"Akal yang suci berasal dari langit, dan bersamaan dengannya dia membawa serta sebuah nur (cahaya). Akan tetapi dia senantiasa mencari-cari potensi-potersi (bakat-bakat) yang terpendam. Kaidah-kaidah dalam silsilah suci ini ini adalah sama dengan apa yang kita lihat di dalam hukum-hukum jasmani. Hujan turun dari langit, tetapi ada suatu tempat yang menjadi berbunga akibat hujan tersebut, dan ada pula tempat-tempat yamg hanya tumbuh duri dan semak belukar saja. Dan di tempat-tempat tertentu butir-butir air hujan itu jauh ke dasar laut lalu menjadi mutiara yang mulia mulia (berharga).
Jika tanah tidak layak maka hujan sedikit pun tidak memberikan manfaat, bahkan justru sebaliknya yang timbul adalah kemudaratan dan kerugian. Untuk itulah turunlah nur samawi (cahaya langit) dan ia ingin menyinari hati [orang-orang]. Bersiap-siaplah kalian untuk menerimanya dan untuk mengambil manfaat darinya. Jangan sampai seperti hujan, tanah yang tidak memiliki potensi yang layak ia akan menyia-nyiakannya. [Jangan sampai] kalian pun berjalan di dalam kegelapan walaupun ada nur (cahaya) dan tergelincir jatuh ke dalam sumur yang dalam sehingga kalian binasa.
Allah Ta’ala jauh lebih Pengasih daripada seorang ibu yang pengasih. Dia tidak menginginkan supaya makhluk-Nya menjadi sia-sia. Dia membukakan bagi kalian jalan-jalan petunjuk dan cahaya. Akan tetapi untuk melangkahkan kaki [di jalan-jalan] tersebut, kalian harus menggunakan akal dan pensucian hati. Sebab seperti halnya tanah, selama belum disiapkan dengan pembajakan maka padanya beliau dapat dilakukan penyemaian benih. Demikian pula selama pensucian hati belum dilakukan dengan perjuangan dan kegigihan maka akal yang suci tidak dapat turun dari langit".
(Malfuzhāt, jld. I, hlm. 72-73)
0 komentar:
Post a Comment