Ahmadiyya Priangan Timur

.

Friday 30 January 2015

Khutbah Jumat: KHALIFATUL MASIH II; MUTIARA HIKMAH



Ringkasan Khotbah Jumat
Sayyidina Amirul Mu’minin, Hadhrat Mirza Masroor Ahmad
Khalifatul Masih al-Khaamis ayyadahullaahu Ta’ala binashrihil ‘aziiz
tanggal 23 Januari 2015 di Masjid Baitul Futuh, Morden, London, UK.

Khotbah Jumat pada kesempatan kali ini adalah berkenaan dengan beberapa peristiwa yang diriwayatkan oleh Hadhrat Mushlih Mau’ud radhiyAllahu ta’ala ‘anhu tentang bagaimana penghormatan yang ditunjukkan oleh Hadhrat Masih Mau’ud ‘alaihish shalaatu was salaam untuk menjunjung kemuliaan Baginda Nabi Muhammad, Rasulullah shallAllahu ‘alaihi wa sallam.

Hadhrat Mushlih Mau’ud ra meriwayatkan mengenai Lekh Ram, seorang Pandit Hindu Arya Samaj yang berpengaruh yang senantiasa menggunakan bahasa kasar terhadap Rasulullah saw. Pada satu kesempatan, dia mengucapkan salam kepada Hadhrat Masih Mau’ud as, namun beliau as tidak mengacuhkannya dan menjelaskan kepada para pengikutnya dengan cukup serius, “Saya tidak menghiraukan ucapan salamnya karena dia mencaci junjungan kita.” Beliau as merasa tidak perlu untuk mempedulikannya dalam hal ini. Diketahui oleh umum bahwa apabila seorang besar atau pemimpin suatu kaum mendatangi seseorang, maka orang itu akan mempunyai alasan untuk menganggap dirinya besar atau terhormat. Merupakan adat kebiasaan manusia bahwa ia sangat perhatian sekali bila ada orang terhormat yang mendatangi dirinya, sementara bila ada orang miskin yang dating padanya, sikap pengormatannya akan berkurang sama sekali, bahkan bisa jadi tidak mempedulikannya.

Para pemimpin bangsa saat itu menganggap adalah suatu kehormatan untuk bertemu bahkan ditemui oleh Pandit Lekhram karena kedudukannya di tengah-tengah bangsa Arya waktu itu. namun, perhatikanlah bagaimana ghirahkecintaan Hadhrat Masih Mau’ud as kepada Rasulullah saw saat beliau as bersabda, “Saya takkan pernah menemuinya selama ia masih mencaci Junjungan saya saw.” Peristiwa ini menggambarkan ghirah kecintaan beliau as kepada Rasulullah saw. Juga memaparkan pelajaran lainnya, bahwa adalah tidak benar bagi seseorang untuk hanya menerima ucapan salam dari orang terhormat dan kaya saja dengan dasar bahwa pendekatan dari mereka dapat mengangkat martabat kita, namun, suatu keharusan juga untuk menghormati orang-orang miskin. Pokok mendasar ialah pernyataan ghirah pada situasi yang tepat. Jika seseorang terhormat menyatakan pernyataan yang tidak benar dan hormat terhadap Nabi saw maka kita tidak perlu untuk memberikan perhatian terhadap orang itu. Pendeknya, peristiwa ini mengandung berbagai poin halus.

Hadhrat Mushlih Mau’ud ra meriwayatkan, “Hadhrat Masih Mau’ud as adalah seorang pribadi yang berperilaku sangat baik kepada anak-anak sehingga tidak mungkin beliau berkata keras atau kasar kepada satu pun dari mereka. Saat kami masih kanak-kanak, sekali pun kami tak pernah melihat beliau marah. Beliau menyayangi anak-anak dan standar kecintaan tersebut hingga sedemikian rupa, seperti diriwayatkan oleh Maulwi Abdul Karim Sialkoti, suatu kali, beliau merasa sakit di pinggang beliau ketika berbaring. Ternyata ada sepotong pecahan batu bata di saku beliau yang menyebabkan rasa sakit. Pecahan batu bata itu ada di saku beliau as karena Hadhrat Mahmud (Hadhrat Mushlih Mau’ud) telah meminta beliau agar menyimpannya dan beliau as dengan senang hati menyimpannya di saku beliau.

