Ahmadiyya Priangan Timur

.

Friday, 16 May 2014

MENINGGALKAN AKHLAK MERUPAKAN KEBURUKAN DAN DOSA

“[Bisa] saja seseorang tidak memperoleh kekuatan akhlak, tetapi kepadanya diberikan karunia untuk berbuat banyak kebaikan. Meninggalkan akhlak itu sendiri merupakan suatu keburukan dan dosa. Misalnya, seseorang melakukan zina, dia tidak tahu betapa berat dan mendalamnya kedukaan yang dialmi suami perempuan itu. Seandainya dia dapat merasakan kedukaan dan kepedihan itu, dan dia meraih unsur akhlak di situ, tentu dia tidak akan melakukan perbuatan buruk tersebut.

Jika seorang bejad itu mengetahui bahwa akibat perbuatan buruknya akan timbul berbagai macam dampak bahaya bagi umat manusia maka tentu dia tidak akan melakukannya. Seseorang yang melakukan pencurian, begitu aniaya dan bejadnya sehingga bahan makanan untuk makan malam pun tidak dia sisakan. Kebanyakan yang didapati adalah hasil jerih-payah bertahun-tahun yang dikumpulkan oleh seorang miskn begitu saja dicuri, dan apa saja yang ditemukkan di dalam rumah semuanya diambil.

Apakah sebenarnya penyebab dari perbuatan bejad seperti ini? Ialah tidak adanya kekuatan akhlak. Sebab jika dia memiliki kasih-sayang dan dia dapat mengerti bahwa anak-anak akan menangis karena kelaparan, dan jerit tangis anak-anak itu pun akan membuat hati musuh menjadi terenyuh, dan dia mengetahui bahwa anak-anak itu kelaparan semalaman serta tidak ada sekerat makanan kering sekali pun maka dia (pencuri) itu tentu dorongan nafsunya akan terhenti.

Nah, jika merasakan kondisi tersebut dan dia tidak buta terhadap kondisi akhlak maka mengapa dia mencuri? Kadang-kadang kita membaca berita-berita kematian yang mengerikan di surat-surat kabar. Yakni ada anak-anak yang dibunuh karena ingin merampas perhiasan anak-anak itu. Di tempat tertentu ada perempuan yang dibunuh -- aku sendiri pernah mendatangi seorang teman, yakni seseorang telah membunuh seorang anak kecil demi 12 sen saja.

Sekarang, pikirkanlah, jika kondisi akhlak tidak benar maka mengapa musibah-musibah semcam itu terjadi? Mungkin ada musibah yang melanda orang seperti dirinya, tetapi dia sendiri tidak merasakannya. 

"Yakuluuna ka man takulul- an'aam — [orang-orang kafir makan sebagaimana binatang­-binatang ternak makan” – Muhammad, 13).

Terdapat beberapa aspek di dalamnya. Pertama, binatang tidak dapat membedakan kuantitas dan kualitas. Apa saja yang tampil di hadapan dan seberapa banyak yang ada dimakannya. Misalnya anjing makan sedemikian banyak sampai akhirnya muntah.

Kedua, binatang-binatang tidak dapat membedakan antara yang halal dengan yang haram. Seekor sapi tidak dapat membedakan apa ini ladang tetangga, supaya ia tidak masuk. Demikian pula setiap hal yang perlu dipertimbangkan untuk dimakan, tidak dipertimbangkan oleh binatang. Anjing tidak mempertimbangkan mana yang kotor dan mana yang bersih. Kemudian, binatang-binatang ini tidak menerapkan keseimbangan (aspek kecukupan).

Orang-orang ini -- yang melanggar kaidah-kaidah akhlak – tidak peduli sedikit pun, seakan-akan mereka itu bukan manusia. Kondisi bersih dan kotor yang ada di Arab saat ini sampai-sampai anjing-anjing mati pun dimakan. Sampai sekarang di kebanyakan Negara kondisinya demikian, yakni tikus-tikus, anjing dan kucing-kucing dimakan dengan menganggapnya sebagai makanan lezat. Di sini pun terdapat kaum-kaum nomad (Gipsy) pemakan bangkai.

Kemudian, mereka tidak sungkan-sungkan memakan harta anak­-anak yatim. Bagaikan rumput anak-anak yatim yang diserakkan di depan kerbau maka tanpa ragu-ragu lagi akan dimakannya. Demikianlah keadaan orang-orang ini. Itulah arti, “Wan-naaru matswal-lahum – tempat tinggal mereka adalah api (neraka)” – Muhammad, 13).

Ringkasnya, ingatlah ada dua sisi (segi). Pertama, Keagungan Ilahi. Apa yang bertentangan dengan itu adalah bertentangan juga dengan akhlak. Dan kedua, kasih-sayang terhadap sesama manusia. Jadi, yang bertentangan dengan umat manusia, adalah juga bertentangan dengan akhlak.

Sangat disayangkan, sedikit sekali orang yang menyimak hal-hal ini, yaitu hal-hal yang merupakan tujuan dan maksud utama kehidupan manusia.”

(Malfuzhat, jld. Hlm. 77-79).