Ahmadiyya Priangan Timur

.

Tuesday 24 February 2015

BERDUSTA MEMBUAT GELAP

“Pahamilah seyakin-yakinnya, bahwa manusia adalah himpunan kelemahan-kelemahan. Sehubungan dengan itu Allah Ta’ala berfirman: "Khuliqal insānu dha'īfa -- (manusia diciptakan dalam keadaan lemah" - An-Nisa:29). Manusia tidak memiliki apa-apa, dari kepala sampai kaki tidak ada satu bagian pun yang tidak terkena penyakit.

Apabila manusia sudah merupakan sasaran dan kumpulan kelemahan-kelemahan, maka jalan yang aman dan sehat baginya adalah ialah hendaknya urusannya dengan Allah Ta’ala menjadi bersih, dan dia menjadi hamba-Nya yang sejati serta mukhlis. Baginya mutlak supaya dia menerapkan shiddiq (kejujuran/benar), sebab keharmonisan tatanan jasmani pun adalah shiddiq (kejujuran/benar). Orang-orang yang meninggalkan kejujuran dan berkhianat, lalu menganggap kedustaan itu sebagai tempat perlindungan bagi kejahatan-kejahatan, mereka sungguh keliru.

Untuk sesaat dan untuk sementara mungkin saja manusia memperoleh manfaat darinya, namun pada hakikatnya dengan melakukan kedustaan maka kalbu manusia menjadi gelap dan dia digerogoti dari dalam. Demi satu kedustaan dia terpaksa mengarang banyak sekali kedustaan lainnya, sebab dia harus membalut kedustaan itu dengan warna kebenaran.

Demikianlah, potensi-potensi akhlak dan ruhaninya dari dalam menjadi runtuh, sampai-sampai dia jadi demikian berani serta nekadnya, sehingga diapun berdusta pada Allah Ta’ala dan juga mendustakan para Rasul dan Allah Ta’ala, dan di sisi Allah Ta’ala dia menjadi orang yang paling aniaya. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:

 dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang membuat-buat suatu kedustaan terhadap Allah, atau mendustakan ayat-ayat-Nya? – Al-An’ām, 22
 
Yakni, siapakah yang dapat lebih aniaya dari orang yang mengada-adakan dusta dan kebohongan atas Allah Taala, atau mendustakan Tanda-tanda-Nya? Ingatlah baik-baik, dusta adalah sebuah petaka sangat buruk yang membinasakan manusia. Dampak berbahaya dari kedustaan apa lagi, kecuali manusia tersebut menjadi layak menerima hukuman atas sikap mendustakan para Rasul Alah Ta’ala dan Ayat-ayat-Nya (Tanda-tanda-Nya)? Oleh karena itu mutlak bagi kalian supaya menerapkan sifat shiddiq (jujur/benar).

Tertera di dalam riwayat tentang Hadhrat Sayid Abdul Qadir Jailani, bahwa ketika beliau berangkat dari rumah untuk menuntut ilmu, ibu beliau menjahitkan 80 uang emas di lipatan kain baju beliau di bawah ketiak, lalu menasihati beliau, “Anakku, sekali-kali engkau jangan berdusta.”

Ketika Hadhrat Sayyid Abdul Qadir Jailani berangkat, pertama-tama beliau melewati sebuah belantara tempat persembunyian gerombolan pencuri dan penyamun, dan di sana beliau berjumpa dengan gerombolan penyamun, mereka menangkap beliau dan menanyakan apa yang ada pada beliau.

Beliau melihat bahwa pada tahap pertama saja sudah dihadang oleh cobaan, maka beliau ingat akan nasihat ibu beliau, dan langsung menjawab, “Pada saya terdapat 80 keping uang emas, yang dijahitkan oleh ibu saja di bawah ketika saya.” Mendengar hal itu penyebut tersebut sangat heran, “Apa pula yang diucapkan faqir ini? Belum pernah kami menemukan orang jujur seperti ini.” Lalu mereka menangkap beliau dan membawa beliau kepada pemimpin mereka sambil menceritakan hal itu.

Ketika kepala penyamun itu bertanya lagi kepada beliau, tetap saja beliau membeberkan jawaban yang sama. Akhirnya ketika jahitan di baju beliau itu dibuka, ternyata benar ada 80 keping uang emas. Mereka semua menjadi heran. Kepala penyamun itu menanyakan kenapa berbuat demikian? Maka beliau pun menjelaskan tentang nasihat ibu beliau dan mengatakan, “Saya berangkat dari rumah untuk menuntut ilmu agama. Jika pada tahap pertama saja sudah berkata dusta, maka apalah yang dapat saya raih? Oleh karena itu saya tidak meninggalkan kejujuran."

Ketika beliau menjelaskan hal tersebut lalu kepala penyamun itu menangis meraung-raung dan menjatuhkan diri di telapak kaki beliau, dan dia bertaubat atas segala dosanya terdahulu. Diriwayatkan bahwa orang itulah yang menjadi murid pertama beliau.

Ringkasnya, kejujuran (kebenaran) adalah sesuatu yang menyelamatkan manusia dari keadaan yang paling sulit sekalipun….Jadi, seberapa banyak manusia menerapkan kejujuran (kebenaran) dan mencintai hal itu, maka sebanyak itu pulalah dalam kalbunya (hatinya) timbul kalām (percakapan) Allah Ta’ala dan kecintaan terhadap para nabi serta makrifat, sebab itu merupakan suri-teladan dan sumber mata air segenap orang jujur (shiddiq). Dan perintah, "Kūnū ma’ash-shādiqīn – (bergaullah dengan orang-orang yang jujur/benar” – At-Taubah, 119) adalah atas dasar prinsip tersebut.” 
 
(Malfuzhat, jld. I, hlm. 369-371).

0 komentar:

Post a Comment