“Manusia hendaknya mengerti apa itu neraka. Neraka yang pertama adalah yang telah dijanjikan oleh Tuhan [di akhirat], dan neraka yang satu lagi adalah kehidupan itu sendiri jika kehidupan itu bukan demi Tuhan. Tuhan tidak menjadi Penjaga atas orang semacam itu dan Dia tidak menolongnya dari kesulitan-kesulitan serta tidak memberikannya ketentraman.
Jangan menganggap bahwa kekayaan, jabatan, kehormatan dan anak yang banyak dapat memberikan ketentraman, kepuasan, dan kedamaian sejati pada seseorang, hal-hal itu juga tidak dapat kehidupan surga. Kesenangan, kepuasan hati yang merupakan kebahagiaan surgawi tidak dapat diperoleh melalui hal-hal itu, hal-hal tersebut hanya dapat diperoleh melalui hidup dan mati dalam Tuhan, Inilah wasiat dari semua nabi, khususnya Hadhrat Ibrahim as. dan Hadhrat Yakub as.
Wasiat mereka adalah: Lā tamutunna ilā wa antum muslimūn – “kalian hendaknya mati dalam keadaan berserah diri” (Al-Baqarah, 133). Kesenangan dunia melahirkan keserakahan kotor dan menambah dahaga untuk memperoleh lebih banyak. Seperti seorang korban penyakit kehausan, haus tidak terobati dan penyakit pun akhirnya berakibat fatal. Dengan demikian api nafsu, ambisi dan ketidakpuasan juga berkaitan dengan neraka, dia tidak membiarkan manusia beristirahat, malah memberi semacam kebingungan dan ketidakpuasan.
Hendaknya sahabat-sahabat saya melihat kenyataan, bahwa seseorang jangan terlalu asyik dalam kecintaan terhadap kekayaan dan istri-istri serta anak-anak, sehingga dia begitu bernafsu, melampaui batas dan berlebihan sehingga hal itu menjadi tabir peng-halang antara dia dan Tuhan Yang Maha Perkasa.
Itulah sebabnya mengapa kekayaan dan anak-anak disebut ujian. Mereka juga me-nyiapkan neraka bagi orang itu dan jika dia dipisahkan dari mereka, dia menjadi begitu amat gelisah dan itulah:
Yakni, api itu yang membakar hati manusia seperti daging bakar dan membuatnya lebih hitam daripada arang adalah kecintaan terhadap ghairullah (sesuatu selain Tuhan Yang Maha Perkasa).
Dengan adanya saling ikat mengikat dan pergesekkan satu sama lain timbul suatu panas. Demikian pula dengan adanya pergesekkan yang ditimbulkan oleh rasa cinta terhadap manusia dan rasa cinta terhadap benda-benda dunia, maka kecintaan terhadap Allah pun menjadi terbakar, hati menjadi kelam dan menjauh dari Allah serta menjadi sasaran berbagai macam ketidaktenteraman.
Namun, tatkala hubungan dengan benda-benda dunia itu dibalut di dalam hubungan dengan Allah, dan kecintaan terhadap terhadap benda-benda itu dituangkan dalam kecintaan terhadap Allah, maka pada saat itu pergesekan mereka antara satu sama lain akan mengakibatkan terbakarnya rasa cinta terhadap ghairullah (selain Allah), dan sebagai gantinya akan muncul suatu cahaya dan nur, kemudian keridhaan Allah menjadi keridhaannya, dan keridhaannya menjadi keridhaan Allah.
Dengan mencapai kondisi deinikian kecintaan terhadap Allah menjadi seperti nyawa baginya. Dan sebagaimana untuk hidup diperlukan kebutuhan-kebutuhan hidup maka untuk hidupnya yang diperlukan hanyalah Allah dan Allah semata. Dalam ungkapan lain dapat dikatakan, bahwa kebahagiaan dan ketentramannnya hanya terdapat di dalam Allah. Kemudian, jika dia memperoleh suatu penderitaan dan kesusahan di kalangan orang-orang dunia, itu memang dia hadapi, namun sebenarnya dalam duka nestapa itu pun dia merasakan kelezatan Ilahi dengan nikmat dan tenteram, yakni suatu hal yang tidak dapat diraih oleh orang-orang dunia yang paling bahagia sekali pun”.