Beliau sangat menyayangi kami, dan adik kami terkecil, Mubarak Ahmad. Suatu kali, Mubarak Ahmad, yang paling kecil dari antara kami dan menurut kami adalah anak yang paling disayang oleh beliau as. Namun, kecintaan dan rasa sayang tersebut tidaklah melebihi kecintaan beliau as terhadap Nabi saw. Suatu kali, dalam kondisi kekanak-kanakannya, Mubarak Ahmad mengucapkan sesuatu yang tidak etis terhadap kemuliaan Hadhrat Rasulullah saw. Oleh karena itu, beliau as memukulnya dengan satu pukulan yang keras.”

Hadhrat Mushlih Mau’ud ra meriwayatkan, suatu kali Hadhrat Masih Mau’ud as mengetahui bahwa Rasulullah saw telah dihinakan pada suatu pertemuan di Lahore meskipun sebelumnya telah diberikan jaminan (oleh pihak non Islam, Hindu, yang mengundang) bahwa hal tersebut tidak akan terjadi pada pertemuan tersebut. Pertemuan itu dihadiri oleh Hadhrat Maulwi Hakeem Nuruddin Sahib dan Hadhrat Mushlih Mau’ud as. Hadhrat Masih Mau’ud as merasa jengkel kepada mereka berdua dan berkata bagaimana rasa hormat kalian terhadap Rasulullah saw dapat tunduk kepada mereka dengan tetap saja duduk dalam pertemuan semacam itu.

Kemudian, Hadhrat Mushlih Mau’ud ra meriwayatkan, suatu perdebatan dengan Abdullah Atham, seorang misionaris Kristen, diterbitkan dalam buku Masih Mau’ud as berjudul Jang-e-Muqaddas. Ini terjadi setelah Hadhrat Masih Mau’ud as menyatakan diri sebagai Al-Masih dan para ulama telah menyuarakan fatwa pengkafiran serta menyatakan beliau ‘layak dibunuh’. Namun ketika beliau as diminta oleh para non-Ahmadi untuk berbicara dalam suatu perdebatan dengan seorang Kristen, beliau as dengan siap tampil untuk menegakkan kemuliaan Rasulullah saw dan Islam. Perdebatan itu berlangsung panjang. Pada akhir perdebatan beliau memanjatkan doa dengan khusyuk. Kemudian diperlihatkan dalam kasyaf kepada Hadhrat Masih Mau’ud as bahwa kelompok yang telah berdusta dalam perdebatan ini akan dijerumuskan ke dalam Hawiyah (kehidupan neraka) jika mereka dalam waktu 15 bulan tidak kembali pada kebenaran.

Ketika Abdullah Atham tidak mati dalam kurun waktu 15 bulan, orang-orang membuat keributan dan mengolok-olok bahwa nubuatan itu palsu. Salah seorang sahabat Masih Mau’ud as menjawab dengan gagah berani bahwa siapa yang bilang bahwa Atham masih hidup. Dia itu seperti orang mati yang sedang berjalan. Memang, beberapa orang tampak hidup namun sebenarnya mati sementara yang lain tampak mati namun sebenarnya hidup, seperti halnya mereka yang mati karena Tuhan. Dan beberapa orang yang ‘hidup’ tampak mati bagi orang-orang yang memiliki pandangan rohani. Atham tidak hanya mati secara rohani namun juga mati secara jasmani setelah beberapa waktu kemudian.

