Seorang mutaki menyembunyikan dan merasahasiakan pemikirannya setelah ia memerangi nafs ammarahnya. Akan tetapi Allah Ta’ala senantiasa menzahirkan pemikirannya yang terselubung itu. Seperti halnya seorang manusia bejat ingin hidup bersembunyi dikarenakan perbuatan buruknya, maka seperti itu pula orang yang mutaki (bertakwa) dengan sembunyi-sembunyi mendirikan salat serta risau kalau-kalau ada orang yang melihatnya.
Seorang mutaki yang sejati menginginkan suatu keterselubungan. Tingkat ketakwaan itu sangat banyak. Namun memang untuk ketakwaan itu diperlukan usaha-gigih (susah-payah). Dan orang mutaki itu berada dalam kondisi perang, sedangkan orang salih sudah berada di luar peperangan tersebut. Seperti yang telah saya terangkan di atas mengenai sifat riya (pamer) sebagai contoh, dimana seorang mutaki memeranginya selama 24 jam.
Kadang-kadang terjadi peperangan antara sifat riya dengan sifat lembut-hati. Adakalanya amarah manusia menentang Kitab Allah. Mendengar cacian maka nafsunya bergolak. Takwa itu mengajarkan kepadanya supaya dia menahan diri dari amarah, sebagaimana Al-Quran mengatakan:
“dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka berlalu dengan sikap mulia” – Al-Furqān, 73
Demikian pula halnya dia harus sering berperang dengan ketidak-sabaran. Ketidak¬sabaran maksudnya adalah bahwa dia akan menghadapi kesulitan sedemikian rupa di jalan ketakwaan, sehingga dia dengan sulit baru dapat mencapai tujuannya. Oleh karena itu manusia menjadi tidak sabar. Misalnya [seseorang] harus menggali sumur sampai 25 meter [barulah akan keluar air jernih]. Seandainya setelah 2 atau 4 meter dia menghentikan penggalian maka itu hanya merupakan persangkaan buruknya saja.
Jadi, syarat dari takwa itu adalah, terapkanlah sampai akhir segala perintah (hukum) yang telah diberikan Allah Ta’ala, dan janganlah berlaku tidak sabar.
(Malfuzat, jld I, hlm. 23-24 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).
0 komentar:
Post a Comment