Ahmadiyya Priangan Timur

.

Tuesday, 10 February 2015

IMAN BIL GHAIB

iman-bil-ghaib
“Sebagaimana yang telah aku uraikan ketakwaan memerlukan suatu usaha gigih (susah-payah), oleh karena itu difirmankan:
     
Inilah Kitab  itu,  tidak ada keraguan  di dalamnya, petunjuk bagi  orang-orang yang bertakwa, [yaitu] mereka yang beriman  kepada yang gaib, dan mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezeki   yang Kami anugerahkan kepada mereka” – Al-Baqarah, 3-4
 
Di dalamnya terdapat suatu usaha ¬gigih (susah-payah). Berbeda dengan kesaksian nyata, beriman kepada hal-hal yang gaib itu memerlukan suatu usaha gigih (jihad). Jadi, seorang mutaki (bertakwa) sampai batas tertentu diperlukan usaha gigih, sebab ketika dia telah meraih derajat salih  maka hal-hal yang gaib itu sudah tidak menjadi gaib lagi baginya, karena  di dalam diri seorang salih mengalir sebuah sungai yang sampai kepada Tuhan, dia menyaksikan Tuhan serta kecintaan-Nya melalui matanya sendiri, yaitu:
 
“dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta”  - Bani Israil, 73
 
Dari sini nyata, bahwa sebelum manusia memperoleh cahaya sepenuhnya di dunia ini, kapan pun dia tidak akan  dapat menyaksikan Tuhan.  Jadi, tugas seorang mutaki (bertakwa) itu adalah senantiasa menyiapkan surma (celak) yang dapat menghindarkan turunnya (susutnya) secara ruhani air yang dimilikinya.
 
Kini,  nyatalah bahwa pada awalnya seorang mutaki itu buta adanya. Setelah melalui usaha gigih dan pensucian diri dia pun meraih nur (cahaya). Jadi, setelah mengalami gemblengan serta  sudah menjadi salih, maka tidak ada lagi masalah 'iman-bil-ghaib' (iman kepada yang gaib),  dan istilah susah-payah pun sudah menjadi tidak ada lag.
 
Sebagaimana Rasul Mulia saw. telah diberikan kesempatan menyaksikan surga dan neraka dengan mata telanjang di dunia ini juga, hal-hal yang harus diakui dalam corak iman bil ghaib (beriman kepada yang gaib) bagai seorang mutaki (bertakwa) keseluruhannya telah disaksikan dengan nyata oleh beliau saw..
 
Di dalam ayat ini diisyaratkan, bahwa kalau seorang mutaki itu  buta adanya, dan harus menanggung perihnya susah-payah (usaha gigih), akan tetapi seorang yang salih telah berada di dalam sebuah dārul aman (tempat yang aman), dan tingkatan nafs-nya sudah mencapai nafs muthmainnah (jiwa yang tentram).
 
Di dalam diri seorang mutaki berlaku kondisi iman-bil-ghaib, dia berjalan dengamn meraba-raba bagaikan orang buta. Dia tidak memperoleh kabar apa pun, dan dia bersikap iman bin ghaib terhadap segala sesuatunya.  Di situlah terletak ketulusannya, dan sebagai imbalan dari ketulusannya itu Allah Ta'ala menjanjikan bahwa dia akan memperoleh keberhasilan (kesuksesan):
  
                               "mereka itulah orang-orang yang berjaya” -  (Al-Baqarah: 6)
 
(Malfuzat, jld I, hlm. 28-29 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).

0 komentar:

Post a Comment