Ahmadiyya Priangan Timur

.

Tuesday, 20 May 2014

AL-QURAN DAN KEHIDUPAN DI LUAR BUMI

Isi alam semesta sebagaimana dikemukakan Al-Quran berbeda diametral dari kutub ke kutub dengan pandangan para filosof dan orang-orang bijak di masa lalu. Pada saat Al-Quran diturunkan, adalah pengetahuan astronomi bangsa Yunani yang mendominasi fikiran manusia di mana pun di dunia saat itu dan kelihatannya hampir semua kebudayaan terpengaruh oleh pandangan yang sama. Dominasi ini berlaku terus sampai masanya Copernicus. Sebelumnya diyakini kalau langit terdiri dari beberapa lapisan terbuat dari bahan transparan yang plastis, dihiasi dengan benda-benda langit yang cemerlang yang diberi nama bintang-bintang. Secara lebih spesifik, total pengetahuan yang dimiliki umat manusia di masa itu adalah sebagai berikut:
1.   Bumi terdiri dari massa debu, batu, air, udara dan mineral. Bumi merupakan massa yang stasioner dengan permukaan yang rata, tidak berputar dan tidak diputari oleh benda-benda langit lainnya.
2.  Bumi memiliki posisi unik dalam kosmos, yang tidak ada padanannya di mana pun juga di angkasa. Bumi bersifat tetap dan stasioner pada sauhnya sedangkan langit berputar terus menerus mengelilinginya.
Jelas dalam konsep tentang alam semesta di atas mengeliminasi posibilitas adanya kehidupan lain di luar bumi. Satu-satunya tempat kehidupan yang dikenal manusia di masa itu hanyalah bumi ini saja, yang mereka anggap tergantung melayang di tengah angkasa. Berbeda dengan pandangan tersebut, Al-Quran tidak ada menyebutkan keunikan bumi dan tidak juga sifatnya yang dikatakan stasioner. Sedangkan mengenai jumlah banyaknya bumi, Al-Quran menyatakan:
"Allah, adalah Dia yang menciptakan tujuh petala langit dan bumi seperti itu juga. . ." (Ath-Thalaq:13)
Perlu dijelaskan disini bahwa angka ‘tujuh’ menggambarkan istilah yang biasa digunakan Al-Quran dalam ayat ini mau pun ayat lainnya. Angka tersebut menggambarkan alam semesta terdiri dari banyak lapisan langit (galaksi), masing-masing terbagi dalam kelompok bertujuh yang sekurang-kurangnya mengandung satu planet seperti bumi yang ditopang oleh keseluruhan sistem dalam galaksinya (langitnya).
Menyinggung sistem itu secara umum, ada ayat yang lebih spesifik mengenai eksistensi kehidupan di luar bumi sebagai berikut:
"Dari antara tanda-tanda-Nya adalah penciptaan seluruh langit dan bumi, dan penciptaan segala mahluk hidup (da’bbah) yang telah disebarkan-Nya di dalam keduanya. . ." (Asy-Syura:30)
Yang dimaksud dengan da’bbah mencakup juga segala hewan yang bergerak atau melata di muka bumi. Tidak termasuk di dalamnya hewan yang terbang atau berenang. Jelas tidak ada berkaitan dengan kehidupan keruhanian dalam bentuk apa pun. Dalam bahasa Arab, hantu atau pun malaikat tidak akan disebut sebagai da’bbah. Bagian kedua dari ayat di atas tidak saja berbicara tentang kemungkinan adanya kehidupan di luar bumi, malah menegaskan bahwa kehidupan demikian memang ada. Hal ini bahkan ilmuwan yang paling modern pun belum berani menyatakannya secara pasti.
Namun bukan itu saja yang diungkap oleh ayat tersebut. Bertambah takjub hati ini ketika dibaca terusan dari ayat itu bahwa Dia (Allah) berkuasa menghimpun mereka kapan Dia menghendaki:
". . . Dia berkuasa menghimpunkan mereka (jam-ihim) semua bilamana Dia menghendaki." (Asy-Syura:30)
Kata bahasa Arab jam-ihim secara spesifik berbicara tentang menghimpun bersama kehidupan di bumi atau pun di tempat lain. Kapan pertemuan itu akan terjadi tidak disebutkan secara pasti, juga tidak ada dikemukakan apakah pertemuan tersebut akan terjadi di bumi atau di tempat lain. Satu hal yang pasti ialah: kejadian tersebut pasti terjadi saat Tuhan berkehendak. Perlu diingat kalau kata jama bisa mengandung arti kontak phisik atau juga kontak komunikasi. Hanya masa depan saja yang bisa mengatakan kapan kontak itu akan terjadi, namun kenyataan bahwa posibilitas demikian sudah dinubuatkan lebih dari empatbelas abad yang silam itu saja sudah merupakan mukjizat tersendiri.
Pengungkapan Al-Quran demikian dilakukan pada masa ketika kosmologi sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan belum lagi lahir. Selama ini yang ada hanyalah visualisasi duga-dugaan belaka dan mungkin masih lama lagi sampai jelas mengetahui adanya kehidupan di luar bumi. Sekarang ini kenyataan demikian hanya ada pada buku-buku fiksi ilmiah saja.
Para ilmuwan sekarang pun masih belum meninggalkan skeptisme mereka sejak dulu tentang eksistensi kehidupan di angkasa. Belum ada bukti definitive yang telah berhasil diperoleh untuk mendukung keberadaannya. Para ilmuwan masih berbicara tentang ‘kemungkinan-kemungkinan’ saja.

