Ahmadiyya Priangan Timur

.

Thursday 13 November 2014

BAIAT, TAUBAT, DAN DOSA

”Hendaknya diketahui apa faedahnya yang terkandung dalam baiat dan mengapa hal itu perlu. Sebab selama faedah dan nilai sesuatu tidak diketahui maka ia tidak memiliki nilai di pandangan mata. Sebagaimana manusia menyimpan berbagai macam harta kekayaan di dalam rumahnya. -- seperti uang rupiah, uang sen, uang, kori (pecahan uang terkecil - pent.), kayu dan sebagainya -- maka pemeliharaan segala sessuatu itu tergantung pada jenis bendanya. Dia tidak akan menyiapkan sarana-sarana untuk menjaga uang kori sedemikian rupa, sebagaimana yang ia harus lakukan untuk uang sen dan rupiahnya.

Bagi kayu dan lain sebagainya dia akan letakkan begitu saja di sudut ruangan. Dia tidak akan men¬yiapkan sarana-sarana untuk menjaga uang kori sedemikian rupa sebagaimana yang harus ia lakukan untuk uang sen dan rupiahnya. Bagi kayu dan lain sebaginya dia akan letakkan begitu saja di sudut ruangan. Yakni, suatu benda yang kalau hilang akan menimbulkan kerugian lebih besar maka penjagaannya akan lebih ketat.

Demikian pula halnya dalam baiat, masalah yang paling besar adalah taubat, yang berarti rujuk (kembali). Ini adalah suatu kondisi dimana seorang manusia mempunyai hubungan erat dengan dosa dan dia telah menganggapnya sebagai tanah air, seolah-olah ia telah menetapkan tempat tinggalnya di dalam dosa itu, maka arti taubat adalah dia harus meninggalkan tanah air tersebut, sedangkan arti rujuk (kembali) adalah menempuh kesucian.

Meninggalkan tanah-air adalah suatu hal yang sangat berat dan menimbulkan berbagai macam penderitaan. Seseorang yang yang meninggalkan rumahnya, betapa ia merasakan kepedihan. Dan dalam meninggalkan tanah-air, dia terpaksa ia harus memutuskan hubungan dengan segenap handai-taulan dan segala sesuatu – seperti tempat tidur, tanah, lorong-lorong dan pasar-pasar – semuanya harus dia tinggalkan, pergi ke tempat baru, yakni dia tidak akan pernah kembali ke tanah airnya. Itulah yang dinamakan taubat.

Sahabat dosa itu lain dan sahabat takwa pun lain, para sufi menyebut perubahan ini maut (kematian. Barangsiapa bertaubat dia terpaksa menanggung kesusahan yang besar. Dan ketika melakukan taubat sejati dia akan dihadang oleh kesulitan-kesulitan besar, dan Allah Ta’ala Maha Pemurah, Maha Penyayang.

Selama Dia tidak menganugerahkan ganjaran nikmat atas seluruh hal itu, Dia tidak akan menghantamnya. Hal inilah yang diisyaratkan di dalam ayat "Innallāha yuhibbut tawwābīna – (sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat – Al-Baqarah, 223). Yakni setelah orang itu taubat dia akan menjadi gharib (asing) dan miskin. Oleh karena itulah Allah Ta’ala menyayangi dan mencintainya serta memasukkannya ke dalam kelompok orang-orang shalih.

Agama-agama lain tidak menganggap Tuhan itu Maha Pemurah ((Ar-Rahmān) dan Penyayang (Ar-Rahīm), oang-orang Kristen menganggap Tuhan sebagai penganiaya dan menganggap anak-Nya sebagai pengasih, sebab sang Bapak tidak mengampuni dosa, melainkan sang anak-lah yang mengorbankan nyawanya untuk memperoleh pengampunan dosa. Sungguh suatu kebodohan yang amat sangat, betapa besarnya perbedaaan antara bapak dan anak, padahal antara bapak dan anak terdapat kesamaan dalam hal akhlak dan tingkah laku.

Seandainya Allah bukan Maha Pemurah maka manusia tidak akan bisa hidup barang sedetik pun. Dia-lah Tuhan yang sebelum adanya amal manusia telah menciptakan ribuan benda untuk keperluan manusia itu sendiri. Oleh karena itu dapatkah Dia dianggap tidak akan mengabulkan taubat serta amal?

Bukanlah hakikat dosa bahwa Tuhan menciptakannya lalu setelah ribuan tahun kemudian barulah Dia teringat akan pengampunan dosa. Sebagaimana lalat memiliki dua sayap -- pada salah satu sayap terdapat penawar racun, sedangkan pada sayap lainnya terdapat racun – demikian pulalah manusia memiliki dua sayap, yang satu adalah sayap dosa, dan yang kedua adalah sayap penyesalan, taubat, dan kedukaan. Ini adalah satu ketentuan. Sebagaimana ketika seseorang menghajar (memukul) budak (hamba sahaya) maka kemudian ia akan merasa menyesal -- seolah-olah kedua sayapnya sama-sama bereaksi -- bersama racun itu terdapat penawar.

