Ahmadiyya Priangan Timur

.

Friday 16 May 2014

HAKIKAT BAIAT

“Kalian melihat bahwa di dalam baiat aku meminta pernyataan (ikrar) berupa; Aku akan mendahulukan agama daripada dunia”. Ini adalah supaya saya melihat apa yang diamalkan atas hal itu oleh orang yang baiat.

Seseorang yang memperoleh tanah baru [walaupun] sedikit maka dia meninggalkan keluarganya lalu pergi menetap di sana. Dan dia tinggal di sana memang penting supaya tanah itu berpenghuni…..

Lalu, adapun kami yang memberikan “tanah baru” dan tanah sedemikian rupa -- yang jika dibersihkan serta diolah dengan rajin -- akan tumbuh buah-buahan abadi, mengapa orang-orang tidak datang dan membuat rumah di sini? Dan jika ada yang tidak mengambil “tanah” ini dengan sungguh-sungguh serta untuk menetap beberapa hari pun dia merasa susah dan sulit, maka bagaimana mungkin bisa diharapkan matangnya panen dan berbuah? Allah Ta’ala juga telah menamakan kalbu sebagai tanah (bumi):

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya Allah menghidupkan bumi sesudah matinya” (Al Hadiid, 18).

Bagaimana tanah itu harus diolah? Beli sapi (kerbau), dibajak, ditaburi benih, diairi. Ringkasnya benar-benar kerja-keras. Dan selama seseorang itu sendiri tidak terlibat di dalamnya maka tidak akan ada hasilnya sedikit pun.

Ada tertulis [cerita] bahwa seseorang melihat tulisan pada sebuah batu (prasasti): “Pertanian adalah emas dan emas”. Dia memang mulai bertani, namun dia serahkan kepada para buruh. Tetapi tatkala dia hitung, bukannya beruntung, justru dia harus bayar. Maka pada kesempatan itu timbullah keraguan dalam dirinya. Nah, seorang bijak menjelaskana kepadanya, “Nasihat itu memang benar namun engkaulah yang bodoh. Jadilah pengelolanya sendiri, barulah akan berhasil".

Persis seperti itulah kondisi “tanah” (bumi) hati. Barangsiapa yang memandangnya dengan hina, dia tidak akan memperoleh karunia serta berkat Allah Ta'ala. Ingatlah, saya datang untuk mengadakan ishlah (perbaikan) pada manusia. Siapa-siapa yang datang kepada saya dia akan menjadi ahli waris suatu karunia, sesuai dengan kemampuan-kemampuannya.

Namun saya katakan dengan jelas, orang yang baiat sekedarnya lalu berangkat pergi dan kemudian tidak tahu di mana dia berada serta apa yang dia perbuat, baginya tidak ada [manfaat] sedikit pun. Sebagaimana dia datang dengan tangan kosong, dia pergi dengan tangan hampa pula.

Karunia serta berkat ini diperoleh melalui hidup (pergaulan) yang dekat. Para sahabah duduk di dekat Rasulullah saw.. Akhirnya, sebagai dampaknya Rasulullah saw. bersabda, “Allah, Allah fī ashhabī”, seolah-olah para sahabah itu sudah menjadi manifestasi (perwujudan) Wajah Allah.

Derajat itu tidak mungkin mereka peroleh jika mereka jauh [dari Rasulullah saw.]. Ini adalah suatu perkara yang sangat penting. Qurub (kedekatan) Allah Ta’ala adalah kedekatan para hamba Allah, dan perintah Allah Ta’ala, “Kūnū ma’ash- shādiqīn (Bergaullah bersama orang-orang benar” At Taubah, 119) menjadi saksi akan hal itu.

Ini adalah suatu rahasia yang sedikit orang memahaminya. Ma’mur minallah (utusan Allah) tidak pernah dapat menerangkan seluruh permasalahan dalam satu waktu, melainkan dengan memeriksa penyakit-penyakit [ruhani] para sahabatnya, dan sesuai dengan kesempatan saat itu dia terus mengadakan ishlah (perbaikan) pada diri mereka melalui anjuran dan nasihat. Tahap demi tahap dia terus mengobati penyakit-penyakit mereka.

