Ahmadiyya Priangan Timur

.

Tuesday 24 February 2015

DEFINISI ‘ĀLIM RABBANI

Ingatlah, yang dimaksud dengan ‘ālim Rabbani bukanlah seorang yang hanya sangat mahir dalam hal nahu sharaf (tata-bahasa Arab) atau pun mantiq (logika), melainkan yang dimaksud dengan ‘ālim Rabbani adalah seseorang yang senantiasa takut kepada Allah Ta’ala, dan lidahnya tidak melontarkan hal-hal yang tidak berguna.

Namun di zaman sekarang ini orang-orang yang memandikan jenazah pun menyebut diri mereka sebagai ‘ulama, dan kata itu telah mereka leburkan di dalam diri mereka, sehingga dengan cara demikian mereka telah membuat nilai kata (‘ulama) tersebut jatuh sekali. Dan makna yang mereka gunakan dari kata itu adalah yang bertentangan dengan tujuan serta kehendak Allah Ta’ala, sSebab pada hakikatnya di dalam Quran Syarif telah dipaparkan ciri-ciri ‘ulama sebagai berikut:

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama “ – 
Al-Fāthir, 29
Yakni, yang takut kepada Allah Ta’ala adalah hamba-hamba Allah yang merupakan ‘ulama (orang-orang berilmu).

Sekarang, adalah mutlak untuk memperhatikan, bahwa orang-orang yang di dalam diri mereka tidak terdapat sifat-sifat takut kepada Allah dan sikap takwa kepada Allah maka mereka sama sekali tidak berhak dipanggil dengan sebutan itu (‘ulama). Sebenarnya, ‘ulama adalah bentuk jamak dari ‘ālim, dan ‘ilm (ilmu) adalah sesuatu yang pasti dan qath’i, sedangkan ilmu sejati diperoleh dari Quran Syarif, tidak diperoleh dari filsafat Yunani, dan tidak pula dari filsafat Inggris, melainkan filsafat ruhaniah sejati diraih melalui Quran Syarif.

Titik sempurna dan mikraj bagi seorang mukmin (orang beriman) adalah dia mencapai tahap ‘ulama tersebut, dan dia meraih derajat haqqul-yaqin, yang merupakan derajat ilmu yang paling tinggi. Namun orang-orang yang kosong dari ilmu-ilmu sejati serta jalan-jalan makrifat, dan bashirat (penglihatan ruhani) tidak terbuka atas diri mereka, maka walaupun dari mulut mereka tetap menyebut diri mereka sebagai ’ulama, tetapi pada hakikatnya orang-orang semacam itu betul-betul buta dari keindahan-keindahan dan sifat-sifat ilmu, dan cahaya serta nur yang diraih melalui ilmu hakiki sama-sekali tidak didapati pada diri mereka.

Justru orang-orang demikian itu pada hakikatnya merugi. Orang-orang itu mengisi akhirat mereka hanya dengan asap-asap kosong serta kegelapan belaka. Mengenai orang-orang seperti itulah Allah Ta’ala telah berfirman:

(“Barangsiapa yang buta di dunia ini, niscaya di akhirat pun ia akan lebih buta” - Bani Israil, 73).
Yakni, barangsiapa yang buta di dunia ini maka ia akan dibangkitkan di akhirat dalam keadaan buta, yaitu seseorang yang di dunia ini tidak memperoleh ilmu bashirat serta makrifat maka di sana pun dia tidak akan memperoleh ilmu apa-apa.

Mata untuk melihat Allah Ta’ala harus dibawa dari dunia ini juga. Orang yang di dunia ini tidak ammpu menciptakan mata demikian maka dia tidak dapat diharapkan bakal menyaksikan Allah Ta’ala di akhirat. Namun orang-orang yang dianugerahi makrifat serta bashirat sejati, dan juga dianugerahi ilmu yang mengakibatkan timbulnya rasa takut terhadap Allah, mereka itulah orang-orang yang di dalam hadits diberi kesamaan dengan para nabi Bani Israil.” 
 
(Malfuzhat, jld. I, hlm. 348-349).

0 komentar:

Post a Comment