“Ini merupakan Sunnatullah bahwa para utusan (rasul) Allah diganggu dan diberi penderitaan-penderitaan Kesulitan demi kesulitan menghadang mereka. Hal itu bukan supaya mereka binasa, melainkan supaya mereka menarik nushrat (pertolongan) Ilahi. Itulah sebabnya kehidupan beliau (Rasulullah s.a.w. --pent.) di Mekkah jauh lebih lama dibandingkan kehidupan beliau di Madinah.
Di Mekkah beliau saw. melalui masa selama 13 tahun, sedangkan di Madinah 10 tahun. Dari ayat ini – ["Was taftahuu wa khaaba kullu jabbaarin 'aniid – dan mereka memohon kemenangan, dan binasalah tiap-tiap orang yang sombong lagi durhaka" Ibrahim, 16] -- diketahui bahwa memang demikianlah yang terjadi pada setiap nabi dan utusan Ilahi.
Yakni, pada awalnya mereka dibuat menderita. Mereka dituduh sebagai pembuat makar, pendusta dan penipu. Tidak ada sebutan buruk yang tidak dilontarkan terhadap mereka. Nabi dan utusan (rasul) itu menanggung semua hal tersebut serta merasakan setiap penderitaan. Namun tatkala sudah mencapai puncaknya maka tampillah kekuatan kedua untuk (berupa) kepedulian terhadap umat manusia.
Seperti itu pula kepada Rasulullah saw. telah diberikan segala penderitaan. Segala macam sebutan buruk dikenakan kepada diri beliau. Akhirnya perhatian beliau saw. terpusatkan dengan kuat serta telah mencapai puncaknya, sebagaimana hal itu didapati dari kata istaftahu (mereka memohon kemenangan). Dan akibatnya adalah: "Wa khaaba kullu jabbaarin 'aniid – dan binasalah tiap-tiap orang yang sombong lagi durhaka." Rencana segenap orang yang bejad dan jahat itu telah hancur. Perhatian (konsentrasi) ini merupakan puncak dari kejahatan-kejahatan yang dilakukan para penentang, sebab jika sejak semula sudah demikian maka pasti mereka sudah hancur [terlebih dahulu].
Pada masa kehidupan Rasulullah saw. di Mekkah, beliau sering menjatuhkan diri dan menangis di hadapan Sang Ahad (Allah Ta’ala), dan kondisinya sampai sedemikian rupa, sehingga orang-orang yang menyaksikan serta mendengar hal itu akan gemetar tubuh mereka. Namun akhirnya, lihatlah keperkasaan pada kehidupan beliau saw. di Madinah. Yakni orang-orang yang dahulunya gencar melakukan kejahatan-kejahatan dan sangat sibuk untuk membunuh serta mengusir beliau saw. [dari Mekkah], kesemuanya mereka telah binasa, sedangkan yang tersisa terpaksa mengakui kesalahan-kesalahan mereka dengan sangat merendahkan diri di hadapan beliau saw. serta terpaksa memohon pengampunan.
Lihatlah Hadhrat Umar r.a., betapa besar manfaat yang diperoleh Hadhrat Umar r.a.. Dahulu pada suatu masa beliau tidak beriman. Hal itu berselang sampai empat tahun. Allah Ta’ala benar-benar memahami akan maslahatnya, yakni apa rahasia yang terdapat dibaliknya. Abu Jahal waktu itu mencari orang yang dapat membunuh Rasulullah saw.. Pada masa itu Hadhrat Umar dikenal gagah perkasa dan sangat berani serta sangat ditakuti.
Mereka berdua berembuk, lalu melakukan upaya-upaya untuk membunuh Rasulullah saw. Dan sudah terjadi kesepakatan antara Hadhrat Umar r.a. dan Abu Jahal, serta telah ditetapkan jika Umar berhasil membunuh beliau saw. maka akan memperoleh sejumlah uang.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 179-180).
Di Mekkah beliau saw. melalui masa selama 13 tahun, sedangkan di Madinah 10 tahun. Dari ayat ini – ["Was taftahuu wa khaaba kullu jabbaarin 'aniid – dan mereka memohon kemenangan, dan binasalah tiap-tiap orang yang sombong lagi durhaka" Ibrahim, 16] -- diketahui bahwa memang demikianlah yang terjadi pada setiap nabi dan utusan Ilahi.
Yakni, pada awalnya mereka dibuat menderita. Mereka dituduh sebagai pembuat makar, pendusta dan penipu. Tidak ada sebutan buruk yang tidak dilontarkan terhadap mereka. Nabi dan utusan (rasul) itu menanggung semua hal tersebut serta merasakan setiap penderitaan. Namun tatkala sudah mencapai puncaknya maka tampillah kekuatan kedua untuk (berupa) kepedulian terhadap umat manusia.
Seperti itu pula kepada Rasulullah saw. telah diberikan segala penderitaan. Segala macam sebutan buruk dikenakan kepada diri beliau. Akhirnya perhatian beliau saw. terpusatkan dengan kuat serta telah mencapai puncaknya, sebagaimana hal itu didapati dari kata istaftahu (mereka memohon kemenangan). Dan akibatnya adalah: "Wa khaaba kullu jabbaarin 'aniid – dan binasalah tiap-tiap orang yang sombong lagi durhaka." Rencana segenap orang yang bejad dan jahat itu telah hancur. Perhatian (konsentrasi) ini merupakan puncak dari kejahatan-kejahatan yang dilakukan para penentang, sebab jika sejak semula sudah demikian maka pasti mereka sudah hancur [terlebih dahulu].
Pada masa kehidupan Rasulullah saw. di Mekkah, beliau sering menjatuhkan diri dan menangis di hadapan Sang Ahad (Allah Ta’ala), dan kondisinya sampai sedemikian rupa, sehingga orang-orang yang menyaksikan serta mendengar hal itu akan gemetar tubuh mereka. Namun akhirnya, lihatlah keperkasaan pada kehidupan beliau saw. di Madinah. Yakni orang-orang yang dahulunya gencar melakukan kejahatan-kejahatan dan sangat sibuk untuk membunuh serta mengusir beliau saw. [dari Mekkah], kesemuanya mereka telah binasa, sedangkan yang tersisa terpaksa mengakui kesalahan-kesalahan mereka dengan sangat merendahkan diri di hadapan beliau saw. serta terpaksa memohon pengampunan.
Lihatlah Hadhrat Umar r.a., betapa besar manfaat yang diperoleh Hadhrat Umar r.a.. Dahulu pada suatu masa beliau tidak beriman. Hal itu berselang sampai empat tahun. Allah Ta’ala benar-benar memahami akan maslahatnya, yakni apa rahasia yang terdapat dibaliknya. Abu Jahal waktu itu mencari orang yang dapat membunuh Rasulullah saw.. Pada masa itu Hadhrat Umar dikenal gagah perkasa dan sangat berani serta sangat ditakuti.
Mereka berdua berembuk, lalu melakukan upaya-upaya untuk membunuh Rasulullah saw. Dan sudah terjadi kesepakatan antara Hadhrat Umar r.a. dan Abu Jahal, serta telah ditetapkan jika Umar berhasil membunuh beliau saw. maka akan memperoleh sejumlah uang.” (Malfuzat, jld. II, hlm. 179-180).