“Setelah itu tentang orang mutaki dikatakan:
“Dan membelanjakan dari apa yang direzekikan kepada mereka” – Al-Baqarah:4
Di sini, bag orang mutaki digunakan kata mimmī (dari apa), sebab pada saat itu dia sedang berada di dalam kondisi buta. Oleh karena itu apa saja yang telah diberikan Tuhan kepadanya, sebagian dari antara anugerah (rezeki) itu dia berikan atas nama Tuhan.
Sebenarnya jika dia memiliki mata, tentu dia akan melihat bahwa dia tidak memiliki apa-apa, sebab segala sesuatunya hanya milik Tuhan. Ini adalah suatu tabir yang lazim terdapat di dalam ittiqa (takwa). Keinginan kondisi ittiqa itu yang membuat orang mutaki tersebut mengeluarkan sebagian dari apa-apa yang telah diberikan Tuhan padanya.
Rasul Karim saw. pada saat menjelang wafat, beliau menanyakan kepada Hadhrat ‘Aisyah, “Apakah masih ada yang tersisa dari rumah ini?” Maka diketahui bahwa ada uang satu dinar. Beliau bersabda, "Ini sungguh jauh dari ciri¬ kehidupan seorang yang dekat dengan Tuhan, bahwa dia menyimpan segala-sesuatu pada dirinya".
Rasul Mulia saw. telah melewati derajat ittiqa dan sudah sampai pada derajat kesalihan, karena itu tidak ada istilah mimmā (sebagian dari) bagi beliau, sebab orang itu buta, yaitu orang yang menyimpan sebagian pada dirinya dan sebagian lagi dia berikan kepada Tuhan.
Namun hal itu merupakan suatu kelaziman bagi orang mutaki, sebab dengan memberikan harta di jalan Tuhan pun sudah merupakan peperangan melawan nafsu baginya. Itulah yang menyebabkan dia memberikan sebagian, sedangkan sebagian lagi dia simpan bagi dirinya. Ya, Rasul Mulia saw. telah memberikan segalla-galanya di jalan Tuhan, dan sedikit pun tidak ada yang beliau simpan untuk diri sendiri.
Sebagaimana di dalam tulisan “Dharm mahutsu” terdapat keterangan tentang tiga kondisi manusia yang dialami manusia dari sejak pertama hingga akhir, maka seperti itu pula di sini pun Al-Quran Karim – yang datang untuk membawa manusia menempuh jenjang-jenjang kemajuan – telah memulai dengan ittiqa (ketakwaan).
Ini adalah sebuah jalan yang penuh usaha gigih (kerja keras). Ini adalah sebuah medan yang berbahaya. Di tangan orang mutaki terdapat pedang, dan di tangan lawan pun ada pedang. Jika dia selamat maka dia telah najāt (keselamatan), dan tidak termasuk ke dalam golongan 'Asfalus Sāfilīn' (paling rendah dari segala yang rendah).
Di sini tentang sifat-sifat orang mutaki tidak ada difirmankan bahwa, “Apa pun yang telah Kami berikan dia keluarkankan seluruhnya”, sebab di dalam diri orang mutaki tidak terdapat kekuatan iman seperti yang ada pada diri para nabi, sehingga – tidak seperti Pemberi petunjuk kita yang sempurna [saw.] – apa pun yang telah diberikan Tuhan kepadanya tidak semuanya diserahkan kembali kepada Tuhan.
Oleh karena itu pertama-tama ia hanya diwajibkan membayar pajak yang ringan, supaya setelah merasakan kelezatan itu dia menjadi siap untuk melakukan pengorbanan yang lebih banyak lagi.
(Malfuzat, jld I, hlm. 31-32 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).
0 komentar:
Post a Comment