Profesor Archibald Roy dari Universitas Glasgow adalah salah seorang yang rajin mencari kemungkinan adanya kehidupan yang berakal pada benda-benda langit. Ia menulis:
"Pada berbagai konferensi internasional tentang masalah kehidupan di luar bumi, masalah ini selalu dibahas dan kiranya sudah bisa dipahami kemungkinan mengenali sinyal-sinyal yang berasal dari kehidupan yang berakal, bahkan dimungkinkan juga untuk berkomunikasi dan bertukar informasi dengan spesi-spesi berakal lainnya."
Tidak semua orang sama bergairahnya seperti Profesor Roy mengenai hal ini. Dr Frank Tipler dari Universitas Tulane, New Orleans, termasuk di antara mereka yang skeptis. Ia mendasarkan pesimismenya pada kalkulasi matematika. Menurut pendapatnya kemunculan mahluk berakal di alam semesta melalui proses evolusi yang membuta merupakan probabilitas yang amat kecil sekali. Evolusi kehidupan di bumi ini saja sudah memusingkan para ilmuwan untuk memecahkan¬nya. Jika ditambah lagi dengan sekian banyak angka probabilitas yang berada di luar kemampuan kalkulasi manusia maka semuanya adalah suatu kemustahilan matematika. Dr Tipler menulis:
". . . tidak ada yang namanya intelegensia ekstra-terrestrial (luar bumi). Kita harus menerimakan saja kenyataan ini. Kebanyakan ahli astronomi berpegang pada keyakinan adanya intelegensia ekstra-terrestrial padahal tidak ada bukti-bukti yang mendukung. Mereka berfikir demikian karena menganut prinsip filosofi tentang ide Copernicus yang menyatakan tempat kita di dalam kosmos merupakan hal yang khusus. Nyatanya ide demikian itu salah. Alam semesta ini berevolusi, radiasi kosmos menunjukkan bahwa pernah ada saatnya ketika tidak ada yang disebut kehidupan karena kondisinya saat itu terlalu panas. Karena itu posisi kita tidak bersifat khusus dalam kerangka waktu. Secara khususnya memang ada kebudayaan pertama dan kebetulan adalah kebudayaan dimana kita berada."
Dr Tony Martin, mantan wakil ketua dari British Interplanetary Society, juga berpandangan skeptis. Meski demikian banyak penentangan, rupanya impian ilmiah Dr Roy sebagian sudah hampir mendekati realisasinya. Di Amerika Serikat organisasi NASA sudah mendapat persetujuan pemerintahnya untuk mencari tanda-tanda intelegensia luar bumi. Ilmuwan internasional lainnya seperti Profesor Sagan juga mendukung gagasan tersebut.
Bukankah suatu hal yang mencengangkan bahwa apa yang dikemukakan Al-Quran sebagai suatu fakta empatbelas abad yang lalu, sekarang ini baru muncul sebagai suatu kemungkinan kenyataan yang patut diperhitungkan oleh para ilmuwan masa kini! Kitab suci Al-Quran bahkan selangkah lebih maju lagi dengan menubuatkan bahwa suatu waktu nanti manusia akan melakukan kontak dengan kehidupan di luar bumi.