Ketika kurun waktu 15 bulan akan berakhir, orang-orang berdoa dengan penuh gairah dan sepenuh hati untuk kematiannya agar nubuatan tersebut terbukti benar. Namun, Hadhrat Masih Mau’ud as tidak senang akan hal ini. Beliau berkata siapakah yang lebih berwenang memenuhi kata-kata-Nya lebih dari pada Tuhan sendiri? Sungguh, nubuatan tersebut terpenuhi dengan segala kemuliaannya meskipun hanya tertunda beberapa saat.

Ketika Atham mendengar kata-kata nubuatan tersebut, dia menjadi pucat, mulai gemetar dan bertaubat. Dia merasa ketakutan dan kemudian menghentikan perlawanannya serta tidak lagi menulis apapun yang menyulut permusuhan hingga akhirnya dia menemui ajalnya. Nubuatan tentang Atham adalah bersyarat dan jika dia yakin dengan keimanannya terhadap Yesus Kristus maka dia tidak akan menjadi sangat gelisah. Nubuatan tersebut mengatakan bahwa jika dia kembali kepada kebenaran, tidak dikatakan jika dia menjadi seorang Muslim. Dia telah memanggil Rasulullah saw sebagai Dajjal (naudzubillah) dan setelah mendengar nubuatan tersebut, dia bertaubat. Siksa Ilahi tidak akan turun ketika orang-orang mempunyai keyakinan yang salah; namun siksa Ilahi akan turun ketika kejahatan dilakukan. Keyakinan yang salah akan berhubungan dengan akhirat sementara melakukan kejahatan akan menarik siksa Ilahi di dunia ini juga.

Ketika misionaris Kristen merasa lelah dengan rencana mereka yang selalu mengalami kegagalan, mereka akhirnya berkumpul dengan beberapa umat Islam dan mengumpulkan beberapa orang buta, tuli dan bisu kemudian berkata kepada Hadhrat Masih Mau’ud as bahwa jika beliau as menyatakan telah datang sebagai Yesus yang kedua dalam bentuk kiasan, lalu apakah beliau dapat menyembuhkan orang-orang buta, tuli dan bisu ini sebagaimana yang Yesus lakukan. Hadhrat Masih Mau’ud as membalas dengan penuh keyakinan dan berkata bahwa menurut ajaran Islam, kemiripan antara Yesus terdahulu dengan apa yang beliau nyatakan sekarang bukanlah secara fisik menyembuhkan orang-orang buta, tuli dan bisu. Beliau mengatakan kepada mereka bahwa itu adalah keyakinan mereka, bukan keyakinan beliau as bahwa Yesus terdahulu dapat melakukannya dan Bible juga mengatakan bahwa siapapun yang memiliki keimanan sebesar biji sawi maka dia dapat memindahkan gunung. Beliau mengatakan bahwa beliau hanya akan dapat menunjukan mukjizat yang dilakukan oleh junjungan beliau, Rasulullah saw. Namun, jika Bible mereka berkata bahwa orang yang memiliki iman sebesar biji sawi dapat memindahkan gunung, lalu mengapa mereka tidak dapat menyembuhkan orang  buta, tuli dan bisu yang ada pada saat ini! Tentu saja, para pendeta gugup menjawabnya dan mereka tidak mendapat petunjuk!

Hadhrat Mushlih Mau’ud ra meriwayatkan mengenai seseorang bernama Mir Abbas Ali. Ia adalah salah seorang pengikut Hadhrat Masih Mau’ud as yang kemudian meninggalkan keyakinannya akibat dipengaruhi oleh para ulama. Mir Abbas Ali, seorang pengikut Hadhrat Masih Mau’ud as yang sangat ikhlas dengan kerohanian yang tinggi sampai-sampai Hadhrat Masih Mau’ud as bahkan pernah memperoleh wahyu berkenaan dengan kekuatan kerohanian Mir Abbas Ali. Ketika perdebatan antara Hadhrat Masih Mau’ud as dan Maulwi Muhammad Husain Batalwi telah berakhir, Mir Abbas Ali diutus untuk membawa surat beliau as kepada Maulwi Muhammad Husain Batalwi.

