“Setelah itu, berkenaan dengan orang mutaki dikatakan:
“dia mendirikan salat” (Al-Baqarah, 4).
“dia mendirikan salat” (Al-Baqarah, 4).
Disini digunakan kata mendirikan. Ini pun mengisyaratkan kepada masalah usaha¬ gigih (susah-payah/kerja keras) yang merupakan ciri-khas orang mutaki. Yakni tatkala dia mulai mengerjakan salat, maka dia harus melawan berbagai macam rasa waswas (kegelisahan; keraguan) yang mengakibatkan runtuhnya berkali-kali salat yang ia lakukan, dan itulah yang harus dia dirikan (tegakkan).
Ketika dia mengucapkan “Allahu Akbar”, maka berkecamuk rasa waswas yang membuyarkan konsentrasi di dalam hatinya. Hal itu melayangkannya sampai kemana-mana. Timbul rasa duka, setiap orang berjuang mati-matian untuk tetap sadar dan untuk meraih kelezatan, dan dia berusaha mati-matian untuk mendirikan salat yang jatuh. Berkali-kali ia mengucapkan, “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’īn” (hanya Engkau yang kami sembah dan hanya kepada Engkau kami memohon pertolongan), memanjatkan doa supaya dapat menegakkan salat. Dan dia memohon petunjuk “Ihdinash- shirātahal mutaqim” (tunjukkan kami jalan yang lurus), yang dapat membuat salatnya tegak kembali.
Dalam melawan rasa waswas tersebut, seorang mutaki itu bagaikan anak kecil yang berguling-guling menangis di hadapan Tuhan sambil mengatakan , “Aku tengah akhlada ilal-ardhi” (aku tengah condong/jatuh ke bumi – Al-A’raf, 177). Jadi, itulah peperangan yang harus dilakukan di dalam salat oleh orang mutaki melawan nafsu, dan berdasarkan itulah dia akan memperoleh ganjaran (pahala).
Sebagian orang ada yang ingin langsung melenyapkan rasa waswas di dalam salat sama sekali. Padahal ada maksud lain dari “wa yuqīmunash- shalāta” (dan mendirikan shalat). Apakah Tuhan tidak tahu? Ada sebuah sabda Yang Mulia Syekh Abdul Qadir Jailani (rahmatullahi alaihi), bahwa pahala itu tetap ada selama masih berlangsung mujahidah (usaha gigih; perjuangan). Kalau mujahidah sudah habis, maka pahala pun akan terputus.
Jadi, puasa dan shalat itu akan tetap berupa amal selama di dalamnya terdapat usaha gigih melawan rasa waswas. Akan tetapi tatkala di dalamnya telah timbul suatu derajat yang tinggi (mulia) serta orang yang mendirikan shalat dan mengerjakan puasa itu telah selamat keluar dari kondisi usaha gigihnya alam ketakwaan dan telah dia telah dipenuhi oleh corak kesalihan, maka pada saat itu puasa serta salat tersebut sudah tidak berupa amal lagi adanya.
Pada saat itu orang-orang menanyakan, "Apakah pada saat itu salat sudah tidak perlu lagi dikerjakan, sebab pahala hanya ada pada tatkala usaha gigih (kerja keras) masih harus dilakukan?” Nah, masalahnya adalah bahwa pada saat itu salat tidak lagi berupa amal, melainkan telah berupa sebuah anugerah (hadiah). Salat itu akan menjadi santapan baginya dan berupa qurratu ‘ain (penyejuk mata) baginya, hal itu seakan-akan bonus surga.
Sebaliknya, orang-orang yang masih berada di dalam kondisi usaha gigih (kerja keras) mereka tengah bergulat, sedangkan mereka yang diterangkan di atas telah memperoleh najat (keselamatan). Artinya adalah, bahwa tatkala tahap suluk seorang manusia telah selesai, maka baginya bala-musibah pun telah selesai.
Sebagai contoh, jika seseorang yang telah dikebiri mengatakan bahwa dia tidak pernah mengarahkan pandangannya kepada perempuan mana pun, maka nikmat dan pahala apa pula yang layak diberikan kepadanya? Di dalam dirinya saja sudah tidak ada kecenderungan untuk memandang dengan birahi. Akan tetapi jika seorang laki-laki yang jantan (berpotensi) melakukan hal yang seperti itu maka dia akan memperoleh pahala.
Demikianlah manusia harus melampaui ribuan fase (tingkatan). Di dalam beberapa masalah, pengalaman-pengalamannya membuat dia dapat menguasai diri, dan dia sudah menjalin perdamaian dengan nafsunya. Kini dia telah berada di dalam surga. Akan tetapi pahala seperti yang pertama tadi sudah tidak ada lagi, melainkan ia telah melakukan jual-beli dan dia tengah menikmati keuntungannya.
Corak yang pertama sudah tidak ada. Setelah melakukan suatu pekerjaan dengan usaha-gigih (susah-payah) maka di dalam diri manusia akan timbul corak alami. Seseorang yang secara alami mendapatkan kelezatan maka dia tidak akan dapat dipisahkan lagi dari pekerjaannya itu, dan secara alami dia tidak akan dapat dienyahkan dari situ.
Jadi, sampai pada tahap ittiqa dan takwa itu segala sesuatunya belum terbuka dengan jelas melainkan masih merupakan pernyataan.”
(Malfuzat, jld I, hlm. 29-31 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).
0 komentar:
Post a Comment