatan­-perbuatan baik.”

(Malfuzhat, jld. II, hlm. 75).