Ketika Mir Abbas Ali sampai ke tempat yang dituju, Maulwi Muhammad Husain Batalwi beserta para Syaikh menyambutnya dengan sangat menghargai dan penuh penghormatan. Maulwi dan para Syaikh bergantian menciumi tangannya seraya berkata, “Di dalam diri Tuan mengalir darah Rasulullah saw, kami siap berbaiat (janji setia) kepada Anda. Namun, dari manakah datangnya si orang Mughal itu? Jika memang ada utusan (Imam Mahdi) yang datang, mereka hendaknya berasal dari kalangan Sadaat (para sayyid, keturunan Nabi Muhammad saw).”

Kemudian mereka membicarakan mengenai Tasawuf dan para Sufi. Dikarenakan Mir Abbas Ali adalah orang yang sangat suka dengan Tasawuf dan para Sufi, maka para Maulwi dan Syaikh itu menceritakan kepadanya tentang kisah-kisah para Sufi dari berbagai tempat bahwa sufi ini dan itu melakukan keajaiban-keajaiban. Kemudian setelahnya, mereka berkata, “Jika Tn. Mirza dapat menunjukkan kepada kami keajaiban-keajaiban tersebut, hari ini kami tentu akan segera mengimaninya. Misalnya memegang ular, atau berdiri seperti ini dan begini.”

Perihal itu sangat dikagumi sekali oleh Mir Abbas Ali. Urusan itu sangat berpengaruh kedalam hatinya. Maka, ketika ia pulang kepada Hadhrat Masih Mau’ud as, ia berkata, “Hudhur, jika Tuan memperlihatkan karamah-karamah sedemikian rupa, para Maulwi dan Syaikh akan segera beriman kepada Tuan.”

Ketika kalimat ‘Karamah’ keluar dari lisan Mir Abbas Ali, yakinlah beliau bahwa ia telah masuk kedalam perangkap para Maulwi dan Syaikh. Kemudian, Hadhrat Masih Mau’ud as menasehatinya dan memberikan pengertian kepadanya, namun, ia tak paham juga. Sebagai akibatnya, hilanglah imannya, pudarlah sudah keikhlasan dan penghargaannya kepada Hadhrat Masih Mau’ud as.

Doa dalam surah al-Fatihah memberitahukan kepada kita bahwa manusia senantiasa cenderung kepada kemunafikan dan kekafiran dan dua kelemahan ini biasanya menyerang orang-orang yang telah masuk kedalam golongan mun’am ‘alaihim, yang diberkati oleh Allah Ta’ala dengan ni’mat-ni’mat-Nya. Sungguh disebutkan dalam surah al-Fatihah mengenai umat Yahudi dan Nasrani bahwa mereka menjadi, baik itu maghdhub ‘alaihim (dimurkai) maupun dhalliin (tersesat), padahal mereka sebelumnya termasuk golongan mun’am ‘alaihim (menerima nikmat Ilahi). Hendaknya diingat doa agar terhindar dari keburukan di akhir surah al-Fatihah hendaknya direnungkan bahwa semoga Allah senantiasa memasukkan kita ke dalam golongan orang-orang yang menerima nikmat-Nya.

Adalah tidak mungkin dasar kesalehan seseorang itu berdasarkan ilmunya saja. Hadhrat Mushlih Mau’ud ra berbicara mengenai hal ini: “Jika kita berasumsi bahwa bangunan dasar kesalehan dan keutamaan seseorang ialah pada ilmunya saja, maka kita pasti akan menganggap dusta terhadap para Nabi yang adalah orang-orang berilmu semuanya, والعياذ بالله, hal demikian karena para penentang nabi-nabi umumnya ialah golongan ulama (para cendekiawan atau tokoh-tokoh agama). Para ulama yang terkenal menentang para nabi di zamannya. Para ulama semacam itu, yang menganggap dirinya cendekiawan besar juga menentang Hadhrat Masih Mau’ud as sampai-sampai Maulwi Muhammad Husain Batalwi menulis tentang Hadhrat Masih Mau’ud as dengan penuh penghinaan sebagai ‘Munsyi Ghulam Ahmad’ (Munsyi, gelar atau sebutan untuk juru tulis, ed.). Itu artinya beliau hanyalah selevel juru tulis atau editor yang hanya bisa menulis sebanyak beberapa baris saja, namun bukan orang yang cendikia. Ia (Husain Batalwi) dengan suka cita menulis hal ini bahwa ia menuliskan mengenai Hadhrat Masih Mau’ud as yang menurutnya hanya seorang juru tulis atau redaktur majalah saja.”

