Ahmadiyya Priangan Timur

.

Tuesday, 24 February 2015

MENENTANG WALI ALLAH MENYEBABKAN KEHILANGAN IMAN

“Para Waliullah adalah orang-orang yang mereka itu Tuhan Yang Maha Perkasa jadikan dekat dengan-Nya. Kata wali berarti orang yang dekat. Mereka inilah orang-orang yang seolah-olah bertatap-muka dengan Tuhan, sedangkan yang lain ada tirai di antara mereka, dan seolah-olah ada dinding di hadapan mereka.

Bagaimana mungkin dua orang itu sama, yang satu tidak ada tirai di hadapannya, Tuhan Maha Perkasa telah memberi mata kepadanya, dan Dia juga telah memberikan penglihatan kepadanya, yaitu penglihatan yang menuntunnya dalam setiap ucapan dan tindakannya. Dia dia tidak seperti orang yang tidak dapat melihat, yang tersandung di sana sini, seolah-olah Tuhan turun ke dalam hatinya, dan dalam setiap langkahnya Dia menuntunnya.

Kegelapan setan tidak dapat mencapainya, bahkan kegelapan itu luluh jadi debu, dan segala sesuatu menjadi tampak kepadanya dengan sangat jelas. Apa pun yang dia katakan, itu semua berasal dari pengalaman ruhani dan dia dia menjelaskan hal-hal yang gaib. Apapun penafsiraan atas sebuah hadits yang dia berikan, itu dan hanya itulah yang benar, karena dia dapat mendengar kata-kata tersebut langsung dari Rasulullah saw., dan dengan demikian hadits memiliki bentuk dari pengungkapannya sendiri, sementara orang lain harus berpijak pada riwayat yang tidak kurang dari 303 tahun. Bagaimana mungkin dua macam orang ini dapat dibandingkan dengan baik?

Semua waliullah memiliki harta makrifat Ilahi (pengertian tentang Tuhan), suci dan jelas. Orang yang menentangnya dan menolak semua perkataannya – seolah-olah dia telah memutuskan untuk menentang wali Allah tersebut dalam hal apa pun yang dikatakannya – membuat runtuh batu-bata dinding kesadarannya akan Tuhan.

Jika seseorang menunjukkan jalan yang benar, dan yang lain menolak apa pun yang dia katakan, hasilnya adalah bahwa yang disebut terakhir akan menolak semua inti sari iman yang disebutkan dalam Al-Quran, dan akhirnya dia akan kehilangan keimanan mengenai keberadaan Tuhan. Dengan kata lain, dia kehilangan keimanannya.”

(Malfuzhāt, jld I, hlm. 332).

0 komentar:

Post a Comment