Kini, sebagaimana pada hari ini saya tidak dapat menerangkan seluruh perkara, mungkin saja ada beberapa orang yang pada hari ini mendnegarkan ceramah lalu pergi, dan ada beberapa hal yang tidak sesuai dengan pembawaan serta kemauannya, maka mereka itu menjadi luput. Akan tetapi orang-orang yang terus menerus menetap di sini, dia secara beriringan terus mengadakan perubahan demi perubahan, dan akhirnya dia mencapai maksud tujuannya.

Setiap orang membutuhkan perubahan sejati, barangsiapa di dalam dirinya tidak ada perubahan maka dia menggenapi:

“Barangsiapa yang buta di dunia ini maka di akhirat pun dia akan buta (Bani Israil, 73).

Saya selalu risau memikirkan bagaimana supaya di dalam Jemaat timbul suatu perubahan suci. Adapun gambaran yang terdapat dalam hati saya tentang perubahan di dalam Jemaat saya hal itu belum terwujud, dan menyaksikan kondisi ini keadaan saya adalah bagaikan:

"Boleh jadi engkau membinasakan diri engkau dari dukacita karena mereka tidak mau beriman” (Syu’ara, 4)

Saya tidak ingin pada waktu baiat beberapa kata sekedar dihafal, tidak ada manfaat sedikit pun dari itu. Raihlah pengetahuan tentang pensucian jiwa (tazkiyah-e-nafs), sebab itulah yang dibutuhkan. Tujuan saya sama sekali bukan supaya kalian kesana kemari memperdebatkan masalah mati-hidupnya Al-Masih a.s.. Itu hanyalah sebuah perkara kecil. Jangan berhenti sampai di situ saja. Yang demikian itu adalah kekeliruan dan telah saya luruskan.

Tugas saya dan tujuan saya sangat lebih jauh dari itu, yakni ciptakanlah suatu perubahan di dalam diri kalian, dan betul-betullah menjadi seorang insan yang baru, oleh sebab itu penting bagi setiap orang dari antara kalian untuk memahami rahasia ini, dan ciptakanlah suatu perubahan sedemikian rupa, sehingga kalian dapat mengatakan bahwa sudah berubah.

Kembali saya katakan dengan seyakin-yakinnya, selama seseorang belum menetap bersama saya dalam jangka masa tertentu, jangan beranggapan bahwa dia sudah berubah. Dia tidak akan memperoleh manfaat. Raihlah kesucian yang paling tinggi di dalam kondisi fitrat, akal, dan gejolak-hati, barulah itu berarti sesuatu. Jika tidak, berarti tidak ada sedikit pun.

Bukanlah saya bermaksud supaya kalian meninggalkan kesibukan-kesibukan dunia. Allah Ta’ala telah mengizinkan (membenarkan) kesibukan-kesibukan dunia, sebab dari jalan itu juga timbul ujian, dan karena ujian itulah manusia menjadi pencuri, pemabuk, penipu, perampok, serta menerapkan berbagai macam kebiasan buruk. Akan tetapi segala sesuatu ada batasnya. Terapkanlah kesibukan-kesibukan dunia itu dalam batas yang membuat kalian dapat menciptakan sarana-sarana pendu­kung (pembantu) bagi kalian di jalan dīn (agama), dan tujuan utamanya disitu semata-mata dīn (agama).

Jadi, saya juga tidak melarang kesibukan-kesibukan dunia, dan tidak pula saya mengatakan supaya kalian siang malam tenggelam dalam mengupayakan dan mencari dunia sedemikan rupa, sehingga ruangan Allah Ta’ala pun kalian penuhi dengan dunia. Jika ada yang berbuat demikian berarti dia secara beriringan mengupayakan sarana-sarana kemah­ruman (keluputan), dan yang ada di lidahnya hanyalah dakwa (pernyataan) [kosong] belaka.

Ringkasnya, tinggallah di lingkungan orang-orang yang hidup, supaya tampak oleh kalian manifestasi (perwujudan) Tuhan Yang Hidup.”

(Malfuzhat, jld. II, hlm. 72-73).

Atas semua yang diperbuat Rasulullah saw.. Jika beliau saw. apa-apa yang sesungguhnya beliau saw. lakukan bukanlah sesuatu apa pun, bagaimana mungkin dikatakan:

(Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi, Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya” – Al-Ahzab, 57).  

Ucapan ini tidak pernah diungkapkan untuk nabi-nabi lain. Inilah wujud yang muncul dngan keberhasilan sempurna dan penghormatan sempurna, namanya adalah Muhammad saw.” 

(Malfuzhat, jld. II, hlm. 74).