Hadhrat Mushlih Mau’ud ra kemudian mengatakan: “Pada waktu umur saya masih anak-anak, Hadhrat Maulwi Sayyid Muhammad Ahsan Amrohi berkata di sebuah pertemuan, ‘Maulwi Muhammad Husain Batalwi telah menulis mengenai diri saya bahwa saya adalah seorang Maulwi sementara ia menulis mengenai Hudhur as hanya sebagai seorang juru tulis atau editor saja.’ Kendatipun saya masih kanak-kanak, hal itu kemudian telah menyakiti saya, kenapa beliau menyampaikan hal seperti itu di sebuah pertemuan, hal itu masih saya sesalkan. Seorang beriman harus dapat memilih kata-kata yang tepat dan terhormat, atau tidak perlu bagi mereka menceritakan hal-hal yang telah disebutkan tadi.

Selanjutnya sekarang kita akan menyimak bagaimana taraf keteguhan Hadhrat Masih Mau’ud as dalam memegang akhlak kejujuran dan kebenaran sesuai riwayat yang diceritakan oleh Hadhrat Mushlih Mau’ud ra yaitu sebagai berikut: Suatu kali Hadhrat Masih Mau’ud as mengirim sebuah parsel (paket) kepada seseorang dan memasukan sebuah surat ke dalam parsel tersebut. Beliau tidak mengetahui bahwa hal ini berlawanan dengan peraturan yang ada. Kasus ini diajukan ke pengadilan dan pengacara Hadhrat Masih Mau’ud as meminta beliau as agar menyangkal telah mengirimkan surat tersebut sepanjang parsel itu belum dibuka di depan seorang saksi. Hadhrat Masih Mau’ud as mengatakan adalah tidak benar berkata demikian dan beliau tidak bersedia mengatakan hal itu meskipun menurut pengacara tersebut konsekuensinya adalah beliau pasti akan dihukum. Selama pengadilan, Hadhrat Masih Mau’ud as dengan sangat jujur mengakui telah memasukan surat ke dalam parsel namun beliau as tidak mengetahui hal itu melanggar peraturan. Jaksa penuntut memberikan pidato panjang yang tidak mengesankan bagi sang hakim. Para akhirnya, hakim tersebut membebaskan Hadhrat Masih Mau’ud dan kasus beliau selesai.

Peristiwa ini sering diceritakan dan memberikan suatu standar kejujuran bagi kita untuk dijaga. Bagaimanapun juga, orang-orang yang tinggal di negara-negara ini berperilaku berlawanan dengan hal ini yakni ketika mereka mencari keuntungan dari pemerintah, pada waktu mencari suaka atau dalam kasus-kasus asuransi. Para Ahmadi yang melakukan hal ini hendaknya merenungkan hal ini karena ketidakjujuran tidaklah tepat bagi para Ahmadi.