Saatnya untuk realisasi sempurna dari nubuatan ini belum tiba, namun tanda-tandanya sudah menyembul di cakrawala. Hal ini menunjukkan kalau nubuatan-nubuatan Al-Quran berada jauh di muka dari progres kemajuan ilmiah manusia. Setiap zaman menyaksikan era baru dari pemenuhan beberapa wahyu yang di masa lalu tidak bisa dibuktikan. Karena itu patut dipahami sepenuhnya kalau nubuatan Al-Quran secara intrinsik berbeda dengan yang dikemukakan dalam buku-buku fiksi ilmiah.
Adalah suatu hal yang biasa bagi fantasi manusia untuk melayang dari landasan fakta-fakta alam yang diketahui pada masa yang bersangkutan. Namun jarang sekali masa depan membuktikan ramalan dari khayalan demikian kemudian menjadi kenyataan. Lagi pula semua karya fiksi selalu terkungkung pada posibilitas yang ada di masanya sendiri. Penulis fiksi mengambil ancang-ancang dari pengetahuan yang ada sekarang guna membayangkan apa yang akan muncul di kemudian hari. Seringkali terkaan mereka amat sangat ngawur. Masa depan yang kemudian mewujud ternyata tidak sama dengan khayalan mereka. Hal ini membawa kita kepada konklusi bahwa imajinasi manusia berkaitan dengan hal-hal yang tidak diketahui, ternyata bersifat terbatas.
Guna menggambarkan keterbatasan di suatu era berkaitan dengan ruang lingkup imajinasi, sang jenius Leonardo da Vinci bisa dikutip sebagai contoh yang memadai. Ia memvisualisasikan kemungkinan manusia untuk terbang, namun hanya menyandarkannya pada pengetahuan yang ada di masanya saja. Ilmu dan teknologi di masanya itu belum lagi cukup maju untuk memungkinkan manusia memvisualisasikan orang terbang dengan bantuan mesin yang didorong tenaga api. Jadinya untuk memvisualisasikan pesawat terbang yang paling sederhana pun masih berada di luar kemampuan Leonardo.
Adapun kitab-kitab yang diwahyukan samawi sifatnya lain sama sekali dan pengetahuan yang dinyatakan di dalamnya tidak dibatasi pada suatu era tertentu saja. Lagi pula tidak ada faktor kebetulan dalam pemenuhan nubuatannya. Temuan-temuan ilmiah dari abad-abad berikutnya tidak pernah bisa membuktikan kalau nubuatan Al-Quran ternyata salah adanya.
Dengan demikian kita bisa mengharapkan realisasi nubuatan tersebut di masa depan. Nubuatan tentang pertemuan atau kontak dengan kehidupan di tempat lain masih termasuk kategori yang masih akan dipenuhi. Semoga umur kita cukup panjang guna menyaksikan hari akbar dimana kehidupan di bumi berhasil melakukan kontak dengan kehidupan di angkasa.
Sumber : Revelation, Rationality, Knowledge And Truth (Mirza Tahir Ahmad)

0 komentar:

Post a Comment