(Malfuzhat II, hlm 101-102).
Jangan menganggap bahwa kekayaan, jabatan, kehormatan dan anak yang banyak dapat memberikan ketentraman, kepuasan, dan kedamaian sejati pada seseorang, hal-hal itu juga tidak dapat kehidupan surga. Kesenangan, kepuasan hati yang merupakan kebahagiaan surgawi tidak dapat diperoleh melalui hal-hal itu, hal-hal tersebut hanya dapat diperoleh melalui hidup dan mati dalam Tuhan, Inilah wasiat dari semua nabi, khususnya Hadhrat Ibrahim as. dan Hadhrat Yakub as.
Wasiat mereka adalah: Lā tamutunna ilā wa antum muslimūn – “kalian hendaknya mati dalam keadaan berserah diri” (Al-Baqarah, 133). Kesenangan dunia melahirkan keserakahan kotor dan menambah dahaga untuk memperoleh lebih banyak. Seperti seorang korban penyakit kehausan, haus tidak terobati dan penyakit pun akhirnya berakibat fatal. Dengan demikian api nafsu, ambisi dan ketidakpuasan juga berkaitan dengan neraka, dia tidak membiarkan manusia beristirahat, malah memberi semacam kebingungan dan ketidakpuasan.
Hendaknya sahabat-sahabat saya melihat kenyataan, bahwa seseorang jangan terlalu asyik dalam kecintaan terhadap kekayaan dan istri-istri serta anak-anak, sehingga dia begitu bernafsu, melampaui batas dan berlebihan sehingga hal itu menjadi tabir peng-halang antara dia dan Tuhan Yang Maha Perkasa.
Itulah sebabnya mengapa kekayaan dan anak-anak disebut ujian. Mereka juga me-nyiapkan neraka bagi orang itu dan jika dia dipisahkan dari mereka, dia menjadi begitu amat gelisah dan itulah:
“Api Allah yang dinyalakan, yang sampai ke dalam hati” – Al Humazah, 7-8).
Yakni, api itu yang membakar hati manusia seperti daging bakar dan membuatnya lebih hitam daripada arang adalah kecintaan terhadap ghairullah (sesuatu selain Tuhan Yang Maha Perkasa).
Dengan adanya saling ikat mengikat dan pergesekkan satu sama lain timbul suatu panas. Demikian pula dengan adanya pergesekkan yang ditimbulkan oleh rasa cinta terhadap manusia dan rasa cinta terhadap benda-benda dunia, maka kecintaan terhadap Allah pun menjadi terbakar, hati menjadi kelam dan menjauh dari Allah serta menjadi sasaran berbagai macam ketidaktenteraman.
Namun, tatkala hubungan dengan benda-benda dunia itu dibalut di dalam hubungan dengan Allah, dan kecintaan terhadap terhadap benda-benda itu dituangkan dalam kecintaan terhadap Allah, maka pada saat itu pergesekan mereka antara satu sama lain akan mengakibatkan terbakarnya rasa cinta terhadap ghairullah (selain Allah), dan sebagai gantinya akan muncul suatu cahaya dan nur, kemudian keridhaan Allah menjadi keridhaannya, dan keridhaannya menjadi keridhaan Allah.
Dengan mencapai kondisi deinikian kecintaan terhadap Allah menjadi seperti nyawa baginya. Dan sebagaimana untuk hidup diperlukan kebutuhan-kebutuhan hidup maka untuk hidupnya yang diperlukan hanyalah Allah dan Allah semata. Dalam ungkapan lain dapat dikatakan, bahwa kebahagiaan dan ketentramannnya hanya terdapat di dalam Allah. Kemudian, jika dia memperoleh suatu penderitaan dan kesusahan di kalangan orang-orang dunia, itu memang dia hadapi, namun sebenarnya dalam duka nestapa itu pun dia merasakan kelezatan Ilahi dengan nikmat dan tenteram, yakni suatu hal yang tidak dapat diraih oleh orang-orang dunia yang paling bahagia sekali pun”.
(Malfuzhat II, hlm 101-102).