Ahmadiyya Priangan Timur

.

Sunday 1 March 2015

KETINGGIAN SOLIDARITAS RASULULLAH SAW

”Tanda pengaruh pada ruh adalah, tatkala seorang Rabbani wā’idz (Pemberi ingat dari Allah) dan haqiqi reformer (pembaharu sejati) berbicara, maka dalam memberikan pesan-pesan (nasihat), dia menganggap para pendengar itu seperti tidak ada. Dia terus saja menyampaikan pesan-pesannya (nasihatnya). 

Pada kondisi demikian di dalam kalbu (hati) timbul suatu kelembutan (keluluhan). Sampai-sampai seperti suatu curahan air yang jatuh dari tebing tinggi menuju ke lubuk yang dalam, ia mencucur tanpa kendali. [Air] itu mengalir dari Allah Ta’ala, dan dalam aliran [sang pemberi ingat] tersebut merasakan suatu kelezatan dan kenikmatan sedemikian rupa yang tidak dapat aku gambarkan dalam kata-kata.

Jadi, di dalam penjelasan-penjelasan serta ucapan-ucapannya dia menyaksikan Wajhullāh (Wajah Allah). Dia sedikit pun tidak peduli akan halnya para pendengar – yakni apa yang akan mereka katakan setelah mendengar [nasihat tsb.]. Dia mendapatkan kelezatan dari satu arah lain, dan dari dalam sendiri dia merasakan kegembiraan, bahwa, “Aku sedang menyampaikan perintah dan pesan Majikan serta Penguasa-ku.” Kesulitan-kesulitan dan penderitaan yang dialaminya dalam menyampaikan pesan-pesan tersebut pun menimbulkan kelezatan serta kenikmatan bagi dirinya.

Orang-orang seperti itu tenggelam dalam solidaritas terhadap umat manusia. Oleh karena itu mereka siang-malam senantiasa memikirkan bagaimana supaya orang-orang memasuki jalan ini dan satu kali meneguk minuman dari mata air ini. Solidaritas dan gejolak semangat inilah yang terdapat di dalam diri Junjungan kita yang mulia Nabi Karim saw. dalam kadar yang sangat tingi. Tidak ada yang dapat memilikinya lebih dari itu. 

Demikianlah kondisi solidaritas dan rasa sependeritaan Rasulullah saw., sehingga Allah Taala sendiri yang telah memaparkan:

 Boleh jadi engkau (Rasulullah) akan membinasakan diri engkau karena mereka tidak beriman” – Asy-Syu’ara, 4  

Jika kalian tidak dapat memahami sepenuhnya hakikat ayat ini, itu perkara lain. Akan tetapi di dalam hatiku hakikat hal itu tak lain seperti darah dalam tubuh.” 

(Malfuzhat, jld. I, hlm. 403). 

0 komentar:

Post a Comment