Ahmadiyya Priangan Timur

.

Tuesday 10 February 2015

UNTUK MENJADI WALI PERLU ADANYA COBAAN

Banyak sekali orang datang ke sini dan menginginkan supaya disemburkan mantra-mantra kepada mereka, sehingga [seketika itu juga] mereka dapat mencapai ‘Arasy serta termasuk di antara orang-orang yang berhasil memperoleh maksud (tujuan).
 
Mereka harus melihat bagaimana keadaan para nabi. Tidak benar mengatakan bahwa dengan mengunjungi seorang wali maka seketika itu juga dapat lahir ribuan wali lainnya. Allah Ta’ala berfirman:
 
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?” (Al-Ankabūt, 3)

Yakni,  selama manusia belum diberi cobaan, dimasukkan ke dalam fitnah (ujian) maka kapan  pula dia akan dapat menjadi wali? Di dalam suatu pertemuan, Bayazid  [salah seorang Sultan Turki – pent.] sdang memberikan ceramah keagamaan. Di tempat itu pun  hadir juga seorang anak keluarga Syekh, yang memiliki suatu silsilah panjang. Dia menyimpan kecemburuan terhadap beliau.
 
Adalah kebiasaan Allah Ta’ala untuk meninggalkan keluarga-keluarga lama lalu memilih yang baru, sebagaimana Dia telah meninggalkan Bani Israil dan memilih Bani Ismail, sebab orang-orang itu orang-orang itu telah tenggelam dalam kesenangan dan kebahagiaan [duniawi], sehingga mereka melupakan Tuhan:

“Dan hari-hari itu  Kami pergilirkan di antara manusia”  - Āli ‘Imrān, 141).

 Maka terpikir oleh anak syekh tersebut bahwa beliau (Bayazid) adalah dari kalangan keluarga biasa, bagaimana pula beliau bisa menjadi orang istimewa, sehingga orang-orang tunduk kepada beliau sedangkan kepadanya tidak?

Hal itu dizahirkan Allah Ta’ala kepada Hadhrat Bayazid, maka beliau  pun mulai memberikan ceramah dalam bentuk dongeng, bahwa di suatu tempat, di dalam sebuah pertemuan di malam hari menyela sebuah pelita yang berisikan minyak dan air. Maka terjadilah perdebatan antara minyak dengan air. Si air berkata kepada minyak, "Engkau keruh dan kotor, akan tetapi walaupun engkau keruh dan kotor engkau berada di atasku. Aku adalah barang yang bersih dan aku dipergunakan untuk bersuci, namun aku berada di bawah. Apa sebenarnya yang menyebabkan ini?”

Si minyak mengatakan, “Sekian banyak penderitaan yang telah kualami, mana pula engkau menanggungnya – yaitu penderitaan  yang karenanya aku memperoleh kedudukan tinggi ini. Ada suatu masa ketika aku disemaikan, hidup terselubung di dalam tanah, menjadi hina. Kemudian atas kehendak Tuhan aku tidak mendapat kesempatan untuk berkembang, aku dikekang.  Lalu setelah menjalani berbagai macam jerih-payah aku pun dibersihkan. Aku diperas di tempat penyaringan (penyulingan) minyak, barulah aku menjadi minyak, lalu aku dibakar dengan api.
 
Apakah setelah menjalani setelah menjalani sekian banyak kesengsaraan tersebut aku tidak harus memperoleh ketinggian ini?    

(Malfuzat, jld I, hlm. 25-26 / Pidato Pertama Hadhrat Masih Mau’ud a.s. pada Jalsah Salanah, 25 Desember 1897).

0 komentar:

Post a Comment