Ahmadiyya Priangan Timur

.

Thursday 5 June 2014

SENANTIASALAH MENGINGAT KEMATIAN

”Tidak ada seorang pun yang tahu apakah dia masih hidup sesudah zuhur sampai saat ashar. Kadang-kadang secara tiba-tiba jantung berhenti dan nyawa pun melayang. Kadang-kadang orang-orang yang sehat dan tegap pun tiba-tiba saja mati. Menteri Muhammad Hasan Khan baru saja pulang dari makan angin (jalan-jalan), dan dengan suasana hati senang dia mulai menaiki tangga.

Satu atau dua anak tangga telah dilalui, tiba-tiba dia jadi pusing lalu terduduk. Pembantu rumahnya mengatakan, :Apakah boleh saya papah?” Dia mengatakan, “Tidak usah.” Kemudian setelah menaiki dua atau tiga anak tangga kembali ia merasa pusing, dan dalam kondisi pusing itu pula ia menghembuskan nafas terakhir.

Demikian pula halnya Ghulam Muhyidin, seorang anggota Kashmir Council, tiba-tiba saja meninggal dunia. Ringkasnya, kita tidak mengetahui kapan maut (kematian) itu tiba. Oleh karena, itu adalah penting untuk tidak mengabaikannya.

Nah, kepedulian terhadap agama adalah sesuatu yang sangat berarti, yang membuat seseorang itu berhasil penuh pada saat sakratul maut. Di dalam Quran Syarif disebutkan: "Innaa zalzalatas saa'ati syai-un 'azhiim (sesungguhnya gempa saa’ah (kiamat) adalah sesuatu yang sangta dahsyat” – Al-Hajj, 2).

Memang as-saa’ah berarti juga kiamat, aku tidak mengingkari hal itu, namun di situ juga bermakna sakratul maut (sdaat menjelang mati), sebab itu merupakan saat dimana segala hubungan terputus. Manusia tiba-tiba terlepas dari apa-apa yang dicintai dan disayanginya, dan terjadi semacam gempa (goncangan) yang aneh pada dirinya, seakan-akan dari dalam dirinya sendiri dia berada pada suatu penyiksaan.

Oleh karena itu keberuntungan (kebaikan) paling lengkap bagi manusia adalah dia senantiasa memikirkan maut (kematian), dan hendaklah dunia serta barang-barang dunia jangan menjadi hal-hal yang dicintainya sedemikian rupa sehingga menimbulkan penderitaan baginya di saat terakhir ketika berpisah…” (Malfuzat, jld. II, hlm. 146-147).