Ahmadiyya Priangan Timur

.

Tuesday 10 February 2015

SEJAUH MANA KEJUJURAN DITUTUPI SEJAUH ITU PULA BAIKNYA

Sebab sejauh mana kejujuran itu ditutupi  maka sejauh itu pulalah baiknya. Misalnya, seorang pemilik batu permata bertemu dengan para pencuri di tengah jalan, dan para pencuri itu berembuk mengenai dirinya. Sebagian mengatakan bahwa dia adalah seorang kaya, dan sebagian lagi menebaknya sebagai orang miskin.
 
Kini, sebagai perbandingan, pemilik permata tersebut akan lebih menyukai kelompok yang menyatakannya sebagai orang miskin. Demikian pula apa sebenarnya dunia ini, yaitu semacam dārul ibtila (tempat ujian dan cobaan). Yang baik adalah orang yang menutupi segala sesuatunya dan menghindarkan diri dari sikap riya (pamer). Orang-orang yang segala amal perbuatan mereka hanya demi Allah, mereka tidak menginginkan amal-amal mereka diketahui oleh siapa pun. Inilah orang-orang yang mutaki (bertakwa).
 
Saya membaca di dalam buku Tadzkiratul Awliyā,  bahwa seorang tua memohon di hadapan khalayak ramai bahwa dia memerlukan sejumlah uang dan semoga ada yang memberikan kepadanya. Kemudian seseorang  -- dengan menganggapnya sebagai amal  salih –  memberikan uang sebanyak seribu rupees kepada orang tua itu. Setelah menerima uang tersebut orang tua itu memuji-muji  kebaikan hati dan kedermawanannya.
 
Atas hal itu orang tersebut merasa sedih, sebab kalau di situ dia telah memperoleh pujian maka mungkin dia akan luput dan ganjaran di akhirat. Tidak beberapa lama berselang orang itu maju dan mengatakan bahwa uang tadi adalah milik ibunya, yang tidak  ingin memberikannya kepada peminta tersebut. Akhirnya uang itu pun dikembalikan, dan setiap orang mengutuk orang tersebut serta dikatakan penipu, bahwa sebenarnya dia tidak berkeinginan untuk memberi.
 
Ketika senja tiba orang tua itu pun kembali ke rumahnya, dan orang tadi pun datang kepadanya sambil membawa uang seribu rupees, lalu dia mengatakan, “Tadi Tuan telah membuat saya luput dari ganjaran akhirat dengan memberikan pujian kepada saya di hadapan umum. Itulah sebabnya  saya membuat dalih itu. Sekarang uang ini adalah milik Tuan,  tetapi janganlah Tuan memberitahukan nama saya kepada siapa pun.”  (Malfuzat, jld I, hlm. 22-23 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).

0 komentar:

Post a Comment