“Akan tetapi Al-Quran -- bersesuaian dengan fitrat manusia – membimbing manusia ke arah kesuksesan (keberhasilan) secara bertahap. Permisalan bagi Injil itu adalah bagaikan seorang anak muda yang dipaksa membaca yang sangat rumit begitu dia dimasukkan ke dalam sekolah. Allah Ta'ala itu Mahaberakal (penuh hikmah). Tuntutan dari hikmah-Nya adalah supaya pendidikan itu diselesaikan secara bertahap. Kemudian tentang orang mutaki (bertakwa) difirmankan:
“Orang-orang bertakwa itu adalah mereka yang beriman kepada Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelumnya, dan kepada Kitab yang telah diturunkan kepada engkau, dan mereka yakin akan akhirat”
“Orang-orang bertakwa itu adalah mereka yang beriman kepada Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelumnya, dan kepada Kitab yang telah diturunkan kepada engkau, dan mereka yakin akan akhirat”
(Al-Baqarah, 5).
Hal ini pun tidak luput dari usaha¬ gigih (susah-payah). Sampai saat itu keimanan masih berada di dalam bentuk mahjubiyyat (keterselubungan). Pandangan orang yang mutaki (bertakwa) bukanlah pandangan yang memiliki makrifat dan bashirat. Dia telah melawan setan dengan ketakwaan, sehingga sampai saat itu dia mempercayai sesuatu. Begitulah keadaan Jemaat kita pada saat ini. Mereka melalui ketakwaan memang telah beriman (percaya).
Takwa bukanlah barang yang kecil. Melalui perlawanan terhadap segenap setan yang telah menguasai setiap potensi dan kemampuan yang terdapat di dalam diri manusia. Seluruh potensi (kekuatan) yang terdapat di dalam diri manusi pada kondisi nafs Ammarah merupakan setan. Seandainya tidak ada perbaikan pada potensi-potensi (kekuatan-kekuatan) tersebut maka mereka akan memperbudak manusia.
Ilmu dan akal pun jika dipergunakan pada jalan yang buruk menjadi setan. Pekerjaan orang mutaki (bertakwa) adalah mengadakan keseimbangan berkenaan potensi-potensi tersebut serta atas segenap potensi lainnya. Demikian pula orang-orang yang pada segala kondisi menganggap buruk sikap pembalasan, amarah serta nikah, mereka itu menentang hukum kudrat, dan mereka melawan kekuatan (potensi) manusia”
(Malfuzhat, jld I, hlm. 33 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).
0 komentar:
Post a Comment