“Pemberi petunjuk kita yang kamil (sempurna), Rasulullah saw., terpaksa harus menyaksikan kedua hal ini. Pada suatu ketika beliau dilempari batu di Tha’if. Yang satu lagi kelompok mayoritas telah memberikan kesengsaraan jasmaniah yang sangat keras. Akan tetapi keteguhan Yang Mulia Rasulullah saw. tidak pernah goyah.
Ketika kaum itu melihat bahwasanya musibah-musibah dan kekerasan tidak memberikan pengaruh apa-apa pada beliau, maka mereka berkumpul dan menjanjikan suatu kerajaan, mereka akan menjadikan beliau sebagai pemimpin mereka, mereka menjanjikan untuk memberikan sarana-sarana bersenang-senang, sampai-sampai mereka juga menjanjikan perempuan yang paling cantik, dengan syarat supaya Yang Mulia Rasulullah saw. berhenti mengecam berhala-berhala.
Namun sebagaimana ketika menghadapi musibah di Thaif, begitu pula Yang Mulia Rasulullah saw. pada saat mendapatkan janji kerajaan tersebut tidak mempedulikannya serta memilih lebih baik dilempari batu. Jadi, kalau tidak ada suatu kelezatan yang khusus maka apa perlunya beliau meninggalkan kesenangan [duniawi] lalu menjerumuskan diri ke dalam kesengsaraan?
Kecuali Rasul kita – yang atasnya shalawat dan attahyat - kesempatan ini tidak pernah diperoleh oleh nabi lainnya, yaitu bahwa kepada beliau diberikan janji oleh mereka supaya beliau meninggalkan tugas-tugas kenabian. Al-Masih a.s. pun tidak memperoleh hal ini. Di dalam sejarah dunia hanya pada diri Yang Mulia Rasulullah saw. saja masalah ini terjadi, bahwa kepada beliau dijanjikan suatu kerajaan seandainya beliau mau meninggalkan pekerjaan beliau.
Jadi, kehormatan ini hanya khusus terdapat pada diri Rasul kita [saw.]. Demikian pula Pemberi petunjuk kita yang kamil (saw.) telah memperoleh kedua macam zaman – yaitu zaman kesengsaraan dan zaman kemenangan – supaya beliau dapat memperlihatkan suri teladan akhlak yang sempurna di dalam kedua zaman tersebut.
Allah Ta’ala menginginkan bagi orang-¬orang mutaki supaya mereka merasakan dua macam kelezatan. Kadang-kadang dalam corak kelezatan duniawi, ketentraman, dan perempuan-perempuan suci; kadang-kadang dalam bentuk kesengsaraan dan musibah, agar mereka dapat memperlihatkan suri teladan akhlak yang sempurna, sebab sebagian akhlak terbuka (nampak) pada saat manusia memiliki kekuatan (kekuasaan), dan sebagian lagi terbuka di kala menghadapi musibah-musibah. Kedua hal ini diperoleh oleh Nabi Karim kita saw..
Jadi, tidak ada umat lain yang dapat memperlihatkan akhlak seperti akhlak beliau saw. yang dapat kita perlihatkan. Misalnya tentang Al-Masih hanya mengenai kesabarannya saja yang dapat ditampilka, bahwasanya beliau dahulu selalu menanggung pukulan. Tetapi dari mana pula akan terdapat bukti bahwa beliau dahulu memperoleh kekuatan (kekuasaan)?
Nabi [Isa a.s.] itu tidak diragukan lagi memang benar, namun tidak seluruh jenis akhlak beliau terbukti. Karenakan perihal beliau terdapat di dalam Al-Quran, maka kita mempercayai (beriman kepada) beliau. Dan kecuali di dalam Injil, a tidak ada akhlak beliau yang terbukti seperti kemuliaan para nabi yang perkasa.
Demikian pula halnya bagi Pemberi petunjuk kita yang sempurna (saw.), seandainya beliau wafat di dalam musibah-musibah yang tiga belas tahun itu, maka banyak sekali akhlak fadhilah beliau lainnya yang tidak akan terbukti seperti halnya Al-Masih a.s.. Tetapi ketika zaman kedua – yakni zaman kemenangan – telah tiba, dan orang-orang yang berdosa telah ditampilkan ke hadapan beliau, maka dari itu diperoleh bukti tentang sifat kasih-sayang dan sifat pengampun yang beliau miliki. Dan dari itu tampak pula bahwa pekerjaan beliau tidak ada yang berlandaskan pada pemaksaan, tidak pula pada kekerasan, melainkan segala sesuatunya berlangsung dalam corak alami.
Demikianlah, banyak lagi akhlak beliau saw. lainnya yang telah terbukti. Jadi, yang difirmankan oleh Allah Ta'ala bahwa:
“Kamilah pelindung-pelindung kamu/kawan-kawan kamu dalam kehidupan dunia dan akhirat” - (Hā Mīm - As-Sajdah, 32
Yakni, "Kami merupakan wali (sahabat) bagi orang-orang yang bertakwa di dunia ini maupun di akhirat", dengan demikian ayat ini pun membuktikan ketidakbenaran orang-orang bodoh yang telah mengingkari perihal turunnya malaikat-malaikat di dalam kehidupan ini juga.
Seandainya para malaikat turun pada waktu datangnya maut (kematian), maka bagaimana Allah Ta’ala dapat menjadi wali (sahabat) dalam kehidupan di dunia ini?” (Malfuzat, jld I, hlm 17-18 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).
0 komentar:
Post a Comment