Kini, yang menjadi persoalan adalah, mengapa racun itu diciptakan? Maka jawabannya adalah, bahwa walaupun ini merupakan sebuah racun, namun ia juga memiliki potensi sebagai penawar bagi racun yang mematikan. Seandainya tidak ada dosa maka racun kesombongan (keangkuhan) akan merajalela di dalam tubuh manusia, dan dia akan binasa.

Taubat itulah yang menangkalnya. Dosa menghindarkan manusia dari bahaya yang ditimbulkan oleh ketakaburan dan keangkuhan. Tatkala Nabi ma’shum (suci dari dosa) saw. saja melakukan istighfar sebanyak 70 kali [setiap hari], maka apa pula yang harus kita lakukan? Yang tidak bertaubat dari dosa adalah orang yang menyenangi dosa, sedangkan orang yang menganggap dosa itu sebagai dosa, akhirnya ia akan meninggalkan [dosa] itu

Di dalam hadits dikatakan, bahwa tatkala seorang insan berkali-kali menangis di hadapan Allah memohon pengampunan, maka akhirnya Allah akan berfirman, “Kami telah mengampuni engkau, kini apa pun yang dikehendaki hati engkau, lakukanlah”, artinya hati orang itu telah diubah, dan kini baginya dosa merupakan suatu hal yang buruk.

Sebagaimana orang melihat seekor domba sedang makan kotoran, maka ia tidak akan memakannya (memakan dagingnya), nah demikian juga halnya seorang insan yang telah diampuni Allah ia tidak akan berani berbuat dosa. Orang-orang Islam sangta membenci daging babi, padahal mereka melakukan ribuan pekerjaan haram dan terlarang lainnya. Hikmah yang terdapat di dalamnya adalah, telah diberikan contoh kebencian (ketidak-sukaan), dan telah diberikan pengertian bahwa demikian jugalah manusia hendaknya membenci dosa.

Orang-orang yang berdosa sama¬ sekali hendaknya jangan berhenti berdoa karena menganggap banyaknya dosa dan lain sebagainya. Pada akhirnya melalui doa dia bakal menyaksikan betapa dia akan menganggap dosa itu suatu hal yang buruk. Orang-orang yang tenggelam di dalam idosa lalu putus asa atas pengab ulan doa dan tidak kembali pada taubat, akhirnya mereka akan mengingkari para nabi dan pengaruh-pengaruhnya.

Ini adalah hakikat taubat dan mengapa ia merupakan bagaian dari baiat. Masalahnya adalah manusia telah tenggelam dalam kelalaian. Ketika dia baiat, dan melalui tangan seseorang telah dianugerahkan perubahan itu oleh Allah Ta'ala, maka sebagaimana akibat okulas (cangkokan) pada sebuah pohon akan menimbulkan perubahan pada sifat-sifatnya, seperti itu pula melalui okulasi makac berkat-berkat dan nur-nur [yang terdapat dalam diri orang yang telah memperoleh perubahan tadi] akan melekat padanya. Dengan syarat bahwa ia harus benar-benar mempunyai hubungan dengannya. Hendaknya jangan seperti cabang kering, melainkan menyatulah sehingga menjadi cabangnya. Sejauh mana ia menyatu maka sejauh itulah ia akan memperoleh manfaatnya.

Baiat yang hanya sebagai adat (formalitas) belaka tidak akan memberikan manfaat. Orang-orang yang masuk melalui baiat seperti itu akan sulit. Ia akan terhitung masuk tatkala dia benar-benar telah meninggalkan dirinya dan menyatu dengan penuh kecintaan serta keikhlasan dengannya.

Orang-orang munafik -- dikarenakan tidak memiliki hubungan sejati dengan Yang Mulia Rasulullah saw. -- ak¬himya tetap tidak beriman. Di dalam diri mereka tidak timbul kecintaan dan keikhlasan hakiki. Oleh karena itu ikrar Lā ilāiha illallāhu (tidak ada Tuhan kecuali Allah) secara zahiriah tidak memberikan manfaat pada diri mereka.

Jadi, meningkatnya hubungan-hubungan ini adalah suatu hal yang sangat penting. Jika seandainya dia (pencari) itu tidak meningkatkan hubungan-hubungan tersebut, serta tidak berusaha mencobanya, maka keluh-kesahnya tidak akan berfaedah.

Hendaknya hubungan kecintaan dan keikhlasan itu ditingkatkan. Sedapat mungkin hendaknya sewarna dengan insan mursyid (yang mendapat bimbiingan) dalam segala cara dan itikadnya. Nafsu menjanjikan umur yang panjang, Itu adalah tipuan. Umur tidak dapat dipercayai. Hendaklah segeralah tunduk ke arah kebenaran dan ibadah, serta hendaknya terus menghitung (menghisab) dari subuh hingga petang” (Malfuzat, jld. I, hlm. 2-5).