Sekarang saya hendak menyebutkan mengenai ruqyah (mantra-mantra) dan jimat-jimat hal mana banyak orang di dunia ini yang cenderung ke arah ini. Hadhrat Mushlih Mau’ud ra menulis, “Hadhrat Masih Mau’ud as sering kali bersabda bahwa Hadhrat Abu Huraira ra kurang dalam hal tafaqquh (pemahaman mendalam tentang agama) dibanding para sahabat lainnya. Mayoritas hadis yang dikutip oleh orang-orang Kristen untuk mendukung pendapat mereka adalah diriwayatkan oleh Hadhrat Abu Huraira ra yang meriwayatkan hadis tanpa melihat latar belakangnya. Demikian pula ada beberapa riwayat yang dinisbahkan kepada Masih Mau’ud as yang diceritakan tanpa adanya tafaqquh dari yang meriwayatkannya. Tertulis bahwa ketika tersisa 1 hari lagi dari batas waktu yang diberikan dalam Nubuatan mengenai kehancuran Abdullah Atham, Hadhrat Masih Mau’ud as berkata kepada sebagian orang agar membawakan beberapa biji kacang polong dengan jumlah sekian lalu beliau membacakan surah-surah tertentu dalam Al-Qur’an kemudian membuangnya ke dalam sebuah sumur di luar Qadian.”

Mengetahui hal ini, Hadhrat Mushlih Mau’ud ra kemudian bertanya secara beruntun kepada yang bertanggungjawab meriwayatkan kisah diatas dan menuliskannya, “Mengapa kisah seperti ini bisa Anda riwayatkan sedangkan kisah ini benar-benar bertentangan dengan apa yang biasa Hadhrat Masih Mau’ud as amalkan. Seolah-olah beliau as cenderung kepada mantra dan jimat, والعياذ بالله.?”
Setelah ditelusuri, ternyata diketahui ada seseorang yang melihat dalam mimpi demikian. Hadhrat Masih Mau’ud as berkata, “Anda dapat melihat penggenapannya secara lahiriah apa adanya.” Dan pengenapan (penyempurnaan) sebuah mimpi secara apa adanya adalah satu hal, tetapi tindakan secara sengaja karena ingin melakukan hal seperti itu adalah sesuatu yang sama sekali berbeda. Di balik penggenapan sebuah mimpi secara apa adanya, terdapat suatu tujuan khusus, yaitu, supaya Allah menghapus (menolak) segi-segi buruk dalam mimpi tersebut seperti keinginan yang melihat mimpi itu. Para ahli tabir mimpi menulis bahwa mimpi merupakan suatu pertanda apa yang akan terjadi, jika apa-apa yang telah dilihat dalam mimpi disempurnakan secara apa adanya, maka dengan izin Allah, sisi negatif/jahat dari mimpi tersebut takkan muncul karena Allah berjanji untuk menyempurnakannya seperti apa yang terlihat dalam mimpi.

Hal ini terbukti contohnya dari beberapa hadis. Ketika Rasulullah saw melihat Suraqa mengenakan gelang emas Kisra dalam suatu kasyaf yang mengindikasikan bahwa Islam akan menang atas Persia. Karena melihat emas di dalam mimpi diartikan sebagai masalah atau kesedihan maka tabir penjelasannya juga dapat berarti bahwa setelah kemenangan atas Persia, orang-orang Persia akan membuat masalah. Oleh karena itu, untuk dapat mencegah terjadinya pengaruh buruk (berbahaya) tersebut, Hadhrat Umar ra mendorong Suraqa untuk menggenapi kasyaf Rasulullah saw dengan mengenakan gelang emas Kisra. [Padahal, dalam Islam, laki-laki Muslim dilarang memakai perhiasan emas]1

Suatu kali di tahun 1931, Hadhrat Mushlih Mau’ud ra memberikan khotbah menasehati Jemaat ini untuk menghindari konflik karena beliau mengatakan bahwa Jemaat ini sudah memperoleh kematangan. Beliau kemudian memberitahukan ada seseorang yang telah dikeluarkan dari Jemaat kemudian beliau menyampaikan khotbah kedua. Namun pada saat sedang menyampaikan khotbah, ada seseorang yang berdiri seraya bertanya, “Hudhur, siapakah orang yang dikeluarkan dari Jemaat itu?” Sedangkan ada seseorang yang lain yang memperingatkannya, “Janganlah engkau berbicara pada saat khotbah sedang disampaikan!”

