Ahmadiyya Priangan Timur

.

Thursday 22 May 2014

ORANG-ORANG YANG MENUNTUT MAUKJIZAT

”Hadhrat Abu Bakar Shiddiq r.a. tidak membutuhkan mukjizat untuk menerima Islam. Yang menghendaki (menuntut) mukjizat adalah orang-orang yang tidak mengenal [utusan Allah] secara pribadi, sedangkan seseorang yang mengenal secara pribadi, maka dia tidak membutuhkan dan tidak menginginkan mukjizat. Itulah sebabnya Hadhrat Abu Bakar Shiddiq r.a. tidak menuntut mukjizat, sebab beliau benar-benar mengetahui kondisi Rasulullah saw., dan beliau benar-benar mengetahui bahwa Rasulullah saw. adalah seorang yang jujur dan dipercaya, bukan penipu dan pendusta, sebab tatkala seseorang itu tidak pernah berdusta kepada manusia mana pun maka tentu dia tidak pernah mampu berdusta kepada Allah Ta’ala?

Jadi, hal ini hendaknya diingat, bahwa menuntut Tanda (mukjizat) itu karena ada keraguan pada diri orang yang menuntut tersebut bahwa jangan-jangan si pendakwa itu berdusta. Namun tatkala hal ini benar-benar telah diketahui di pendakwa adalah orang yang benar (jujur) dan terpercaya maka tidak diperukan lagi penampakkan mukjizat.

Hal ini pun hendaklah diingat, bahwa orang-orang yang menghendaki dan bersikeras menuntut Tanda (mukjizat), keimanan orang-orang semacam itu tidak bisa mantap, melainkan keimanan mereka setiap saat berada dalam bahaya. Mereka tidak memperoleh buah-buah iman bil-ghaib (percaya kepada yang gaib), sebab di dalam iman bil-ghaib itu terdapat suatu perbuatan baik, yakni husnuzh- zhan (prasangka baik), yaitu hal yang tidak pernah diraih oleh orang yang terburu nafsu. Yakni, orang yang terburu nafsu dan bersikeras untuk menyaksikan Tanda (mukjizat).

Para hawari (murid) Almasih a.s. bersikeras agar diturunkan maidah (hidangan), maka Allah Ta’ala juga telah mengecam mereka dan menegaskan bahwa, “Kami memang akan menurunkan maidah, tetapi sesudah diturunkan apabila ada yang ingkar maka atasnya akan diturunkan azab yang keras.”

Manfaat diungkapkannya kisah ini di dalam Quran Syarif adalah untuk memberitahukan keimanan yang paling baik. Dan hal yang sebenarnya adalah Tanda-tanda (mukjizat) Allah Ta’ala itu sangat jelas dan terang. Namun padanya, di satu sisi dimaksudkan agar terjadi pemenuhan hujjah (dalil/argumentasi), dan di sisi lain merupakan ujian bagi umat.

Oleh Karena itu di dalamnya terdapat beberapa perkara yang mengandung suatu cobaan, dan ini sudah merupakan suatu ketentuan, bahwa orang-orang yang menuntut mukjizat adalah orang-orang yang terburu nafsu (tergesa-gesa) dan yang tidak memiliki prangsangka baik. Di dalam diri mereka terdapat benih yang dapat menimbulkan suatu kebimbangan dan keraguan. Oleh karena itu mereka menunut tanda (mukjizat). Untuk itu ketika mereka menyaksikan Tanda (mukjizat) maka secara nonsense (omong-kosong) mereka mulai mengartikannya sendiri. Kadang-kadang Tanda itu mereka sebut sebagai sihir, dan kadang-kadang mereka sebut dengan nama lain.

Ringkasnya, sifat mereka yang menimbulkan keraguan membuat mereka jauh dari kebenaran. Oleh karena itu aku menasihatkan kepada kalian supaya kalian menciptakan keimanan yang merupakan keimanan Hadhrat Abu Bakar Shiddiq r.a. dan keimanan para Sahabah radhiallaahu ‘anhum, sebab di dalamnya terdapat prasangka baik serta kesabaran. Dan keimanan seperti itu menghasilkan banyak sekali berkat serta buah-buah

Percaya dan beriman setelah terlebih dahulu menyaksikan Tanda (mukjizat,)serta menjadikan hal itu sebagai syarat bagi iman, merupakan suatu yang lemah dan umumnya tidak menghasilkan buah apa-apa. Ya, tatkala manusia beriman dengan prasangka baik maka kemudian Allah Ta’ala pun memperlihatkn kepada orang mukmin seperti itu Tanda (mukjizat) yang mempertebal keimanannya dan yang membuat dadanya semakin lapang. Dan bahkan mereka sendiri dijadikan-Nya sebagai Tanda (mukjizat) dan aayatullaah (Tanda Allah). Itulah sebabnya nabi mana pun tidak pernah memperlihatkan tanda (mukjizat) yang dipilih-pilih atau yang dituntut kepadanya. Orang Mukmin shadiq (mukmin benar) itu hendaknya tidak mengandalkan (mendasarkan) keimanannya pada pembuktikan Tanda (mukjizat)” (Malfuzat, jld. II, hlm. 93-95).

Allah Taala telah menetapkan "Wa mim maa razaqnaahum yunfiquun" (Al-Baqarah, 2:4) sebagai salah satu sifat orang muttaqi.

Di sini tidak khusus hanya uang, apa saja yang dianugerahkan Allah Ta’ala kepada seseorang itulah yang oa belanjakan di jalan Allah. Maksudnya, manusia adalah khadim (pengkhidmat) dan solider bagi sesama umat manusia. Dasar syariat AllahTa’ala hanya pada dua perkara saja: Pertama, menjunjung tinggi perintah Allah, dan kedua, bersikap baik terhadap makhluq Allah. Jadi, di dalam "wa mimmaa razaqnaahum yunfiquun" itu terdapat ajaran untuk bersikap baik terhadap makhluq Allah. Orang-orang yang kaya-raya memperoleh banyak kesempatan besar untuk mengkhidmati agama.”

(Malfuzhat, jld. II, hlm. 95).