Melihat hal ini, Hadhat Mushlih Mau’ud ra tersenyum dan kemudian meriwayatkan sebuah kisah: “Setelah matinya Lekh Ram, kediaman Hadhrat Masih Mau’ud as dikunjungi oleh seorang superintenden polisi. Ketika melewati pintu masuk, kepalanya terbentur dan dia merasa sakit dan pusing. Kepadanya ditawari untuk minum susu namun dia menolak, ‘Saya kemari sedang untuk menjalankan tugas. Ke sini untuk meminum susu tentu berlawanan dengan kewajiban saya.’ Mengenai hal ini, orang yang sama yang bertanya kepada Hadhrat Mushlih Mau’ud ra mengenai siapa yang dikeluarkan dari Jemaat, ia juga yang bertanya kepada Hadhrat Masih Mau’ud as, ‘Apakah kepala polisi itu berdarah?’ Hadhrat Masih Mau’ud as tersenyum dan berkata, ‘Saya tidak tahu karena saya tidak membuka topi polisi itu.”

Ada sebagian orang yang memiliki kebiasaan mengatakan hal-hal yang tidak perlu. Ringkasnya, berbicara di saat khotbah berlangsung itu dilarang bagi jamaah pendengarnya. Menegur orang agar jangan berbicara ketika khotbah berlangsung juga adalah hal yang salah. Dimungkinkan dan boleh menyampaikan sarannya itu dengan cara isyarat atau menasihati setelah selesai khotbah. Hadhrat Mushlih Mau’ud ra menceritakan sebuah anekdot dimana ada seseorang yang datang ke mesjid ketika shalat berjamaah sedang berlangsung. Orang tersebut mengucapkan salam dengan suara yang keras. Salah seorang makmum yang sedang shalat membalas salamnya. Mendengar hal ini, orang yang berada di sebelahnya yang juga sama-sama sedang ikut shalat berjamaah berkata, “Jangan berbicara ketika sedang shalat. Mengapa kamu menjawab salamnya”

Khotbah Jumat merupakan bagian dari shalat. Jadi berbicara selama khotbah berlangsung adalah tidak dibenarkan. Sang Imam boleh mengatakan sesuatu yang perlu disampaikan, namun jamaah tidak. Adapun dalam shalat, Imam dilarang untuk berbicara (di luar doa shalat). Hendaknya hal ini, yaitu larangan berbicara selama khotbah dan selama shalat ditanamkan di dalam diri anak-anak semenjak usia dini.

Diterjemahkan oleh: Hafizurrahman (editor : Dildaar Ahmad D.) rujukan www.alislam.org dan www.islamahmadiyya.net (Arab)


[1] Kisah diatas diriwayatkan oleh imam al-Bukhari (no. hadits 3905) dan Muslim kitab az-Zuhd (no. hadits 75). Suraqah adalah ahli pencari jejak Quraisy. Ia ikut sayembara berhadiah besar dari kaum Quraisy untuk menangkap Nabi yang sedang hijrah ke Madinah. Kuda tunggangannya berkali-kali jatuh ke tanah tiap kali mendekati Nabi yang sedang berjalan bersama Abu Bakr, sahabatnya dan Amir ibn Fuhairah, asisten dan penulisnya. Akhirnya ia berubah pandangan dan berkeyakinan Nabi bukan orang biasa dan beliau akan menang dalam dakwahnya. Ia mendekati Nabi secara bersahabat. Nabi bersabda kepada Suraqah bahwa ia akan mengenakan gelang-gelang dan pakaian kebesaran  Kisra (raja) Persia. Apa yang disabdakan oleh Nabi saw ini terjadi 24 tahun kemudian. Khalifah Umar yang mendapat kiriman harta pasukan Islam setelah menang perang dengan Persia, mengumpulkan orang-orang dan menyuruh Suraqah mengenakan pakaian kebesaran raja Persia, berikut perhiasan termasuk gelang-gelangnya dihadapan orang banyak tersebut.

0 komentar:

Post a Comment